Duh, guys .... Malah jadi makin salah paham. Tapi tenang. Akan terjadi sesuatu di bab selanjutnya. Tunggu besok pagi, ya. Terima kasih sudah membaca. Sehat-sehat semuanya!
Sky mengintip lewat celah pintu. Summer ternyata sedang tengkurap di atas kasur. Tangisnya sudah tidak terdengar. Tangannya sesekali bergerak mengusap hidung. "Sayang, bolehkah Mama masuk?" bisik Sky lembut. Bukannya menjawab, Summer malah menyembunyikan wajah dan berpura-pura tidur. Melihat itu, Sky pun duduk di tepi kasur. "Sayang, bisakah kita bicara?" tanya Sky seraya mengusap punggung Summer. "Tidak bisa, Mama. Aku sedang tidur," sahut balita itu dengan suara serak. Mendengar kebohongan yang terlampau jujur itu, Sky tersenyum kecut. "Apakah kamu masih marah kepada Mama?" Summer tidak menjawab. Kesenduan di wajah sang ibu pun menebal. "Diam itu tidak menyelesaikan masalah, Summer. Kalau kamu tidak bicara kepada Mama, bagaimana Mama bisa tahu kamu mau apa? Kita berbincang sebentar, hmm?" Akhirnya, Summer memutar kepala menghadap Sky. Matanya sudah tidak terlalu merah, tetapi alisnya masih tertaut erat. "Kenapa Mama masih bertanya? Bukankah Mama sudah tahu ap
"Oh, Sayang," Sky mengecup kepala putrinya, "maaf kalau Mama belum bisa memberikan yang terbaik untukmu. Mama pikir selama ini kamu bahagia. Mama sudah berusaha membuat kehidupanmu sempurna, tapi ternyata, kamu masih menyimpan kesedihan." Dalam pelukan sang ibu, Summer berkedip-kedip mencerna situasi. "Apakah Mama merasa bersalah terhadapku?" "Ya, Mama tidak tahu kalau kamu menginginkan kehadiran seorang ayah," bisik Sky lirih. Mendengar itu, mata Summer membulat. "Apakah itu artinya Mama akan berubah pikiran? Mama mau menikah dengan Paman Louis supaya dia menjadi papaku?" Summer menarik kepalanya mundur dan menatap sang ibu. Sky bisa melihat kerlip harapan di matanya menyapu redup. Namun, ia tidak mau menjaganya tetap menyala dengan kebohongan. "Tidak, Sayang. Mama tidak mungkin menikah dengan Paman Louis. Dia sudah melamar orang lain. Kalau kamu memang menginginkan seorang ayah, Mama harus mencari orang lain. Mungkin di luar sana, ada seseorang yang bisa mencintai kita
Sambil meringis menahan malu, Sky menurunkan kakinya dari atas tempat tidur. Setelah itu, cepat-cepat ia bergeser ke samping, menjauh dari Louis. "Aku baik-baik saja. Terima kasih telah menolongku," tutur Sky setengah berbisik. Entah karena terkejut ataupun karena kehangatan yang tadi sempat melingkupinya, debar jantungnya masih terlalu kencang. "Kau yakin baik-baik saja? Tidak ada yang sakit?" selidik Louis. Sky tidak berani membalas tatapan kawatir itu. Ia tertunduk, memutar badan ke kanan dan ke kiri. "Ya, pinggangku aman." Louis pun mengangguk lega. Sementara itu, dari atas kasur, Summer menyaksikan dengan senyum terkulum. Ia merasa lucu melihat ibunya salah tingkah, dan ia senang karena Louis masih perhatian terhadap Sky. "Paman Louis kurasa kau harus memeriksa kaki Mama. Mama bisa saja terkilir. Kakinya terangkat begitu tinggi saat ia jatuh tadi," tutur Summer tanpa sedikit pun rasa bersalah. Mendengar nada ceria tersebut, Sky menoleh. Ia mengira bahwa telinganya salah
Louis menghela napas. Tatapannya terkunci pada wajah bulat yang menggemaskan di hadapannya. "Kau boleh tinggal di sini satu hari lagi. Kita lakukan agenda yang tertunda, tapi ingat! Besok kau harus pulang bersama ibumu. Aku tidak bisa mengantar kalian karena hari ini, aku akan menunda banyak pekerjaan. Besok aku harus mengurusnya." "Benarkah?" Mata Summer berbinar. Tawanya bergema. Dengan penuh semangat, ia bangkit duduk menghadap Louis. "Kamu sungguh akan menghabiskan waktu bersamaku hari ini, Paman?" tanyanya dengan suara ringan. Louis mengangguk. "Ya." Summer langsung menghambur ke arah Louis, memeluknya erat. Kalau saja Louis tidak kuat menahan serbuannya, mereka berdua pasti sudah terguling ke lantai. "Terima kasih, Paman Louis. Kamu memang bijaksana! Aku janji tidak akan nakal. Aku akan menjadi anak baik selama kita bersama!" seru Summer ringan. "Jangan hanya saat kita bersama, Manusia Mungil, tapi selamanya. Teruslah menjadi anak baik supaya ibumu tidak pusing."
