"Dulu, aku sangat menyayangi Harry, bahkan meski dia anak angkat rasa sayangku cukup dalam untuknya," ujar Zana dengan tatapan menerawang. Bik Imah menatap sendu pada Zana. Farah terdiam. "Setelah semuanya berubah rasa itu masih ada, meski tak sekuat dulu, aku hanya tak ingin Bang Haikal memanfaatkan rasa sayangku pada Harry." Lanjut Zana. "Lantas, apa yang akan kau lakukan?" tanya Farah sambil mengunyah makanan yang tiba-tiba berubah hambar, seiring selera makan yang berubah. "Entahlah!" Zana terdengar pasrah. "Jangan menyiksa perasaanmu sendiri! Aku cukup kenal dirimu, Na. Ya sudah, kapan kau akan menemui Harry?" Farah berusaha menghibur. "Mungkin besok, Fa," jawab Zana pelan. "Aku akan menemanimu."Zana menatap lekat wajah Farah yang duduk di hadapannya kini tersenyum manis ke arahnya. "Makasih, Fa." jawab Zana. Farah mengangguk pelan. "Sekarang makan dulu." Perintah Farah. Tok! Tok! Tok! Suara ketukan di pintu depan membuat Bik Imah Bangkit, berjalan ke luar untuk meliha
Harry tiba-tiba menangis histeris, memeluk lututku yang menyentuh lantai. Kuraih tubuh mungil Harry untuk kupeluk, hingga kami larut dalam rindu yang tak terucap. "Bunda di sini, Nak. Jangan nangis lagi, ya! Bunda sayang, Harry," lirihku di sela isak yang membuat dada sesak. Harry tak dapat berkata apa-apa, tangisnya tak juga reda, membuat suhu tubuhnya terasa semakin panas. Aku berusaha merenggang pelukan pada Harry, tapi seolah ia enggan melepas pelukanku. Farah mengusap lembut punggung Harry yang tengah berada dalam dekapanku, air matanya menetes tanpa suara. Pun dengan Bik Sum. Wanita paruh baya itu berkali-kali mengelap sudut matanya dengan lengan daster motif batik yang tengah ia pakai. Ada rasa sesal karena dulu aku pernah membenci Harry karena perbuatan orang tuanya. Hati kecilku mengatakan Harry tak salah sedikit pun, tapi rasa sakit membuatku abai dengan hal itu. "Harry, dengerin Bunda, Sayang. Setelah ini Bunda akan sering-sering mengunjungi Harry di sini, Bunda janji,
Kutarik napas dalam, mengeluarkannya perlahan. Memikirkan Harry membuat dada ini terasa sesak. "Aku pun tak tahu, Fa!""Kau tahu kenapa Harry begitu, Na?" tanya Farah masih dengan tanpa menatapku. "Entahlah!" "Itu karena kau orang baik! Aku merasakan itu. Ketahuilah, Na, anak sekecil Harry belum bisa akting, jika kau tak baik menurutnya, mana ada anak itu sampai begitu menyayangimu," ucap Farah terdengar sendu. Suasana kembali hening. Kami berdua sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri, meski sepertinya isi pikiran kami adalah permasalahn yang sama. "Jika kau tak keberatan, bawalah Harry bersamamu untuk beberapa hari dalam setiap pekan, Na. Bicaralah pada Haikal. Jangan biarkan Harry terluka lebih parah lagi. Maaf, aku bukan mengajarimu, aku hanya tak tega melihat anak itu. Bahkan jika mau, kau bisa tinggal bersamaku, dan bekerja padaku dan Harry bisa tinggal bersama kita."Lelehan air mata semakin deras membanjiri pipi mulus Farah. Baru kali ini aku melihat Farah sesedih ini. Bahka
