Ada yang terharu? Ada yang ikut nangis? Ada yang makin ilfil? Akankah Louis goyah? Pencet jempol kalau suka dengan bab ini! Terima kasih ....
"Lalu, apa lagi? Pilihlah beberapa," tutur Louis kaku. Ia merasa konyol karena berniat mencocokkan selera makannya dengan Summer."Kurasa itu akan sulit bagiku. Aku suka makanan. Aku bisa memakan semuanya dengan lahap, kecuali sayur kribo itu. Aku sebenarnya kurang suka brokoli, tapi Mama bilang dia punya banyak manfaat. Jadi, aku terpaksa memakannya."Louis lagi-lagi mematung. Itu sama persis dengan apa yang dialaminya sewaktu masih kecil dulu."Tapi Paman Louis," suara Summer membuatnya mengerjap, "apakah semua makanan ini aman? Maksudku, tidak ada almond atau udang, kan?"Mata Louis kini membulat maksimal. Ia tahu bahwa Sky alergi terhadap almond. Hal itu sangat mungkin menurun kepada Summer. Tetapi udang? Mengapa Summer takut pada udang?"Ada apa dengan almond dan udang?" Louis berpura-pura tidak tahu."Mereka jahat, Paman. Mereka bisa membuatku gatal-gatal dan sesak napas."Louis berusaha untuk tidak mengubah ekspresi. Akan tetapi, kepalanya terlalu berisik oleh pertanyaan-pertany
"Kedua, kamu orang baik. Aku sering mendengar Mama memujimu begitu. Kata Mama, kamu suka membantu orang-orang. Kamu tidak pernah marah-marah. Kamu juga suka membuat orang-orang tertawa," terang Summer sebelum menangkup pipinya sendiri. Wajahnya jadi tampak lebih manis."Jadi, kamu suka orang yang baik, humoris, dan sabar?" Louis menyimpulkan."Ya!"Selagi Louis menulis, Summer menambahkan, "Aku suka orang yang ramah dan pandai menghibur. Dia tidak akan pernah membuat orang lain bosan."Louis mengangguk-angguk mengerti. "Lalu apa lagi?""Kudengar kamu juga suka bertualang. Itu poin penting untuk menjadi Papa karena aku dan Mama suka bertualang. Kalau kita menjadi keluarga, kita akan sering bepergian ke berbagai tempat."Dahi Louis mengernyit. Setelah menulis, ia menunjuk Summer dengan pulpen."Summer, maaf sekali. Aku tidak memenuhi kriteria ini. Aku sebetulnya tidak suka bertualang. Aku bahkan sudah bertahun-tahun tidak melakukannya.""Benarkah?" Mata Summer membulat. Itu seperti masal
Summer berkedip-kedip melihat bangunan berdinding kaca di depan mobil mereka. Banyak rak tersusun rapi di dalam sana."Itukah toko buku yang akan kita kunjungi, Paman?" tanya Summer kepada pria yang duduk di jok sebelah.Louis mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. "Benar.""Lalu kenapa kita belum turun?" Summer memiringkan kepala sedikit.Louis akhirnya melirik. Ekspresinya datar, sorot matanya terkesan tak acuh. Grace baru saja memblokir nomornya. Pikirannya masih tertuju ke situ."Area itu belum selesai disterilisasi. Jadi tunggulah sebentar," jawabnya jutek.Summer sebetulnya tidak mengerti apa itu disterilisasi. Ia hendak bertanya, tetapi Louis sudah kembali sibuk dengan ponselnya. Alhasil, ia kembali memanjangkan leher, mengamati apa yang terjadi di luar sana.Beberapa orang baru saja keluar dari pintu bangunan. Kebanyakan adalah anak-anak bersama orang tua mereka. Mereka berjalan bergandengan dengan langkah riang dan wajah gembira. Diam-diam, Summer merasa iri ke