Pagi itu, Summer tak henti-hentinya tersenyum dan tertawa. Hatinya sangat bahagia. Louis betul-betul menepati janji. Ia menemani Summer menggosok gigi dan mencuci muka. Setelah balita itu selesai mandi, ia juga menyisir rambutnya. Louis jadi seperti sedang memanjakan anaknya sendiri. Menyaksikan hal itu, napas Sky terasa berat, matanya berkaca-kaca. Rasa bersalah mengendap di hatinya. Summer sudah berusia empat tahun, tetapi baru sekarang ia bisa merasakan kasih sayang dan perhatian dari “seorang ayah”. Sky merasa bertanggung jawab atas kemalangan putrinya. "Lihat, Mama! Aku akhirnya menjadi bersih dan wangi lagi. Rasanya segar sekali," tutur Summer begitu Louis selesai mengolesi wajahnya dengan krim. Wanita yang sejak tadi mengamati dari pintu pun tersenyum kecut. "Kamu bicara seolah-olah kamu sudah lama tidak mandi, Sayang." "Memang sudah lama, Mama. Sejak tiba di sini, baru pagi ini aku sempat mandi," aku Summer tanpa dosa. Alis Sky sontak terdongkrak naik. "Kenapa? B
Summer tampak sangat lucu dengan setelan balap mungil di tubuhnya. Apalagi, helm yang ia kenakan menjepit pipi gembulnya. Semua orang yang melihat merasa gemas. "Ayo mulai berlatih, Paman Louis! Hari ini, aku harus sudah bisa mengemudi!" seru Summer sembari mengepalkan tangan dengan erat. Saat ia menapakkan kaki di atas mini jeep, semangatnya semakin membara. Semua penjelasan Louis ia simak dengan saksama. Beberapa saat kemudian, ia sudah meluncur meski lajunya berkelok-kelok. "Woohoo! Mama, lihat aku! Aku sudah bisa mengemudi!" serunya sembari melambaikan tangan. Saat itulah, mobilnya berbelok drastis. Louis yang mengawasi dari belakang pun berseru, "Summer, pegang kemudi dengan dua tangan! Bisa gawat kalau kamu menabrak pagar." Melihat bagaimana Louis berlari mengejar gadis kecil, Sky terkekeh. Namun, ketika sesuatu melintas dalam pikirannya, tawanya mereda. Perlahan-lahan, sudut bibirnya berubah arah. Matanya berkaca-kaca. "Apakah aku egois telah membiarkan Summer tumbuh
"L-Louis?" Sky memaksakan senyum. "Kenapa kau melihatku begitu?" "Bukankah aku yang seharusnya bertanya kepadamu? Kenapa kau menggenggam ponselku dan mengerang begitu?" Louis menaikkan sebelah alis. Ekspresinya tampak curiga dan nada bicaranya dingin. Sky pun berkedip-kedip. "Oh, ini ... aku ...." Louis pun mengambil ponsel dari tangan Sky. Sambil sesekali melirik si tersangka, ia memeriksa apa yang berbeda. "Emily menelepon?" simpulnya kemudian. "Ya!" Sky cepat-cepat mengangguk. "Karena itulah, aku berani mengangkatnya." "Dia bilang apa?" Sky menggaruk pelipis sebentar. "Dia bertanya kau sedang apa. Mungkin, dia mau memastikan kau bersikap baik kepada aku dan Summer. Karena itu, aku memperlihatkan kepadanya bagaimana kamu mengajari Summer mengemudi." Mendeteksi kekakuan Sky, mata Louis kembali menyipit. "Lalu, dia bilang apa lagi?" Rahang Sky sontak bergetar. Mulutnya membuka dan menutup, menunggu keputusan otak. Haruskah ia menjawab yang sebenarnya? "Emily bilang k
