Suara Louis begitu dingin dan tegas. Bukannya menciut, Summer malah melangkah maju. Para pengawal yang sedang berjaga kebingungan harus melakukan apa. Ia terlihat tidak berbahaya. Namun, setelah diskusi cepat, dua dari mereka menghentikannya satu meter di hadapan Louis.
“Kau tidak tahu siapa aku?” Meskipun lantang, suaranya tetap terdengar lucu. Louis mendengus. “Kita tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin aku mengenalmu?” “Aku adalah anak dari perempuan yang sangat mencintaimu dan kau cintai. Karena itu, aku mau kau menikahi Mama, bukan nona ini. Kamu harus menjadi ayahku!” Louis tersentak mendengar kelugasan balita itu. Setelah keterkejutannya luntur, tawanya mengudara. “Kau pandai berakting, rupanya? Kau tahu? Berbohong itu bukanlah sesuatu yang baik. Kau bisa menimbulkan kesalahpahaman atau bahkan masalah besar. Jadi, sebelum aku menghukummu, kembalilah kepada ibumu. Katakan kepadanya untuk tidak menghasut orang lain. Aku tidak pernah mencintai gadis selain Grace.” “Kaulah yang seharusnya tidak berbohong, Tuan. Aku tahu kau mencintai ibuku. Aku melihat buktinya dan itu sangat jelas.” Louis membuang napas dan memutar bola mata. Ia mulai lelah meladeni penyusup cilik itu. “Pengawal, bawa manusia mungil ini keluar! Jangan biarkan dia masuk lagi! Aku mau proses lamaranku berlangsung lancar.” “Siap, Tuan!” Mengetahui posisinya terancam, gadis cilik itu berlari ke depan. Semua orang terbelalak melihat kecepatannya. Bahkan Louis tidak sempat bereaksi ketika lengan-lengan kecil itu memeluk kakinya. “Tolong jangan usir aku, Tuan. Aku berjanji tidak akan menjadi anak nakal. Aku hanya mau kita menjadi keluarga bahagia,” ujarnya memelas. Bukannya iba, Louis malah merasa tak nyaman. Apalagi, wajah Grace semakin kusut dan tatapannya meruncing ke arah sang balita. “Kalau kau tidak mau menjadi anak nakal, cepat lepaskan aku. Berhenti membuat masalah dan pulanglah!” Louis berusaha menjauhkan tangan-tangan kecil itu darinya, tetapi gagal. Sang balita memeluknya terlalu erat. “Tidak mau! Aku tidak akan pulang sebelum kau sepakat untuk menikahi Mama. Aku mau kamu menjadi papaku!” “Pengawal!” Kesabaran Louis akhirnya terkuras. “Kenapa kalian diam saja? Cepat jauhkan kurcaci ini dariku!” Mau tidak mau, para pengawal mengerumuni si gadis kecil. Mereka berusaha menarik tanpa menyakitinya. Akan tetapi, balita itu mengaitkan kakinya di betis Louis. Ia sudah seperti koala yang menempel di pohon. “Maaf, Tuan. Dia tidak mau lepas.” “Gunakan tenaga kalian!” “Kami takut menyakitinya.” “Pakai akal!” Seorang pengawal pun menggelitik pinggang sang balita. Tawa renyah seketika mengudara. Akan tetapi, gadis kecil itu masih berpegangan dengan kuat. “Itu geli! Hentikan!” “Lanjutkan! Serang ketiaknya! Lehernya juga!” Para pengawal menuruti perintah bos mereka. Suara tawa semakin menggila. Namun, usaha tersebut tidak juga membuahkan hasil. Grace yang menyaksikan sedari tadi akhirnya menghela napas. Ia merasa sangat lelah. Kepalanya terlalu penuh dengan kejengkelan yang memuncak. “Louis, aku mau pulang!” Louis tertegun mendengar suara