Siapakah itu???
Sky terkesiap melihat Grace menampar Louis. Pukulannya cukup kencang. Bunyinya saja bergema ke semua sudut ruangan. Summer juga sempat terkejut. Namun, selang satu kedipan, alisnya berkerut. Pipinya menggembung. Dengan sekuat tenaga, ia melangkah maju, mendorong Grace menjauh. "Kenapa kau melakukan itu, Nona Evans? Apakah kau tidak kasihan kepada Paman Louis? Dia pasti merasa sakit. Lihat! Pipinya jadi merah akibat perbuatanmu!" omel Summer sembari berkacak pinggang. Melihat kelakuan balita yang pemberani itu, Sky cepat-cepat menariknya mundur, Louis tertegun, sedangkan Grace mendengus. "Kau berani mengecam perbuatanku? Kau pikir aku akan menampar kekasihku kalau dia tidak tergoda oleh ibumu?" bisik Grace dengan raut dingin dan nada bicara yang penuh penekanan. Sedetik kemudian, wanita bergaun hitam itu meruncingkan telunjuk ke arah Sky. "Ibumu-lah yang seharusnya disalahkan! Dia ingin merebut Louis dariku. Kalau saja dia tahu diri dan tidak kurang ajar, hubungan aku dan
Louis mematung, dahinya mengernyit. Permintaan Grace terlalu sulit untuk ia turuti. Namun, bisakah ia menolak tanpa menimbulkan keributan yang lebih besar? "Ace, aku adalah Louis Harper. Aku selalu menepati semua omongan dan janjiku. Karena itu, kau tidak perlu terhasut oleh kabar yang tersebar." Grace mendengus. Selagi ia membuang muka, Louis memungut kertas foto dari lantai. "Aku dan Sky memang tampak sangat mesra di sini. Tapi kenyataannya, bibir kami tidak bersentuhan. Ini hanya soal sudut pengambilan gambar. Paparazi itu pasti sengaja ingin membuat kehebohan," terang Louis, berusaha mengurai kesalahpahaman. "Soal kamar mandi, kami tidak melakukan apa-apa di sana. Kami hanya buang air kecil. Kami terpaksa masuk bersama karena tangan kami masih diborgol," Louis menunjukkan pergelangan tangan Sky pada gambar. "Kau lihat? Borgolnya tertangkap jelas di sini." "Lalu foto apa lagi yang disebar oleh paparazi itu sampai kau mengira bahwa aku membiarkan Sky menyentuhku? Foto dia m
Louis menelan ludah pahit. Sambil berusaha mengalahkan sesak, ia menekuk lutut di hadapan Summer. "Manusia Mungil," ia pegangi kedua pundak sang balita, "tolong dengarkan aku baik-baik." "Aku sudah mendengar semuanya," sela Summer dengan suara serak. Hidung dan matanya telah memerah. "Grace marah kepada aku dan Mama. Dia tidak suka kami menginap di sini. Dia mau kamu mengusir kami sekarang, dan kamu sudah sepakat." Louis menarik napas lebih dalam. Ia sebetulnya tidak tega melihat wajah kusut sang balita. Namun, ia tidak mungkin mengubah keputusan. "Kamu tahu bahwa di luar sana, banyak orang sedang membicarakan kita? Grace berpikir kalau kalian menginap di sini, isu itu akan bertambah parah. Orang-orang bisa semakin membenci kita," terangnya, pelan-pelan. Summer hanya berkedip, menyimak. "Bahkan ibumu juga sempat khawatir kalau aku membawa kalian ke sini. Awalnya, aku membantah pendapat itu. Tapi, setelah dipikir-pikir, sepertinya itu benar. Kalau kita masih bersama, orang-orang
