"Dalam keadaan frustasi, aku bertemu pada Ibu Rania. Saat itu hampir saja aku bunuh diri dengan melompat dari gedung lantai lima. Ibu Rania yang telah membuatku membatalkan niatku."Aku terdiam, pun dengan Bik Sarmi. Meski terlihat emosinya memuncak, kali ini wanita paruh baya itu mampu mengontrol emosinya. "Ibu Rania bercerita banyak tentang kisah kelamnya, bahkan kurasa aku tidak ada apa-apanya dibandingkan ketegaran Ibu Rania." Lanjut Sinta. Aku mengernyitkan dahi. Tanda tak mengerti. "Maksudmu?"Tatapan Sinta menerawang, seakan mencari penggalan kalimat yang tepat untuk diucapkannya. "Masa lalu Ibu Rania sangat kelam, Kak. Sejak SMA dia sudah rutin mendapat perlakuan tak senonoh dari ayah tirinya, hingga kegadisan yang selalu ia jaga harus terenggut oleh suami ibunya itu. Berkali-kali ia mengadu pada ibunya, tapi ia seakan tak pernah mendapat pembelaan dari ibunya. Ibunya lebih percaya pada suaminya, hingga membuat Ibu Rania pergi dari rumah, terjun ke dunia malam sebagai pel
Sinta menarik napas dalam, bulir bening lebih deras mengalir di pipinya. "Bayi merah yang kemarin di antar seseorang ke rumah Ibu, itu anakku. Darah daging Bang Ilman."Wajah wanita paruh baya itu merah padam. Malu bercampur marah melebur jadi satu. Matanya terhunus menatap tajam seakan siap menguliti Sinta. Meski tau Sinta memang pernah hamil, aku pun tak kalah terkejut. Jadi ini arti percakapan Ilman lewat telpon saat aku baru pulang dari rumah sakit waktu merawat Ibu dulu. Mengapa dengan mudahnya seorang perempuan mengorbankan mahkotanya dengan lelaki yang belum halal baginya. Miris. "Mengapa kau tega membohongi kami, Sin? Mengapa kau tak mengatakannya sejak awal?" Bik Sarmi terlihat geram. "Aku bukan ingin membahas anak itu, Bu. Jika Ibu tak menginginkannya aku akan memberikannya pada siapa saja yang menginginkannya," ujar Sinta terdengar frustasi. Bik Sarmi terdiam sambil menggigit bibirnya. Sedih dan kecewa bercampur jadi satu. Untuk kedua kalinya aku tercengang mendengar
"Udah sampai, Kak?" Aku menoleh ke asal suara. Nanda dan Tante Nadia berjalan menghampiriku. Tak kutemukan Om Hartono bersama mereka. "Baru aja, Nan," jawabku, seraya menghulurkan tangan untuk bersalaman. Nanda terlihat begitu cantik kali ini. Terlihat jelas jika gadis 23 tahun ini semakin terlihat dewasa. Wajah Nanda sangat mirip dengan sang Ibu, berkulit putih dengan tinggi semampai, berambut lurus dan hidung mancung. Dagu tirus menambah sempurna kecantikan Nanda. Farah pun tak kalah cantik dengan Nanda. Wajah mereka begitu dekat, hingga waktu SMA aku sempat mengira jika Nanda yang baru kelas 6 SD adalah adik Farah. "Bagaimana kabarmu, Na?" Kali ini Tante Nadia yang bertanya. "Alhamdulillah, Tan. Seperti yang Tante lihat," ucapku dengan tersenyum manis. "Kamu makin cantik, Na.""Yah, Tante, kalo muji jangan nanggung dong." Candaku, membuat Tante Nadia tertawa. "Cuma berdua?" Aku bertanya sambil melirik ke arah keduanya dengan jari tengah dan jari telunjuk terangkat. "Iya, Na
Tertulis, Fikri dan Farah. Aku membekap mulut dengan tanganku, agar suara yang tak sengaja keluar bisa sedikit teredam. Mataku membulat sempurna. Duduk di sana Bang Fikri dan Farah. Dua orang tersayangku yang akan segera menyatu dalam ikatan suci.Rasanya, aku ingin berteriak, menangis dan tersenyum, hingga tertawa. Tapi mengapa selama ini Bang Amar terlihat begitu dekat dengan Farah? "Kenapa, Na? tanya Kak Ana. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis. "Kenapa gak ada yang bilang, kalau Bang Fikri akan melamar Farah," tanyaku manyun. Kak Cindy dan Kak Ana kompak tertawa kecil, pun dengan Bang Farhan dan Bang Hamka. Dua kakak beradik itu tersenyum geli menatapku. "Sengaja, Na. Farah yang minta," jawab Kak Cindy seakan tanpa beban. Air mataku menetes. Bukan … bukan karena benci, tapi kuyakin Farah hanya ingin membuat bahagiaku berlipat ganda."Kok malah nangis adik kecil?" Kali ini Bang Hamka meledekku. Membuat air mata semakin deras mengalir. Dadaku bergemuruh, gemuruh bahagia. H