ketus itu. “Ace, kau marah?” Setelah mengisyaratkan para pengawal untuk berhenti, ia berputar menghadap sang kekasih. Ia tidak peduli lagi jika sang balita masih bergantung di kaki. “Kau tahu? Aku sudah merencanakan momen ini sejak kita mulai berpacaran. Lamaran ini seharusnya berjalan sempurna. Tolong bersabar sebentar, hmm? Aku akan segera menyingkirkan hambatannya,” ia mengelus lengan Grace. “Momen ini sudah rusak, Louis. Aku tidak mau mengenang lamaran yang kacau. Lakukan lagi kalau kau sudah bisa mengendalikan situasi. Dan lain kali, pilihlah pengawal yang berkualitas. Jangan yang mengusir anak kecil saja becus.” Grace pergi dengan wajah penuh kekesalan dan kekecewaan. Raut Louis seketika berubah muram. Ia berusaha mengejar, tetapi beban di kakinya menghambat. “Ace, tunggu! Tolong jangan pergi. Ace?” Seolah tidak mendengar, Grace terus berjalan. Ia keluar tanpa sekali pun menoleh. Menyaksikan itu, si gadis kecil merasa menang. Ia tertawa. Suaranya membuat Louis menjadi geram. Tangan pria itu kini telah terkepal erat. “Kau senang telah menggagalkan lamaranku?” Sang balita sontak berhenti tertawa. Ia mendongak. Wajah Louis ternyata telah berubah mengerikan. “Hmm, Tuan, bisakah kamu tersenyum sedikit? Kamu terlihat lebih tampan kalau tersenyum. Aaakh!” Gadis kecil itu akhirnya terlepas dari Louis. Ia kini meringis kesakitan sambil memegangi tangan yang memelintir kupingnya. “Tuan, kenapa kamu menjewerku? Aku ini anak baik,” tuturnya dengan kepala miring. Telinganya masih ditarik. “Ini akibatnya karena kau membantah peringatanku. Sekarang juga, cepat panggil ibumu!” “Mama tidak ada. Aku datang ke sini sendirian.” “Aku tidak akan melepas telingamu sampai ibumu datang kemari.” Gadis kecil itu mengerutkan alis lebih dalam. Matanya berkaca-kaca. “Kalau begitu, jewer saja terus sampai telingaku putus. Mama tetap tidak akan datang. Dia bahkan tidak tahu kalau aku ada di sini.” Alis Louis tertaut curiga. Ia melirik ke arah lain, mencoba untuk mendapatkan petunjuk. Saat itulah, matanya menangkap keberadaan paparazi di jendela. “Kalian,” ia mengedarkan pandangan ke arah para pengawal, “cepat ringkus tikus-tikus itu! Hapus semua foto yang ada di kamera mereka. Aku tidak mau insiden ini tersebar. Dan kau ....” Sementara para pengawal bergerak cepat keluar, Louis menatap sang balita dengan raut tak bersahabat. Wajah mungil itu mengingatkannya pada seseorang, dan hatinya semakin tidak senang. “Kau harus bertanggung jawab atas kekacauan yang telah kau buat!” *** Sementara itu, di negara tempat Summer berasal, Sky sedang duduk di kantor polisi. Ia sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tetap tenang. Akan tetapi, hatinya tetap saja gelisah. Tangannya tak bisa berhenti meremas satu sama lain. “Bisa Anda ceritakan kronologinya, Nona?” tanya seorang petugas kepolisian setelah memperhatikan foto Summer dengan saksama. Sky menarik napas dalam. “Siang tadi, Summer tiba-tiba meminta untuk dibuatkan biskuit. Dia sempat membantu sampai dia bilang kalau dia mau tidur. Aku sempat heran karena itu bahkan belum lewat tengah hari. Tapi