"Baiklah kalau kau berkata begitu. Sekarang, ayo kita ke ruang makan. Summer pasti lapar. Dia menghabiskan banyak tenaga untuk menangis barusan," ajak Louis lirih. "Itu juga bukan kesepakatan kita, Louis," sela Grace lagi. Louis langsung mengernyit. Ia tidak habis pikir dengan kekasihnya sendiri. "Ace," ia merapat kepada sang wanita, "bisakah kau bersikap hangat sedikit? Sekalipun kau cemburu, kau tidak berhak memperlakukan mereka dengan kasar." Grace dengan angkuhnya membuang muka. "Mereka juga tidak berhak mengusik hubungan kita, Louis," gerutunya. Mendengar itu, Sky menelan ludah pahit. Ia raih tangan sang putri, berbisik, "Summer, tadi kau bilang mau ke kamar mandi? Kamu sudah melakukannya?" Sang balita menggeleng. "Kalau begitu, ayo Mama temani. Setelah itu, kita bisa pergi mencari es krim." Bukannya senang, wajah sang balita berubah kusut lagi. "Bagaimana dengan makan malam bersama Paman Louis?" "Kita bisa melakukan itu lain kali. Sekarang sudah ada Nona Ev
"Kau tahu? Sepertinya, bukan putriku yang perlu kuajari, tapi kau! CEO perusahaan besar yang katanya berpendidikan, tapi tidak punya moral," balas Sky, lantang. Mendengar tanggapan tersebut, senyum dingin Grace memudar. "Apa maksudmu? Kau yang berniat merebut kekasihku, tapi kau juga yang menuduhku tidak bermoral? Apakah tidak terbalik?" Sky mendengus sinis. "Apakah aku salah? Kau memang tidak mengerti caranya menghargai orang lain. Coba saja kau pikir, pantaskah orang dewasa seumurmu mencela anak kecil seumur putriku? Kau tidak malu menyebutnya dengan cara hina seperti itu?" "Dia memang hina. Dia sudah merusak hubungan aku dengan Louis. Dia sama seperti ibunya yang tak tahu malu dan tak tahu diri itu," jawab Grace santai. Darah Sky semakin mendidih. "Kau terus menyebut kami sebagai perusak hubunganmu. Apa kau yakin tentang hal itu? Karena menurutku, kau kurang teliti memikirkannya." Tiba-tiba, Sky mencondongkan badan ke depan. Sambil mengangkat sudut bibirnya sedikit, ia b
Awalnya, Louis hanya bermaksud membasuh muka. Namun, entah mengapa, ia merasa gundah. Ia akhirnya mandi demi mendinginkan hati dan pikiran. Malangnya, hal itu tidak membantu. Ia masih saja memikirkan keputusannya tadi. Tepatkah jika ia mengingkari janjinya kepada Summer lagi? Padahal, gadis kecil itu sudah sangat bersemangat untuk menjadikan hari itu sebagai hari terbaik. Louis merasa jahat karena ia telah mengubah hari terbaik Summer menjadi hari terburuknya. "Adakah sesuatu yang bisa kulakukan untuk menghiburnya?" gumam Louis sambil mendesah berat. Selang perenungan singkat, senyum kecil terbentuk di bibirnya. Selesai mandi, ia langsung keluar mencari sang balita. Sebuah buku dan pena berada di tangannya. "Summer, aku punya sesuatu untukmu," seru Louis, memanggil. Namun, tidak ada suara manis yang menjawab. "Summer?" panggilnya lagi. Sayangnya, tetap tidak ada sahutan yang terdengar. Setibanya di ruang tengah, Louis mengernyitkan dahi. Hanya ada Grace di sana. Ia sedang
Merasa iba, Sky pun menarik putrinya ke dalam dekapan. "Maafkan Mama, Sayang. Maaf Mama tidak bisa memberimu keluarga yang lengkap." "Tidak apa-apa, Mama. Meskipun aku tidak punya papa, aku tetap bahagia. Ada Mama yang selalu sayang kepadaku. Kakek dan Nenek juga. Selama kita terus bersama, aku pasti akan baik-baik saja." Keharuan sontak memenuhi hati Sky. Merasa bangga terhadap gadis kecil itu, ia pun mengecup keningnya berkali-kali. "Kamu memang anak yang luar biasa, Sayang. Setelah ini, bagaimana kalau kita tidak usah pulang dulu? Kita kunjungi Bibi Emily di L City. Anggap perjalanan itu sebagai hadiah dari Mama karena kamu sudah bersikap bijak." Mata Summer seketika membulat. "Mama serius? Apakah Kakek tidak akan marah kalau kita menemui Bibi Emily dulu? Dia menyuruh kita pulang besok." Sky tertawa samar. "Ternyata kamu memang sudah lebih bijak sekarang, hmm? Tenang. Mama bisa membicarakan soal itu kepada Kakek. Dia pasti akan mengizinkan." Tawa Summer akhirnya kembali men
