"Biarkan Harry di sini dulu, jangan terburu-buru. Aku tak ingin kejadian seperti beberapa waktu lalu terulang lagi." Aku berusaha mengontrol emosi. "Aku bisa saja membujuk neneknya agak membiarkan Harry bersamamu, tapi dengan syarat kita harus kembali seperti dulu."Jika saja lelaki itu ada di hadapanku, ingin rasanya kulempar ponsel yang tengah menempel di telingaku ke wajahnya. Aku benar-benar emosi dibuatnya. Kumatikan sambungan telpon secara sepihak. Benar-benar muak rasanya mendengar perkataannya. Aku kembali ke tempat semula. Hanya tinggal Farah yang masih setia di sana. "Kenapa sih, Na. Wajahmu kusut amat?" "Bang Haikal, Fa.""Emang kenapa lagi?" tanya Farah tak mengerti. Aku terdiam sesaat. Kupejamkan mata untuk sekedar bertenang. "Bang Haikal akan menjemput Harry," ucapku dengan wajah sendu. "Kan emang dari awal kesepakatannya kadang Harry bersamamu, kadang bersama Haikal." Farah mengerutkan dahi. "Bang Haikal mengancamku. Jika aku tetap ingin bercerai, maka Harry a
Aku menatap tajam Bang Haikal yang masih terpaku di depan pintu. Namun lelaki itu menghindari tatapanku. "Ibu mau bertemu Harry?" tanyaku berusaha seramah mungkin. "Aku akan membawa Harry bersamaku. Aku yang akan merawatnya."Detik ini hatiku kembali terluka, karena tak bisa menahan Harry untuk tetap bersamaku. Aku memang bukan siapa-siapanya Harry. Hanya saja, hati ini terlalu berat untuk berpisah dengan dia yang hampir seumur hidupnya dihabiskannya bersamaku. Aku terdiam lama. Menata hati yang kembali terasa nyeri. Berkali-kali Bang Haikal menoreh luka untukku. Mungkin melepas Harry pada keluarganya memang langkah yang tepat, agar aku bisa terbebas dari luka penghianatan Bang Haikal. "Baiklah. Bawalah Harry bersama Ibu. Aku titip Harry untuk Ibu jaga," ucapku dengan mata mengembun. Bang Haikal terlihat kaget dengan kata-kataku barusan. Wajah laki-laki itu berubah gusar. Namun tetap diam. Sepertinya ia tak menyangka jika aku akan sepasrah ini melepas Harry. Aku sangat menyayang
Empat bulan sudah waktuku berlalu tanpa Harry. Kini aku mulai terbiasa tanpanya. Meski awalnya terasa begitu berat, saat bayangan Harry kerap kali tergambar di kepalaku. Bahkan minggu pertama aku sering tiba-tiba melongo ke kamar, karena masih mengira Harry tidur di sana. Sejak hari kepergian Harry hingga kini aku tak pernah lagi bertemu anak itu. Pernah aku mencoba menghubungi Bang Haikal untuk menanyakan kabar Harry, sayangnya ia pun tak pernah tahu di mana Harry berada. Rasa ingin bertemu sering kali menggelitik hatiku. Hanya saja aku tak tahu kemana harus mencari. Minggu lalu aku mengunjungi rumah Rania, berharap aku bisa berjumpa Harry di sana, tapi rumah itu pun sudah dijual sejak sebulan lalu. Lagi-lagi hanya do'a yang mampu kulantunkan untuk kebaikan Harry saat rindu menyapa. Aku pun pernah meminta Bang Haikal menghubungi Rania, tapi nomor telpon Rania bahkan tak pernah aktif lagi. Entah apa yang terjadi, semenjak kepergian Harry, keluarga itu seakan hilang bak ditelan bumi
"Bi—bisa, Bang," jawabku tergagap, membuat Bang Amar tertawa geli. "Makasih, Na. Nanti Abang jemput kalo udah pulang, ya."Aku hanya mengangguk. Mobil Bang Amar berhenti tepat di depan gerbang kampus. Aku membuka pintu mobil dan turun setelah mobil berhenti sempurna. "Makasih, Bang," ucapku dengan wajah merona. Bang Amar membalas senyumku sambil mengangguk. "Iya, Na." Aku berdiri di pinggir jalan, menatap mobil Bang Amar hingga menghilang. Saat hendak melangkah masuk gerbang, mataku tak sengaja melihat Rossi teman sekelasku diantar lelaki paruh baya yang sangat kukenal. Mang Gani—suami bik Novi. Lelaki itu mencium kening Rossi setelah gadis itu membuka pintu untuk ke luar, membuat mata ini menatap tak percaya pemandangan di depan mataku. Aku menepis pikiran burukku tentang Rossi. Mungkin saja Mang Gani keluarga dekat Rossi. Kulanjutkan kaki, tanpa peduli dengan mereka berdua. Aku tak ingin kepalaku semakin sibuk memikirkan mereka. "Cieee, yang di anter cowok keren nan mapan.“