Kuhapus air mata yang sempat merembes ke luar, lalu beranjak untuk menyiapkan perlengkapan Harry. Lemari pakaian Harry ada di kamar Bang Haikal—kamar kami dulu. Saat baru saja kaki ini melangkah masuk, sudut bibirku terangkat saat melihat sesuatu di atas tempat tidur Bang Haikal. Pigura foto pernikahan kami yang biasanya menempel di dinding kamar, kini tergeletak di atas kasur. Mungkinkah … ah, sudahlah. Biarkan saja ia meratapi penyesalannya. Kubereskan beberapa perlengkapan Harry yang mungkin diperlukan nanti, setelahnya aku langsung mengajak Farah keluar dari rumah itu, sesak dadaku berlama-lama di sini. Rumah ini memiliki sejuta kenangan di hatiku. *****"Untung punya istri kayak Zana, kalau aku yang jadi istrinya udah aku benyek tuh laki," ucap Bik Mirna saat tengah memilah sayur di warung Mak Suti. Aku yang datang dari arah samping warung membuat mereka tak menyadari kehadiranku. Langkahku terhenti saat telingaku mendengar namaku menjadi topik bahasan. "Iya, laki gak ada o
"Zana akan memikirkannya nanti, Bu, setelah Harry benar-benar pulih.""Ibu cukup tau perasaanmu, tapi apakah kau tak ingin memikirkan masa depanmu juga?" "Mungkin tak lama lagi, Bu. Setelah kondisi Harry benar-benar stabil, sepertinya Zana akan menerima tawaran Farah."Ibu menoleh dan mendekat ke arahku. Menarik kursi makan yang ada di hadapanki untuk ia duduki. "Maksudmu gimana, Na?"Kudongakkan kepala menatap sekilas Ibu yang duduk tak sejajar denganku. "Farah nawarin Zana untuk kerja di tempatnya, Bu. Sekalian bisa bawa Harry juga ke sana, jadi kan tiap hari bisa sama-sama Harry. Sekalian kalo Zana nyambi kuliah juga bisa, Harry bisa dititipin."Ibu terdiam, seperti tengah merenung apa yang baru saja kukatakan. "Kau sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihanmu, Na. Ibu tak bisa berbuat banyak, meski nyatanya Ibu tak ingin kau terikat dengan masa lalumu."Kurasakan ada beban pada kalimat yang meluncur dari bibir Ibu. Namun, aku sangat sadar jika itu merupakan bentuk kasih sayang
Aku mengernyitkan dahi. Demi menuntaskan rasa penasaran aku segera keluar, Harry mengkor di belakangku. Kepalaku dipenuhi tanya ketika melihat siapa yang datang menemuiku. "Sinta!" ucapku dengan kening mengerut. Sinta membalikkan badannya saat mendengar suaraku. Bik Sarmi—ibunya Sinta pun melakukan hal yang sama. "Maaf, Kak, pagi-pagi aku udah datang ke sini," ucap Sinta sendu. Dahinya masih terdapat bekas luka yang belum sembuh, setelah kecelakaan dua minggu yang lalu. "Gak papa kok, Sin." Aku berusaha seramah mungkin, meski sakit itu masih membekas. Tak mungkin aku bersikap tak baik sedangkan Sinta datang bersama ibunya. "Ada perlu apa, ya?" tanyaku masih dengan mimik tak mengerti. "Makasih banyak, Na, udah mau nganterin Sinta ke rumah sakit tempo hari." Bik Sarmi yang berdiri di hadapanku bicara. Kulihat Sinta hanya terdiam dengan menunduk dalam. "Masuk dulu aja, Bik. Biar lebih enak ngobrolnya." Tawarku. Aku membuka pintu lebih lebar untuk memudahkan mereka masuk. Bik Sarmi
"Dalam keadaan frustasi, aku bertemu pada Ibu Rania. Saat itu hampir saja aku bunuh diri dengan melompat dari gedung lantai lima. Ibu Rania yang telah membuatku membatalkan niatku."Aku terdiam, pun dengan Bik Sarmi. Meski terlihat emosinya memuncak, kali ini wanita paruh baya itu mampu mengontrol emosinya. "Ibu Rania bercerita banyak tentang kisah kelamnya, bahkan kurasa aku tidak ada apa-apanya dibandingkan ketegaran Ibu Rania." Lanjut Sinta. Aku mengernyitkan dahi. Tanda tak mengerti. "Maksudmu?"Tatapan Sinta menerawang, seakan mencari penggalan kalimat yang tepat untuk diucapkannya. "Masa lalu Ibu Rania sangat kelam, Kak. Sejak SMA dia sudah rutin mendapat perlakuan tak senonoh dari ayah tirinya, hingga kegadisan yang selalu ia jaga harus terenggut oleh suami ibunya itu. Berkali-kali ia mengadu pada ibunya, tapi ia seakan tak pernah mendapat pembelaan dari ibunya. Ibunya lebih percaya pada suaminya, hingga membuat Ibu Rania pergi dari rumah, terjun ke dunia malam sebagai pel
