Beberapa saat lalu, di restoran tempat Louis melamar sang kekasih ....
“Hentikan! Kau tidak boleh menikah dengan gadis itu, Tuan Louis Harper. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah merestui kalian!”
Semua orang terkesiap mendengar suara imut yang melengking itu. Tak terkecuali Louis yang sedang berlutut memegang kotak cincin. Begitu menoleh, mulutnya langsung terbuka lebar. Matanya terbelalak, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Seorang gadis cilik sedang berkacak pinggang di pintu masuk restoran! Jumpsuit bergambar beruang membuatnya terlihat sangat lucu, apalagi dengan pipi gembul yang digembungkan dan mata bulat yang dipaksakan seram.
Dalam sekejap, ruangan itu penuh dengan bisikan. Para pelayan, pengawal, bahkan paparazi yang mengintai—semua sibuk dengan asumsi masing-masing.
“Astaga! Lihatlah gadis kecil itu! Bukankah dia sangat mirip dengan Tuan Harper?”
“Bukan Tuan Harper, tapi kembarannya. Dia persis seperti Emily muda. Hanya rambut mereka saja yang berbeda. Gadis itu berambut keriting! Dan lihat! Matanya bahkan sama. Abu-abu juga!”
“Tapi Emily dan Louis kembar. Jika gadis itu mirip dengan Emily kecil, berarti dia juga mirip dengan Louis. Mungkinkah dia anak hasil skandal lima tahun lalu? Tapi kenapa dia baru muncul sekarang? Ke mana saja dia selama ini? Dan di mana ibunya? Kenapa dia datang kemari seorang diri?”
Mendengar pertanyaan-pertanyaan itu, napas Grace Evans mulai menderu. Meskipun ia sudah berusaha menahannya, pundaknya tetap bergerak naik turun.
“Louis, jelaskan padaku. Apa yang sedang terjadi? Siapa gadis kecil itu?” tanyanya dengan suara tipis yang penuh penekanan. Kebahagiaan yang baru saja Louis tanamkan dalam hatinya telah sirna.
Louis akhirnya mengerjap. Ia kembali menatap sang kekasih. Kebingungannya masih tebal. “Aku juga tidak tahu, Ace. Aku belum pernah melihatnya. Mungkin saja dia dikirim oleh seseorang untuk merusak momen kita. Jadi tolong jangan terpengaruh. Kita lanjutkan lamaran ini, hmm?”
“Kalau begitu, cepat usir dia dari sini! Aku tidak mau momen kita jadi rusak,” balas Grace dengan nada jengkel.
“Tidak! Kalian tidak boleh melanjutkan!” Gadis kecil itu mengentakkan kaki. Alisnya tertaut, bibirnya mengerucut. Caranya menyudutkan mata ke atas sangat mirip dengan Louis kecil dulu.
Louis sempat ternganga menyadari hal itu. Namun, setelah mengerjap, ia bangkit berdiri.
“Siapa kau, Manusia Mungil? Berani-beraninya kau mengacaukan lamaranku?”
Suara Louis begitu dingin dan tegas. Bukannya menciut, gadis kecil itu malah melangkah maju. Para pengawal yang sedang berjaga kebingungan harus melakukan apa. Ia terlihat tidak berbahaya. Namun, setelah diskusi cepat, dua dari mereka menghentikannya satu meter di hadapan Louis.
“Kau tidak tahu siapa aku?” Meskipun lantang, suaranya tetap terdengar lucu.
Louis mendengus. “Kita tidak pernah bertemu. Bagaimana mungkin aku mengenalmu?”
“Aku adalah anak dari perempuan yang sangat mencintaimu dan kau cintai. Karena itu, aku mau kau menikahi Mama, bukan nona ini. Kamu harus menjadi ayahku!”
Louis tersentak mendengar kelugasan balita itu. Setelah keterkejutannya luntur, tawanya mengudara.