kemudian, aku membiarkannya tidur sendirian, sedangkan aku menyelesaikan pekerjaan. Ternyata, begitu aku memeriksanya di kamar, dia tidak ada. Aku mencari ke mana-mana, bahkan sampai ke rumah tetangga. Aku tetap tidak menemukannya.” “Apakah rumah Anda dalam keadaan terkunci saat itu terjadi?” Sky mengangguk yakin. “Aku selalu mengunci semua pintu saat kami hanya berdua di rumah.” “Bagaimana dengan jendela?” “Jendela kamar Summer terbuka. Itulah yang membuatku sangat cemas.” “Menurut Anda, ini penculikan?” Sky menggeleng samar. “Aku tidak yakin. Aku sempat memeriksa lemari. Beberapa setel pakaiannya menghilang. Ranselnya juga tidak ada. Aku khawatir Summer diam-diam merencanakan petualangan sendiri. Apalagi, ponselnya tidak aktif. Sepertinya, dia sengaja pergi tanpa sepengetahuanku.” “Putri Anda memiliki ponsel? Bisa Anda sebutkan nomor kontaknya?” Setelah mendapatkan apa yang ia pinta, polisi itu kembali bertanya, “Menurut Anda, ke mana kira-kira perginya putri Anda? Apakah belakangan ini dia sempat menyebutkan suatu tempat? Target liburan yang diimpikannya, misalnya?” Sky terdiam sesaat. Bola matanya bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. “Putriku sangat suka bertualang. Dalam sehari saja, dia bisa menyebutkan puluhan tempat. Kurasa, agak sulit untuk menebak ke mana perginya.” “Adakah tempat yang disebutnya di sekitar sini?” Sky menggeleng. “Akhir-akhir ini, dia lebih sering menyebutkan tempat-tempat di luar negeri. Oh, kemarin dia sempat menyebut tentang Danau Louise.” “Baiklah, kami akan melacak ponsel putri Anda dan memeriksa riwayat panggilannya. Kalau tidak ada hasil, kami akan mengirim beberapa personel untuk memeriksa wilayah di sekitar rumah Anda dan juga Danau Louise. Putri Anda masih sangat kecil. Dia tidak mungkin bisa pergi jauh. Dia pasti masih di sekitar sini. Selain itu, kami juga akan memeriksa CCTV di beberapa titik.” Sky mencoba untuk mengangguk, tetapi lehernya kaku. Hatinya meragukan pernyataan polisi tersebut. Ia tahu betul, Summer sanggup pergi ke mana pun. Sekarang, ia hanya bisa berharap bahwa sang putri berada di tempat aman bersama orang yang tepat. “Ya, Tuhan .... Hamba mohon, lindungilah Summer. Jangan biarkan siapa pun menyakitinya,” doa Sky dengan mata terpejam dan raut gelisah.Setibanya di sebuah penthouse, Summer tercengang. Ia tidak peduli dengan telinganya yang masih merah. Matanya sudah telanjur terpesona dengan apa yang ada di hadapannya. “Tuan Harper, kudengar kau punya banyak rumah. Apakah ini salah satunya? Ini sangat keren dan indah. Seperti istana!” Louis mendengus mendengar celotehan tersebut. Ia semakin yakin bahwa orang yang mengirimkan bocah itu mengincar hartanya. “Masuklah,” Louis melangkah lebih dulu menuju sofa. Nada suaranya datar, tidak bersahabat. Akan tetapi, sang balita sama sekali tidak mempermasalahkan. Dengan raut ceria, ia duduk di samping sebuah rak. “Apa yang kau lakukan?” tanya Louis, heran. Gadis kecil itu mendongak sambil menarik tali sepatunya. “Mama bilang, kita tidak boleh menggunakan alas kaki di dalam rumah, apalagi rumah orang lain. Nanti lantainya bisa kotor.” “Apakah kau sedang berusaha menarik perhatianku?” Mata Louis menyipit. “Tidak,” sang balita menggeleng santai. “Memang begitu peraturannya. Bahkan sebelum