Dengan mata berkaca-kaca, Louis membuka galeri di ponselnya. Perasaannya membaik saat melihat wajah si gadis kecil. Kebersamaan mereka terekam begitu indah di setiap foto yang ia simpan. "Kenapa baru sekarang aku sadar bahwa momen-momen ini begitu berharga?" sesal Louis sambil tersenyum sedih. Malangnya, belum selesai ia mengobati rindu, seseorang mengetuk pintu. Louis cepat-cepat menghapus air mata dan menegakkan badan. "Masuk." Seorang wanita muda berpakaian rapi pun masuk sambil membawakan beberapa lembar kertas. "Permisi, Tuan. Saya menemukan gambar-gambar ini saat merapikan meja," ia melirik meja di dekat jendela. "Saya tidak berani membuangnya. Mungkin ...." Sekretaris itu ragu sesaat. Ia letakkan lembaran kertas tersebut di hadapan Louis. "Anda ingin menyimpannya?" Louis tertegun melihat gambar yang terpampang di depannya. Itu adalah gambar bianglala yang Summer buat. Ia memang pernah melihat kertas itu sebelumnya. Namun, ia tidak tahu bahwa masih ada hal lain di sa
"Louis, mau berapa lama lagi kita di sini?" tanya Sky manis. Ia sedang duduk di depan Louis sambil bersandar di dadanya. Dengan pose berendam seperti itu, mereka terlihat sangat mesra. "Apakah kau sudah bosan?" tanya Louis serak. Sky menggeleng manja. "Tidak. Hanya saja, kita sudah selesai bergulat. Apa lagi yang mau kau lakukan di sini?" "Aku masih mau melakukan ini," Louis lanjut memainkan titik sensitif sang istri. Melihat betapa nakal jemari Louis, Sky mendengus geli. "Itu bisa kau lakukan di kamar, Louis. Tidak harus di sini." "Ya, tapi kalau kita keluar dari air, aku tidak bisa melakukan ini," Louis mengambil setangkup air. Saat ia menuangkannya di tubuh Sky, air tersebut mengalir dengan indah. Sky hanya bisa menggeleng tak habis pikir. Ternyata, bukan hanya dirinya yang tak banyak berubah. Louis juga. Mereka berdua masih kekanakan. Selagi Louis bersenang-senang dengan tubuhnya, Sky mulai mencari kesibukan. Ia menatap sekeliling. Tak lama kemudian, ia bertanya, "Louis,
"Maaf, Louis. Aku sebetulnya tidak mau melanggar kesepakatan, tapi aku harus mengangkat telepon. Siapa tahu ini penting," tutur Sky seraya memeriksa panggilan. "Oh, ternyata ini ayahku. Halo, Papa." Sky berbincang dengan sang ayah selama beberapa saat. Sesekali ia melirik Louis. Raut sang suami lagi-lagi menggelitik hatinya. Saat percakapan mereka usai, Louis langsung menyita ponselnya. "Demi kenyamanan bersama, bagaimana kalau kita mematikan ponselmu juga? Kita boleh menyalakannya lagi setelah aku selesai memanjakanmu." "Bagaimana kalau ada sesuatu yang penting?" Louis menggeleng ringan. Ia matikan ponsel Sky dan meletakkannya di atas meja. "Semua orang tahu kita sedang berbulan madu. Mereka seharusnya mengerti kalau kita sedang tidak mau diganggu. Lagi pula, yang terpenting saat ini adalah kita." Sembari tersenyum manis, Louis menyodorkan tangan. "Apakah kau sudah siap untuk dimanjakan?" "Ya! Walaupun aku sudah bukan anak kecil, aku masih suka dimanjakan," Sky meleta