“Kau pandai berakting, rupanya? Kau tahu? Berbohong itu bukanlah sesuatu yang baik. Kau bisa menimbulkan kesalahpahaman atau bahkan masalah besar. Jadi, sebelum aku menghukummu, kembalilah kepada ibumu. Katakan kepadanya untuk tidak menghasut orang lain. Aku tidak pernah mencintai gadis selain Grace.”
“Kaulah yang seharusnya tidak berbohong, Tuan. Aku tahu kau mencintai ibuku. Aku melihat buktinya dan itu sangat jelas.”
Louis membuang napas dan memutar bola mata. Ia mulai lelah meladeni penyusup cilik itu.
“Pengawal, bawa manusia mungil ini keluar! Jangan biarkan dia masuk lagi! Aku mau proses lamaranku berlangsung lancar.”
“Siap, Tuan!”
Mengetahui posisinya terancam, gadis cilik itu berlari ke depan. Semua orang terbelalak melihat kecepatannya. Bahkan Louis tidak sempat bereaksi ketika lengan-lengan kecil itu memeluk kakinya.
“Tolong jangan usir aku, Tuan. Aku berjanji tidak akan menjadi anak nakal. Aku hanya mau kita menjadi keluarga bahagia,” ujarnya memelas.
Bukannya iba, Louis malah merasa tak nyaman. Apalagi, wajah Grace semakin kusut dan tatapannya meruncing ke arah sang balita.
“Kalau kau tidak mau menjadi anak nakal, cepat lepaskan aku. Berhenti membuat masalah dan pulanglah!” Louis berusaha menjauhkan tangan-tangan kecil itu darinya, tetapi gagal. Sang balita memeluknya terlalu erat.
“Tidak mau! Aku tidak akan pulang sebelum kau sepakat untuk menikahi Mama. Aku mau kamu menjadi papaku!”
“Pengawal!” Kesabaran Louis akhirnya terkuras. “Kenapa kalian diam saja? Cepat jauhkan kurcaci ini dariku!”
Mau tidak mau, para pengawal mengerumuni si gadis kecil. Mereka berusaha menarik tanpa menyakitinya. Akan tetapi, balita itu mengaitkan kakinya di betis Louis. Ia sudah seperti koala yang menempel di pohon.
“Maaf, Tuan. Dia tidak mau lepas.”
“Gunakan tenaga kalian!”
“Kami takut menyakitinya.”
“Pakai akal!”
Seorang pengawal pun menggelitik pinggang sang balita. Tawa renyah seketika mengudara. Akan tetapi, gadis kecil itu masih berpegangan dengan kuat.
“Itu geli! Hentikan!”
“Lanjutkan! Serang ketiaknya! Lehernya juga!”
Para pengawal menuruti perintah bos mereka. Suara tawa semakin menggila. Namun, usaha tersebut tidak juga membuahkan hasil.
Grace yang menyaksikan sedari tadi akhirnya menghela napas. Ia merasa sangat lelah. Kepalanya terlalu penuh dengan kejengkelan yang memuncak.
“Louis, aku mau pulang!”
Louis tertegun mendengar suara ketus itu. “Ace, kau marah?”
Setelah mengisyaratkan para pengawal untuk berhenti, ia berputar menghadap sang kekasih. Ia tidak peduli lagi jika sang balita masih bergantung di kaki.
“Kau tahu? Aku sudah merencanakan momen ini sejak kita mulai berpacaran. Lamaran ini seharusnya berjalan sempurna. Tolong bersabar sebentar, hmm? Aku akan segera menyingkirkan hambatannya,” ia mengelus lengan Grace.
“Momen ini sudah rusak, Louis. Aku tidak mau mengenang lamaran yang kacau. Lakukan lagi kalau kau sudah bisa mengendalikan situasi. Dan lain kali, pilihlah pengawal yang berkualitas. Jangan yang mengusir anak kecil saja becus.”
Grace pergi dengan wajah penuh kekesalan dan kekecewaan. Raut Louis seketika berubah muram. Ia berusaha mengejar, tetapi beban di kakinya menghambat.
“Ace, tunggu! Tolong jangan pergi. Ace?”