"Baikah, kuakui niatmu sangat mulia. Kau anak baik, Summer. Teruslah berbaktilah kepada ibumu. Omong-omong," Louis menggaruk hidung. Ia khawatir perasaannya terkuak."Apa hubungannya buku ini denganku? Kenapa kau mau membelikannya untukku? Kalau kau mau mendapat banyak royalti, bukankah kau seharusnya memintaku untuk membelinya?" Louis menyerahkan buku tersebut kepada Summer.Lagi-lagi, wajah Summer berubah sendu. Sambil menerima buku itu, kepalanya tertunduk."Seperti yang kubilang, aku tidak mau kau melupakan aku. Kalau kau menyimpan bukuku, kau pasti akan selalu ingat padaku. Sesekali, bacalah buku ini, Paman. Mungkin malam sebelum tidur. Dengan begitu, aku akan selalu ada dalam ingatanmu."Tiba-tiba, Summer kembali mendongak. Matanya bercahaya lagi sekarang."Paman Louis, bagaimana kalau malam ini kamu membacakan buku untukku? Kudengar, itu biasa dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya. Bukankah hari ini aku boleh menganggapmu papa?"Louis tertegun. Ia sebetulnya khawatir mengab
Summer terkikik melihat penampilannya di cermin. Ia terlihat sangat keren dengan topi koboi, kemeja kotak-kotak biru, dan rompi kulit yang senada dengan sepatu boot cokelatnya. Apalagi, celana yang dikenakannya berumbai-rumbai dan ikat pinggang di depan perutnya berbentuk kepala sapi."Oh, ini adalah pakaian terbaik yang pernah kukenakan," ujarnya sambil merentangkan tangan.Melihat respons lucu tersebut, pegawai toko yang membantunya di ruang ganti ikut tersenyum. "Benar, kan? Toko kami memang yang terbaik di T City. Tapi, Nona Kecil, Anda belum selesai. Masih ada scarf merah yang harus Anda pakai di leher."Gadis muda itu membentangkan scarf yang telah dilipat dua membentuk segitiga. Dengan senang hati, Summer mengangkat dagunya."Tolong pasangkan itu untukku, Nona," pintanya sopan."Dengan senang hati, Nona Kecil."Begitu scarf melingkar di lehernya, Summer langsung tersenyum bangga. Ia cepat-cepat berlari keluar, berharap bisa menunjukkan penampilannya kepada Louis. Namun ternyata,
Louis mematung dengan raut kaku. Napasnya tertahan oleh kata-kata Summer yang menusuk kalbu. "Apakah ... kau marah padaku?" tanyanya ragu. Summer menggeleng. "Aku hanya kecewa. Kau bilang aku boleh menganggapmu sebagai papa. Tapi kenyataannya, kau mengatakan itu hanya untuk menghiburku saja. Kau sama sekali tidak menganggapku anak." Sementara Summer menyiksa sosis yang tersisa di piringnya, Louis terkurung dalam perenungan. Ia tidak yakin apakah kekecewaan Summer adalah hal yang baik atau tidak. Di satu sisi, Louis merasa bahwa itu akan mempermudah perpisahan mereka. Namun, di sisi lain, ia khawatir kalau itu bisa berdampak buruk bagi kesehatan mental Summer. Tidakkah sang balita masih terlalu kecil untuk menanggung kekecewaan yang begitu besar? Tiba-tiba, seorang pengawal mendekat. Ia membungkuk di sisi Louis, berbisik, "Lapor, Tuan. Nona Evans ternyata menyewa mata-mata untuk mengawasi Anda." Louis seketika terbelalak. Keraguan dan rasa ibanya terhadap Summer mendada
Begitu turun dari mobil, Summer langsung berjalan dengan penuh semangat. Ia merasa sangat bangga. Walaupun pakaiannya dan Louis berbeda, setidaknya, gambar di wajah mereka sama. Ia sengaja memilih pola harimau tadi. Dengan begitu, ia bisa menjadi harimau kecil, sedangkan Louis sebagai harimau besar. Mereka jadi terlihat seperti ayah dan anak sungguhan! "Summer, kau lihat? Anak-anak lain kagum padamu. Mereka terus memperhatikan kita." Summer terkekeh mendengar ucapan Louis. Wajahnya jadi tampak semakin lucu dengan gigi-giginya yang kecil itu. "Kurasa mereka juga mau melukis wajah seperti kita. Kalau saja Nyonya Lewis menjual jasanya di sini, pasti orang-orang sudah berbaris di depan booth-nya. Dia akan mendapat banyak uang untuk ditabung ke dalam rekeningnya!" Sambil menggeleng-geleng, Louis tertawa kecil. Ia tidak bisa menyangkal bahwa Summer memang menggemaskan. "Hei, Manusia Mungil, lihatlah itu. Kau yakin berani naik ke atas sana?" Louis menunjuk puncak bianglala den
