Pak Aidil menarik napas dalam. "Kau tahu, sejak kapan rasa itu hadir?" Aku menggeleng. Pak Aidil menghela napas dalam. Memberi jeda pada kalimatnya. "Saat aku menjenguk Sinta di rumah sakit. Perempuan itu tengah tersedu dalam pelukan ibunya. Ia menyesali telah menzolimimu, ketika ia tahu bahwa kau yang telah membawanya ke rumah sakit. Darinya-lah aku tahu banyak hal tentangmu." Aku hanya tertunduk dengan jemari sibuk memainkan jemari lainnya di pangkuanku. Keringat dingin tiba-tiba ke luar dari sela-sela jariku. Aku mengerti ke mana pembicaraan Pak Aidil mengarah. Jujur, aku sangat tersanjung, hingga tanpa kusadari ada perasaan lebih yang tiba-tiba saja datang. Namun di sisi lain, aku sudah berjanji, tidak akan membuat Bang Amar bersedih karenaku. Sama sekali aku tak menyangka jika Pak Aidil akan memiliki rasa untukku. Selama ini aku menganggapnya tak lebih dari sebatas dosen dan mahasiswa. Begitu juga dengan kekagumanku. Aku hanya mengaguminya sebatas kagum pada kepribadiannya. Ta
Farah menginjak tuas rem perlahan saat jarak kami semakin dekat dengan lampu merah di pusat kota. Jalanan terlihat merayap, meski tidak menimbulkan macet. Di kota kecil ini kemacetan lalu lintas sangat jarang terjadi. "Sama Pak Aidil," jawabku singkat. Sengaja membuat Farah penasaran. Farah menatap lekat ke arahku setelah mobilnya berhenti sempurna. Aku sendiri pura-pura tak melihat. Kupastikan Farah akan bertanya banyak setelah ini. "Pak Aidil siapa, Na?" Alis Farah bertaut. Wajahnya tepat menghadapku dengan tangan masih memegang setir. "Dosenku di kampus," jawabku seolah tidak terjadi apa-apa. "Trus, tadi ketemuan cuma berdua?" Mata Farah melebar. Aku mengangguk. "Ngomongin apaan, Na, kalo cuma berdua?" Rasa ingin tahu semakin kentara di wajah Farah. Semua pertanyaan Farah kujawab jujur. Namun dengan ekspresi datar. "Ngomongin perasaan." Aku tertawa kecil. "Ngaco kamu, Na?""Udah lampu hijau, Fa." Aku mengingatkan Farah, karena jika telat tancap gas maka dipastikan klakson
Jarum jam di dinding kamar baru saja menunjukkan pukul setengah delapan malam sekitar dua menit lalu. Amar masih setia diatas sajadah setelah selesai munajat selepas shalat isya.Merenung semua yang terjadi hari ini. Menerka perasaan Zana untuknya. Ada rasa bersalah di relung sana, karena telah bersikap dingin pada Zana beberapa puluh menit lalu. Juga ada kecewa, karena beberapa kali menelpon sejak pagi tadi tidak sekalipun terangkat. Namun ia tidak ingin menyalahkan Zana. Dirinya cukup tahu, apa alasan Zana bersikap demikian. Wajar saja rasanya jika Zana cemburu dengan keberadaan Dira. Lebih-lebih sikap Dira yang seolah ingin terlihat lebih peduli atas dirinya. "Ini semua karena Mama," gumam Amar dalam hati. Lekas ia bangkit meski dengan tubuh yang masih agak lemas. Melipat sajadah, meletakkannya di atas lemari bersama perlengkapan shalat lainnya. Amar berbalik, berjalan ke luar dengan langkah perlahan menuruni anak tangga dengan kaki masih sedikit gemetar. Meski mamanya sudah me
Send. Centang dua. Tak butuh waktu lama, pesan yang ia kirim pada aplikasi hijau itu sudah masuk ke ponsel Zana. Dengan hati berdesir ia menunggu balasan dari perempuan yang selalu membuat hatinya merasakan rindu. Lima menit berlalu. Pesannya belum juga berbalas. Amar kembali mengecek ponselnya. Centang duanya masih belum berubah warna. Ia meletakkan kembali ponselnya di tempat semula. Tok! Tok! Tok! Pintu kamar diketuk. "Sepertinya Abang udah tidur, Ra." "Tante tolong panggilin, ya. Dira cuma pengen jenguk Bang Atha," ucap Dira dengan tatapan memohon. "Bang! Ini ada Dira, Bang!" seru Ibu Melia dari luar. Amar urung bangkit setelah mendengar dengan samar suara Dira. Ia memilih pura-pura tidur dengan diam tanpa menjawab. Berkali-kali sang Mama memanggil namanya. Namun Amar seolah tak mendengar. Bukan ia memilih abai pada panggilan dari perempuan yang paling ia hormati itu, melainkan berharap Dira akan menyerah untuk terus menemuinya dengan alasan menjenguk. "Syukurlah pintu ud
