Ada yang kangen Edmund? Bisa baca Istri Presdir yang Hilang yaa. Sekalian nostalgia sama Sky kecil.
Sky menelan ludah dengan susah payah. Dadanya sesak, keringat dingin membutir di tengkuknya. "Kenapa Papa menelepon? Apakah dia sudah mendengar kabar itu?" batinnya risau. Sambil menarik napas dalam-dalam, Sky berkedip-kedip melihat jalan. Wajah Edmund seolah tergambar di muka aspal. "Papa pasti khawatir kalau memang dia sudah mendapat informasi itu. Haruskah aku menjawab panggilan dan menenangkannya?" pikir Sky, seraya mengerutkan alis. Selang perenungan sesaat, ia menggeleng. "Tidak. Kalau sampai Papa tahu aku sedang bersama Louis, dia pasti marah besar. Apalagi, Summer ada di sini. Dia bisa-bisa menyusul untuk menjemput kami," putusnya. Louis mengendus kegusaran Sky. Ia melirik, bertanya, "Ada apa, Sky?" Sang wanita mengerjap. "Ya?" "Siapa yang menelepon? Kenapa kau tidak mengangkatnya?" Sky membuka mulut, tetapi tidak bersuara. Jawaban justru datang dari jok belakang. "Bukankah itu Kakek? Aku bisa melihat fotonya dari sini," Summer menunjuk layar ponsel san
"Kakek sudah melihat foto-foto yang disebar oleh paparazi. Dia marah karena orang-orang menjelekkan Mama. Karena itu, demi menghindari kesalahpahaman yang lebih besar, kita perlu menjauh dari Louis," terang Sky datar. Sang balita terkesiap. Mulutnya terbuka, mengembuskan ketidakpercayaan. "Paman Louis adalah papaku hari ini. Aku sudah berencana untuk menghabiskan waktu bersamanya, termasuk malam ini. Kami bahkan sudah berencana untuk berkemah dan mencari bintang jatuh. Kita tidak mungkin menginap di hotel, Mama. Rencanaku bisa gagal lagi!" Sky menghela napas iba. Ia melirik Louis untuk kesekian kalinya. Entah mengapa, ada perasaan sedih dan kecewa yang timbul dalam dada setiap kali ia melihat wajah tampannya. "Louis, tolong antar kami ke hotel." "Mama!" seru Summer tak percaya. Wajahnya cemberut. "Aku tidak mau menginap di hotel. Aku masih mau tidur di rumah Paman Louis!" "Summer," Sky menatap sang putri lekat-lekat, "apakah kamu berani melawan perintah Kakek? Dia sudah sang
Sky terkesiap melihat Grace menampar Louis. Pukulannya cukup kencang. Bunyinya saja bergema ke semua sudut ruangan. Summer juga sempat terkejut. Namun, selang satu kedipan, alisnya berkerut. Pipinya menggembung. Dengan sekuat tenaga, ia melangkah maju, mendorong Grace menjauh. "Kenapa kau melakukan itu, Nona Evans? Apakah kau tidak kasihan kepada Paman Louis? Dia pasti merasa sakit. Lihat! Pipinya jadi merah akibat perbuatanmu!" omel Summer sembari berkacak pinggang. Melihat kelakuan balita yang pemberani itu, Sky cepat-cepat menariknya mundur, Louis tertegun, sedangkan Grace mendengus. "Kau berani mengecam perbuatanku? Kau pikir aku akan menampar kekasihku kalau dia tidak tergoda oleh ibumu?" bisik Grace dengan raut dingin dan nada bicara yang penuh penekanan. Sedetik kemudian, wanita bergaun hitam itu meruncingkan telunjuk ke arah Sky. "Ibumu-lah yang seharusnya disalahkan! Dia ingin merebut Louis dariku. Kalau saja dia tahu diri dan tidak kurang ajar, hubungan aku dan