"Gawat!" pekik Louis dalam hati. Napasnya kini semakin bergemuruh. "Apa yang harus kukatakan kepada Sky? Haruskah aku mengaku bahwa aku telah lalai menjaga putrinya?" Sambil terus menatap ponsel, Louis menimbang-nimbang. Ibu jarinya naik turun mengimbangi keraguan. Bahkan hingga ponselnya berhenti bergetar, ia masih belum mengambil keputusan. Tubuhnya terus mematung hingga akhirnya, ia mengerjap. "Sejak kapan aku jadi pengecut begini?" Sambil menghela napas, Louis memecah kekakuan. "Aku adalah Louis Harper. Aku tidak pernah melalaikan tanggung jawab. Aku sudah berjanji kepada Sky untuk menjaga Summer. Itu artinya aku harus memastikan keamanan dan keselamatannya." Usai menyimpan ponsel ke dalam saku, Louis menegakkan badan. Ia mengatur napas, berusaha menjernihkan pikiran. "Bagaimana aku bisa menemukan Summer sekarang? Haruskah aku melapor dan membongkar identitasku? Kalau begitu, percuma aku repot-repot melukis wajah seperti ini." Tiba-tiba, Louis tersentak. Ia ingat w
Angelica kembali menggertakkan geraham. Sambil berkacak sebelah pinggang, ia berkata, "Kau bahkan belum menyentuhku. Bagaimana mungkin kau bisa menyimpulkan begitu?" "Aku tidak perlu menyentuhmu. Melihatmu saja aku sudah tahu. Kau gadis murahan yang tidak pantas mendapatkan perhatianku," tegas Louis walau dengan suara menggerutu. Lagi-lagi, Angelica memekik. Bukan karena tamparan Sky, melainkan sindiran Louis. Ia merasa terhina. "Bisa-bisanya kau merendahkan aku? Aku adalah Angelica, model ternama yang dikagumi oleh semua pria. Kau tidak normal kalau berani menolakku!" tuduhnya. "Kaulah yang tidak normal! Mana ada perempuan waras yang berani merebutku dari istriku?" gerutu Louis sembari menggosok-gosok kepala Sky dengan pipinya. Merasa geram, Angelica berjalan cepat menuju sebuah rak. Sebelum ia bisa menarik salah satu laci, Sky menodongkan pistol ke arahnya, "Jangan bergerak atau kau kutembak!" Angelica melirik dengan sorot mata sinis. Melihat apa yang ditodongkan oleh Sky,
Sky menggertakkan geraham. Matanya telah memerah. Dadanya sesak oleh amarah. Semakin lama Draco menahannya, semakin tipis kemungkinan ia bisa melabrak Angelica. "Berapa sesi yang kau butuhkan?" tanyanya lantang. Draco masih merasa kesakitan. Sambil meringis dan tetap menodongkan senjata, ia menjawab, "Sebanyak-banyaknya. Aku tidak akan berhenti sampai benihku betul-betul tertanam." Sky mendengus meremehkan. "Kau selemah itu, rupanya? Suamiku hanya butuh satu sesi untuk menghasilkan anak." Harga diri Draco terluka. Ia angkat pistolnya lebih tinggi. Kepala Sky kini menjadi targetnya. "Jangan membandingkan aku dengannya! Sekarang juga, cepat lakukan apa yang kuperintahkan! Kau tidak mungkin membiarkan nyawamu melayang sia-sia, kan?" ancamnya. Akan tetapi, Sky sama sekali tidak gentar. Ia memutar mata dan menghela napas cepat. "Aku tidak punya banyak waktu sekarang. Satu sesi saja. Setelah itu, biarkan aku menyingkirkan Angelica," tuturnya sembari melangkah dengan mala
