Send. Centang dua. Tak butuh waktu lama, pesan yang ia kirim pada aplikasi hijau itu sudah masuk ke ponsel Zana. Dengan hati berdesir ia menunggu balasan dari perempuan yang selalu membuat hatinya merasakan rindu. Lima menit berlalu. Pesannya belum juga berbalas. Amar kembali mengecek ponselnya. Centang duanya masih belum berubah warna. Ia meletakkan kembali ponselnya di tempat semula. Tok! Tok! Tok! Pintu kamar diketuk. "Sepertinya Abang udah tidur, Ra." "Tante tolong panggilin, ya. Dira cuma pengen jenguk Bang Atha," ucap Dira dengan tatapan memohon. "Bang! Ini ada Dira, Bang!" seru Ibu Melia dari luar. Amar urung bangkit setelah mendengar dengan samar suara Dira. Ia memilih pura-pura tidur dengan diam tanpa menjawab. Berkali-kali sang Mama memanggil namanya. Namun Amar seolah tak mendengar. Bukan ia memilih abai pada panggilan dari perempuan yang paling ia hormati itu, melainkan berharap Dira akan menyerah untuk terus menemuinya dengan alasan menjenguk. "Syukurlah pintu ud
Pagi menyapa menggantikan malam. Aku membuka mata setelah sinar matahari pagi menyapa lewat celah gorden kamar yang sedikit terbuka. Membuka layar ponsel. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lima belas menit. Aku baru saja bangun, karena memang tengah libur shalat.Berderet pesan pada aplikasi hijau masuk setelah mode airplane kunonaktifkan. Dalam satu klikkan jari, pesan terbuka. [Sudah tidur?]Pesan masuk dari Bang Amar. Tertera waktu pengiriman jam 22.15. Semalam, tak lama setelah shalat isya aku memang langsung tidur. Wajar saja pesan itu baru masuk sekarang, karena setiap akan tidur, aku biasa memasang mode airplane, supaya tidurku tak terganggu dengan suara atau bahkan cahaya dari layar ponsel. Beberapa tahun terakhir, aku memang sangat susah tidur. Namun gampang terbangun. Mendengar suara pelan pun, aku bisa terbangun dan sulit untuk tidur kembali. Itu lah mengapa, aku selalu menggunakan mode airplane saat akan tidur. [Bangun!][Jangan sampai kalah sama ayam!]Pesan dari Ban
Pemandangan itu mampu membuat mataku membulat sempurna. Aku terpaku di tempat. Beberapa saat pandanganku tertuju ke arahnya hingga tanpa sadar Ibu sudah berdiri tepat di sampingku."Lihatin apa sih, Na." Tangan Ibu menepuk lembut Bahuku, membuatku seketika menoleh ke arahnya. Ibu menatapku bergantian dengan gerombolan yang tadi menyita perhatianku. "Ng—nggak lihat apa-apa kok, Bu," jawabku tergagap.Ibu memang belum pernah melihat Rania, Jadi wajar saja perempuan paruh baya itu tidak tahu Siapa yang tengah kuperhatikan."Ya udah, yuk masuk buruan, acaranya udah mau mulai." Ibu mengayun langkah kearah gerbang masjid. Aku mengekor dibelakang punggung ibu, sambil sesekali melihat ke arah tadi. "Ibu ke dalam ya, Na," ucap Ibu. Aku mengangguk pelan. Perempuan terbaikku itu kini melangkah masuk melalui pintu depan masjid. Sedangkan aku memilih duduk di kursi plastik bagian sudut tenda yang berada di halaman masjid.Tatapanku kini tertuju pada tempat Rania berdiri. Dia Tengah di sana menun
Rania merenggangkan pelukannya padaku. Kedua netranya menatapku lekat dengan alis bertaut. "Apa maksudmu, Na? Bukankah Harry tinggal denganmu?" tanyanya dengan nada tak percaya. Kini aku yang menatapnya dengan tatapan heran. Mungkinkah Rania sendiri tak tahu, jika sudah beberapa bulan harry tidak lagi tinggal denganku. Bahkan aku tak pernah lagi melihat Harry sejak hari itu. "Bukankah Bang Haikal bilang, kau telah membawa harry bersamamu." Lanjut Rania. Aku menatapnya dengan mulut membulat sempurna. Kali ini aku seakan tak percaya dengan apa yang baru kudengar. "Bang Haikal tak pernah mengatakan padamu, jika ibumu telah menjemput harry dariku?" tanyaku. Rania menggeleng cepat. Aku tak mengerti Apa alasan Bang Haikal tidak mengatakannya pada Rania. Bukankah Rania adalah ibunya harry, yang harus tahu berita sepenting itu tentang harry. Meski saat itu Rania sendiri tak menginginkannya. "Kita harus bicara, Na! Dan bukan di sini tempatnya." Rania melangkah mendahuluiku, kemudian ber
