Pagi, guys! Mari mengawali minggu ini dengan yang manis-manis seperti senyum Summer!
Malam itu, Louis betul-betul memfokuskan perhatiannya kepada Summer. Ia membantunya membuat gulali, menemaninya memilih es krim. Bersama-sama, mereka nikmati makanan manis tersebut. Summer tampak sangat gembira. Matanya terus bercahaya, tawanya sesekali mengudara. Hati Louis terasa ringan setiap kali ia mendengarnya. Setelah menghabiskan makanan, termasuk roti lapis yang mereka beli belakangan, Louis dan Summer kembali ke lokasi sebelumnya. Di sana, mereka mencoba beberapa permainan. Salah satunya adalah permainan menembak. Summer hanya berhasil mengenai satu target. Itu pun berkat bantuan Louis. Atas keberhasilannya, ia mendapat gantungan kunci berbentuk harimau yang sangat lucu. Sementara itu, Louis berhasil menjatuhkan semua target. Ia berhak mendapatkan hadiah apa pun yang ia mau. Ia sebetulnya berniat untuk memilih boneka Minion yang mirip dengan Summer. Akan tetapi, gadis kecil itu mendesaknya untuk mengambil boneka harimau. "Apakah kau tahu, Paman? Harimau betina adalah
"Tenang, Summer. Sampai kapan pun, aku tidak mungkin bisa melupakanmu. Kau adalah manusia mungil paling cerdas dan berani yang pernah kukenal. Kau juga sudah mengacaukan lamaranku dan terus mengusikku seharian ini. Mustahil aku bisa melupakan kenakalanmu," bisik Louis, tipis. Sembari menegakkan badan, gadis kecil itu meloloskan tawa. "Aku sebetulnya tidak nakal, Paman Louis. Hanya saja, aku ingin kamu menjadi papaku. Bukankah setiap orang harus berjuang untuk mewujudkan impiannya? Tapi kalau kamu lebih bahagia bersama Grace, apa boleh buat?" Usai menghela napas, senyum Summer mengendur. Namun, ia enggan menampakkan kesedihan. "Aku hanya bisa berharap kamu berubah pikiran. Siapa tahu, kau tidak jadi menikahi Grace. Datanglah kepada aku dan Mama. Kami akan dengan hati menerimamu sebagai keluarga. Kamu bisa menikahi Mama dan menjadi Papa!" Sambil tersenyum masam, Louis mengusap kepala Summer. "Kau boleh berharap, tapi kau tidak boleh memaksakan ke
"Ya, kalian berdua. Kau dan Summer. Memangnya siapa lagi? Menginap saja di rumahku," tutur Louis, berusaha agar tidak terdengar canggung. Louis berhasil melakukan itu, tetapi tidak dengan Sky. Tawanya baru saja mengudara. Meski terdengar renyah, kegugupannya tetap kentara. "Louis, apakah kau lupa? Kita sudah bukan anak-anak. Aku tidak bisa menginap di rumahmu seenaknya. Statusku adalah ibu tunggal sekarang, sedangkan kau sudah punya kekasih, dan kalian akan segera menikah. Aku bisa berubah menjadi ayam geprek kalau sampai kekasihmu tahu aku menginap di rumahmu," terang Sky tanpa mengambil jeda. Louis hanya berkedip-kedip saat menyimaknya. "Kau manusia, Sky, bukan ayam. Dan Grace tidak akan meremukkanmu. Dia tidak sejahat itu. Aku yang akan merasa jahat kalau membiarkan kau dan Summer mencari hotel malam-malam begini. Emily sudah pasti akan menghujatku." Sky lagi-lagi meringis. "Tapi tetap saja, aku merasa tidak enak hati terhadap kekasihmu. Aku dan Summer sebaiknya bermalam d