Saat polisi sedang sibuk melacak Summer, tiba-tiba, ponsel Sky berdering. Melihat nomor asing menghubunginya lewat panggilan video, napas Sky tertahan. Mungkinkah itu penculik yang meminta tebusan? Atau justru orang baik yang tidak sengaja menemukan putrinya? Sky pun menjawab panggilan dengan hati yang berdebar. Namun, begitu melihat wajah yang muncul, keresahannya musnah. Matanya terbelalak memancarkan keheranan dan keterkejutan. “L-Louis?” Louis semula mengernyitkan dahi. Ia sudah siap untuk menumpahkan amarah kepada Sky, menuntut pertanggungjawaban atas kekacauan yang ditimbulkan oleh putrinya. Namun, begitu wajah cantik yang diliputi air mata menerima panggilan videonya, kegeraman Louis memudar. Rasa iba dan kerinduan mendadak terbit dari sudut hatinya. “Sky,” lidahnya kelu menyebut nama itu. Sky mengerjap. Sembari tertunduk, ia menyeka mata. Ia tidak mau Louis mengetahui kegelisahannya. Ia belum siap jika statusnya sebagai ibu tunggal terbongkar. “Hai, Louis. Lama tidak b
Louis menarik ransel yang terisi penuh itu. Summer mencoba untuk menghalanginya, tetapi ia kalah cepat.“Di mana kau menyembunyikan paspor ibumu?”Summer melipat tangan di depan dada. Pipinya yang menggembung membuat wajahnya tampak lebih bulat.“Apakah kau mengira aku membawanya di dalam ranselku? Kalau begitu, cari saja terus. Sampai gajah bisa bicara pun, kau tidak akan bisa menemukannya.”Louis berhenti menggeledah ransel kecil itu. “Kau tidak membawanya?”“Untuk apa? Nanti Mama tidak bisa datang ke sini kalau aku membawa paspornya.”Louis menghela napas lelah. Ia kembalikan ransel kecil itu ke atas meja. Memang tidak ada paspor sejauh pengamatannya. Summer hanya membawa pakaian, kotak bekal, botol minum, dan perlengkapan dasar untuk bertualang.“Kenapa kau bertindak sejauh ini, Manusia Mungil? Apakah kau sadar bahwa kelakuanmu ini merugikan orang lain? Kau mempersulit hidupku,” tutur Louis, terdengar putus asa.“Harus berapa kali kukatakan? Aku mau kamu menikah dengan Mama,” cele
Sambil duduk di tepi ranjang, Louis mulai membentur-benturkan kepala dengan kepalan tangan. Matanya tertutup, alisnya berkerut. Ia sadar, dirinya tidak boleh hanyut dalam pikiran keruh.“Tidak. Sky tidak mungkin sejahat itu. Putri kecilnya itulah yang bermasalah. Kalau memang dia ingin punya ayah, kenapa dia tidak mencari ayah kandungnya saja? Kenapa malah mengacaukan rencana indahku? Kalau dia tidak datang, aku pasti sedang berbahagia bersama Grace.”Selang keheningan sejenak, Louis mengangguk-angguk mantap. “Ya, dia pasti mewarisi sikap menjengkelkan itu dari ayahnya. Dia banyak tingkah, keras kepala, dan semena-mena. Pasti itu dia dapatkan dari sang ayah. Bukan Sky yang bersalah, tapi Summer dan ayahnya. Sekarang apa yang dia lakukan? Dia tidak sedang menghancurkan rumah, kan?”Louis mengeluarkan ponsel, memantau kamera pengawas. Tidak mendapati Summer di ruang depan, ia terbelalak. “Ke mana perginya manusia mungil itu?”Louis pun memeriksa kamera lain. Menemukan Summer sedang mencu