Louis mematung, dahinya mengernyit. Permintaan Grace terlalu sulit untuk ia turuti. Namun, bisakah ia menolak tanpa menimbulkan keributan yang lebih besar? "Ace, aku adalah Louis Harper. Aku selalu menepati semua omongan dan janjiku. Karena itu, kau tidak perlu terhasut oleh kabar yang tersebar." Grace mendengus. Selagi ia membuang muka, Louis memungut kertas foto dari lantai. "Aku dan Sky memang tampak sangat mesra di sini. Tapi kenyataannya, bibir kami tidak bersentuhan. Ini hanya soal sudut pengambilan gambar. Paparazi itu pasti sengaja ingin membuat kehebohan," terang Louis, berusaha mengurai kesalahpahaman. "Soal kamar mandi, kami tidak melakukan apa-apa di sana. Kami hanya buang air kecil. Kami terpaksa masuk bersama karena tangan kami masih diborgol," Louis menunjukkan pergelangan tangan Sky pada gambar. "Kau lihat? Borgolnya tertangkap jelas di sini." "Lalu foto apa lagi yang disebar oleh paparazi itu sampai kau mengira bahwa aku membiarkan Sky menyentuhku? Foto dia m
Louis menelan ludah pahit. Sambil berusaha mengalahkan sesak, ia menekuk lutut di hadapan Summer. "Manusia Mungil," ia pegangi kedua pundak sang balita, "tolong dengarkan aku baik-baik." "Aku sudah mendengar semuanya," sela Summer dengan suara serak. Hidung dan matanya telah memerah. "Grace marah kepada aku dan Mama. Dia tidak suka kami menginap di sini. Dia mau kamu mengusir kami sekarang, dan kamu sudah sepakat." Louis menarik napas lebih dalam. Ia sebetulnya tidak tega melihat wajah kusut sang balita. Namun, ia tidak mungkin mengubah keputusan. "Kamu tahu bahwa di luar sana, banyak orang sedang membicarakan kita? Grace berpikir kalau kalian menginap di sini, isu itu akan bertambah parah. Orang-orang bisa semakin membenci kita," terangnya, pelan-pelan. Summer hanya berkedip, menyimak. "Bahkan ibumu juga sempat khawatir kalau aku membawa kalian ke sini. Awalnya, aku membantah pendapat itu. Tapi, setelah dipikir-pikir, sepertinya itu benar. Kalau kita masih bersama, orang-orang
"Baiklah kalau kau berkata begitu. Sekarang, ayo kita ke ruang makan. Summer pasti lapar. Dia menghabiskan banyak tenaga untuk menangis barusan," ajak Louis lirih. "Itu juga bukan kesepakatan kita, Louis," sela Grace lagi. Louis langsung mengernyit. Ia tidak habis pikir dengan kekasihnya sendiri. "Ace," ia merapat kepada sang wanita, "bisakah kau bersikap hangat sedikit? Sekalipun kau cemburu, kau tidak berhak memperlakukan mereka dengan kasar." Grace dengan angkuhnya membuang muka. "Mereka juga tidak berhak mengusik hubungan kita, Louis," gerutunya. Mendengar itu, Sky menelan ludah pahit. Ia raih tangan sang putri, berbisik, "Summer, tadi kau bilang mau ke kamar mandi? Kamu sudah melakukannya?" Sang balita menggeleng. "Kalau begitu, ayo Mama temani. Setelah itu, kita bisa pergi mencari es krim." Bukannya senang, wajah sang balita berubah kusut lagi. "Bagaimana dengan makan malam bersama Paman Louis?" "Kita bisa melakukan itu lain kali. Sekarang sudah ada Nona Ev
