"Tenang, Summer. Sampai kapan pun, aku tidak mungkin bisa melupakanmu. Kau adalah manusia mungil paling cerdas dan berani yang pernah kukenal. Kau juga sudah mengacaukan lamaranku dan terus mengusikku seharian ini. Mustahil aku bisa melupakan kenakalanmu," bisik Louis, tipis.
Sembari menegakkan badan, gadis kecil itu meloloskan tawa. "Aku sebetulnya tidak nakal, Paman Louis. Hanya saja, aku ingin kamu menjadi papaku. Bukankah setiap orang harus berjuang untuk mewujudkan impiannya? Tapi kalau kamu lebih bahagia bersama Grace, apa boleh buat?" Usai menghela napas, senyum Summer mengendur. Namun, ia enggan menampakkan kesedihan. "Aku hanya bisa berharap kamu berubah pikiran. Siapa tahu, kau tidak jadi menikahi Grace. Datanglah kepada aku dan Mama. Kami akan dengan hati menerimamu sebagai keluarga. Kamu bisa menikahi Mama dan menjadi Papa!" Sambil tersenyum masam, Louis mengusap kepala Summer. "Kau boleh berharap, tapi kau tidak boleh memaksakan ke"Ya, kalian berdua. Kau dan Summer. Memangnya siapa lagi? Menginap saja di rumahku," tutur Louis, berusaha agar tidak terdengar canggung. Louis berhasil melakukan itu, tetapi tidak dengan Sky. Tawanya baru saja mengudara. Meski terdengar renyah, kegugupannya tetap kentara. "Louis, apakah kau lupa? Kita sudah bukan anak-anak. Aku tidak bisa menginap di rumahmu seenaknya. Statusku adalah ibu tunggal sekarang, sedangkan kau sudah punya kekasih, dan kalian akan segera menikah. Aku bisa berubah menjadi ayam geprek kalau sampai kekasihmu tahu aku menginap di rumahmu," terang Sky tanpa mengambil jeda. Louis hanya berkedip-kedip saat menyimaknya. "Kau manusia, Sky, bukan ayam. Dan Grace tidak akan meremukkanmu. Dia tidak sejahat itu. Aku yang akan merasa jahat kalau membiarkan kau dan Summer mencari hotel malam-malam begini. Emily sudah pasti akan menghujatku." Sky lagi-lagi meringis. "Tapi tetap saja, aku merasa tidak enak hati terhadap kekasihmu. Aku dan Summer sebaiknya bermalam d
Di balik pintu, Sky bersandar dengan tatapan sendu. Wajahnya murung. Pundaknya sesekali terangkat. Dadanya yang sesak membuat tarikan napasnya jadi semakin berat."Kenapa Louis ceroboh sekali? Dia sudah punya kekasih, tapi dia mengizinkan aku dan Summer menginap di sini. Dia seharusnya berpikir panjang."Sambil menyandarkan kepala ke papan, Sky terpejam. Hatinya mulai perih, sedangkan pelupuknya memanas. "Tidakkah dia tahu kalau tindakannya itu justru membuat posisiku semakin sulit? Bagaimana aku bisa melupakannya kalau dia masih begitu baik dan berada di dekatku seperti ini?" Sambil menelan ludah pahit, Sky kembali membuka mata. Pandangannya tertuju pada sang putri sekarang. Perasaannya bertambah kacau. "Semua ini gara-gara Summer. Kalau saja dia tidak melakukan hal gila, aku tidak mungkin bertemu Louis lagi," batinnya kesal. Sambil menggigit bibir, ia pun menghampiri sang balita. "Seorang bocah empat tahun menggagalkan sebuah lamaran? Yang benar saja? Kurasa dia terlalu ba
Melihat diamnya Louis, Sky tertawa pahit. Air matanya kembali mengalir. Kali ini, ia cepat-cepat menyeka pipi. "Kau tidak akan sanggup, kan? Mana ada laki-laki yang mau mengorbankan kehidupan bahagianya demi gadis bodoh dan aneh sepertiku? Tidak ada, Louis. Tidak ada." Sambil berusaha menjaga napas, Sky melanjutkan dengan suara serak, "Karena itu, aku memilih untuk membesarkan Summer seorang diri. Aku tidak mau melihat laki-laki itu hidup dalam keterpaksaan dan penyesalan. Itu hanya akan mengurungku dalam rasa bersalah dan kesedihan." Louis tidak berani berkata-kata lagi. Ia sadar, dirinya telah menabur garam pada luka hati Sky. "Maaf," ucapnya serak, beberapa saat kemudian. "Aku tidak seharusnya mencampuri urusanmu. Aku hanya berharap kau dan Summer mendapatkan yang terbaik." Sky mendengus jijik. "Kau juga punya kehidupan, Louis. Urus saja dirimu sendiri dan kekasihmu ," bisiknya sinis. Louis mengangguk. "Oke. Aku tidak akan banyak mulut lagi. Sekarang makanlah. Pelay
Belum sempat Sky menjawab, Summer sudah berlari ke arah cermin. Melihat wajah bulatnya sudah bersih, alisnya tertaut tipis. "Apakah aku sedang bermimpi? Seharusnya masih ada lukisan harimau di wajahku, dan Mama tidak mungkin ada di sini." Kemudian, ia tertunduk, memeriksa kedua tangan. "Tapi aku punya sepuluh jari, dan ruangan ini ...." Summer mendongak dan mengedarkan pandangan. "Tidak ada yang aneh di sini. Semuanya tampak nyata." Sementara Louis kebingungan, Sky menghampiri sang putri dan meraih pundaknya. "Sayang, kamu tidak sedang bermimpi," tuturnya lirih. Akan tetapi, Summer tidak menanggapi. Ia malah meraih tangan sang ibu. Mendapati sepuluh jari, ia berlari menuju Louis. "Paman, mana tanganmu? Aku harus memastikan kalau ini hanya mimpi." Louis mendesah iba mendengar nada keputusasaan tersebut. Ia biarkan Summer menghitung jarinya. Ketika selesai, gadis kecil itu kembali mencebik. "Ini bukan mimpi?" simpulnya lirih. "Summer," Louis mengelus rambut keritingnya ya