Seolah tidak mendengar, Grace terus berjalan. Ia keluar tanpa sekali pun menoleh.
Menyaksikan itu, si gadis kecil merasa menang. Ia tertawa. Suaranya membuat Louis menjadi geram. Tangan pria itu kini telah terkepal erat.
“Kau senang telah menggagalkan lamaranku?”
Sang balita sontak berhenti tertawa. Ia mendongak. Wajah Louis ternyata telah berubah mengerikan.
“Hmm, Tuan, bisakah kamu tersenyum sedikit? Kamu terlihat lebih tampan kalau tersenyum. Aaakh!”
Gadis kecil itu akhirnya terlepas dari Louis. Ia kini meringis kesakitan sambil memegangi tangan yang memelintir kupingnya.
“Tuan, kenapa kamu menjewerku? Aku ini anak baik,” tuturnya dengan kepala miring. Telinganya masih ditarik.
“Ini akibatnya karena kau membantah peringatanku. Sekarang juga, cepat panggil ibumu!”
“Mama tidak ada. Aku datang ke sini sendirian.”
“Aku tidak akan melepas telingamu sampai ibumu datang kemari.”
Gadis kecil itu mengerutkan alis lebih dalam. Matanya berkaca-kaca. “Kalau begitu, jewer saja terus sampai telingaku putus. Mama tetap tidak akan datang. Dia bahkan tidak tahu kalau aku ada di sini.”
Alis Louis tertaut curiga. Ia melirik ke arah lain, mencoba untuk mendapatkan petunjuk. Saat itulah, matanya menangkap keberadaan paparazi di jendela.
“Kalian,” ia mengedarkan pandangan ke arah para pengawal, “cepat ringkus tikus-tikus itu! Hapus semua foto yang ada di kamera mereka. Aku tidak mau insiden ini tersebar. Dan kau ....”
Sementara para pengawal bergerak cepat keluar, Louis menatap sang balita dengan raut tak bersahabat. Wajah mungil itu mengingatkannya pada seseorang, dan hatinya semakin tidak senang.
“Kau harus bertanggung jawab atas kekacauan yang telah kau buat!”
Setibanya di sebuah penthouse, gadis kecil yang bersama Louis itu tercengang. Ia tidak peduli dengan telinganya yang masih merah. Matanya sudah telanjur terpesona dengan apa yang ada di hadapannya.“Tuan Harper, kudengar kau punya banyak rumah. Apakah ini salah satunya? Ini sangat keren dan indah. Seperti istana!”Louis mendengus mendengar celotehan tersebut. Ia semakin yakin bahwa orang yang mengirimkan bocah itu mengincar hartanya.“Masuklah,” Louis melangkah lebih dulu menuju sofa. Nada suaranya datar, tidak bersahabat.Akan tetapi, sang balita sama sekali tidak mempermasalahkan. Dengan raut ceria, ia duduk di samping sebuah rak.“Apa yang kau lakukan?” tanya Louis, heran.Gadis kecil itu mendongak sambil menarik tali sepatunya. “Mama bilang, kita tidak boleh menggunakan alas kaki di dalam rumah, apalagi rumah orang lain. Nanti lantainya bisa kotor.”“Apakah kau sedang berusaha menarik perhatianku?” Mata Louis menyipit.“Tidak,” sang balita menggeleng santai. “Memang begitu peratur
Louis semula mengernyitkan dahi. Ia sudah siap untuk menumpahkan amarah kepada Sky, menuntut pertanggungjawaban atas kekacauan yang ditimbulkan oleh putrinya.Namun, begitu wajah cantik yang diliputi air mata menerima panggilan videonya, kegeraman Louis memudar. Rasa iba dan kerinduan mendadak terbit dari sudut hatinya.“Sky,” lidahnya kelu menyebut nama itu.Sky mengerjap. Sembari tertunduk, ia menyeka mata. Ia tidak mau Louis mengetahui kegelisahannya. Ia belum siap jika statusnya sebagai ibu tunggal terbongkar.“Hai, Louis. Lama tidak berjumpa. Ada apa kau menghubungiku? Bukankah kau seharusnya sedang berbahagia bersama calon istrimu? Emily bilang, kau melamar Grace Evans hari ini.” Ia memaksakan senyum.“Kau menangis?”Louis terdengar sangat lembut. Sky sudah sangat lama tidak menangkap suara itu.“Apa? Menangis? Tidak, aku tidak menangis. Mataku kelilipan saja. Air matanya keluar sendiri.”“Kau menangis karena Summer?”Sky seketika mematung. Waktu seolah membeku dan otaknya berju
