Para wartawan telah berkumpul di depan pintu penginapan. Mereka semua sudah tidak sabar ingin mengintrogasi Louis. Karena pria yang mereka nanti-nanti tak kunjung menampakan diri, mereka akhirnya nekat mengetuk pintu. "Tuan Harper, apakah Anda di dalam? Bisakah kami mewawancarai Anda sebentar?" tanya wartawan yang paling berani. "Benarkah Anda selingkuh dari Nona Evans? Anda sedang bersama selingkuhan Anda di dalam?" sambung wartawan lain yang tidak tahu diri. Beberapa orang yang masih logis sontak meliriknya sinis. Ia menyadari itu. "Apa? Bukankah itu tujuan kita kemari? Kita ingin meminta klarifikasi tentang hal tersebut," celetuknya, tak acuh. Kemudian, ia mengetuk pintu. "Tuan Harper yang terhormat, kalau memang Anda tidak selingkuh, Anda tidak perlu menyembunyikan ibu tunggal dan putrinya itu. Keluarlah sekarang! Temui kami dan berikan klarifikasi! Mengapa Anda datang kemari bersama mereka? Mengapa Anda berciuman dengan wanita itu di atas kuda? Dan, apa yang kalian berdu
Sky menelan ludah dengan susah payah. Dadanya sesak, keringat dingin membutir di tengkuknya. "Kenapa Papa menelepon? Apakah dia sudah mendengar kabar itu?" batinnya risau. Sambil menarik napas dalam-dalam, Sky berkedip-kedip melihat jalan. Wajah Edmund seolah tergambar di muka aspal. "Papa pasti khawatir kalau memang dia sudah mendapat informasi itu. Haruskah aku menjawab panggilan dan menenangkannya?" pikir Sky, seraya mengerutkan alis. Selang perenungan sesaat, ia menggeleng. "Tidak. Kalau sampai Papa tahu aku sedang bersama Louis, dia pasti marah besar. Apalagi, Summer ada di sini. Dia bisa-bisa menyusul untuk menjemput kami," putusnya. Louis mengendus kegusaran Sky. Ia melirik, bertanya, "Ada apa, Sky?" Sang wanita mengerjap. "Ya?" "Siapa yang menelepon? Kenapa kau tidak mengangkatnya?" Sky membuka mulut, tetapi tidak bersuara. Jawaban justru datang dari jok belakang. "Bukankah itu Kakek? Aku bisa melihat fotonya dari sini," Summer menunjuk layar ponsel san
"Kakek sudah melihat foto-foto yang disebar oleh paparazi. Dia marah karena orang-orang menjelekkan Mama. Karena itu, demi menghindari kesalahpahaman yang lebih besar, kita perlu menjauh dari Louis," terang Sky datar. Sang balita terkesiap. Mulutnya terbuka, mengembuskan ketidakpercayaan. "Paman Louis adalah papaku hari ini. Aku sudah berencana untuk menghabiskan waktu bersamanya, termasuk malam ini. Kami bahkan sudah berencana untuk berkemah dan mencari bintang jatuh. Kita tidak mungkin menginap di hotel, Mama. Rencanaku bisa gagal lagi!" Sky menghela napas iba. Ia melirik Louis untuk kesekian kalinya. Entah mengapa, ada perasaan sedih dan kecewa yang timbul dalam dada setiap kali ia melihat wajah tampannya. "Louis, tolong antar kami ke hotel." "Mama!" seru Summer tak percaya. Wajahnya cemberut. "Aku tidak mau menginap di hotel. Aku masih mau tidur di rumah Paman Louis!" "Summer," Sky menatap sang putri lekat-lekat, "apakah kamu berani melawan perintah Kakek? Dia sudah sang
