Share

5. Bocah Ajaib

Louis menarik ransel yang terisi penuh itu. Summer mencoba untuk menghalanginya, tetapi ia kalah cepat.

“Di mana kau menyembunyikan paspor ibumu?”

Summer melipat tangan di depan dada. Pipinya yang menggembung membuat wajahnya tampak lebih bulat.

“Apakah kau mengira aku membawanya di dalam ranselku? Kalau begitu, cari saja terus. Sampai gajah bisa bicara pun, kau tidak akan bisa menemukannya.”

Louis berhenti menggeledah ransel kecil itu. “Kau tidak membawanya?”

“Untuk apa? Nanti Mama tidak bisa datang ke sini kalau aku membawa paspornya.”

Louis menghela napas lelah. Ia kembalikan ransel kecil itu ke atas meja. Memang tidak ada paspor sejauh pengamatannya. Summer hanya membawa pakaian, kotak bekal, botol minum, dan perlengkapan dasar untuk bertualang.

“Kenapa kau bertindak sejauh ini, Manusia Mungil? Apakah kau sadar bahwa kelakuanmu ini merugikan orang lain? Kau mempersulit hidupku,” tutur Louis, terdengar putus asa.

“Harus berapa kali kukatakan? Aku mau kamu menikah dengan Mama,” celetuk Summer sembari merapikan isi tasnya.

“Kenapa? Kenapa harus aku? Kenapa kau tidak mencari laki-laki lain? Aku yakin ibumu punya banyak teman. Kau bilang dia orang yang menyenangkan. Pasti ada seseorang di luar sana yang mencintainya dan tidak keberatan menikahinya. Kenapa kau justru memaksa aku? Aku sudah punya kekasih, kau tahu? Aku dan Grace Evans sebentar lagi akan menikah.”

Summer termenung. Wajahnya mendadak redup. Usai menutup tas, ia berputar menghadap Louis. Dari sudut pandang yang jauh lebih tinggi, Louis bisa melihat mata balita itu mulai berkaca-kaca.

“Kudengar, orang menikah karena mereka saling mencintai. Mama mencintaimu, Tuan Louis Harper. Tidak bisakah kamu mencintai Mama juga? Aku akan sangat bahagia kalau kalian menikah.”

Dada Louis mendadak sesak. Suara kecil Summer telah menggoyahkan hatinya. Namun, teringat akan Grace yang menanti janjinya, ia cepat-cepat berdeham.

“Summer,” Louis menekuk lutut, memegangi pundak sang balita, “dengarkan aku baik-baik. Pernikahan itu butuh cinta dari dua belah pihak. Tidak bisa dari satu sisi saja. Karena itu, aku tidak bisa menikahi ibumu. Aku tidak mencintainya. Itu hanya akan menjadi cinta sepihak.”

“Kenapa kamu tidak mencintai Mama? Dia baik, cantik, seorang ibu yang hebat. Kenapa kamu tidak mencintainya saja?”

Louis menarik napas berat. Tatapan sendu Summer nyaris membius akal sehatnya. Ia hampir menyatakan kebenaran.

“Apakah kamu mencintai Grace Evans?” sela Summer ketika Louis masih sibuk merumuskan jawaban.

“Tentu saja.”

“Kenapa? Apa yang membuat kamu mencintai Grace Evans? Apa yang membedakannya dengan Mama?”

Tatapan Louis seketika menerawang. Sudut bibirnya meninggi sementara otaknya mengulas sosok sang kekasih.

“Kau tahu? Aku adalah pria nomor satu di L City. Untuk menjaga reputasiku, aku harus mencari istri yang sebanding. Grace adalah jawabannya.”

Alis Summer tertaut lucu. “Apa itu istri yang sebanding?”

“Istri yang kemampuannya sama denganku. Dia cantik, pintar, menarik. Meski terkadang bicaranya agak dingin dan ketus, hatinya baik.”

“Mama juga cantik, pintar, dan menarik. Mama juga baik hati dan tidak pernah berbicara ketus.”

Lengkung bibir Louis berubah kaku. “Ya, tapi aku mencari seseorang yang memiliki latar belakang sama denganku—seorang pebisnis hebat. Grace adalah pemimpin perusahaan besar.”

“Mama juga seorang pemimpin. Dia sering memimpin rombongan travel di berbagai tempat. Menurutku, Mama juga pemimpin yang hebat,” angguk Summer mantap.

Merasa gemas, Louis mengacak rambut sang balita. “Ya, ibumu memang pemimpin yang hebat.”

“Lalu, kenapa kamu tidak menikah dengan Mama saja?”

Louis menghela napas panjang. Ia mulai bingung harus bagaimana membuat sang balita paham.

Tidak mendapat jawaban, Summer kembali bicara, “Tuan, apakah kau pernah dengar? Katanya, kita akan lebih banyak tertawa ketika kita bersama orang yang kita cinta. Apakah Grace bisa membuatmu tertawa sebanyak Mama melakukannya?”