Sinta menarik napas dalam, bulir bening lebih deras mengalir di pipinya. "Bayi merah yang kemarin di antar seseorang ke rumah Ibu, itu anakku. Darah daging Bang Ilman."Wajah wanita paruh baya itu merah padam. Malu bercampur marah melebur jadi satu. Matanya terhunus menatap tajam seakan siap menguliti Sinta. Meski tau Sinta memang pernah hamil, aku pun tak kalah terkejut. Jadi ini arti percakapan Ilman lewat telpon saat aku baru pulang dari rumah sakit waktu merawat Ibu dulu. Mengapa dengan mudahnya seorang perempuan mengorbankan mahkotanya dengan lelaki yang belum halal baginya. Miris. "Mengapa kau tega membohongi kami, Sin? Mengapa kau tak mengatakannya sejak awal?" Bik Sarmi terlihat geram. "Aku bukan ingin membahas anak itu, Bu. Jika Ibu tak menginginkannya aku akan memberikannya pada siapa saja yang menginginkannya," ujar Sinta terdengar frustasi. Bik Sarmi terdiam sambil menggigit bibirnya. Sedih dan kecewa bercampur jadi satu. Untuk kedua kalinya aku tercengang mendengar
Aku tersenyum lalu mengangguk pelan. Ya, Rania akan menikah dengan Hendri. Lelaki itu telah jatuh cinta pada pandangan pertama. Atas permintaan Rania, aku dan Bang Amar bercerita banyak tentang masa lalu beserta perubahan Rania pada Hendri, berharap Hendri bisa menerima apa adanya dan lebih mampu memahami Rania saat Hendri mengutarakan niatnya untuk serius pada Rania. Bahkan aku dan Bang Amar lah yang menjadi penyatu keduanya. Tentang Bang Haikal, kabar terakhir yang kudengar dari Kak Naima, mantan suamiku itu masih sendiri setelah Rania menolak untuk kembali. "Semoga sakinah hingga maut memisahkan." Do'a Farah. "Jujur, Na. Aku pun merasa iba pada Rania. Tapi saat mengingat wajah angkuhnya dulu, rasa itu memudar." "Semua pernah melakukan kesalahan, Fa, pun dengan Rania. Aku merasa aku masih di bawahnya. Aku tak tahu harus bagaimana jika aku yang berada di posisi Rania. Ia sangat butuh dukungan. Luka yang kurasakan karena sebuah penghianatan kurasa tak sebanding dengan luka yang ia
"Tak apa, aku hanya heran melihatmu yang tak seperti biasa." Amar berusaha mengalih perhatian Hendri. "Apa kau sudah jatuh cinta pada pandangan pertama?" Amar menggoda anak buahnya itu. Di luar keduanya memang terlihat tak ubah seperti teman. Amar sangat pintar menempatkan posisi. Ia tak begitu suka jika di luar kantor, Hendri atau anak buah yang lain menganggapnya seformal di kantor. Meski untuk panggilan, Hendri memanggilnya dengan embel-embel yang sama. Pak. Hendri menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia terlihat salah tingkah. Malu jika dirinya harus mengakui rasa yang tiba-tiba datang tanpa permisi. "Sudah sewajarnya kamu cari pengganti almarhumah istrimu, Hen. Kamu masih sangat muda dan memiliki seorang putri yang sangat butuh sosok ibu."Hendri begeming, hatinya membenarkan perkataan Amar barusan. Namun rasanya terlalu cepat untuk mengatakan jika dirinya menaruh hati pada perempuan bergamis hitam yang baru saja ia lihat. Ia bahkan belum tahu nama perempuan itu. "Kau menar