"Jangan mengungkit sesuatu yang sudah berlalu! Bersyukur, Hidayah Allah datang belum terlambat. Jujur, Ran, aku bahagia melihatmu yang sekarang," ucapku dengan senyum tulus. Mungkin ada yang berpikir, mengapa aku masih sepeduli ini pada Rania? Harusnya aku bahagia melihat orang yang telah merebut kebahagiaanku, hancur seperti ini. Dulu, aku memang berpikir, bahwa aku akan puas jika melihat Rania menderita. Nyatanya yang aku rasakan, dendam hanya akan membuat kebahagiaanku terasa sempit. "Alhamdulillah, Na. Aku masih di pertemukan dengan orang-orang baik, termasuk dirimu.""Aku pun bersyukur, kau sudah bersama orang yang tepat sekarang.""Iya,Na. Saat ini aku tinggal bersama orang yang telah membantuku waktu itu. Ikut membantunya mengelola Panti Asuhan peninggalan orangtuanya. Sebab itu juga tiba-tiba aku begitu merindukan harry. Setiap hari bertemu anak-anak ... rasa sayang terhadap harry perlahan muncul. Aku begitu ingin bertemu dengannya. Aku ingin menebus kesalahanku selama ini
Sebenarnya aku cukup mengerti dengan perasaan Rania terhadap Bang Haikal. Cinta itu masih ada, dan masih cukup kuat.Tidak, aku sama sekali tidak cemburu. Lebih tepatnya aku tidak lagi merasakan cemburu. Hanya saja aku tak tega melihat Rania dengan sesal yang bertubi-tubi. "Jangan menanyakan hal itu padaku, Na!" Rania menggenggam erat kedua tangannya, seperti tengah berusaha untuk kuat. "Maafkan aku, Ran! Aku tak berniat apa-apa, selain berharap kau menemukan kebahagiaanmu lagi."Hening. Kami berdua memilih diam untuk waktu yang cukup lama. Isakan kecil masih saja terdengar dari bibir Rania. Aku tahu, banyak hal yang membuat Rania bersedih dan salah satunya adalah rasa kehilangannya atas Bang Haikal. "Kau lebih berhak atas Bang Haikal, Na." Rania seperti tengah berbisik pada dirinya sendiri. Lirih suaranya ke luar, hingga dalam jarak sedekat ini aku hampir tak mendengarnya. Aku menoleh cepat pada Rania. "Kau salah. Sekarang aku bahkan lebih tak berhak darimu." Aku sengaja berkat
"Baiklah. Maaf jika aku tak bisa membantumu lebih banyak," ucapku. Rania mengangguk pelan. "Kau bahkan begitu banyak membantuku, Na. Jika bukan karena kau yang berbesar hati, mungkin Harry sudah lama berada di Panti Asuhan. Aku sangat-sangat berterima kasih padamu, Na. Aku benci baru menyadari semuanya sekarang.""Sudahlah, Ran. Aku bahagia karena pernah membersamai Harry dalam tumbuh kembangnya." "Terima kasih, Na. Aku hanya berharap, kedepannya kau bisa memendam hal buruk tentang ku untukmu sendiri."Aku cukup mengerti maksud perkataannya barusan. "Iya, Ran," ucapku bersamaan dengan anggukan pelan. Beberapa saat kemudian kami sama-sama memilih diam. Tinggallah lantunan doa penutup, yang terdengar dari sound system yang terpasang menghadap masjid, sebagai penanda berakhirnya acara. *****Sepanjang perjalanan pulang aku memilih diam. Berapa kali Ibu berbicara tentang isi ceramah tadi, aku hanya mengiyakan, sesekali mengangguk. Di samping embusan angin yang menjadi lebih kencang ka
Aku menanggapi tatapan Bang Amar dengan mengendikkan bahu. Aku cukup tahu, alasan Bang Amar jarang berkunjung, hanya saja tak mungkin rasanya jika aku harus jujur pada ibu tentang rasa Bang Amar padaku yang terpendan sejak lama. "Nggak papa, Bu, Amar agak sibuk saja sekarang." Bang Amar beralasan. Aku hanya tersenyum geli mendengarnya. Bang Amar seperti makin menikmati dan terlihat begitu ramah saat bersama Ibu. kesan pendiam yang selama ini melekat, seakan hilang begitu saja dari dirinya. "Zana tinggal dulu, ya," ucapku menyela pembicaraan mereka disertai nyengir kuda. Tanpa menunggu persetujuan dari keduanya, aku bangkit berjalan masuk ke dalam, karena kulit ini terasa mulai lengket disebabkan keringat. Dalam waktu 20 menit, aku sudah selesai mengenakan pakaian. Kemeja putih berpadu dengan baggy pants berbahan jeans yang sedikit longgar berwarna biru tua menjadi pilihanku, melengkapinya dengan pashmina hitam polos. Kemudian menyapu sedikit riasan pada wajahku, agar terlihat