Beberapa saat yang lalu, Louis dan Sky memasuki kapal. Mereka langsung berjalan menuju kabin mereka. Sepanjang jalan, Sky terus berceloteh tentang apa saja yang dilihatnya. Louis dengan senang hati mendengarkan. Ia merasa seperti kembali ke masa kecil mereka. "Louis, lihat! Itu koper kita!" Sambil tertawa, Sky mempercepat langkah. Meski demikian, ia tetap menjaga tangan Louis dalam genggamannya. Louis pun mengikuti dengan langkah ringan. "Akhirnya, kita sampai di kamar kita. Aku sudah tidak sabar ingin melihatnya. Perlukah kita merekam momen ini? Kurasa Summer juga pasti senang melihatnya," tutur Sky dengan mata berbinar. Louis selalu suka melihatnya. Ia tersenyum manis. "Sky, bagaimana kalau saat ini, kita nikmati saja momen-momen sepenuhnya? Lupakan tentang orang lain. Fokus saja pada kita berdua." "Tapi Summer bukan orang lain. Dia putri kita," timpal Sky dengan alis melengkung tinggi. Kebingungan yang terukir di wajahnya membuat Louis tertawa gemas. Apalagi, gelengan ke
Setibanya di kediaman Harper, perhatian Orion langsung tertuju pada dua bocah di ruang tamu. Mereka sedang duduk bersampingan di sebuah sofa. Tatapan mereka serius, terpaku pada ponsel. "Selamat pagi, Summer, River," sapa Orion sembari mendekat. Para bocah akhirnya mengangkat pandangan. "Selamat pagi, Paman Orion." Namun kemudian, mata mereka kembali pada ponsel. Merasa diabaikan, kening Orion berkerut. "Apa yang sedang kalian lakukan?" "Tolong jangan ganggu kami, Paman Orion. Kami sedang serius," gerutu Summer. Alisnya tertaut lucu. Penasaran, Orion berdiri di belakang sofa. Ia membungkuk, memperhatikan apa yang sedang dikerjakan para bocah. "Siapa perempuan itu?" tanyanya ketika mendapati media sosial milik seseorang yang tidak ia kenal. Summer menghela napas panjang. Gayanya sudah seperti orang dewasa. "Paman Orion, bukankah sudah kubilang untuk tidak mengganggu kami?" "Aku tidak mengganggu. Hanya bertanya. Siapa perempuan itu? Kenapa kalian mengamati media sos
"Tunggu," Summer menahan kedua orang tuanya agar tidak membalikkan badan. "Mama dan Papa jangan menoleh. Nanti dia tahu kalau kita sedang membicarakan dirinya. Coba Papa geser kamera ke arah kiri. Oh, maksudku kanan. Nah, itu dia! Zoom sekarang!" Louis memenuhi perintah sang putri. Mendapati seorang wanita tinggi semampai yang sejak tadi memang berkeliaran di dekat mereka, ia melirik ke samping. Sesuai dugaan, Sky sedang mengerucutkan bibir. "Perempuan itu lagi," gerutu Sky dengan nada tak senang. Summer seketika terbelalak. "Apakah Mama mengenalnya?" Sky mengedikkan bahu. "Tidak. Hanya saja, sejak kami tiba di sini, dia terus mondar-mandir di sekitar Papa. Mama rasa dia sedang tebar pesona untuk mendapatkan perhatian Papa." Louis merasa gemas dengan tingkah istrinya itu. Ia menggosok-gosok lengannya, berbisik dengan senyum tertahan, "Sky, kenapa raut wajahmu manyun begitu? Apakah kau cemburu?" "Cemburu?" Mata Sky membulat. "Tidak. Aku tahu kau tidak akan terpesona oleh
"Kau tidak jadi memberi mereka pelajaran?" bisik Brandon di sisi Briony. Matanya juga terpaku pada dua bocah yang saling berpelukan. Briony menghela napas panjang. Dahinya mengernyit. "Apakah mereka sengaja berpose lucu seperti itu agar aku tidak memarahi mereka?" gumam Briony, curiga. Brandon menggeleng santai. "Kurasa tidak. Mereka memang masih tidur. Lihatlah, wajah mereka tampak begitu damai." Mata Briony memicing. "Mereka tidak berpura-pura, kan? Kau tahu, dua bocah ini cerdas. Mereka bisa saja bersandiwara untuk menyelamatkan diri. Mereka sudah menjebak kita." Tiba-tiba, alarm dari ponsel River berbunyi. Bocah itu tersentak. Karena River bergerak, Summer ikut terbangun. "Apakah ini sudah pagi?" tanyanya dengan suara serak. Matanya memicing karena silau. "Ya, alarmku sudah berbunyi. Itu artinya ini sudah pagi," jawab River sembari meraih ponsel yang berada di dekat kepalanya. Summer pun meregangkan badan. Ia menjadi semakin mirip dengan ulat yang menggeliat.