"Ayo kejar aku, Mama, Paman! Kalau kalian berhasil, aku akan mentraktir kalian es krim!" seru Summer dengan suara yang sangat lucu. Akan tetapi, Sky malah semakin geram. "Kami tidak butuh es krim darimu, Sayang. Sekarang juga, cepat kemari! Jangan ke mana-mana lagi! Kamu bisa ditendang kuda nanti!" omelnya. Malangnya, Summer tetap tidak menggubris. "Kuda-kuda itu tidak akan berani menendangku, Mama. Mereka justru akan takut padaku karena aku berpakaian seperti astronot. Mereka mungkin mengira aku alien yang akan menculik mereka! Oh, itu mereka!" Tiba-tiba, Summer mengubah haluan lagi. Sky dan Louis sontak meringis. "Summer, jangan dekati kuda-kuda itu!" Sky berusaha menambah kecepatan. Namun ternyata, Louis-lah yang melesat. "Summer, berhenti!" "Apa? Tambah kecepatan lagi? Oke!" Balita itu terkikik usil. Louis pun berlari semakin gesit. Ia harus menangkap sang balita sebelum mobilnya menabrak kuda. Melihat kepedulian Louis terhadap Summer, hati Sky menghangat. Untuk perta
"Louis, mau berapa lama lagi kita di sini?" tanya Sky manis. Ia sedang duduk di depan Louis sambil bersandar di dadanya. Dengan pose berendam seperti itu, mereka terlihat sangat mesra. "Apakah kau sudah bosan?" tanya Louis serak. Sky menggeleng manja. "Tidak. Hanya saja, kita sudah selesai bergulat. Apa lagi yang mau kau lakukan di sini?" "Aku masih mau melakukan ini," Louis lanjut memainkan titik sensitif sang istri. Melihat betapa nakal jemari Louis, Sky mendengus geli. "Itu bisa kau lakukan di kamar, Louis. Tidak harus di sini." "Ya, tapi kalau kita keluar dari air, aku tidak bisa melakukan ini," Louis mengambil setangkup air. Saat ia menuangkannya di tubuh Sky, air tersebut mengalir dengan indah. Sky hanya bisa menggeleng tak habis pikir. Ternyata, bukan hanya dirinya yang tak banyak berubah. Louis juga. Mereka berdua masih kekanakan. Selagi Louis bersenang-senang dengan tubuhnya, Sky mulai mencari kesibukan. Ia menatap sekeliling. Tak lama kemudian, ia bertanya, "Louis,
"Maaf, Louis. Aku sebetulnya tidak mau melanggar kesepakatan, tapi aku harus mengangkat telepon. Siapa tahu ini penting," tutur Sky seraya memeriksa panggilan. "Oh, ternyata ini ayahku. Halo, Papa." Sky berbincang dengan sang ayah selama beberapa saat. Sesekali ia melirik Louis. Raut sang suami lagi-lagi menggelitik hatinya. Saat percakapan mereka usai, Louis langsung menyita ponselnya. "Demi kenyamanan bersama, bagaimana kalau kita mematikan ponselmu juga? Kita boleh menyalakannya lagi setelah aku selesai memanjakanmu." "Bagaimana kalau ada sesuatu yang penting?" Louis menggeleng ringan. Ia matikan ponsel Sky dan meletakkannya di atas meja. "Semua orang tahu kita sedang berbulan madu. Mereka seharusnya mengerti kalau kita sedang tidak mau diganggu. Lagi pula, yang terpenting saat ini adalah kita." Sembari tersenyum manis, Louis menyodorkan tangan. "Apakah kau sudah siap untuk dimanjakan?" "Ya! Walaupun aku sudah bukan anak kecil, aku masih suka dimanjakan," Sky meleta
Beberapa saat yang lalu, Louis dan Sky memasuki kapal. Mereka langsung berjalan menuju kabin mereka. Sepanjang jalan, Sky terus berceloteh tentang apa saja yang dilihatnya. Louis dengan senang hati mendengarkan. Ia merasa seperti kembali ke masa kecil mereka. "Louis, lihat! Itu koper kita!" Sambil tertawa, Sky mempercepat langkah. Meski demikian, ia tetap menjaga tangan Louis dalam genggamannya. Louis pun mengikuti dengan langkah ringan. "Akhirnya, kita sampai di kamar kita. Aku sudah tidak sabar ingin melihatnya. Perlukah kita merekam momen ini? Kurasa Summer juga pasti senang melihatnya," tutur Sky dengan mata berbinar. Louis selalu suka melihatnya. Ia tersenyum manis. "Sky, bagaimana kalau saat ini, kita nikmati saja momen-momen sepenuhnya? Lupakan tentang orang lain. Fokus saja pada kita berdua." "Tapi Summer bukan orang lain. Dia putri kita," timpal Sky dengan alis melengkung tinggi. Kebingungan yang terukir di wajahnya membuat Louis tertawa gemas. Apalagi, gelengan ke