Tiba-tiba, ponsel Louis berdering. Khawatir Summer terbangun, ia cepat-cepat menyingkir. Wajahnya keruh. Namun, melihat siapa yang memanggil, matanya seketika berbinar.“Ace? Kau sudah tidak marah lagi padaku?” Louis terdengar ceria walau suaranya agak pelan.“Louis, kupikir kau sudah menangani anak itu. Tapi kenapa kau membawanya ke penthouse-mu?”Cahaya di wajah Louis mendadak lenyap. Ia tidak menyangka kekasihnya akan mempermasalahkan hal itu.“Aku perlu menginterogasinya dan aku tidak mau ada paparazi yang mengganggu. Jadi, kubawa dia ke penthouse-ku. Kau tahu? Ternyata, dia adalah putri Sky—sahabat Emily itu.”“Sahabat lamamu itu?” balas Grace dengan penuh penekanan.Louis menelan ludah. Ia bisa menangkap kecemburuan dari kekasihnya. “Ya. Aku juga tidak menyangka. Percaya atau tidak, anak itu berangkat seorang diri dari Kanada. Karena itu, aku tidak mungkin menelantarkannya. Kubiarkan dia beristirahat di tempatku.”“Kau tahu kalau itu justru akan menimbulkan prasangka, kan? Papara
"Summer, kau anak baik, kan?" tanya Louis dengan nada membujuk.Sang balita menjawab dengan mata berbinar. "Tentu saja! Kalau saja ada penghargaan untuk anak terbaik di seluruh dunia, aku pasti sudah mendapatnya. Aku ini pintar dan senang membantu orang-orang. Aku juga mandiri dan jarang merepotkan orang lain, kecuali Mama. Terkadang, aku masih membutuhkan bantuan darinya. Tapi kata Mama, itu wajar. Aku masih terlalu kecil untuk melakukan semuanya sendirian."Louis mengangguk-angguk dengan senyum yang dipaksa lebar. "Bagus. Kalau begitu, bisakah kau buktikan? Uruslah dirimu sendiri. Aku harus berangkat kerja sekarang. Ini sudah sangat terlambat."Summer tersenyum miring mendengar itu. Telunjuknya menggeliat seperti cacing di depan dagu. "Paman Louis, kamu tidak bisa membohongiku. Ini hari Minggu. Bibi Emily bilang kalian tidak pernah bekerja di akhir pekan. Sabtu dan Minggu adalah waktu khusus untuk diri sendiri dan keluarga. Karena kamu akan menjadi Papa-ku, bagaimana kalau kita meng
Louis menghela napas cepat. Kepalanya menggeleng tak percaya. "Ace? Aku tahu kau sedang ingin menguji ketulusan dan kesetiaanku, tapi bukan begini caranya.""Tidak ada cara lain, Louis. Aku mulai meragukanmu dan kamu harus menghentikan itu. Kau tahu seberapa kacau pikiran dan perasaanku sejak bocah itu muncul? Bayangkan saja. Lamaran yang kuimpi-impikan hancur karena ulahnya. Coba tempatkan dirimu di posisiku. Jangan hanya bersimpati padanya!"Louis terdiam dan membisu. Matanya yang sayu kini ikut berkaca-kaca. "Kau sungguh ingin aku mengusir anak kecil yang tidak berdaya itu?""Gunakan akal sehatmu, Louis. Kau tidak harus melemparnya ke jalan. Kau punya banyak pelayan dan pengawal. Pilih saja beberapa untuk mengirimnya pulang. Yang penting, ia enyah dari sini dan tidak mengusik hubungan kita lagi."Louis menarik napas berat. Ia melirik ke arah pintu. Balita yang mengintip di sana tampak ketakutan."Paman Louis, tolong jangan usir aku. Masih ada banyak hal yang mau kulakukan denganmu.