"Wah, Zana gak bawa pakaian ganti, Kak. Kenapa gak bilang dari kemaren?“ tanyaku, setelah mata menatap perempuan beranak dua itu. "Bang Hamka juga barusan ngasih tau Kakak. Gak papa, kan bisa pake baju Kakak." Aku menatapnya dengan alis bertaut. "Mana bisa Zana pake baju Kakak. Yang ada malah cingkrang, Kak," ucapku terkikik geli. Kak Cindy nyengir kuda. Kak Cindy memang agak berisi, tapi tinggi badannya jauh di bawahku. "Kan gak papa, Na, kalo cuma daster atau baju tidur. Nanti baju yang ini biar langsung dicuci. Harry bisa pake baju punya Alif," saran Kak Cindy. "Iya, iya, Zana ngalah." Bibirku mengerucut. Kak Cindy tersenyum menang. "Iya, giliran. Minggu depan nginep di rumah kakak ya, Na." Kali ini Kak Ana nyeletuk. "Ih, kok Zana jadi kayak apa, gitu, asal maen giliran aja." Sewotku. "Lah, kok, gak adil, Na?" "Iya, iya. Bulan depan ya, Kak." Akhirnya aku menyerah. *****Haikal baru saja memutar gagang pintu untuk masuk rumah, ketika seorang laki-laki seumurannya datang me
Haikal spontan menatap lekat perempuan itu, bibirnya mengatup rapat. Sedangkan Kak Lila menatap tak mengerti. Ada sesuatu yang tak bersahabat yang ia tangkap. Dengan langkah gontai Yuni melangkah mendekat ke arah Haikal. "Di mana anak itu sekarang?"Haikal masih bergeming. Kepalanya sibuk menerka maksud Yuni mencari Harry. "Anak itu sekarang sudah di tempat yang tepat, dirawat oleh orang yang tepat," jawab Haikal datar. "Katakan saja di mana? Aku ingin menemuinya. Rania yang memintaku untuk menemuinya di sini.""Apa aku tak salah dengar?" tanya Haikal heran. Yuni terlihat salah tingkah. Ia merutuki dirinya sendiri. Tidak bertanya lebih banyak pada Rania tentang Harry, membuatnya terlihat bodoh di hadapan Haikal. "Rania baru menyadari kesalahannya sekarang!"Mendengar ucapan Yuni barusan, alis Haikal bertaut. Ia tak habis pikir, apa sebenarnya alasan perempuan ini bertanya tentang Harry? Mungkinkah Rania memang sudah menyadari kekeliruannya selama ini? Tapi kenapa tidak dirinya s
Haikal terdiam. Sepertinya ia kehabisan cara untuk meyakinkan perempuan itu untuk merelakan Harry bersama Zana untuk sementara. "Kumohon, jangan sekarang! Jika sudah waktunya, aku yang akan mengenalkan Harry pada kalian," ujar Haikal memelan.Haikal memilih berbalik dan melangkah masuk. Tak dihiraukannya Yuni yang masih mematung di depan rumah dengan bersimbah air mata. Kak Lila memilih melangkah menuju halaman rumahnya tanpa mau mengganggu Yuni yang masih saja menangis. Bukan tak ingin memberi tau Yuni di mana Harry berada. Namun Haikal tak ingin sesuatu yang buruk kembali terjadi pada Harry, mengingat Harry baru saja bernapas lega. "Meski kau tak mengizinkanku bertemu Harry, setidaknya anggap aku sebagai orang tuamu!" lirih Yuni seraya mengusap sudut matanya. "Jika tidak berhasil membawa Harry untuk Mila, maka cara lain juga tak apa," gumam Yuni. Mila adalah sahabatnya yang menginginkan Harry. Pastinya dengan imbalan yang lumayan. Haikal menghentikan langkahnya, kemudian berbali
Kami tengah berkumpul untuk makan malam di dapur rumah Bang Hamka. Keluarga yang tadi siang berkumpul di rumah Farah, kini kembali berkumpul di sini. Termasuk Ibu dan Ayah, Farah dan Bang Fikri. Mereka semua berhasil memberi kejutan untukku. Kejutan yang aku sendiri tak pernah terpikirkan. Tak pernah terbayangkan jika Bang Fikri akan menikah dengan Farah, karena selama ini mereka tak pernah terlihat memiliki hubungan yang spesial. bahkan aku sempat menebak jika Farah akan menikah dengan Bang Amar. Entahlah, selama ini aku tak mampu menebak rencana mereka. Hingga untuk momen saat ini, mereka sudah jauh-jauh hari mengaturnya. Ibu pun sudah menyiapkan pakaianku dan Harry untuk menginap malam ini. Teras halaman belakang yang dilengkapi dengan kolam ikan, serta saung dan taman kecil itu kini disulap menjadi rumah makan lesehan. Satu buah tikar besar tergelar, dengan menu masakan beraneka ragam. Mulai dari tongkol sarden, nila masak asam manis, gulai ayam, dan beberapa menu lainnya,