"Apakah kau butuh bantuanku untuk bicara dengan Summer?" tawar Louis, ragu-ragu. "Aku penyebab dia marah seperti itu. Mungkin—" "Dia justru akan semakin marah kalau kau mencoba membujuk," sela Sky, yakin. "Percayalah, Louis. Aku bisa menangani Summer. Aku ibunya." Louis menggertakkan geraham. Ia merasa prihatin kepada Sky dan Summer, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. "Maaf aku gagal menghiburnya. Dia tidak akan seperti ini kalau aku memenuhi janji," bisik Louis tulus. Sambil tersenyum getir, Sky menggeleng. "Membahagiakan Summer bukanlah tugasmu. Kau bersedia menjaganya saja, aku sudah sangat bersyukur. Aku justru merasa bersalah karena dia membuat banyak masalah sehingga kau terganggu." "Kau tahu? Awalnya aku memang merasa terganggu. Dia sangat aktif dan berisik. Tapi setelah diingat-ingat, kurasa kami impas. Bukan aku saja yang jengkel. Summer juga. Aku sudah mengecewakannya beberapa kali." "Karena permintaannya yang mustahil untuk kau penuhi?" Sky memaksakan tawa.
Sky mengintip lewat celah pintu. Summer ternyata sedang tengkurap di atas kasur. Tangisnya sudah tidak terdengar. Tangannya sesekali bergerak mengusap hidung. "Sayang, bolehkah Mama masuk?" bisik Sky lembut. Bukannya menjawab, Summer malah menyembunyikan wajah dan berpura-pura tidur. Melihat itu, Sky pun duduk di tepi kasur. "Sayang, bisakah kita bicara?" tanya Sky seraya mengusap punggung Summer. "Tidak bisa, Mama. Aku sedang tidur," sahut balita itu dengan suara serak. Mendengar kebohongan yang terlampau jujur itu, Sky tersenyum kecut. "Apakah kamu masih marah kepada Mama?" Summer tidak menjawab. Kesenduan di wajah sang ibu pun menebal. "Diam itu tidak menyelesaikan masalah, Summer. Kalau kamu tidak bicara kepada Mama, bagaimana Mama bisa tahu kamu mau apa? Kita berbincang sebentar, hmm?" Akhirnya, Summer memutar kepala menghadap Sky. Matanya sudah tidak terlalu merah, tetapi alisnya masih tertaut erat. "Kenapa Mama masih bertanya? Bukankah Mama sudah tahu ap
"Oh, Sayang," Sky mengecup kepala putrinya, "maaf kalau Mama belum bisa memberikan yang terbaik untukmu. Mama pikir selama ini kamu bahagia. Mama sudah berusaha membuat kehidupanmu sempurna, tapi ternyata, kamu masih menyimpan kesedihan." Dalam pelukan sang ibu, Summer berkedip-kedip mencerna situasi. "Apakah Mama merasa bersalah terhadapku?" "Ya, Mama tidak tahu kalau kamu menginginkan kehadiran seorang ayah," bisik Sky lirih. Mendengar itu, mata Summer membulat. "Apakah itu artinya Mama akan berubah pikiran? Mama mau menikah dengan Paman Louis supaya dia menjadi papaku?" Summer menarik kepalanya mundur dan menatap sang ibu. Sky bisa melihat kerlip harapan di matanya menyapu redup. Namun, ia tidak mau menjaganya tetap menyala dengan kebohongan. "Tidak, Sayang. Mama tidak mungkin menikah dengan Paman Louis. Dia sudah melamar orang lain. Kalau kamu memang menginginkan seorang ayah, Mama harus mencari orang lain. Mungkin di luar sana, ada seseorang yang bisa mencintai kita
Sambil meringis menahan malu, Sky menurunkan kakinya dari atas tempat tidur. Setelah itu, cepat-cepat ia bergeser ke samping, menjauh dari Louis. "Aku baik-baik saja. Terima kasih telah menolongku," tutur Sky setengah berbisik. Entah karena terkejut ataupun karena kehangatan yang tadi sempat melingkupinya, debar jantungnya masih terlalu kencang. "Kau yakin baik-baik saja? Tidak ada yang sakit?" selidik Louis. Sky tidak berani membalas tatapan kawatir itu. Ia tertunduk, memutar badan ke kanan dan ke kiri. "Ya, pinggangku aman." Louis pun mengangguk lega. Sementara itu, dari atas kasur, Summer menyaksikan dengan senyum terkulum. Ia merasa lucu melihat ibunya salah tingkah, dan ia senang karena Louis masih perhatian terhadap Sky. "Paman Louis kurasa kau harus memeriksa kaki Mama. Mama bisa saja terkilir. Kakinya terangkat begitu tinggi saat ia jatuh tadi," tutur Summer tanpa sedikit pun rasa bersalah. Mendengar nada ceria tersebut, Sky menoleh. Ia mengira bahwa telinganya salah