Setibanya di kediaman Harper, perhatian Orion langsung tertuju pada dua bocah di ruang tamu. Mereka sedang duduk bersampingan di sebuah sofa. Tatapan mereka serius, terpaku pada ponsel. "Selamat pagi, Summer, River," sapa Orion sembari mendekat. Para bocah akhirnya mengangkat pandangan. "Selamat pagi, Paman Orion." Namun kemudian, mata mereka kembali pada ponsel. Merasa diabaikan, kening Orion berkerut. "Apa yang sedang kalian lakukan?" "Tolong jangan ganggu kami, Paman Orion. Kami sedang serius," gerutu Summer. Alisnya tertaut lucu. Penasaran, Orion berdiri di belakang sofa. Ia membungkuk, memperhatikan apa yang sedang dikerjakan para bocah. "Siapa perempuan itu?" tanyanya ketika mendapati media sosial milik seseorang yang tidak ia kenal. Summer menghela napas panjang. Gayanya sudah seperti orang dewasa. "Paman Orion, bukankah sudah kubilang untuk tidak mengganggu kami?" "Aku tidak mengganggu. Hanya bertanya. Siapa perempuan itu? Kenapa kalian mengamati media sos
"Tunggu," Summer menahan kedua orang tuanya agar tidak membalikkan badan. "Mama dan Papa jangan menoleh. Nanti dia tahu kalau kita sedang membicarakan dirinya. Coba Papa geser kamera ke arah kiri. Oh, maksudku kanan. Nah, itu dia! Zoom sekarang!" Louis memenuhi perintah sang putri. Mendapati seorang wanita tinggi semampai yang sejak tadi memang berkeliaran di dekat mereka, ia melirik ke samping. Sesuai dugaan, Sky sedang mengerucutkan bibir. "Perempuan itu lagi," gerutu Sky dengan nada tak senang. Summer seketika terbelalak. "Apakah Mama mengenalnya?" Sky mengedikkan bahu. "Tidak. Hanya saja, sejak kami tiba di sini, dia terus mondar-mandir di sekitar Papa. Mama rasa dia sedang tebar pesona untuk mendapatkan perhatian Papa." Louis merasa gemas dengan tingkah istrinya itu. Ia menggosok-gosok lengannya, berbisik dengan senyum tertahan, "Sky, kenapa raut wajahmu manyun begitu? Apakah kau cemburu?" "Cemburu?" Mata Sky membulat. "Tidak. Aku tahu kau tidak akan terpesona oleh
"Kau tidak jadi memberi mereka pelajaran?" bisik Brandon di sisi Briony. Matanya juga terpaku pada dua bocah yang saling berpelukan. Briony menghela napas panjang. Dahinya mengernyit. "Apakah mereka sengaja berpose lucu seperti itu agar aku tidak memarahi mereka?" gumam Briony, curiga. Brandon menggeleng santai. "Kurasa tidak. Mereka memang masih tidur. Lihatlah, wajah mereka tampak begitu damai." Mata Briony memicing. "Mereka tidak berpura-pura, kan? Kau tahu, dua bocah ini cerdas. Mereka bisa saja bersandiwara untuk menyelamatkan diri. Mereka sudah menjebak kita." Tiba-tiba, alarm dari ponsel River berbunyi. Bocah itu tersentak. Karena River bergerak, Summer ikut terbangun. "Apakah ini sudah pagi?" tanyanya dengan suara serak. Matanya memicing karena silau. "Ya, alarmku sudah berbunyi. Itu artinya ini sudah pagi," jawab River sembari meraih ponsel yang berada di dekat kepalanya. Summer pun meregangkan badan. Ia menjadi semakin mirip dengan ulat yang menggeliat.