Di balik pintu, Sky bersandar dengan tatapan sendu. Wajahnya murung. Pundaknya sesekali terangkat. Dadanya yang sesak membuat tarikan napasnya jadi semakin berat."Kenapa Louis ceroboh sekali? Dia sudah punya kekasih, tapi dia mengizinkan aku dan Summer menginap di sini. Dia seharusnya berpikir panjang."Sambil menyandarkan kepala ke papan, Sky terpejam. Hatinya mulai perih, sedangkan pelupuknya memanas. "Tidakkah dia tahu kalau tindakannya itu justru membuat posisiku semakin sulit? Bagaimana aku bisa melupakannya kalau dia masih begitu baik dan berada di dekatku seperti ini?" Sambil menelan ludah pahit, Sky kembali membuka mata. Pandangannya tertuju pada sang putri sekarang. Perasaannya bertambah kacau. "Semua ini gara-gara Summer. Kalau saja dia tidak melakukan hal gila, aku tidak mungkin bertemu Louis lagi," batinnya kesal. Sambil menggigit bibir, ia pun menghampiri sang balita. "Seorang bocah empat tahun menggagalkan sebuah lamaran? Yang benar saja? Kurasa dia terlalu ba
Melihat diamnya Louis, Sky tertawa pahit. Air matanya kembali mengalir. Kali ini, ia cepat-cepat menyeka pipi. "Kau tidak akan sanggup, kan? Mana ada laki-laki yang mau mengorbankan kehidupan bahagianya demi gadis bodoh dan aneh sepertiku? Tidak ada, Louis. Tidak ada." Sambil berusaha menjaga napas, Sky melanjutkan dengan suara serak, "Karena itu, aku memilih untuk membesarkan Summer seorang diri. Aku tidak mau melihat laki-laki itu hidup dalam keterpaksaan dan penyesalan. Itu hanya akan mengurungku dalam rasa bersalah dan kesedihan." Louis tidak berani berkata-kata lagi. Ia sadar, dirinya telah menabur garam pada luka hati Sky. "Maaf," ucapnya serak, beberapa saat kemudian. "Aku tidak seharusnya mencampuri urusanmu. Aku hanya berharap kau dan Summer mendapatkan yang terbaik." Sky mendengus jijik. "Kau juga punya kehidupan, Louis. Urus saja dirimu sendiri dan kekasihmu ," bisiknya sinis. Louis mengangguk. "Oke. Aku tidak akan banyak mulut lagi. Sekarang makanlah. Pelay
Belum sempat Sky menjawab, Summer sudah berlari ke arah cermin. Melihat wajah bulatnya sudah bersih, alisnya tertaut tipis. "Apakah aku sedang bermimpi? Seharusnya masih ada lukisan harimau di wajahku, dan Mama tidak mungkin ada di sini." Kemudian, ia tertunduk, memeriksa kedua tangan. "Tapi aku punya sepuluh jari, dan ruangan ini ...." Summer mendongak dan mengedarkan pandangan. "Tidak ada yang aneh di sini. Semuanya tampak nyata." Sementara Louis kebingungan, Sky menghampiri sang putri dan meraih pundaknya. "Sayang, kamu tidak sedang bermimpi," tuturnya lirih. Akan tetapi, Summer tidak menanggapi. Ia malah meraih tangan sang ibu. Mendapati sepuluh jari, ia berlari menuju Louis. "Paman, mana tanganmu? Aku harus memastikan kalau ini hanya mimpi." Louis mendesah iba mendengar nada keputusasaan tersebut. Ia biarkan Summer menghitung jarinya. Ketika selesai, gadis kecil itu kembali mencebik. "Ini bukan mimpi?" simpulnya lirih. "Summer," Louis mengelus rambut keritingnya ya
"Apakah kau butuh bantuanku untuk bicara dengan Summer?" tawar Louis, ragu-ragu. "Aku penyebab dia marah seperti itu. Mungkin—" "Dia justru akan semakin marah kalau kau mencoba membujuk," sela Sky, yakin. "Percayalah, Louis. Aku bisa menangani Summer. Aku ibunya." Louis menggertakkan geraham. Ia merasa prihatin kepada Sky dan Summer, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. "Maaf aku gagal menghiburnya. Dia tidak akan seperti ini kalau aku memenuhi janji," bisik Louis tulus. Sambil tersenyum getir, Sky menggeleng. "Membahagiakan Summer bukanlah tugasmu. Kau bersedia menjaganya saja, aku sudah sangat bersyukur. Aku justru merasa bersalah karena dia membuat banyak masalah sehingga kau terganggu." "Kau tahu? Awalnya aku memang merasa terganggu. Dia sangat aktif dan berisik. Tapi setelah diingat-ingat, kurasa kami impas. Bukan aku saja yang jengkel. Summer juga. Aku sudah mengecewakannya beberapa kali." "Karena permintaannya yang mustahil untuk kau penuhi?" Sky memaksakan tawa.
