"Assalamu'alaikum," Suara salam dari seberang sana khas laki-laki dewasa, membuat Haikal tersentak. Ia memijat dahinya yang tiba-tiba berdenyut. Di saat ia ingin memperbaiki kesalahan mengapa keadaan terasa semakin sulit. "Kamu siapa?" tanya Haikal tanpa menjawab salam, ia merasa asing dengan suara lelaki di seberang sana. "Amar. Katakan saja apa keperluanmu menelpon Zana?" jawab Amar datar. Haikal sempat tersulut emosi, tapi sebisa mungkin ia kontrol demi Harry. Ia tak ingin keegoisannya membuat Harry kembali gagal bertemu Zana. "Bisakah aku berbicara dengannya?" tanya Haikal. "Zana tak di sini!" "Zana di mana? Kenapa ponsel Zana ada padamu?" "Di rumah Farah. Ponselnya tertinggal di mobilku."Haikal terdiam. Bagaimana caranya ia mengabari Zana jika ponselnya tengah di tangan laki-laki itu. Untuk berbicara panjang lebar pada Amar rasanya tak mungkin, karena sejak awal suara Amar terdengar sangat cuek padanya. "Tolong katakan pada Zana jika Harry sakit dan ingin bertemu dengann
"Dulu, aku sangat menyayangi Harry, bahkan meski dia anak angkat rasa sayangku cukup dalam untuknya," ujar Zana dengan tatapan menerawang. Bik Imah menatap sendu pada Zana. Farah terdiam. "Setelah semuanya berubah rasa itu masih ada, meski tak sekuat dulu, aku hanya tak ingin Bang Haikal memanfaatkan rasa sayangku pada Harry." Lanjut Zana. "Lantas, apa yang akan kau lakukan?" tanya Farah sambil mengunyah makanan yang tiba-tiba berubah hambar, seiring selera makan yang berubah. "Entahlah!" Zana terdengar pasrah. "Jangan menyiksa perasaanmu sendiri! Aku cukup kenal dirimu, Na. Ya sudah, kapan kau akan menemui Harry?" Farah berusaha menghibur. "Mungkin besok, Fa," jawab Zana pelan. "Aku akan menemanimu."Zana menatap lekat wajah Farah yang duduk di hadapannya kini tersenyum manis ke arahnya. "Makasih, Fa." jawab Zana. Farah mengangguk pelan. "Sekarang makan dulu." Perintah Farah. Tok! Tok! Tok! Suara ketukan di pintu depan membuat Bik Imah Bangkit, berjalan ke luar untuk meliha
Harry tiba-tiba menangis histeris, memeluk lututku yang menyentuh lantai. Kuraih tubuh mungil Harry untuk kupeluk, hingga kami larut dalam rindu yang tak terucap. "Bunda di sini, Nak. Jangan nangis lagi, ya! Bunda sayang, Harry," lirihku di sela isak yang membuat dada sesak. Harry tak dapat berkata apa-apa, tangisnya tak juga reda, membuat suhu tubuhnya terasa semakin panas. Aku berusaha merenggang pelukan pada Harry, tapi seolah ia enggan melepas pelukanku. Farah mengusap lembut punggung Harry yang tengah berada dalam dekapanku, air matanya menetes tanpa suara. Pun dengan Bik Sum. Wanita paruh baya itu berkali-kali mengelap sudut matanya dengan lengan daster motif batik yang tengah ia pakai. Ada rasa sesal karena dulu aku pernah membenci Harry karena perbuatan orang tuanya. Hati kecilku mengatakan Harry tak salah sedikit pun, tapi rasa sakit membuatku abai dengan hal itu. "Harry, dengerin Bunda, Sayang. Setelah ini Bunda akan sering-sering mengunjungi Harry di sini, Bunda janji,
Kutarik napas dalam, mengeluarkannya perlahan. Memikirkan Harry membuat dada ini terasa sesak. "Aku pun tak tahu, Fa!""Kau tahu kenapa Harry begitu, Na?" tanya Farah masih dengan tanpa menatapku. "Entahlah!" "Itu karena kau orang baik! Aku merasakan itu. Ketahuilah, Na, anak sekecil Harry belum bisa akting, jika kau tak baik menurutnya, mana ada anak itu sampai begitu menyayangimu," ucap Farah terdengar sendu. Suasana kembali hening. Kami berdua sibuk dengan pikiran sendiri-sendiri, meski sepertinya isi pikiran kami adalah permasalahn yang sama. "Jika kau tak keberatan, bawalah Harry bersamamu untuk beberapa hari dalam setiap pekan, Na. Bicaralah pada Haikal. Jangan biarkan Harry terluka lebih parah lagi. Maaf, aku bukan mengajarimu, aku hanya tak tega melihat anak itu. Bahkan jika mau, kau bisa tinggal bersamaku, dan bekerja padaku dan Harry bisa tinggal bersama kita."Lelehan air mata semakin deras membanjiri pipi mulus Farah. Baru kali ini aku melihat Farah sesedih ini. Bahka