"Louis," panggil Sky ketika memasuki kamar. Ia bergegas menghampiri tempat tidur, mengira bahwa Louis terbaring di sana. Sayangnya, tidak seorang pun terlihat. "Di mana Louis? Apakah dia di kamar mandi? Mungkin dia merasa mual dan bangun untuk muntah?" pikir Sky, menduga-duga. Sky pun pergi ke kamar mandi. Tidak menemukan Louis di sana, kepanikannya merebak. "Ini gawat! Drac, Louis tidak ada di sini! Kurasa dia diculik!" serunya sambil berlari keluar. Namun, begitu melihat Draco, Sky tersentak. Mulutnya berhenti mengeluarkan suara, dan matanya terbelalak. Pria itu telah mengganjal pintu dengan kursi dan duduk di sana! "Drac? Apa yang kau lakukan?" tanya Sky, penuh keheranan. Draco tersenyum misterius. "Bisakah kita bersantai sebentar? Biarkan Angelica mendapat sedikit waktu untuk mewujudkan impiannya." Sky menggeleng tak paham. "Apa maksudmu?" "Biarkan dia bersama pria idamannya." "Dia sedang bersama Louis?" Suara Sky meledak. Matanya terbuka maksimal. Selang satu dengu
Angelica menggeleng cepat. "Aku tidak sengaja. Aku bermaksud untuk bersalaman dengan Nyonya Harper, tapi selendangku menyibak botol sampanye-nya." Setelah menjepit pangkal hidungnya sebentar, Draco berkata, "Tuan Harper, tolong maafkan Angelica. Dia memang ceroboh dan keras kepala. Mulai sekarang, saya janji dia tidak akan mendekati Anda lagi. Permisi." Draco mencengkeram lengan Angelica, mengajaknya untuk meninggalkan ruangan. Wanita itu sempat melakukan perlawanan. Ia belum mau pergi jika Louis masih salah paham terhadapnya. Namun, dengan kehadiran dua orang security, ia tidak punya pilihan. Sementara ia diseret ke luar, Draco berjalan kembali ke meja Louis dan Sky. "Tuan dan Nyonya Harper, maaf atas apa yang sudah Angelica perbuat. Dia memang suka membuat masalah. Saya tidak seharusnya meninggalkan dia sendirian tadi. Dia jadi punya kesempatan untuk mengganggu kalian berdua," ujar Draco dengan sebelah tangan diletakkan di depan dada. Sementara Louis fokus membersihkan gaun S
"Sky, kamu kelihatannya tegang sekali. Ada apa?" selidik Louis saat mereka sedang menyantap makanan pembuka. Sky berkedip-kedip dengan mata bulat. Punggungnya yang tegak akhirnya condong ke depan. "Apakah kamu sadar? Semua orang sedang memperhatikan kita. Rasanya, mereka sudah siap melempariku dengan gelas jika aku mengambil sendok yang salah," bisiknya dengan penuh keseriusan. Louis tertawa mendengar alasan tersebut. "Untuk apa gugup, Sky? Bukankah kamu biasanya tidak peduli dengan pendapat orang lain? Cukup jadi dirimu sendiri." "Ini bukan soal menjadi siapa, Louis. Ini soal penempatan diri. Kita sedang makan malam di kapal pesiar yang megah. Table manner harus diperhatikan." Louis menggeleng tak habis pikir. "Sky, aku mengajakmu kemari untuk menikmati makanan lezat, bukan untuk mengikuti ujian. Jadi santai saja. Kalaupun kamu memakai sendok yang salah, tidak akan ada yang menghukummu." "Aku hanya tidak mau menjadi aib bagimu, Louis. Bisa kamu bayangkan betapa hebohn
"Halo, Mama? Kenapa meneleponku? Bukankah Mama seharusnya sedang bersenang-senang bersama Papa?" sapa Summer dengan suara lucunya. "Hai, Sayang. Kami tiba-tiba saja merindukanmu. Kamu sedang apa?" tanya Sky sambil melirik Louis dengan tatapan was-was. Sang suami juga sedang memasang telinga. "Aku?" Summer agak terkesiap. "Sedang bermain bersama River." "Ya, kami sedang bermain bersama, Nyonya Harper," sambung seorang bocah laki-laki. Mulut Sky membulat. "Oh, kalian tidak bereksperimen hari ini?" "Bereksperimen, Mama. Hanya saja, ini sedang waktu istirahat. Jadi kami bermain," tutur Summer lantang. Hal itu membuat Louis dan Sky semakin curiga. "Bermain apa, Sayang?" selidik Louis, penasaran. "Kami sedang bermain ponsel. River sedang menunjukkan permainan keren kepadaku." "Permainan apa?" "Jual beli saham. Tapi ini hanya simulasi," jawab River tergesa-gesa. Louis dan Sky jadi semakin bertanya-tanya. "Kalian tidak sedang melakukan sesuatu yang terlarang, kan?"