"Semakin ke sini aku semakin merasa bersalah pada Zana. Aku tak ingin terus-terusan dihantui perasaan yang sama, atau bahkan lebih. Aku yakin, hanya dengan melihatku saja, Zana masih merasakan luka yang dulu kuciptakan, jadi kumohon, jangan membuatku merasa lebih tak nyaman karena aku sangat menikmati kehidupanku sekarang. Kehidupan yang tak lepas dari peran Zana di dalamnya."Apa yang dikatakan Rania benar adanya. Ia sangat menikmati saat sekarang, saat Harry mulai bisa menerimanya, membuat hatinya dipenuhi haru. "Jika Abang sayang aku dan Harry, maka akhirilah hubungan yang menyakiti banyak pihak ini. Mari kita mulai semuanya dari awal. Aku tak ingin tersiksa saat mengingat kembali caraku menghancurkan perasaan Zana dulu."Haikal membatu. Ia tak menyangka jika Rania akan mengatakan hal yang tidak pernah ia sangka seperti saat ini. "Kau tak perlu memikirkan orang lain, pikirkan saja perasaan kita berdua. Aku tau kau masih sangat mencintaiku." Haikal berusaha membujuk, berharap Rani
Aku menatap Bang Amar yang terhalang sandaran kursi menatapnya dengan tetapan heran. "Bukankah jika Rania yang datang, Harry tak perlu merasa khawatir kalau kita akan meninggalkannya di panti?""Kita bisa mengantar Harry ke panti, Sayang. Atau bisa juga denga mempertemukan mereka berdua di mana saja. Aku hanya ingin menghargaimu, dengan tidak adanya tamu asing lawan jenis yang datang ke rumah. Abang tak ingin istri Abang merasa tak nyaman." Senyum mengembang di wajahnya. Alasan Bang Amar ada benarnya juga. Mengapa aku tak memperhatikan hal sepenting itu? "Sayang, bagaimana pun dekatnya kau dengan Harry, mereka tetaplah orang asing bagi kita dan Harry bukanlah mahrammu."Aku pun paham kemana arah pembicaraan Bang Amar. Ini hanyalah langkahku untuk menyelamatkan tumbuh kembang Harry. Memberikan hak-haknya setelah terlahir menjadi seorang anak."Abang berharap, kelak Harry akan tinggal bersama Rania secara utuh. Tak apa kau menginginkan dia seperti anak sendiri seperti sekarang, yang
Kalimat Harry barusan menegaskan jika aku tak akan bisa pergi tanpa membawanya. "Masih betah?" bisik Bang Amar di telingaku saat aku tengah asik bercengkrama dengan Harry. Aku kembali melirik jam tangan. Pukul 05.25, kemudian beralih menatap sendu bocah tiga setengah tahun yang tengah bergelayut manja di pangkuanku. "Sayang, kita ke depan, yuk," ajakku pada Harry yang ia sambut dengan anggukan. Kaki kecil itu melangkah riang, menapaki langkah demi langkah melewati satu persatu keramik lantai menuju teras depan, di mana Rania dan Puji duduk bersama beberapa anak panti. Harry menggenggam erat telunjukku saat kami berjalan bersisian, seolah tak memberiku kesempatan untuk jauh darinya. Pertanyaan demi pertanyaan sesuatu yang baru ia lihat tak henti keluar dari bibirnya. "Ran, kami pamit dulu, ya, titip Harry, Ran," ucapku dengan berat hati. Tak rela rasanya meninggalkan Harry di sini. Namun harus bagaimana lagi, meski sedari kecil aku lah yang telah merawat Harry, hati kecilku meng
Beberapa menit aku bahkan tak mampu melepaskan pelukan pada Harry. Aku tergugu di tubuh mungil itu hingga Bang Amar masuk setelah Rania ke luar. Kurenggangkan pelukan di tubuh Harry, membingkai wajahnya, memindai setiap lekuk wajahnya dengan mata yang masih mengabur. Bang Amar mengusap lembut kepala hingga punggung Harry, wajahnya terlihat sendu. "Sayang, udah, ya, nangisnya. Bunda lagi sakit, lho, kasian kalau Bunda nangis terus, nanti tambah sakit," bujuk Bang Amar dengan mengusap lembut kepala Harry yang tengan membelai wajahku. Anak kecil itu mengangguk cepat."Kita ke doktel, ya, Bunda." Harry mencium kedua pipiku kemudian kedua mataku. Benar-benar tak ada yang berubah. Perlakuan Harry masih seperti dulu. Ia adalah anak pintar yang memperlakukanku dengan lembut dan penuh kasih. "Iya, sayang. Maafin Bunda, ya, kemarin nggak bisa jemput Harry. Yang penting sekarang, Harry sudah dekat Bunda," ucapku dengan senyum bercampur air mata. Air mata haru. "Sayang, jangan banyak nangis
