"L-Louis?" Sky memaksakan senyum. "Kenapa kau melihatku begitu?" "Bukankah aku yang seharusnya bertanya kepadamu? Kenapa kau menggenggam ponselku dan mengerang begitu?" Louis menaikkan sebelah alis. Ekspresinya tampak curiga dan nada bicaranya dingin. Sky pun berkedip-kedip. "Oh, ini ... aku ...." Louis pun mengambil ponsel dari tangan Sky. Sambil sesekali melirik si tersangka, ia memeriksa apa yang berbeda. "Emily menelepon?" simpulnya kemudian. "Ya!" Sky cepat-cepat mengangguk. "Karena itulah, aku berani mengangkatnya." "Dia bilang apa?" Sky menggaruk pelipis sebentar. "Dia bertanya kau sedang apa. Mungkin, dia mau memastikan kau bersikap baik kepada aku dan Summer. Karena itu, aku memperlihatkan kepadanya bagaimana kamu mengajari Summer mengemudi." Mendeteksi kekakuan Sky, mata Louis kembali menyipit. "Lalu, dia bilang apa lagi?" Rahang Sky sontak bergetar. Mulutnya membuka dan menutup, menunggu keputusan otak. Haruskah ia menjawab yang sebenarnya? "Emily bilang k
"Ayo kejar aku, Mama, Paman! Kalau kalian berhasil, aku akan mentraktir kalian es krim!" seru Summer dengan suara yang sangat lucu. Akan tetapi, Sky malah semakin geram. "Kami tidak butuh es krim darimu, Sayang. Sekarang juga, cepat kemari! Jangan ke mana-mana lagi! Kamu bisa ditendang kuda nanti!" omelnya. Malangnya, Summer tetap tidak menggubris. "Kuda-kuda itu tidak akan berani menendangku, Mama. Mereka justru akan takut padaku karena aku berpakaian seperti astronot. Mereka mungkin mengira aku alien yang akan menculik mereka! Oh, itu mereka!" Tiba-tiba, Summer mengubah haluan lagi. Sky dan Louis sontak meringis. "Summer, jangan dekati kuda-kuda itu!" Sky berusaha menambah kecepatan. Namun ternyata, Louis-lah yang melesat. "Summer, berhenti!" "Apa? Tambah kecepatan lagi? Oke!" Balita itu terkikik usil. Louis pun berlari semakin gesit. Ia harus menangkap sang balita sebelum mobilnya menabrak kuda. Melihat kepedulian Louis terhadap Summer, hati Sky menghangat. Untuk perta
"Selesai!" Summer merentangkan tangannya dengan senyum semringah. "Sekarang saatnya aku mandi dengan sampo dan sabun yang wangi." Mendengar seruan sang putri, Sky pun mematikan air. Ia bermaksud menemaninya ke kamar mandi. Namun, belum sempat ia melangkah, Summer sudah lebih dulu bicara. "Mama, aku sudah besar. Aku bisa mandi sendiri. Mama tidak perlu menemaniku," angguknya mantap. Mata Sky membulat. "Kamu yakin?" "Yakin, Mama. Aku janji tidak akan melompat-lompat. Kalau lantainya licin, itu bisa berbahaya. Dan kalau aku menemui kesulitan, aku pasti akan memanggil Mama. Sekarang," Summer tersenyum misterius. "Mama di sini saja. Bantu Paman Louis membersihkan diri. Dia sudah membantuku tadi, jadi Mama harus membalas kebaikannya. Oke?" Ekspresinya menjadi semakin lucu dengan alis yang dinaikkan seperti itu. Sky menarik napas panjang. Lirikan matanya tertuju pada sang pria. Ia mengerti bahwa itu adalah kesempatan emas. "Baiklah." Belum sempat Sky bicara lebih dari satu kata,
Selama ini, setiap kali Emily bertanya tentang penampilan Sky, Louis selalu menjawab dengan candaan. Hal itu sering membuat Sky kecewa dan kesal. Namun tadi, jawaban Louis terdengar jujur dan spontan. Sky tidak bisa berhenti tersenyum karenanya. Bahkan, saat mereka sudah menunggangi kuda, sudut bibirnya masih terangkat ringan. "Sayang, apakah kau suka dengan kuda itu?" tanya Sky ringan. Balita yang sedang mengelus kuda pun menoleh. Wajahnya sama ceria dengan wajah sang ibu. "Ya, Mama! Dusty sangat kuat! Padahal, aku dan Paman Louis berat, tapi dia sanggup membawa kami. Dia sudah bekerja keras hari ini. Dan dia sangat cepat! Apakah Mama lihat bagaimana dia berlari tadi?" Sky mengangguk dengan senyum manis. "Ya. Kuda Mama sampai tertinggal jauh tadi." Rasa bangga semakin terpancar dari mata abu si gadis kecil. "Aku sudah seperti koboi cilik yang sedang menggembala sapi bersama ayahnya. Kuda kami melaju cepat karena harus mengejar ternak. Kalau ada sapi yang nakal, aku bisa memut