"Kau tahu? Sepertinya, bukan putriku yang perlu kuajari, tapi kau! CEO perusahaan besar yang katanya berpendidikan, tapi tidak punya moral," balas Sky, lantang. Mendengar tanggapan tersebut, senyum dingin Grace memudar. "Apa maksudmu? Kau yang berniat merebut kekasihku, tapi kau juga yang menuduhku tidak bermoral? Apakah tidak terbalik?" Sky mendengus sinis. "Apakah aku salah? Kau memang tidak mengerti caranya menghargai orang lain. Coba saja kau pikir, pantaskah orang dewasa seumurmu mencela anak kecil seumur putriku? Kau tidak malu menyebutnya dengan cara hina seperti itu?" "Dia memang hina. Dia sudah merusak hubungan aku dengan Louis. Dia sama seperti ibunya yang tak tahu malu dan tak tahu diri itu," jawab Grace santai. Darah Sky semakin mendidih. "Kau terus menyebut kami sebagai perusak hubunganmu. Apa kau yakin tentang hal itu? Karena menurutku, kau kurang teliti memikirkannya." Tiba-tiba, Sky mencondongkan badan ke depan. Sambil mengangkat sudut bibirnya sedikit, ia b
Awalnya, Louis hanya bermaksud membasuh muka. Namun, entah mengapa, ia merasa gundah. Ia akhirnya mandi demi mendinginkan hati dan pikiran. Malangnya, hal itu tidak membantu. Ia masih saja memikirkan keputusannya tadi. Tepatkah jika ia mengingkari janjinya kepada Summer lagi? Padahal, gadis kecil itu sudah sangat bersemangat untuk menjadikan hari itu sebagai hari terbaik. Louis merasa jahat karena ia telah mengubah hari terbaik Summer menjadi hari terburuknya. "Adakah sesuatu yang bisa kulakukan untuk menghiburnya?" gumam Louis sambil mendesah berat. Selang perenungan singkat, senyum kecil terbentuk di bibirnya. Selesai mandi, ia langsung keluar mencari sang balita. Sebuah buku dan pena berada di tangannya. "Summer, aku punya sesuatu untukmu," seru Louis, memanggil. Namun, tidak ada suara manis yang menjawab. "Summer?" panggilnya lagi. Sayangnya, tetap tidak ada sahutan yang terdengar. Setibanya di ruang tengah, Louis mengernyitkan dahi. Hanya ada Grace di sana. Ia sedang
"Sepertinya, bukan hanya Gigi yang perlu meminta maaf kepada Summer di sini, tapi ibunya juga. Bukankah Anda juga sempat menghina putri saya, Nyonya?" Louis menaikkan sebelah alis. Mulut Gloria ternganga. Ia masih kesulitan mengucapkan kata. "Y-ya, saya juga bersalah." Ia menghampiri Summer, membungkuk untuk memeluk tubuh mungilnya. "Tolong maafkan aku, Summer. Aku tidak seharusnya mengajarkan putriku untuk menyudutkanmu. Maaf karena aku telah meremehkanmu." Berbeda dari perlakuannya terhadap Gigi, Summer tidak langsung memaafkan wanita itu. Ia melepaskan diri dari pelukannya. Sambil menjauh sedikit, ia berkacak pinggang. "Apakah Anda sungguh-sungguh menyesal, Nyonya?" tanyanya membuat Gloria tersentak. "T-tentu saja," jawab wanita itu dengan wajah memelas. "Entah kenapa, aku merasa kalau kamu meminta maaf hanya karena takut kepada Papa," tutur Summer sembari memicingkan mata. Mendengar penilaian tersebut, Gloria membeku. Matanya berkedip-kedip, mencari petunjuk.