Sky mengintip lewat celah pintu. Summer ternyata sedang tengkurap di atas kasur. Tangisnya sudah tidak terdengar. Tangannya sesekali bergerak mengusap hidung. "Sayang, bolehkah Mama masuk?" bisik Sky lembut. Bukannya menjawab, Summer malah menyembunyikan wajah dan berpura-pura tidur. Melihat itu, Sky pun duduk di tepi kasur. "Sayang, bisakah kita bicara?" tanya Sky seraya mengusap punggung Summer. "Tidak bisa, Mama. Aku sedang tidur," sahut balita itu dengan suara serak. Mendengar kebohongan yang terlampau jujur itu, Sky tersenyum kecut. "Apakah kamu masih marah kepada Mama?" Summer tidak menjawab. Kesenduan di wajah sang ibu pun menebal. "Diam itu tidak menyelesaikan masalah, Summer. Kalau kamu tidak bicara kepada Mama, bagaimana Mama bisa tahu kamu mau apa? Kita berbincang sebentar, hmm?" Akhirnya, Summer memutar kepala menghadap Sky. Matanya sudah tidak terlalu merah, tetapi alisnya masih tertaut erat. "Kenapa Mama masih bertanya? Bukankah Mama sudah tahu ap
Merasakan Summer bergerak-gerak di sampingnya, River pun terbangun. Ia bangkit duduk, berbisik sambil mengusap mata, "Summer, ada apa? Apakah kamu mimpi buruk?" Summer menggeleng lemah. Matanya masih mencari-cari. "Tidak." "Apakah kamu takut ada ular yang masuk? Kamu masih trauma dengan pengalaman buruk buruk yang tadi kamu ceritakan kepadaku?" "Tidak, River. Bukan itu." "Apakah kamu merindukan orang tuamu?" Summer akhirnya menatap River dengan wajah lusuhnya. "Tidak juga. Aku bersama kamu dan yang lain di sini. Untuk apa aku merindukan orang tuaku yang sedang berbulan madu? Biarkan saja mereka bersenang-senang berdua." River menggaruk-garuk kepala. "Lalu apa yang membuatmu resah?" "Aku mencari kantung tidurku. Aku selalu memakainya setiap kali camping. Aku tidak bisa tidur nyenyak kalau tidak ada dia," sahut sang balita, serak. Dengan penerangan dari lampu cas yang sudah sangat redup, River pun membantu Summer mencarinya. Ternyata, kantung tidur Summer masih terlipa
Briony tidak mampu lagi berkata-kata. Kejujuran Summer sudah seperti skakmat baginya. Melihat diamnya sang bibi, keresahan Summer kembali meradang. Ia maju sedikit, berbisik, "Tapi sekarang, aku sudah sadar kalau tindakanku itu salah, Bibi. Aku tidak seharusnya ikut campur persoalan orang dewasa. Karena itu, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bibi mau kan memaafkan aku?" Briony mengerjap. Matanya terpaku pada wajah bulat yang mengharapkan maafnya. "Kamu janji tidak akan menjodoh-jodohkan aku dengan siapa pun lagi?" tanyanya, memastikan. Summer mengangguk. "Ya. Seperti yang Paman Brandon bilang, Bibi butuh waktu untuk memulihkan hati. Kesedihan Bibi tidak bisa langsung hilang hanya dengan memiliki pasangan. Aku sudah mengerti tentang itu." Alis Briony melengkung tinggi. "Brandon bilang begitu?" Summer mengangguk. "Karena itu, tolong jangan marah padaku lagi, Bibi. Aku sudah bertobat. Aku tidak akan mengulangi kesalahan." Briony terdiam sejenak, mencerna keadaan.