Kepalaku yang sejak tadi tertunduk karena memainkan ponsel, seketika mendongak. Pak Aidil sudah berdiri di depanku dengan tersenyum ramah. "Iya, Pak," jawabku singkat sambil membalas senyumnya. "Terima kasih, Kak, karena sudah menolongku waktu itu," ucapnya masih dengan posisi berdiri menghadap jalan raya. Sama sepertiku. "Sama-sama, Pak."Hening. Kali ini aku merasa sedikit canggung, setelah mengetahui Aidil adalah dosenku.Lucu sekali rasanya. Beberapa bulan lalu aku bahkan memanggilnya dengan sebutan 'kamu', karena memang usia Aidil tiga tahun dibawahku. Namun sekarang aku harus memanggilnya dengan sebutan 'Pak'. "Sekarang udah mau pulang?" tanyanya berusaha mencairkan suasana. "Iya, Pak. Lagi nunggu dijemput temen," jawabku jujur. Di ujung sana, Ais terpaku di tempat dengan mata membulat menatap ke arah kami."Rumah Kakak di mana? Mau sekalian?" Tawarnya "Gak—gak usah, Pak. Kasian temen kalo tau-tau Zana ikut Bapak." Tolakku halus. Namun dengan alasan sebenarnya. "Ya suda
"Tadi pas aku tengah berjalan ke parkiran, aku lihat kamu lagi sama Pak Aidil. Jiwa kepo-ku meronta-ronta pas liat kalian. Jadi deh sampai sekarang gak pulang-pulang," jelas Aisyah membuat aku tertawa geli. "Makanya, kurangin dikit-dikit jiwa kepo-mu, Ai, biar gak sengsara." Ledekku. Aisya memonyongkan bibirnya. Aku baru saja mengabiskan makananku, ketika ponselku berdering. Pesan masuk dari Bang Amar. [Abang tunggu di depan, Na.]Tanpa membalas pesannya, aku bangkit untuk membayar makanan yang tadi kupesan. "Ini Bu, sekalian yang itu." Tunjukku pada Aisyah yang masih menghabiskan bakso porsi jumbo miliknya. "Ai, aku duluan ya, temen yang mau jemput dah sampai," ucapku setelah kembali mendekat ke arah Ais, untuk mengambil ranselku yang masih tergeletak di kursi yang tadi kududuki. "Oke, Na. Hati-hati, ya. Satu lagi, makasih udah dibayarin," jawab Aisyah dengan mulut penuhnya. "Sama-sama. Lain kali diet dikit, ya, biar aku gak kemahalan bayar makananmu." Candaku pada Ais. Gadis i
Bik Novi? Apa yang perempuan itu lakukan di sini? Dengan wajah penuh amarah perempuan itu memukul kaca mobil yang tertutup rapat dengan membabi buta. Pipinya basah oleh air mata.Seorang pria dewasa yang kutaksir berumur sekitar 40 tahun berusaha menenangkan. Namun tak digubris Bik Novi. Berkali-kali pula laki-laki paruh baya di sampingnya menggedor kuat pintu mobil, tapi tak juga memberi tanda-tanda pemilik mobil akan membuka pintu mobilnya. "Keluar! Keluar kau bajing*n!" teriak Bik Novi tanpa peduli kerumunan manusia yang menatapnya dengan bermacam sudut pandang. Samar kulihat di dalam mobil, dua orang berbeda jenis kukuh tetap berada di dalam, meski mereka sudah dikepung bak maling yang siap diamuk massa. Perempuan itu terjun dari kap mobil, berputar-putar di sekitarnya. Tatapannya jatuh pada sebatang balok pendek, sisa pembangunan gedung di sisi jalan. "Keluar kau, Gani! Atau akan kupecahkan kaca mobilmu! Tega-teganya kau main gila dengan wanita murahan itu, sampai kau lupa d
"Gak—gak papa, Bang." Aku tergagap. "Seperti pernah lihat ya, Na," ucap Bang Amar sambil memicingkan matanya, untuk memperjelas tatapannya. "Siapa?" "Itu, bapak sama ibu itu." Tangan Bang Amar menunjuk pada Mang Gani yang kini terduduk di tepi jalan, juga Bik Novi yang masih sibuk meluapkan amarahnya pada selingkuhan suaminya. Bang Amar terdiam, seperti merenung. Wajar saja ia pernah melihat Bik Novi ataupun Mang Gani, karena rumah mereka hanya berjarak lima puluh meter dari rumah Ibu. "Mau bantu?" tanya Bang Amar dengan senyum meledek. "Apanya?" Alisku bertaut. "Bantu menghajar perempuan yang bersama suaminya tadi." Senyum manisnya merekah. Aku tertawa geli mendengar ucapan Bang Amar. Ternyata asik juga kalau sudah cukup dekat dengan lelaki ini. "Mau lanjut?" tanya Bang Amar meminta persetujuanku. "Boleh," ucapku dengan sekali anggukan. Aku pun tak ingin berlama-lama menatap ulah Bik Novi yang kesetanan. Aku pun tak berniat untuk keluar, karena rasa akit atas ucapannya beb