"Siapa nama Anda?" tanya Louis sembari memicingkan mata. Bibir Gloria bergetar saat menjawabnya, "Gloria Brown." Sambil tersenyum miring, Louis mengangguk-angguk. Tatapannya kemudian bergeser turun. "Dan kamu? Siapa namamu?" tanya Louis dengan sebelah alis naik mendesak dahi. "Georgina Brown. Semua orang biasanya memanggilku Gigi," jawab gadis kecil itu tanpa rasa takut. Ia terlalu bodoh untuk mengerti konsekuensi apa yang sedang menantinya. "Georgina Brown," gumam Louis seraya bergerak maju. Setibanya di hadapan anak itu, ia memiringkan kepala. "Siapa yang mengajarimu untuk berbicara seperti itu?" "Mama yang mengajariku. Mama bilang, semua orang punya status yang berbeda-beda. Aku hanya boleh berteman dengan anak-anak dari level atas." Summer terkesiap. Ia mendongak menatap Sky, berbisik, "Mama, bukankah itu ajaran yang salah?" Sky menempatkan telunjuk di depan mulut. "Sayang, mari kita serahkan hal ini kepada Papa. Saat ini, kita simak saja," bisiknya. "Oh, oke,"
Gloria mendengus jijik. Sorot matanya penuh hinaan. "Apakah kau mengatakan bahwa status orang tuamu lebih tinggi dariku?" Summer menggeleng lugu. "Tidak. Aku tidak suka membanding-bandingkan. Aku hanya ingin mengatakan kalau kau tidak bisa meremehkan Papa begitu saja." Gloria tertawa kesal. Sambil melipat tangan di depan dada, ia menantang, "Memangnya siapa ayahmu?" "Orang-orang menyebutnya pria nomor satu di L City!" sahut Summer dengan mata berbinar. Semua orang tahu ia merasa bangga karena senyumnya sangat lebar. Sementara itu, mata Gloria menyipit. "Maksudmu, Louis Harper?" Summer mengangguk mantap. "Ya, itulah nama papaku. Apakah kau mengenalnya? Mungkin kalian berteman. Papaku dan suamimu sama-sama memimpin perusahaan besar." Bukannya takut, Gloria malah tertawa datar. "Louis Harper? Yang benar saja? Tuan kepala sekolah, Anda percaya dengan kebohongannya?" "Nyonya, apakah Anda tidak mengikuti berita selama liburan? Tuan Louis Harper memang ayah dari Summer," tutur sang
Summer duduk di kursi dengan kepala tertunduk. Kedua tangannya saling meremas di depan perut. Sekilas, ia tampak bersalah. Namun sebenarnya, ia sedang menahan kesal. Itu adalah hari kedua ia bersekolah. Ia berniat untuk belajar dengan sungguh-sungguh, membuat orang tuanya bangga. Namun ternyata, ia malah terlibat masalah. Saat ia sedang merenung itulah, tiba-tiba, suara berisik datang dari luar. "Di mana anak itu? Mana anak yang sudah berani mengganggu putriku?" Semua orang sontak menoleh ke arah pintu. Beberapa detik kemudian, Gloria Brown masuk dengan raut tak senang. Saat itu pula, tangisan Gigi kembali bergema. "Mama," ia berlari menuju Gloria. Belum sempat ia memeluk sang ibu, kedua lengannya ditahan. "Astaga, Sayang. Apa yang terjadi pada gaunmu?" tanya Gloria dengan mata terpelotot. Gigi meruncingkan telunjuk ke arah Summer. "Dia menumpahkan yogurt di gaunku. Guru-guru sudah berusaha untuk membersihkannya, tapi nodanya tidak mau hilang." Gloria sontak melirik
Bibir Summer menguncup. Sorot matanya tampak bingung. "Kenapa kamu berpikir kalau aku miskin?" "Bajumu jelek. Tasmu juga sepertinya sudah tua. Kamu harus pulang dengan menumpang mobil River karena orang tuamu malu menampakkan diri," terang Gigi dengan nada meremehkan. Summer mendesah berat seperti orang dewasa. "Gigi, kita tidak boleh menilai seseorang dari luarnya saja. Itu bukan perbuatan baik. Selain itu, kita juga tidak boleh membeda-bedakan teman berdasarkan kekayaan. Mama bilang, yang harus kita lihat dari diri seseorang itu adalah kepribadiannya. Kita seharusnya mencari teman yang baik, bukan teman yang kaya." Gigi memasang raut angkuh. "Kamu berani menasihatiku? Apakah kamu tidak tahu siapa aku?" Summer mengangguk. "Aku tahu. Kamu Gigi. Georgina Brown." "Apakah kamu tahu siapa ayahku?" Gigi menaikkan sebelah alis. "Kalau itu, aku tidak tahu. Haruskah aku berkenalan dengannya?" jawab Summer santai. "Ayahku adalah pemimpin Brown Group! Dia salah satu pengusaha p