Setibanya di hadapan Summer, Louis langsung menekuk lutut. Hatinya terasa pedih mendengar rintihan gadis kecil itu. Apalagi, saat ia memeluknya, punggung Summer ternyata gemetar hebat. Dua tangan mungil yang mendekap lehernya juga terasa dingin dan berkeringat."Paman Louis," isak Summer sambil terbatuk-batuk, "kenapa kamu meninggalkan aku? Tolong jangan lakukan itu lagi."Louis menarik napas berat. Ia tidak bisa menyangkal kalau penyesalan telah menumpuk tinggi dalam dadanya.Sayangnya, ia tidak bisa meminta maaf. Itu bisa menjadi perdebatan baru antara Grace dengan dirinya. Ia tidak bisa juga berjanji untuk tidak meninggalkan Summer. Itu hanya akan menjadi harapan palsu baginya."Kenapa kamu mengejarku, Summer? Bukankah sudah kubilang untuk mendengarkan Nyonya Campbell? Kenapa malah berlari tanpa sepatu?"Louis mempertemukan pandangan. Air mata ternyata masih menetes dari sudut mata sang balita. Dengan penuh perhatian, ia menyekanya."Aku sangat takut tadi. Aku takut tidak bisa berte
"Siapa nama Anda?" tanya Louis sembari memicingkan mata. Bibir Gloria bergetar saat menjawabnya, "Gloria Brown." Sambil tersenyum miring, Louis mengangguk-angguk. Tatapannya kemudian bergeser turun. "Dan kamu? Siapa namamu?" tanya Louis dengan sebelah alis naik mendesak dahi. "Georgina Brown. Semua orang biasanya memanggilku Gigi," jawab gadis kecil itu tanpa rasa takut. Ia terlalu bodoh untuk mengerti konsekuensi apa yang sedang menantinya. "Georgina Brown," gumam Louis seraya bergerak maju. Setibanya di hadapan anak itu, ia memiringkan kepala. "Siapa yang mengajarimu untuk berbicara seperti itu?" "Mama yang mengajariku. Mama bilang, semua orang punya status yang berbeda-beda. Aku hanya boleh berteman dengan anak-anak dari level atas." Summer terkesiap. Ia mendongak menatap Sky, berbisik, "Mama, bukankah itu ajaran yang salah?" Sky menempatkan telunjuk di depan mulut. "Sayang, mari kita serahkan hal ini kepada Papa. Saat ini, kita simak saja," bisiknya. "Oh, oke," angguk
Gloria mendengus jijik. Sorot matanya penuh hinaan. "Apakah kau mengatakan bahwa status orang tuamu lebih tinggi dariku?" Summer menggeleng lugu. "Tidak. Aku tidak suka membanding-bandingkan. Aku hanya ingin mengatakan kalau kau tidak bisa meremehkan Papa begitu saja." Gloria tertawa kesal. Sambil melipat tangan di depan dada, ia menantang, "Memangnya siapa ayahmu?" "Orang-orang menyebutnya pria nomor satu di L City!" sahut Summer dengan mata berbinar. Semua orang tahu ia merasa bangga karena senyumnya sangat lebar.Sementara itu, mata Gloria menyipit. "Maksudmu, Louis Harper?"Summer mengangguk mantap. "Ya, itulah nama papaku. Apakah kau mengenalnya? Mungkin kalian berteman. Papaku dan suamimu sama-sama memimpin perusahaan besar."Bukannya takut, Gloria malah tertawa datar. "Louis Harper? Yang benar saja? Tuan kepala sekolah, Anda percaya dengan kebohongannya?""Nyonya, apakah Anda tidak mengikuti berita selama liburan? Tuan Louis Harper memang ayah dari Summer," tutur sang kepala