Draco tertawa samar. "Maaf, Tuan Harper. Saya tidak bermaksud seperti itu. Saya hanya ingin menyapa teman lama. Jadi, apakah kau sudah berhasil mengingatku, Sky? Aku Draco. Kau pernah memanduku saat kita masih remaja dulu." Sky terdiam. Matanya memicing, sibuk menelusuri ingatan. "Masih belum ingat?" tanya Draco seraya meninggikan alis. "Waktu itu, aku ikut tur keliling Eropa. Kamu bekerja sebagai pemandunya. Saat itu, kamu adalah pemandu termuda di HealingHills Travel Company. Fakta tersebut membuatku terkagum-kagum. Aku bahkan mengajakmu berfoto dan meminta tanda tanganmu." Sky menggeleng samar. "Maaf. Aku terlalu sering berfoto dan memberikan tanda tanganku." "Lalu kita bertemu lagi beberapa tahun kemudian, secara tidak sengaja, di Kanada. Summer masih sangat kecil saat itu," Draco menambah petunjuk. Alis Louis semakin tertaut. "Kau mengenal Summer?" gumamnya dengan nada tak senang. Draco mengangguk ringan. "Ya, dia bayi mungil yang lucu. Meskipun saat itu dia belum bi
"Halo? Apakah ini nomor Angelica?" tanya seorang anak kecil yang mengubah suaranya agar terdengar seperti orang dewasa. Angelica mengernyitkan dahi. "Siapa ini?" "Perkenalkan. Saya Summer." "Dan saya River," sambung anak lain dengan suara yang juga dibuat-buat. "Kami berdua adalah agen rahasia dari kepolisian." Angelica tercengang mendengar informasi tak terduga itu. "Kepolisian?" Ia tampak sangat terkejut. Namun, sedetik kemudian, ia tertawa meremehkan. "Heh, anak kecil, dengarkan aku baik-baik. Kalau kalian mau mengusili seseorang, kalian sebaiknya menghubungi orang lain. Aku tidak punya waktu untuk meladeni keisengan seperti ini." "Ini bukan keisengan, Angelica. Meskipun kami masih kecil, kami ini profesional. Kalau tidak, bagaimana kami bisa menemukan nomor ponselmu? Ini nomor rahasiamu, kan? Bukan nomor bisnis?" Raut Angelica tiba-tiba berubah serius. Ia perhatikan layar ponselnya. Panggilan yang ia terima ternyata masuk ke SIM-card 2. "Dari mana kalian men
Sore harinya, banyak orang bersantai di dek lido. Sebagian asyik berenang di kolam. Sebagian lagi bersantai di kursi lounge, termasuk Louis dan Sky. Louis sengaja menggeser kursinya agar berdekatan dengan kursi Sky. Dengan begitu, mereka bisa duduk berdampingan, sembari mengisi buku spesial mereka. "Selesai!" Sky membuat satu titik di kalimat terakhir. Senyumnya sangat manis, apalagi saat ia melirik ke samping. "Pertemuan dan petualangan pertama kita sudah ditulis di sini. Sekarang apa lagi? Kurasa kita tidak mungkin menceritakan semua kebersamaan kita, Louis. Itu banyak sekali. Bagaimana kalau kita pilih saja beberapa yang paling berkesan?" Hati Louis terasa ringan melihat semangat istrinya itu. Sambil membelai kepalanya, ia berbisik, "Ide bagus, Sky. Tapi masalahnya, semua momen yang kulalui bersamamu itu berkesan." Sky mendengus geli. "Kau benar. Semua petualangan kita memang berkesan. Tapi, dari sekian banyak momen itu, pasti ada yang paling membekas." "Begitukah?" A