Sky terkesiap melihat Grace menampar Louis. Pukulannya cukup kencang. Bunyinya saja bergema ke semua sudut ruangan. Summer juga sempat terkejut. Namun, selang satu kedipan, alisnya berkerut. Pipinya menggembung. Dengan sekuat tenaga, ia melangkah maju, mendorong Grace menjauh. "Kenapa kau melakukan itu, Nona Evans? Apakah kau tidak kasihan kepada Paman Louis? Dia pasti merasa sakit. Lihat! Pipinya jadi merah akibat perbuatanmu!" omel Summer sembari berkacak pinggang. Melihat kelakuan balita yang pemberani itu, Sky cepat-cepat menariknya mundur, Louis tertegun, sedangkan Grace mendengus. "Kau berani mengecam perbuatanku? Kau pikir aku akan menampar kekasihku kalau dia tidak tergoda oleh ibumu?" bisik Grace dengan raut dingin dan nada bicara yang penuh penekanan. Sedetik kemudian, wanita bergaun hitam itu meruncingkan telunjuk ke arah Sky. "Ibumu-lah yang seharusnya disalahkan! Dia ingin merebut Louis dariku. Kalau saja dia tahu diri dan tidak kurang ajar, hubungan aku dan
Louis mematung, dahinya mengernyit. Permintaan Grace terlalu sulit untuk ia turuti. Namun, bisakah ia menolak tanpa menimbulkan keributan yang lebih besar? "Ace, aku adalah Louis Harper. Aku selalu menepati semua omongan dan janjiku. Karena itu, kau tidak perlu terhasut oleh kabar yang tersebar." Grace mendengus. Selagi ia membuang muka, Louis memungut kertas foto dari lantai. "Aku dan Sky memang tampak sangat mesra di sini. Tapi kenyataannya, bibir kami tidak bersentuhan. Ini hanya soal sudut pengambilan gambar. Paparazi itu pasti sengaja ingin membuat kehebohan," terang Louis, berusaha mengurai kesalahpahaman. "Soal kamar mandi, kami tidak melakukan apa-apa di sana. Kami hanya buang air kecil. Kami terpaksa masuk bersama karena tangan kami masih diborgol," Louis menunjukkan pergelangan tangan Sky pada gambar. "Kau lihat? Borgolnya tertangkap jelas di sini." "Lalu foto apa lagi yang disebar oleh paparazi itu sampai kau mengira bahwa aku membiarkan Sky menyentuhku? Foto dia m
Louis menelan ludah pahit. Sambil berusaha mengalahkan sesak, ia menekuk lutut di hadapan Summer. "Manusia Mungil," ia pegangi kedua pundak sang balita, "tolong dengarkan aku baik-baik." "Aku sudah mendengar semuanya," sela Summer dengan suara serak. Hidung dan matanya telah memerah. "Grace marah kepada aku dan Mama. Dia tidak suka kami menginap di sini. Dia mau kamu mengusir kami sekarang, dan kamu sudah sepakat." Louis menarik napas lebih dalam. Ia sebetulnya tidak tega melihat wajah kusut sang balita. Namun, ia tidak mungkin mengubah keputusan. "Kamu tahu bahwa di luar sana, banyak orang sedang membicarakan kita? Grace berpikir kalau kalian menginap di sini, isu itu akan bertambah parah. Orang-orang bisa semakin membenci kita," terangnya, pelan-pelan. Summer hanya berkedip, menyimak. "Bahkan ibumu juga sempat khawatir kalau aku membawa kalian ke sini. Awalnya, aku membantah pendapat itu. Tapi, setelah dipikir-pikir, sepertinya itu benar. Kalau kita masih bersama, orang-orang
"Baiklah kalau kau berkata begitu. Sekarang, ayo kita ke ruang makan. Summer pasti lapar. Dia menghabiskan banyak tenaga untuk menangis barusan," ajak Louis lirih. "Itu juga bukan kesepakatan kita, Louis," sela Grace lagi. Louis langsung mengernyit. Ia tidak habis pikir dengan kekasihnya sendiri. "Ace," ia merapat kepada sang wanita, "bisakah kau bersikap hangat sedikit? Sekalipun kau cemburu, kau tidak berhak memperlakukan mereka dengan kasar." Grace dengan angkuhnya membuang muka. "Mereka juga tidak berhak mengusik hubungan kita, Louis," gerutunya. Mendengar itu, Sky menelan ludah pahit. Ia raih tangan sang putri, berbisik, "Summer, tadi kau bilang mau ke kamar mandi? Kamu sudah melakukannya?" Sang balita menggeleng. "Kalau begitu, ayo Mama temani. Setelah itu, kita bisa pergi mencari es krim." Bukannya senang, wajah sang balita berubah kusut lagi. "Bagaimana dengan makan malam bersama Paman Louis?" "Kita bisa melakukan itu lain kali. Sekarang sudah ada Nona Ev