Sky mematung. Tubuhnya terasa dingin, sarafnya menegang. Ia tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau kunci itu sungguh hilang. Posisi mereka saat ini cukup jauh dari kandang. Bagaimana mereka bisa kembali dengan tangan terkunci? "Apa katamu, Sayang?" tanyanya lagi, berharap Summer mengucapkan sesuatu yang berbeda. "Kuncinya hilang, Mama. Dia tidak ada di dalam kantongku," jawab Summer dengan alis berkerut. Tidak percaya, Sky memeriksa sendiri saku sang putri. Ia juga meraba-raba pakaian si gadis kecil. Tidak menemukan apa-apa, ia mendesah lirih, "Kamu tidak bercanda, kan, Sayang? Apakah kamu sengaja menyembunyikan kuncinya supaya Mama dan Paman Louis terus dekat?" Louis spontan melirik. Ia tidak menduga Sky bisa menyuarakan pendapat sejujur itu. "Tidak, Mama. Aku sudah berjanji tidak akan menjadi anak nakal lagi tadi. Aku juga sudah bertekad untuk menjaga pemberian Tuan Rodriguez dengan baik. Mungkinkah kuncinya jatuh sewaktu kita berkuda tadi?" Sementara Sky menghela
Dari posisi kudanya yang agak tertinggal, Summer berkedip-kedip melihat punggung Louis. Ia heran apa yang laki-laki itu bicarakan bersama Sky. Sama sekali tidak ada suara yang bisa ia dengar. "Hei, Straw," Summer berbisik kepada sang kuda, "bisakah kamu berjalan sedikit lebih cepat? Aku mau melihat apa yang sedang Paman dan Mama lakukan." Summer menunggu beberapa saat. Akan tetapi, kuda yang ditungganginya tetap berjalan lambat. "Oh, bagaimana ini? Apa yang harus dilakukan supaya kuda bisa berjalan lebih cepat?" Summer mulai berpikir. "Haruskah aku menggerakkan kaki seperti saat menunggangi Dusty tadi? Dia berlari karena aku menjepit perutnya. Kalau aku menekan perut Straw sedikit, mungkin dia tidak akan berlari, hanya berjalan lebih cepat. Perlukah aku mencobanya?" Setelah mengetuk-ngetuk dagu beberapa kali, Summer akhirnya memberanikan diri. Ia menggerakkan kaki sekali. Tanpa terduga, caranya berhasil. "Bagus, Straw. Ayo susul Dusty!" bisiknya, penuh semangat. Tanpa sadar
Pipi Sky memerah mendengar bisikan Louis. Darahnya berdesir, mata bulatnya berkedip-kedip. Sambil berusaha mengendalikan imajinasi, ia mencondongkan diri ke arah Louis. "Hei, tidak bisakah kau menahannya? Tunggu saja sampai borgol ini lepas. Aku juga sebetulnya ingin ke toilet, kau tahu? Tapi aku menahannya," bisiknya. "Kau pikir aku suka pergi ke toilet bersamamu? Aku juga terpaksa! Ini sudah tidak bisa ditahan. Kita ke toilet saja daripada kandung kemih kita pecah," balas Louis dengan ekspresi serius. Sky menghela napas berat. Melihat itu, Summer tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya. "Mama, Paman, apa yang kalian bicarakan? Kenapa berbisik-bisik seperti itu? Apakah itu urusan orang dewasa yang tidak boleh diketahui oleh anak kecil lagi? Kalian berencana untuk berciuman tanpa terlihat olehku?" selidik Summer sambil memiringkan kepala. Sky sontak mengerjap. "Apa? Berciuman? Dengan Louis? Tidak, Sayang. Kenapa kamu berpikir begitu?" "Memangnya, apa lagi yang tidak
“Aku sebetulnya ragu untuk mengatakan ini, tapi kurasa kau berhak tahu. Louis berencana melamar kekasihnya Sabtu depan. Barangkali, ada yang mau kau ungkapkan kepadanya. Lakukanlah sebelum terlambat. Jangan sampai kau menyesal.”Sudah berapa kali Sky berusaha melupakan informasi itu. Akan tetapi, suara Emily, sahabatnya, terus bergema. Bayang-bayang cinta pertamanya juga enggan pergi dari benaknya. Semakin lama matanya terpejam, wajah Louis justru semakin jelas. Kebersamaan mereka dulu pun kembali terulas, kebersamaan yang tak pernah lagi terulang sejak mereka putus kontak beberapa tahun silam.“Ck, kenapa aku terus memikirkan laki-laki itu? Ayolah, Sky. Dia bahkan tidak pernah menghubungimu lagi. Untuk apa mengenangnya?” batin Sky, mengingatkan diri sendiri. Sesekali, ia mengusap sudut matanya yang terasa berair. “Lagi pula, kau sudah bahagia bersama Summer sekarang.”Seakan tahu bahwa namanya ada di pikiran sang ibu, Summer, gadis cilik yang berbaring di sisi Sky bangkit duduk. “Ma