Kuhapus air mata yang sempat merembes ke luar, lalu beranjak untuk menyiapkan perlengkapan Harry. Lemari pakaian Harry ada di kamar Bang Haikal—kamar kami dulu. Saat baru saja kaki ini melangkah masuk, sudut bibirku terangkat saat melihat sesuatu di atas tempat tidur Bang Haikal. Pigura foto pernikahan kami yang biasanya menempel di dinding kamar, kini tergeletak di atas kasur. Mungkinkah … ah, sudahlah. Biarkan saja ia meratapi penyesalannya. Kubereskan beberapa perlengkapan Harry yang mungkin diperlukan nanti, setelahnya aku langsung mengajak Farah keluar dari rumah itu, sesak dadaku berlama-lama di sini. Rumah ini memiliki sejuta kenangan di hatiku. *****"Untung punya istri kayak Zana, kalau aku yang jadi istrinya udah aku benyek tuh laki," ucap Bik Mirna saat tengah memilah sayur di warung Mak Suti. Aku yang datang dari arah samping warung membuat mereka tak menyadari kehadiranku. Langkahku terhenti saat telingaku mendengar namaku menjadi topik bahasan. "Iya, laki gak ada o
"Zana akan memikirkannya nanti, Bu, setelah Harry benar-benar pulih.""Ibu cukup tau perasaanmu, tapi apakah kau tak ingin memikirkan masa depanmu juga?" "Mungkin tak lama lagi, Bu. Setelah kondisi Harry benar-benar stabil, sepertinya Zana akan menerima tawaran Farah."Ibu menoleh dan mendekat ke arahku. Menarik kursi makan yang ada di hadapanki untuk ia duduki. "Maksudmu gimana, Na?"Kudongakkan kepala menatap sekilas Ibu yang duduk tak sejajar denganku. "Farah nawarin Zana untuk kerja di tempatnya, Bu. Sekalian bisa bawa Harry juga ke sana, jadi kan tiap hari bisa sama-sama Harry. Sekalian kalo Zana nyambi kuliah juga bisa, Harry bisa dititipin."Ibu terdiam, seperti tengah merenung apa yang baru saja kukatakan. "Kau sudah cukup dewasa untuk menentukan pilihanmu, Na. Ibu tak bisa berbuat banyak, meski nyatanya Ibu tak ingin kau terikat dengan masa lalumu."Kurasakan ada beban pada kalimat yang meluncur dari bibir Ibu. Namun, aku sangat sadar jika itu merupakan bentuk kasih sayang
Aku mengernyitkan dahi. Demi menuntaskan rasa penasaran aku segera keluar, Harry mengkor di belakangku. Kepalaku dipenuhi tanya ketika melihat siapa yang datang menemuiku. "Sinta!" ucapku dengan kening mengerut. Sinta membalikkan badannya saat mendengar suaraku. Bik Sarmi—ibunya Sinta pun melakukan hal yang sama. "Maaf, Kak, pagi-pagi aku udah datang ke sini," ucap Sinta sendu. Dahinya masih terdapat bekas luka yang belum sembuh, setelah kecelakaan dua minggu yang lalu. "Gak papa kok, Sin." Aku berusaha seramah mungkin, meski sakit itu masih membekas. Tak mungkin aku bersikap tak baik sedangkan Sinta datang bersama ibunya. "Ada perlu apa, ya?" tanyaku masih dengan mimik tak mengerti. "Makasih banyak, Na, udah mau nganterin Sinta ke rumah sakit tempo hari." Bik Sarmi yang berdiri di hadapanku bicara. Kulihat Sinta hanya terdiam dengan menunduk dalam. "Masuk dulu aja, Bik. Biar lebih enak ngobrolnya." Tawarku. Aku membuka pintu lebih lebar untuk memudahkan mereka masuk. Bik Sarmi
"Dalam keadaan frustasi, aku bertemu pada Ibu Rania. Saat itu hampir saja aku bunuh diri dengan melompat dari gedung lantai lima. Ibu Rania yang telah membuatku membatalkan niatku."Aku terdiam, pun dengan Bik Sarmi. Meski terlihat emosinya memuncak, kali ini wanita paruh baya itu mampu mengontrol emosinya. "Ibu Rania bercerita banyak tentang kisah kelamnya, bahkan kurasa aku tidak ada apa-apanya dibandingkan ketegaran Ibu Rania." Lanjut Sinta. Aku mengernyitkan dahi. Tanda tak mengerti. "Maksudmu?"Tatapan Sinta menerawang, seakan mencari penggalan kalimat yang tepat untuk diucapkannya. "Masa lalu Ibu Rania sangat kelam, Kak. Sejak SMA dia sudah rutin mendapat perlakuan tak senonoh dari ayah tirinya, hingga kegadisan yang selalu ia jaga harus terenggut oleh suami ibunya itu. Berkali-kali ia mengadu pada ibunya, tapi ia seakan tak pernah mendapat pembelaan dari ibunya. Ibunya lebih percaya pada suaminya, hingga membuat Ibu Rania pergi dari rumah, terjun ke dunia malam sebagai pel