Briony menghela napas cepat. Sebelum gadis itu kembali bertengkar dengan keponakannya, Brandon menyela, "Summer, sudah berapa jauh progres kalian?" "Sedikit lagi kami selesai, Paman!" "Ya, tersisa tiga lilitan lagi. Tapi kurasa ini akan memakan waktu lebih lama. Tali yang terulur sudah sangat panjang," imbuh River sambil terus bekerja. Keringat telah membutir di keningnya. Briony memutar bola mata. Ia benar-benar sudah tak nyaman. Ia ingin keluar dari situasi itu dengan segera. Karena itu, begitu lilitan tali terlepas, ia cepat-cepat bangkit dan melangkah pergi. Melihat sikap dingin sang bibi, Summer kembali diliputi rasa bersalah. "Oh, tidak. Bibi sungguh-sungguh marah kepadaku," gumamnya sambil mencebik. "Jangan berpikiran negatif dulu, Summer. Siapa tahu bibimu pergi karena malu," River mencoba untuk menenangkan. "Tapi Bibi tidak pernah mengabaikan aku begitu. Paman Brandon, apakah sikapku tadi sudah keterlaluan?" tanya Summer dengan mata berkaca-kaca. Saat ini,
"Paman Brandon dan Bibi Briony kan sudah dewasa. Kalian sama-sama belum mempunyai pasangan. Bukankah tidak apa-apa kalau kalian berdua berciuman?" tanya Summer sambil menahan tawa. Meski demikian, kegelian tetap lolos dari mulutnya.Mendengar pernyataan semacam itu, Briony menghela napas tak percaya. "Summer, apakah kau lupa berapa umurmu? Kamu itu masih kecil. Belum saatnya kamu membicarakan tentang pasangan dan ciuman!""Apa masalahnya, Bibi? Bukan aku yang akan berciuman, tapi Bibi dan Paman Brandon!"Pipi Briony semakin memanas. "Kami tidak akan berciuman, Summer. Kami hanya berteman!" tegasnya, kesal.Sementara itu, Brandon melirik River. Ia merasa ulah keponakannya itu sudah melewati batas. "River, apakah ini idemu? Kau mengajari Summer hal yang tidak pantas lagi?" "Tidak, Paman. Bukan aku! Itu ide Summer!" Sambil tertawa, Summer mengaku. "Tolong jangan memarahi River, Paman. Ini memang ideku. Aku sedang bereksperimen tentang cinta. Aku ingin membuktikan apakah dua orang yang
"Wow! Eksperimen kalian memang keren! Selamat, Summer, River. Kalian berhasil melakukannya dengan benar. Menyusun stik es krim agar reaksi berantainya tidak putus bukanlah hal yang mudah," puji Brandon, membuat mata para bocah berbinar-binar. "Paman benar! Susunan stiknya memang rumit dan sulit untuk dilakukan!" seru River sambil mengangguk yakin. "Untung saja kerja sama kami baik. Eksperimen terselesaikan dengan sempurna!" lanjut Summer bangga. "Omong-omong, Paman, Bibi, apakah kalian punya waktu untuk kami? Masih ada satu eksperimen yang perlu kami lakukan, tapi kami tidak bisa melakukannya berdua." Brandon dan Briony mengangkat alis. "Eksperimen apa?" tanya mereka bersamaan. Summer dan River saling lirik dan bertukar senyum. Selang beberapa saat, Brandon dan Briony telah berdiri di tengah pekarangan. Mereka menghadap satu sama lain dengan jarak sekitar 10 meter. Masing-masing dari mereka menggenggam ujung dari seutas tali. "Hei, Summer, apakah tali itu tidak kepanjanga