Bang Amar tak langsung menjawab, tangannya mengusap lembut perutku. "Bilang sama, Ummi, kita berangkat sekarang, Dek." Aku tertawa geli melihat ulah Bang Amar. Kini, aku seolah kehilangan sosok jual mahalnya yang dulu. "Yakin? Trus kerjaan Abang gimana?" Aku masih tak enak hati. "Tenang, Abang udah suruh Hendri buat handle. Sekarang siap-siap, gih."Hendri adalah asisten Bang Amar di kantor, duda anak satu yang istrinya meninggal saat melahirkan dua tahun lalu. "Oke, Zana siap-siap."Aku tersenyum senang menanggapi ucapan Bang Amar. Mimpi memeluk Harry akan segera menjadi nyata. *****Jantungku berdegub kencang tatkala menatap punggung mungil Harry yang tengah meringkuk di atas ranjang. "Ia tertidur setelah kelelahan menangis, Na," lirih Rania sendu. Aku duduk di sisi ranjang di belakang Harry dengan dada mulai sesak. Beban berat menahan rindu pada bocah mungil itu seakan tak mampu lagi kubendung. Rasa tak puas membuatku berpindah posisi di depan Harry untuk memindai setiap ga
Haikal membuang muka. Pemandangan di hadapannya membuat hatinya meringis. Nek Rahima nyatanya begitu berarti bagi Harry setelah Zana. Harry masih terus menarik tangan Nek Rahima untuk masuk mobil, Nek Rahima mematung. Pelan ia berjongkok, mensejajarkan tubuhnya dengan tubuh mungil Harry. "Sayang, Nenek di sini saja dulu, nanti Nenek bisa jenguk Harry di rumah Bunda atau Harry yang ke sini bersama Bunda.""Nenek ikut, kita jenguk Bunda.""Harry pulangnya sama Ayah dan Mama Rania, ya. Nanti Nenek nyusul."Harry mencebik. Ia ingin segera menjenguk bundanya, tapi ia pun tak ingin meninggalkan Nek Rahima. Dilema, itu lah yang ia rasakan. Haikal segera mendekat, Rania mengikuti dari belakang. Tak banyak yang bisa perempuan itu lakukan sekarang karena Harry masih belum menganggapnya penting. *****"Lagi ngapain?" tanya Bang Amar lewat sambungan telpon. Jam dinding baru saja menunjukkan pukul 10.15. Bang Amar memang selalu menyempatkan menghubungiku ketika dia berada di kantor di saat se
"Boleh Rania tanya sesuatu ke Ibu?" Nek Rahima menoleh pada Rania di sampingnya lalu mengangguk. "Nenek ikhlas melepaskan Harry bersamaku?"Beberapa saat hanya desiran angin malam yang terdengar berembus. Kedua perempuan itu saling terpaku, sibuk dengan hati dan pikiran masing-masing. "Ikhlas ataupun tidak, Harry tetaplah anakmu, Nak, Ibu tidak memiliki alasan untuk menahannya di sini."Nek Rahima sangat sadar, jika dirinya hanyalah orang yang Allah pilihkan untuk menjaga dan merawat Harry sebentar saja. Ia tak memiliki alasan untuk berontak."Ibu cuma sendirian di rumah ini?""Iya. Anak-anak Ibu tinggal di kota dan hanya akan pulang bergiliran menjenguk Ibu." Nek Rahima menerawang, rindunya pada anak-anaknya dan cucu-cucunya terobati setelah Harry hadir menemaninya. "Apa Ibu tak memiliki keinginan untuk tinggal bersama mereka?" Rania berkata dengan hati-hati. Embusan napas panjang keluar dari bibir keriput itu. Setiap berbicara tentang hal yang sama, ia merasakan dilema. Rasa r