Summer duduk di kursi dengan kepala tertunduk. Kedua tangannya saling meremas di depan perut. Sekilas, ia tampak bersalah. Namun sebenarnya, ia sedang menahan kesal. Itu adalah hari kedua ia bersekolah. Ia berniat untuk belajar dengan sungguh-sungguh, membuat orang tuanya bangga. Namun ternyata, ia malah terlibat masalah. Saat ia sedang merenung itulah, tiba-tiba, suara berisik datang dari luar. "Di mana anak itu? Mana anak yang sudah berani mengganggu putriku?" Semua orang sontak menoleh ke arah pintu. Beberapa detik kemudian, Gloria Brown masuk dengan raut tak senang. Saat itu pula, tangisan Gigi kembali bergema. "Mama," ia berlari menuju Gloria. Belum sempat ia memeluk sang ibu, kedua lengannya ditahan. "Astaga, Sayang. Apa yang terjadi pada gaunmu?" tanya Gloria dengan mata terpelotot. Gigi meruncingkan telunjuk ke arah Summer. "Dia menumpahkan yogurt di gaunku. Guru-guru sudah berusaha untuk membersihkannya, tapi nodanya tidak mau hilang." Gloria sontak melirik Summer
Bibir Summer menguncup. Sorot matanya tampak bingung. "Kenapa kamu berpikir kalau aku miskin?" "Bajumu jelek. Tasmu juga sepertinya sudah tua. Kamu harus pulang dengan menumpang mobil River karena orang tuamu malu menampakkan diri," terang Gigi dengan nada meremehkan. Summer mendesah berat seperti orang dewasa. "Gigi, kita tidak boleh menilai seseorang dari luarnya saja. Itu bukan perbuatan baik. Selain itu, kita juga tidak boleh membeda-bedakan teman berdasarkan kekayaan. Mama bilang, yang harus kita lihat dari diri seseorang itu adalah kepribadiannya. Kita seharusnya mencari teman yang baik, bukan teman yang kaya." Gigi memasang raut angkuh. "Kamu berani menasihatiku? Apakah kamu tidak tahu siapa aku?" Summer mengangguk. "Aku tahu. Kamu Gigi. Georgina Brown." "Apakah kamu tahu siapa ayahku?" Gigi menaikkan sebelah alis. "Kalau itu, aku tidak tahu. Haruskah aku berkenalan dengannya?" jawab Summer santai. "Ayahku adalah pemimpin Brown Group! Dia salah satu pengusaha p
Louis dan Sky bertukar pandang. Mereka sama-sama khawatir pada putri kecil mereka. "Apa saja yang anak bernama Gigi itu katakan padamu, Sayang?" selidik Sky dengan nada serius. Summer pun berkacak pinggang. Ia ulangi semua perkataan Gigi dengan nada suara dan mimik wajah yang sama. Yang lain dengan serius memperhatikan. "Lalu, apa lagi yang dia katakan selain itu?" tanya Louis setelah Summer berhenti. "Tidak ada, Papa. Dia hanya mengatakan itu saja," geleng Summer lugu. "Apakah dia melakukan sesuatu yang buruk padamu?" selidik Sky lagi. Bibir Summer menguncup. Kepalanya condong ke kiri sedikit. "Tidak ada, Mama. Dia hanya menegaskan itu saja. Dia mau aku berhenti datang ke sekolah." "Lalu, apa yang kamu katakan padanya?" River juga penasaran. Tiba-tiba, suara Summer terdengar garang, "Aku berkata dengan tegas kalau dia tidak berhak mengatur hidupku. Meskipun dia melarangku untuk belajar di Sekolah Savior, aku tetap akan datang. Karena itu sudah menjadi rencanaku. Aku mem
Melihat bagaimana Summer lanjut makan dengan tenang, Gigi tercengang. Ia tidak terima Summer berani membantah peringatannya. Namun, saat ia hendak mengungkapkan kekesalan, River sudah telanjur datang. Alhasil, ia hanya bisa tertunduk, menelan kejengkelannya bulat-bulat. "Summer, apakah kamu sudah selesai makan?" tanya River sambil duduk di kursinya tadi. Melihat makanan yang tersisa di baki si gadis kecil, ia menepuk-nepuk pundaknya. "Tidak apa-apa, Summer. Tidak perlu tergesa-gesa. Kunyah makananmu dengan benar. Jangan sampai tersedak," tuturnya, seperti orang dewasa. "Dan setelah makan, jangan lupa membersihkan wajahmu." Summer mengangguk-angguk. Begitu ia selesai makan, ia mengelap mulut dengan teliti. River membantunya membersihkan noda di hidung dan pipi. Menyaksikan hal itu, kekesalan Gigi semakin membara. Saat Summer dan River pergi melancarkan rencana, ia hanya bisa menatap punggung mereka dengan mata berkaca-kaca yang dihiasi guratan merah. "Lihat saja nanti. Aku