Merasakan Summer bergerak-gerak di sampingnya, River pun terbangun. Ia bangkit duduk, berbisik sambil mengusap mata, "Summer, ada apa? Apakah kamu mimpi buruk?" Summer menggeleng lemah. Matanya masih mencari-cari. "Tidak." "Apakah kamu takut ada ular yang masuk? Kamu masih trauma dengan pengalaman buruk buruk yang tadi kamu ceritakan kepadaku?" "Tidak, River. Bukan itu." "Apakah kamu merindukan orang tuamu?" Summer akhirnya menatap River dengan wajah lusuhnya. "Tidak juga. Aku bersama kamu dan yang lain di sini. Untuk apa aku merindukan orang tuaku yang sedang berbulan madu? Biarkan saja mereka bersenang-senang berdua." River menggaruk-garuk kepala. "Lalu apa yang membuatmu resah?" "Aku mencari kantung tidurku. Aku selalu memakainya setiap kali camping. Aku tidak bisa tidur nyenyak kalau tidak ada dia," sahut sang balita, serak. Dengan penerangan dari lampu cas yang sudah sangat redup, River pun membantu Summer mencarinya. Ternyata, kantung tidur Summer masih terlipa
Briony tidak mampu lagi berkata-kata. Kejujuran Summer sudah seperti skakmat baginya. Melihat diamnya sang bibi, keresahan Summer kembali meradang. Ia maju sedikit, berbisik, "Tapi sekarang, aku sudah sadar kalau tindakanku itu salah, Bibi. Aku tidak seharusnya ikut campur persoalan orang dewasa. Karena itu, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bibi mau kan memaafkan aku?" Briony mengerjap. Matanya terpaku pada wajah bulat yang mengharapkan maafnya. "Kamu janji tidak akan menjodoh-jodohkan aku dengan siapa pun lagi?" tanyanya, memastikan. Summer mengangguk. "Ya. Seperti yang Paman Brandon bilang, Bibi butuh waktu untuk memulihkan hati. Kesedihan Bibi tidak bisa langsung hilang hanya dengan memiliki pasangan. Aku sudah mengerti tentang itu." Alis Briony melengkung tinggi. "Brandon bilang begitu?" Summer mengangguk. "Karena itu, tolong jangan marah padaku lagi, Bibi. Aku sudah bertobat. Aku tidak akan mengulangi kesalahan." Briony terdiam sejenak, mencerna keadaan.
Briony menghela napas cepat. Sebelum gadis itu kembali bertengkar dengan keponakannya, Brandon menyela, "Summer, sudah berapa jauh progres kalian?" "Sedikit lagi kami selesai, Paman!" "Ya, tersisa tiga lilitan lagi. Tapi kurasa ini akan memakan waktu lebih lama. Tali yang terulur sudah sangat panjang," imbuh River sambil terus bekerja. Keringat telah membutir di keningnya. Briony memutar bola mata. Ia benar-benar sudah tak nyaman. Ia ingin keluar dari situasi itu dengan segera. Karena itu, begitu lilitan tali terlepas, ia cepat-cepat bangkit dan melangkah pergi. Melihat sikap dingin sang bibi, Summer kembali diliputi rasa bersalah. "Oh, tidak. Bibi sungguh-sungguh marah kepadaku," gumamnya sambil mencebik. "Jangan berpikiran negatif dulu, Summer. Siapa tahu bibimu pergi karena malu," River mencoba untuk menenangkan. "Tapi Bibi tidak pernah mengabaikan aku begitu. Paman Brandon, apakah sikapku tadi sudah keterlaluan?" tanya Summer dengan mata berkaca-kaca. Saat ini,