"Kau tahu? Sepertinya, bukan putriku yang perlu kuajari, tapi kau! CEO perusahaan besar yang katanya berpendidikan, tapi tidak punya moral," balas Sky, lantang. Mendengar tanggapan tersebut, senyum dingin Grace memudar. "Apa maksudmu? Kau yang berniat merebut kekasihku, tapi kau juga yang menuduhku tidak bermoral? Apakah tidak terbalik?" Sky mendengus sinis. "Apakah aku salah? Kau memang tidak mengerti caranya menghargai orang lain. Coba saja kau pikir, pantaskah orang dewasa seumurmu mencela anak kecil seumur putriku? Kau tidak malu menyebutnya dengan cara hina seperti itu?" "Dia memang hina. Dia sudah merusak hubungan aku dengan Louis. Dia sama seperti ibunya yang tak tahu malu dan tak tahu diri itu," jawab Grace santai. Darah Sky semakin mendidih. "Kau terus menyebut kami sebagai perusak hubunganmu. Apa kau yakin tentang hal itu? Karena menurutku, kau kurang teliti memikirkannya." Tiba-tiba, Sky mencondongkan badan ke depan. Sambil mengangkat sudut bibirnya sedikit, ia b
Merasakan Summer bergerak-gerak di sampingnya, River pun terbangun. Ia bangkit duduk, berbisik sambil mengusap mata, "Summer, ada apa? Apakah kamu mimpi buruk?" Summer menggeleng lemah. Matanya masih mencari-cari. "Tidak." "Apakah kamu takut ada ular yang masuk? Kamu masih trauma dengan pengalaman buruk buruk yang tadi kamu ceritakan kepadaku?" "Tidak, River. Bukan itu." "Apakah kamu merindukan orang tuamu?" Summer akhirnya menatap River dengan wajah lusuhnya. "Tidak juga. Aku bersama kamu dan yang lain di sini. Untuk apa aku merindukan orang tuaku yang sedang berbulan madu? Biarkan saja mereka bersenang-senang berdua." River menggaruk-garuk kepala. "Lalu apa yang membuatmu resah?" "Aku mencari kantung tidurku. Aku selalu memakainya setiap kali camping. Aku tidak bisa tidur nyenyak kalau tidak ada dia," sahut sang balita, serak. Dengan penerangan dari lampu cas yang sudah sangat redup, River pun membantu Summer mencarinya. Ternyata, kantung tidur Summer masih terlipa
Briony tidak mampu lagi berkata-kata. Kejujuran Summer sudah seperti skakmat baginya. Melihat diamnya sang bibi, keresahan Summer kembali meradang. Ia maju sedikit, berbisik, "Tapi sekarang, aku sudah sadar kalau tindakanku itu salah, Bibi. Aku tidak seharusnya ikut campur persoalan orang dewasa. Karena itu, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bibi mau kan memaafkan aku?" Briony mengerjap. Matanya terpaku pada wajah bulat yang mengharapkan maafnya. "Kamu janji tidak akan menjodoh-jodohkan aku dengan siapa pun lagi?" tanyanya, memastikan. Summer mengangguk. "Ya. Seperti yang Paman Brandon bilang, Bibi butuh waktu untuk memulihkan hati. Kesedihan Bibi tidak bisa langsung hilang hanya dengan memiliki pasangan. Aku sudah mengerti tentang itu." Alis Briony melengkung tinggi. "Brandon bilang begitu?" Summer mengangguk. "Karena itu, tolong jangan marah padaku lagi, Bibi. Aku sudah bertobat. Aku tidak akan mengulangi kesalahan." Briony terdiam sejenak, mencerna keadaan.