Sementara anak-anak dari meja sebelah kembali ke tempat masing-masing, River berbisik, "Summer, apakah kamu mempelajari itu dari rekening bank-mu?" "Ya!" seru Summer dengan mata bulat. "Aku melihat bagaimana nilai tabunganku di buku bank berubah. Aku meminta Mama untuk menjelaskannya." River mendesah takjub. "Wah, kurasa kau benar. Belajar itu tidak harus di sekolah, tapi bisa di mana saja. Buktinya, kau bisa mempelajari banyak hal dari satu buku bank." Summer terkikik geli. Ia suka dipuji, dan ia senang pengetahuannya berguna untuk membantu teman-teman yang lain. Sementara itu, Gigi tertunduk dan mulai meremas jemarinya sendiri. Kekesalannya sudah tidak bisa diatasi. "Summer betul-betul jahat. Dia telah merebut guru-guru dan teman-temanku. Gara-gara dia, semua orang mengabaikan aku hari ini. Dia perlu diberi peringatan," pikirnya sebal. Karena itu, begitu jam istirahat tiba, ia membuntuti Summer dan River. "Ayo, Summer. Kita harus cepat. Waktu kita terbatas, sedangka
"Maaf, Mrs. Ross. Semua anak sudah menjawab pertanyaan, kecuali Summer. Kurasa dia belum mengerti," tutur Gigi dengan nada iba. Mendengar itu, semua orang kompak menatap Summer. River yang sejak tadi fokus dengan dirinya sendiri mendadak merasa bersalah. Padahal, ia sudah berjanji untuk membantu Summer kalau ia mengalami kesulitan di kelas. "Summer, apakah kamu belum mengerti?" tanya River, mendahului Mrs. Ross yang baru sempat membuka mulut. Summer berkedip lugu. Senyumnya manis. "Aku mengerti," angguknya. "Summer," panggil Mrs. Ross dengan penuh perhatian, "kalau kamu memang belum mengerti, tidak apa-apa. Ibu guru bisa menjelaskannya lagi padamu." "Tidak usah, Mrs. Ross. Anda tidak perlu menjelaskan ulang. Aku sungguh sudah mengerti," Summer mengangguk-angguk lebih cepat. "Kalau kau memang sudah mengerti, kenapa kau diam saja sejak tadi?" celetuk Gigi, nyinyir. Summer mengedikkan bahu ringan. "Aku tidak mau menghambat pembelajaran. Aku hanya murid sementara di kelas ini.
Mrs. Ross dan Miss Jasmine tersenyum mendengar perkenalan yang manis dari Summer. Saat mereka bertepuk tangan, murid-murid mengikuti dengan penuh semangat. Bahkan Summer ikut bertepuk tangan untuk dirinya sendiri. Ia bangga karena telah berhasil memberikan “penampilan” yang baik. Hanya Gigi yang bertepuk tangan dengan malas. Ia terpaksa melakukannya karena takut dipertanyakan oleh guru. Dan sebetulnya, ia memang selalu malas bertepuk tangan untuk orang lain. Ia hanya ingin dirinya yang menjadi pusat perhatian. Di samping itu, Gigi juga tidak pernah suka mendengar anak lain dipuji oleh guru, kecuali River. Ia menyukai bocah itu. Jika River sedang mempresentasikan sesuatu atau mendapat pujian, maka Gigi akan bertepuk tangan paling kencang. Ia ingin River tahu bahwa ia adalah pendukungnya yang nomor satu. Namun kini, posisinya terancam. River lebih sering tersenyum kepada anak lain. Ia bahkan tidak lagi meliriknya. Karena itu, ia berharap Summer cepat pergi dari kelas mereka. D