Louis menarik ransel yang terisi penuh itu. Summer mencoba untuk menghalanginya, tetapi ia kalah cepat.“Di mana kau menyembunyikan paspor ibumu?”Summer melipat tangan di depan dada. Pipinya yang menggembung membuat wajahnya tampak lebih bulat.“Apakah kau mengira aku membawanya di dalam ranselku? Kalau begitu, cari saja terus. Sampai gajah bisa bicara pun, kau tidak akan bisa menemukannya.”Louis berhenti menggeledah ransel kecil itu. “Kau tidak membawanya?”“Untuk apa? Nanti Mama tidak bisa datang ke sini kalau aku membawa paspornya.”Louis menghela napas lelah. Ia kembalikan ransel kecil itu ke atas meja. Memang tidak ada paspor sejauh pengamatannya. Summer hanya membawa pakaian, kotak bekal, botol minum, dan perlengkapan dasar untuk bertualang.“Kenapa kau bertindak sejauh ini, Manusia Mungil? Apakah kau sadar bahwa kelakuanmu ini merugikan orang lain? Kau mempersulit hidupku,” tutur Louis, terdengar putus asa.“Harus berapa kali kukatakan? Aku mau kamu menikah dengan Mama,” cele
Sambil duduk di tepi ranjang, Louis mulai membentur-benturkan kepala dengan kepalan tangan. Matanya tertutup, alisnya berkerut. Ia sadar, dirinya tidak boleh hanyut dalam pikiran keruh.“Tidak. Sky tidak mungkin sejahat itu. Putri kecilnya itulah yang bermasalah. Kalau memang dia ingin punya ayah, kenapa dia tidak mencari ayah kandungnya saja? Kenapa malah mengacaukan rencana indahku? Kalau dia tidak datang, aku pasti sedang berbahagia bersama Grace.”Selang keheningan sejenak, Louis mengangguk-angguk mantap. “Ya, dia pasti mewarisi sikap menjengkelkan itu dari ayahnya. Dia banyak tingkah, keras kepala, dan semena-mena. Pasti itu dia dapatkan dari sang ayah. Bukan Sky yang bersalah, tapi Summer dan ayahnya. Sekarang apa yang dia lakukan? Dia tidak sedang menghancurkan rumah, kan?”Louis mengeluarkan ponsel, memantau kamera pengawas. Tidak mendapati Summer di ruang depan, ia terbelalak. “Ke mana perginya manusia mungil itu?”Louis pun memeriksa kamera lain. Menemukan Summer sedang mencu
Tiba-tiba, ponsel Louis berdering. Khawatir Summer terbangun, ia cepat-cepat menyingkir. Wajahnya keruh. Namun, melihat siapa yang memanggil, matanya seketika berbinar.“Ace? Kau sudah tidak marah lagi padaku?” Louis terdengar ceria walau suaranya agak pelan.“Louis, kupikir kau sudah menangani anak itu. Tapi kenapa kau membawanya ke penthouse-mu?”Cahaya di wajah Louis mendadak lenyap. Ia tidak menyangka kekasihnya akan mempermasalahkan hal itu.“Aku perlu menginterogasinya dan aku tidak mau ada paparazi yang mengganggu. Jadi, kubawa dia ke penthouse-ku. Kau tahu? Ternyata, dia adalah putri Sky—sahabat Emily itu.”“Sahabat lamamu itu?” balas Grace dengan penuh penekanan.Louis menelan ludah. Ia bisa menangkap kecemburuan dari kekasihnya. “Ya. Aku juga tidak menyangka. Percaya atau tidak, anak itu berangkat seorang diri dari Kanada. Karena itu, aku tidak mungkin menelantarkannya. Kubiarkan dia beristirahat di tempatku.”“Kau tahu kalau itu justru akan menimbulkan prasangka, kan? Papara