Pagi menyapa menggantikan malam. Aku membuka mata setelah sinar matahari pagi menyapa lewat celah gorden kamar yang sedikit terbuka. Membuka layar ponsel. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lima belas menit. Aku baru saja bangun, karena memang tengah libur shalat.Berderet pesan pada aplikasi hijau masuk setelah mode airplane kunonaktifkan. Dalam satu klikkan jari, pesan terbuka. [Sudah tidur?]Pesan masuk dari Bang Amar. Tertera waktu pengiriman jam 22.15. Semalam, tak lama setelah shalat isya aku memang langsung tidur. Wajar saja pesan itu baru masuk sekarang, karena setiap akan tidur, aku biasa memasang mode airplane, supaya tidurku tak terganggu dengan suara atau bahkan cahaya dari layar ponsel. Beberapa tahun terakhir, aku memang sangat susah tidur. Namun gampang terbangun. Mendengar suara pelan pun, aku bisa terbangun dan sulit untuk tidur kembali. Itu lah mengapa, aku selalu menggunakan mode airplane saat akan tidur. [Bangun!][Jangan sampai kalah sama ayam!]Pesan dari Ban
Pemandangan itu mampu membuat mataku membulat sempurna. Aku terpaku di tempat. Beberapa saat pandanganku tertuju ke arahnya hingga tanpa sadar Ibu sudah berdiri tepat di sampingku."Lihatin apa sih, Na." Tangan Ibu menepuk lembut Bahuku, membuatku seketika menoleh ke arahnya. Ibu menatapku bergantian dengan gerombolan yang tadi menyita perhatianku. "Ng—nggak lihat apa-apa kok, Bu," jawabku tergagap.Ibu memang belum pernah melihat Rania, Jadi wajar saja perempuan paruh baya itu tidak tahu Siapa yang tengah kuperhatikan."Ya udah, yuk masuk buruan, acaranya udah mau mulai." Ibu mengayun langkah kearah gerbang masjid. Aku mengekor dibelakang punggung ibu, sambil sesekali melihat ke arah tadi. "Ibu ke dalam ya, Na," ucap Ibu. Aku mengangguk pelan. Perempuan terbaikku itu kini melangkah masuk melalui pintu depan masjid. Sedangkan aku memilih duduk di kursi plastik bagian sudut tenda yang berada di halaman masjid.Tatapanku kini tertuju pada tempat Rania berdiri. Dia Tengah di sana menun
Rania merenggangkan pelukannya padaku. Kedua netranya menatapku lekat dengan alis bertaut. "Apa maksudmu, Na? Bukankah Harry tinggal denganmu?" tanyanya dengan nada tak percaya. Kini aku yang menatapnya dengan tatapan heran. Mungkinkah Rania sendiri tak tahu, jika sudah beberapa bulan harry tidak lagi tinggal denganku. Bahkan aku tak pernah lagi melihat Harry sejak hari itu. "Bukankah Bang Haikal bilang, kau telah membawa harry bersamamu." Lanjut Rania. Aku menatapnya dengan mulut membulat sempurna. Kali ini aku seakan tak percaya dengan apa yang baru kudengar. "Bang Haikal tak pernah mengatakan padamu, jika ibumu telah menjemput harry dariku?" tanyaku. Rania menggeleng cepat. Aku tak mengerti Apa alasan Bang Haikal tidak mengatakannya pada Rania. Bukankah Rania adalah ibunya harry, yang harus tahu berita sepenting itu tentang harry. Meski saat itu Rania sendiri tak menginginkannya. "Kita harus bicara, Na! Dan bukan di sini tempatnya." Rania melangkah mendahuluiku, kemudian ber
"Jangan mengungkit sesuatu yang sudah berlalu! Bersyukur, Hidayah Allah datang belum terlambat. Jujur, Ran, aku bahagia melihatmu yang sekarang," ucapku dengan senyum tulus. Mungkin ada yang berpikir, mengapa aku masih sepeduli ini pada Rania? Harusnya aku bahagia melihat orang yang telah merebut kebahagiaanku, hancur seperti ini. Dulu, aku memang berpikir, bahwa aku akan puas jika melihat Rania menderita. Nyatanya yang aku rasakan, dendam hanya akan membuat kebahagiaanku terasa sempit. "Alhamdulillah, Na. Aku masih di pertemukan dengan orang-orang baik, termasuk dirimu.""Aku pun bersyukur, kau sudah bersama orang yang tepat sekarang.""Iya,Na. Saat ini aku tinggal bersama orang yang telah membantuku waktu itu. Ikut membantunya mengelola Panti Asuhan peninggalan orangtuanya. Sebab itu juga tiba-tiba aku begitu merindukan harry. Setiap hari bertemu anak-anak ... rasa sayang terhadap harry perlahan muncul. Aku begitu ingin bertemu dengannya. Aku ingin menebus kesalahanku selama ini