Selama beberapa saat, Summer membiarkan River mengamati hasil eksperimennya. Setiap bocah laki-laki itu berdecak kagum, hati Summer berbunga-bunga. Ia merasa bangga pada dirinya sendiri karena telah berhasil membuat percobaan yang mengagumkan. "Wow, apakah ini kertas daur ulang?" River menyentuhkan telunjuk mungilnya pada sebuah kertas tebal dengan permukaan tak rata dan warna yang agak kusam. Summer mengangguk mantap. "Ya, itu adalah percobaan ketigaku, tapi hasilnya belum memuaskan. Aku akan mencoba untuk membuatnya lagi sampai hasilnya sebagus kertas biasa." "Apakah kalau sudah berhasil, kau mau menjualnya?" Bibir Summer mengerucut. "Entahlah, aku belum yakin tentang itu. Mungkin, aku akan menggunakannya untuk mencetak buku-bukuku terlebih dahulu. Setelah itu, baru aku akan memperluas penggunaannya. Aku berharap, dengan adanya kertas daur ulang ini, penebangan pohon bisa berkurang. Orang-orang tidak perlu menggunakan kertas baru. Kertas-kertas lama juga bisa." River men
Tiba-tiba, Summer dan River melangkah mundur. Namun, setelah hitungan ketiga, mereka malah berlari maju. Mereka tanpa ragu menabrak Brandon dan Briony. Saat mereka terpental dan jatuh ke lantai, mereka malah tertawa terpingkal-pingkal. "Summer, kamu benar! Kita terpental karena gaya dorong yang kita berikan kembali kepada kita!" ujar River seraya mengatur napas. "Itulah Hukum Newton ke-3. Aksi sama dengan reaksi! Sekarang, bagaimana kalau kita beralih ke agenda selanjutnya? Ayo ke ruang eksperimen dan memulai eksperimen yang sesungguhnya!" "Ayo!" Kedua bocah itu bergegas bangkit dan berlari ke pekarangan barat. Melihat kecepatan mereka, Brandon dan Briony hanya bisa berkedip-kedip dengan mulut ternganga. "Astaga .... Apa yang salah dengan mereka? Apakah mereka mengira kita ini benda mati? Mereka bahkan tidak sempat meminta maaf sebelum pergi," desah Briony, tak habis pikir. Ia tidak sadar jika tubuhnya masih menempel pada Brandon. Sambil menghela napas, Brandon mengusi
"Sampai jumpa, Mama, Papa! Semoga perjalanan kalian lancar! Bersenang-senanglah bersama penguin di Kutub Selatan!" ujar Summer sembari melambaikan tangan dengan sekuat tenaga. Senyumnya semringah, kakinya sesekali melompat. Louis dan Sky balas melambai dari jendela mobil mereka. "Sampai jumpa nanti, Sayang. Jangan lupa pesan Mama! Jadilah anak baik. Jangan membuat masalah selama Mama dan Papa pergi, oke?" pesan Sky dengan mata berkaca-kaca. "Tenang, Mama. Aku ini anak baik. Aku tidak mungkin membuat masalah. Mama dan Papa fokus pada bulan madu saja!" angguk Summer sambil berkacak pinggang. Dari sisi Sky, Louis menunjuk sepupunya. "Briony, tolong awasi Summer dengan baik. Kami percayakan dia kepadamu," tuturnya serius. "Kurasa tidak ada yang perlu kuawasi, Louis. Putrimu adalah anak yang cerdas dan manis. Lagi pula, bukan hanya aku orang dewasa yang ada di rumah ini," celetuk Briony ringan. "Ya, ada Kakek, Nenek, Bibi Emily, Paman Cayden, Paman Russell, dan Paman Brand
Louis meringis. Sambil mengelus kepala sang putri, ia memberi penjelasan, "Papa dan Mama tidak mau mengganggu pikiranmu. Kami berencana untuk membicarakannya setelah kamu memutuskan untuk lanjut bersekolah atau belajar mandiri." "Papa dan Mama seharusnya tidak perlu menunggu. Itu sama sekali tidak mengganggu pikiranku," geleng Summer lucu. "Jadi, kau tidak keberatan kalau ayah dan ibumu pergi berbulan madu?" selidik Brandon, penasaran. Summer mengangguk. "Tentu saja tidak. Orang yang baru menikah memang seharusnya pergi berbulan madu, seperti Paman Cayden dan Bibi Emily. Gerry dan Merry juga." "Benarkah? Kamu tidak keberatan kalau Mama dan Papa berpergian berdua, sedangkan kamu di rumah?" tanya Sky spontan. Summer mengerjap. "Oh? Aku tidak ikut?" Para orang dewasa sontak menggigit bibir menahan geli. Sementara itu, River menjawab, "Tentu saja kau tidak boleh ikut, Summer. Itu bulan madu, bukan liburan. Hanya pengantin baru yang akan berangkat. Kehadiran orang lain hanya