"Summer, kau anak baik, kan?" tanya Louis dengan nada membujuk.Sang balita menjawab dengan mata berbinar. "Tentu saja! Kalau saja ada penghargaan untuk anak terbaik di seluruh dunia, aku pasti sudah mendapatnya. Aku ini pintar dan senang membantu orang-orang. Aku juga mandiri dan jarang merepotkan orang lain, kecuali Mama. Terkadang, aku masih membutuhkan bantuan darinya. Tapi kata Mama, itu wajar. Aku masih terlalu kecil untuk melakukan semuanya sendirian."Louis mengangguk-angguk dengan senyum yang dipaksa lebar. "Bagus. Kalau begitu, bisakah kau buktikan? Uruslah dirimu sendiri. Aku harus berangkat kerja sekarang. Ini sudah sangat terlambat."Summer tersenyum miring mendengar itu. Telunjuknya menggeliat seperti cacing di depan dagu. "Paman Louis, kamu tidak bisa membohongiku. Ini hari Minggu. Bibi Emily bilang kalian tidak pernah bekerja di akhir pekan. Sabtu dan Minggu adalah waktu khusus untuk diri sendiri dan keluarga. Karena kamu akan menjadi Papa-ku, bagaimana kalau kita meng
Louis menghela napas cepat. Kepalanya menggeleng tak percaya. "Ace? Aku tahu kau sedang ingin menguji ketulusan dan kesetiaanku, tapi bukan begini caranya.""Tidak ada cara lain, Louis. Aku mulai meragukanmu dan kamu harus menghentikan itu. Kau tahu seberapa kacau pikiran dan perasaanku sejak bocah itu muncul? Bayangkan saja. Lamaran yang kuimpi-impikan hancur karena ulahnya. Coba tempatkan dirimu di posisiku. Jangan hanya bersimpati padanya!"Louis terdiam dan membisu. Matanya yang sayu kini ikut berkaca-kaca. "Kau sungguh ingin aku mengusir anak kecil yang tidak berdaya itu?""Gunakan akal sehatmu, Louis. Kau tidak harus melemparnya ke jalan. Kau punya banyak pelayan dan pengawal. Pilih saja beberapa untuk mengirimnya pulang. Yang penting, ia enyah dari sini dan tidak mengusik hubungan kita lagi."Louis menarik napas berat. Ia melirik ke arah pintu. Balita yang mengintip di sana tampak ketakutan."Paman Louis, tolong jangan usir aku. Masih ada banyak hal yang mau kulakukan denganmu.
Setibanya di hadapan Summer, Louis langsung menekuk lutut. Hatinya terasa pedih mendengar rintihan gadis kecil itu. Apalagi, saat ia memeluknya, punggung Summer ternyata gemetar hebat. Dua tangan mungil yang mendekap lehernya juga terasa dingin dan berkeringat."Paman Louis," isak Summer sambil terbatuk-batuk, "kenapa kamu meninggalkan aku? Tolong jangan lakukan itu lagi."Louis menarik napas berat. Ia tidak bisa menyangkal kalau penyesalan telah menumpuk tinggi dalam dadanya.Sayangnya, ia tidak bisa meminta maaf. Itu bisa menjadi perdebatan baru antara Grace dengan dirinya. Ia tidak bisa juga berjanji untuk tidak meninggalkan Summer. Itu hanya akan menjadi harapan palsu baginya."Kenapa kamu mengejarku, Summer? Bukankah sudah kubilang untuk mendengarkan Nyonya Campbell? Kenapa malah berlari tanpa sepatu?"Louis mempertemukan pandangan. Air mata ternyata masih menetes dari sudut mata sang balita. Dengan penuh perhatian, ia menyekanya."Aku sangat takut tadi. Aku takut tidak bisa berte