Merasakan Summer bergerak-gerak di sampingnya, River pun terbangun. Ia bangkit duduk, berbisik sambil mengusap mata, "Summer, ada apa? Apakah kamu mimpi buruk?" Summer menggeleng lemah. Matanya masih mencari-cari. "Tidak." "Apakah kamu takut ada ular yang masuk? Kamu masih trauma dengan pengalaman buruk buruk yang tadi kamu ceritakan kepadaku?" "Tidak, River. Bukan itu." "Apakah kamu merindukan orang tuamu?" Summer akhirnya menatap River dengan wajah lusuhnya. "Tidak juga. Aku bersama kamu dan yang lain di sini. Untuk apa aku merindukan orang tuaku yang sedang berbulan madu? Biarkan saja mereka bersenang-senang berdua." River menggaruk-garuk kepala. "Lalu apa yang membuatmu resah?" "Aku mencari kantung tidurku. Aku selalu memakainya setiap kali camping. Aku tidak bisa tidur nyenyak kalau tidak ada dia," sahut sang balita, serak. Dengan penerangan dari lampu cas yang sudah sangat redup, River pun membantu Summer mencarinya. Ternyata, kantung tidur Summer masih terlipa
Briony tidak mampu lagi berkata-kata. Kejujuran Summer sudah seperti skakmat baginya. Melihat diamnya sang bibi, keresahan Summer kembali meradang. Ia maju sedikit, berbisik, "Tapi sekarang, aku sudah sadar kalau tindakanku itu salah, Bibi. Aku tidak seharusnya ikut campur persoalan orang dewasa. Karena itu, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bibi mau kan memaafkan aku?" Briony mengerjap. Matanya terpaku pada wajah bulat yang mengharapkan maafnya. "Kamu janji tidak akan menjodoh-jodohkan aku dengan siapa pun lagi?" tanyanya, memastikan. Summer mengangguk. "Ya. Seperti yang Paman Brandon bilang, Bibi butuh waktu untuk memulihkan hati. Kesedihan Bibi tidak bisa langsung hilang hanya dengan memiliki pasangan. Aku sudah mengerti tentang itu." Alis Briony melengkung tinggi. "Brandon bilang begitu?" Summer mengangguk. "Karena itu, tolong jangan marah padaku lagi, Bibi. Aku sudah bertobat. Aku tidak akan mengulangi kesalahan." Briony terdiam sejenak, mencerna keadaan.
Briony menghela napas cepat. Sebelum gadis itu kembali bertengkar dengan keponakannya, Brandon menyela, "Summer, sudah berapa jauh progres kalian?" "Sedikit lagi kami selesai, Paman!" "Ya, tersisa tiga lilitan lagi. Tapi kurasa ini akan memakan waktu lebih lama. Tali yang terulur sudah sangat panjang," imbuh River sambil terus bekerja. Keringat telah membutir di keningnya. Briony memutar bola mata. Ia benar-benar sudah tak nyaman. Ia ingin keluar dari situasi itu dengan segera. Karena itu, begitu lilitan tali terlepas, ia cepat-cepat bangkit dan melangkah pergi. Melihat sikap dingin sang bibi, Summer kembali diliputi rasa bersalah. "Oh, tidak. Bibi sungguh-sungguh marah kepadaku," gumamnya sambil mencebik. "Jangan berpikiran negatif dulu, Summer. Siapa tahu bibimu pergi karena malu," River mencoba untuk menenangkan. "Tapi Bibi tidak pernah mengabaikan aku begitu. Paman Brandon, apakah sikapku tadi sudah keterlaluan?" tanya Summer dengan mata berkaca-kaca. Saat ini,