Mulut Louis sontak membuka tanpa kata. Pandangannya berkabut, tertutupi masa silam. Tawa Sky yang dulu selalu menggetarkan hatinya kini terngiang dalam ingatan. Biasanya, ia akan ikut tertawa setiap kali mendengarnya atau setidaknya, tersenyum dengan penuh kekaguman.

“Kurasa tidak,” Summer menggeleng lambat. “Menurut penilaianku, Grace itu orang yang cuek dan kaku. Dia berbanding terbalik dengan Mama. Orang-orang selalu bilang kalau Mama itu asyik dan periang. Dia suka menghibur semua orang. Selama bertahun-tahun kamu berteman dengan Mama, apakah kamu tidak menyadarinya?”

Louis tanpa sadar menggaruk hidung. Ia merasa tidak nyaman dengan pertanyaan tersebut. “Apakah kau baru saja merendahkan kekasihku?”

“Aku bukan merendahkan Grace. Aku hanya ingin mengatakan kalau Mama juga hebat. Dia juga layak kamu nikahi, dan menurutku, kamu lebih serasi jika bersama Mama.”

Sambil mendengus cepat, Louis menegakkan badan. Ia jauh lebih besar dari Summer. Tidak mungkin ia kalah pengaruh darinya. 

“Ternyata kau ini keras kepala sekali. Tidak ada gunanya kita bicara. Aku lebih baik beristirahat.”

Summer terbelalak melihat Louis berjalan meninggalkannya. “Tuan, kau mau ke mana?”

“Istirahat!”

“Bagaimana denganku? Aku adalah tamu di sini. Tidak sopan kalau kamu mengabaikanku.”

Summer berkacak pinggang dan memiringkan kepala. Ia tidak sadar bahwa omelannya lebih terkesan lucu ketimbang menyeramkan.

“Kau adalah tamu yang tidak diundang. Untuk apa aku melayanimu? Lagi pula, kau bilang bisa mengurus dirimu sendiri. Jadi, lakukan saja. Aku sudah sangat lelah.”

Summer membuka mulut, hendak membantah. Akan tetapi, Louis sudah telanjur masuk ke kamar dan menutup pintu rapat-rapat. Sekarang, Summer hanya bisa berkedip-kedip mempelajari keadaan.

“Sepertinya Paman Louis marah kepadaku. Apakah itu pertanda buruk?” gumamnya pada diri sendiri. Selang keheningan sesaat, ia menggembungkan pipi.

“Setidaknya, aku sudah berhasil membatalkan lamaran tadi. Dia tidak akan menikah dengan Grace. Aku tinggal meyakinkan dia kalau Mama bisa menjadi istri yang baik untuknya, dan aku bisa menjadi putri yang manis untuknya. Sekarang, apa yang harus kulakukan?”

Summer mengamati sekeliling sambil mengetuk dagu dengan telunjuk. “Hari sudah malam dan aku habis melakukan perjalanan panjang. Aku juga harus beristirahat. Tapi, aku tidur di mana?”

Setelah berkedip-kedip sebentar, Summer mengambil kantung tidur dan membentangnya di atas sofa.

“Ini lebih empuk dari tanah di perkemahan. Aku pasti tidur nyenyak malam ini. Tapi sebelum itu,” ia menggosok-gosok perut.

“Kurasa aku harus mengisi energi. Ini sudah lewat jauh dari jam makan malam. Aku harus mencuci tangan, makan, mencuci muka dan menggosok gigi, lalu tidur yang nyenyak. Jadi, di mana wastafelnya?”

Sementara Summer mulai menjelajahi ruangan lain, Louis berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Hatinya tak tenang. Pikirannya terlalu penuh dengan pertanyaan.

"Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Sky sudah lama menghilang, tapi kenapa sekarang dia muncul lagi? Apakah dia tidak rela aku menikah dengan Grace? Mungkinkah dia sengaja mengirim Summer kemari agar aku goyah?”

Sambil mengacak rambut, Louis mendesah cepat. Wajah Summer kini terbayang-bayang dalam ingatannya.

“Jika dihitung-hitung berdasarkan umur Summer, Sky pasti melakukannya bertepatan dengan waktu itu. Itukah alasan dia mengingkari janjinya padaku? Dia terlibat cinta satu malam dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu bersama pria lain dibandingkan menghadiri kelulusanku? Memangnya siapa ayah dari bocah ajaib itu? Apa yang sebetulnya tidak kuketahui?”

Komen (8)
goodnovel comment avatar
Pixie
Benerrrrrr
goodnovel comment avatar
Yanti Aching
hrs diselidiki tuh,, jgn sampe nyesel kalo terlambat
goodnovel comment avatar
Pixie
Siaaap! Pantau terus ya, Kak Indah
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status