Briony menghela napas cepat. Sebelum gadis itu kembali bertengkar dengan keponakannya, Brandon menyela, "Summer, sudah berapa jauh progres kalian?" "Sedikit lagi kami selesai, Paman!" "Ya, tersisa tiga lilitan lagi. Tapi kurasa ini akan memakan waktu lebih lama. Tali yang terulur sudah sangat panjang," imbuh River sambil terus bekerja. Keringat telah membutir di keningnya. Briony memutar bola mata. Ia benar-benar sudah tak nyaman. Ia ingin keluar dari situasi itu dengan segera. Karena itu, begitu lilitan tali terlepas, ia cepat-cepat bangkit dan melangkah pergi. Melihat sikap dingin sang bibi, Summer kembali diliputi rasa bersalah. "Oh, tidak. Bibi sungguh-sungguh marah kepadaku," gumamnya sambil mencebik. "Jangan berpikiran negatif dulu, Summer. Siapa tahu bibimu pergi karena malu," River mencoba untuk menenangkan. "Tapi Bibi tidak pernah mengabaikan aku begitu. Paman Brandon, apakah sikapku tadi sudah keterlaluan?" tanya Summer dengan mata berkaca-kaca. Saat ini,
"Paman Brandon dan Bibi Briony kan sudah dewasa. Kalian sama-sama belum mempunyai pasangan. Bukankah tidak apa-apa kalau kalian berdua berciuman?" tanya Summer sambil menahan tawa. Meski demikian, kegelian tetap lolos dari mulutnya.Mendengar pernyataan semacam itu, Briony menghela napas tak percaya. "Summer, apakah kau lupa berapa umurmu? Kamu itu masih kecil. Belum saatnya kamu membicarakan tentang pasangan dan ciuman!""Apa masalahnya, Bibi? Bukan aku yang akan berciuman, tapi Bibi dan Paman Brandon!"Pipi Briony semakin memanas. "Kami tidak akan berciuman, Summer. Kami hanya berteman!" tegasnya, kesal.Sementara itu, Brandon melirik River. Ia merasa ulah keponakannya itu sudah melewati batas. "River, apakah ini idemu? Kau mengajari Summer hal yang tidak pantas lagi?" "Tidak, Paman. Bukan aku! Itu ide Summer!" Sambil tertawa, Summer mengaku. "Tolong jangan memarahi River, Paman. Ini memang ideku. Aku sedang bereksperimen tentang cinta. Aku ingin membuktikan apakah dua orang yang
"Wow! Eksperimen kalian memang keren! Selamat, Summer, River. Kalian berhasil melakukannya dengan benar. Menyusun stik es krim agar reaksi berantainya tidak putus bukanlah hal yang mudah," puji Brandon, membuat mata para bocah berbinar-binar. "Paman benar! Susunan stiknya memang rumit dan sulit untuk dilakukan!" seru River sambil mengangguk yakin. "Untung saja kerja sama kami baik. Eksperimen terselesaikan dengan sempurna!" lanjut Summer bangga. "Omong-omong, Paman, Bibi, apakah kalian punya waktu untuk kami? Masih ada satu eksperimen yang perlu kami lakukan, tapi kami tidak bisa melakukannya berdua." Brandon dan Briony mengangkat alis. "Eksperimen apa?" tanya mereka bersamaan. Summer dan River saling lirik dan bertukar senyum. Selang beberapa saat, Brandon dan Briony telah berdiri di tengah pekarangan. Mereka menghadap satu sama lain dengan jarak sekitar 10 meter. Masing-masing dari mereka menggenggam ujung dari seutas tali. "Hei, Summer, apakah tali itu tidak kepanjanga
Selama beberapa saat, Summer membiarkan River mengamati hasil eksperimennya. Setiap bocah laki-laki itu berdecak kagum, hati Summer berbunga-bunga. Ia merasa bangga pada dirinya sendiri karena telah berhasil membuat percobaan yang mengagumkan. "Wow, apakah ini kertas daur ulang?" River menyentuhkan telunjuk mungilnya pada sebuah kertas tebal dengan permukaan tak rata dan warna yang agak kusam. Summer mengangguk mantap. "Ya, itu adalah percobaan ketigaku, tapi hasilnya belum memuaskan. Aku akan mencoba untuk membuatnya lagi sampai hasilnya sebagus kertas biasa." "Apakah kalau sudah berhasil, kau mau menjualnya?" Bibir Summer mengerucut. "Entahlah, aku belum yakin tentang itu. Mungkin, aku akan menggunakannya untuk mencetak buku-bukuku terlebih dahulu. Setelah itu, baru aku akan memperluas penggunaannya. Aku berharap, dengan adanya kertas daur ulang ini, penebangan pohon bisa berkurang. Orang-orang tidak perlu menggunakan kertas baru. Kertas-kertas lama juga bisa." River men
Tiba-tiba, Summer dan River melangkah mundur. Namun, setelah hitungan ketiga, mereka malah berlari maju. Mereka tanpa ragu menabrak Brandon dan Briony. Saat mereka terpental dan jatuh ke lantai, mereka malah tertawa terpingkal-pingkal. "Summer, kamu benar! Kita terpental karena gaya dorong yang kita berikan kembali kepada kita!" ujar River seraya mengatur napas. "Itulah Hukum Newton ke-3. Aksi sama dengan reaksi! Sekarang, bagaimana kalau kita beralih ke agenda selanjutnya? Ayo ke ruang eksperimen dan memulai eksperimen yang sesungguhnya!" "Ayo!" Kedua bocah itu bergegas bangkit dan berlari ke pekarangan barat. Melihat kecepatan mereka, Brandon dan Briony hanya bisa berkedip-kedip dengan mulut ternganga. "Astaga .... Apa yang salah dengan mereka? Apakah mereka mengira kita ini benda mati? Mereka bahkan tidak sempat meminta maaf sebelum pergi," desah Briony, tak habis pikir. Ia tidak sadar jika tubuhnya masih menempel pada Brandon. Sambil menghela napas, Brandon mengusi
"Sampai jumpa, Mama, Papa! Semoga perjalanan kalian lancar! Bersenang-senanglah bersama penguin di Kutub Selatan!" ujar Summer sembari melambaikan tangan dengan sekuat tenaga. Senyumnya semringah, kakinya sesekali melompat. Louis dan Sky balas melambai dari jendela mobil mereka. "Sampai jumpa nanti, Sayang. Jangan lupa pesan Mama! Jadilah anak baik. Jangan membuat masalah selama Mama dan Papa pergi, oke?" pesan Sky dengan mata berkaca-kaca. "Tenang, Mama. Aku ini anak baik. Aku tidak mungkin membuat masalah. Mama dan Papa fokus pada bulan madu saja!" angguk Summer sambil berkacak pinggang. Dari sisi Sky, Louis menunjuk sepupunya. "Briony, tolong awasi Summer dengan baik. Kami percayakan dia kepadamu," tuturnya serius. "Kurasa tidak ada yang perlu kuawasi, Louis. Putrimu adalah anak yang cerdas dan manis. Lagi pula, bukan hanya aku orang dewasa yang ada di rumah ini," celetuk Briony ringan. "Ya, ada Kakek, Nenek, Bibi Emily, Paman Cayden, Paman Russell, dan Paman Brand
Louis meringis. Sambil mengelus kepala sang putri, ia memberi penjelasan, "Papa dan Mama tidak mau mengganggu pikiranmu. Kami berencana untuk membicarakannya setelah kamu memutuskan untuk lanjut bersekolah atau belajar mandiri." "Papa dan Mama seharusnya tidak perlu menunggu. Itu sama sekali tidak mengganggu pikiranku," geleng Summer lucu. "Jadi, kau tidak keberatan kalau ayah dan ibumu pergi berbulan madu?" selidik Brandon, penasaran. Summer mengangguk. "Tentu saja tidak. Orang yang baru menikah memang seharusnya pergi berbulan madu, seperti Paman Cayden dan Bibi Emily. Gerry dan Merry juga." "Benarkah? Kamu tidak keberatan kalau Mama dan Papa berpergian berdua, sedangkan kamu di rumah?" tanya Sky spontan. Summer mengerjap. "Oh? Aku tidak ikut?" Para orang dewasa sontak menggigit bibir menahan geli. Sementara itu, River menjawab, "Tentu saja kau tidak boleh ikut, Summer. Itu bulan madu, bukan liburan. Hanya pengantin baru yang akan berangkat. Kehadiran orang lain hanya