Louis dan Sky bertukar pandang. Mereka sama-sama khawatir pada putri kecil mereka. "Apa saja yang anak bernama Gigi itu katakan padamu, Sayang?" selidik Sky dengan nada serius. Summer pun berkacak pinggang. Ia ulangi semua perkataan Gigi dengan nada suara dan mimik wajah yang sama. Yang lain dengan serius memperhatikan. "Lalu, apa lagi yang dia katakan selain itu?" tanya Louis setelah Summer berhenti. "Tidak ada, Papa. Dia hanya mengatakan itu saja," geleng Summer lugu. "Apakah dia melakukan sesuatu yang buruk padamu?" selidik Sky lagi. Bibir Summer menguncup. Kepalanya condong ke kiri sedikit. "Tidak ada, Mama. Dia hanya menegaskan itu saja. Dia mau aku berhenti datang ke sekolah." "Lalu, apa yang kamu katakan padanya?" River juga penasaran. Tiba-tiba, suara Summer terdengar garang, "Aku berkata dengan tegas kalau dia tidak berhak mengatur hidupku. Meskipun dia melarangku untuk belajar di Sekolah Savior, aku tetap akan datang. Karena itu sudah menjadi rencanaku. Aku mem
Melihat bagaimana Summer lanjut makan dengan tenang, Gigi tercengang. Ia tidak terima Summer berani membantah peringatannya. Namun, saat ia hendak mengungkapkan kekesalan, River sudah telanjur datang. Alhasil, ia hanya bisa tertunduk, menelan kejengkelannya bulat-bulat. "Summer, apakah kamu sudah selesai makan?" tanya River sambil duduk di kursinya tadi. Melihat makanan yang tersisa di baki si gadis kecil, ia menepuk-nepuk pundaknya. "Tidak apa-apa, Summer. Tidak perlu tergesa-gesa. Kunyah makananmu dengan benar. Jangan sampai tersedak," tuturnya, seperti orang dewasa. "Dan setelah makan, jangan lupa membersihkan wajahmu." Summer mengangguk-angguk. Begitu ia selesai makan, ia mengelap mulut dengan teliti. River membantunya membersihkan noda di hidung dan pipi. Menyaksikan hal itu, kekesalan Gigi semakin membara. Saat Summer dan River pergi melancarkan rencana, ia hanya bisa menatap punggung mereka dengan mata berkaca-kaca yang dihiasi guratan merah. "Lihat saja nanti. Aku
Sementara anak-anak dari meja sebelah kembali ke tempat masing-masing, River berbisik, "Summer, apakah kamu mempelajari itu dari rekening bank-mu?" "Ya!" seru Summer dengan mata bulat. "Aku melihat bagaimana nilai tabunganku di buku bank berubah. Aku meminta Mama untuk menjelaskannya." River mendesah takjub. "Wah, kurasa kau benar. Belajar itu tidak harus di sekolah, tapi bisa di mana saja. Buktinya, kau bisa mempelajari banyak hal dari satu buku bank." Summer terkikik geli. Ia suka dipuji, dan ia senang pengetahuannya berguna untuk membantu teman-teman yang lain. Sementara itu, Gigi tertunduk dan mulai meremas jemarinya sendiri. Kekesalannya sudah tidak bisa diatasi. "Summer betul-betul jahat. Dia telah merebut guru-guru dan teman-temanku. Gara-gara dia, semua orang mengabaikan aku hari ini. Dia perlu diberi peringatan," pikirnya sebal. Karena itu, begitu jam istirahat tiba, ia membuntuti Summer dan River. "Ayo, Summer. Kita harus cepat. Waktu kita terbatas, sedangka
"Maaf, Mrs. Ross. Semua anak sudah menjawab pertanyaan, kecuali Summer. Kurasa dia belum mengerti," tutur Gigi dengan nada iba. Mendengar itu, semua orang kompak menatap Summer. River yang sejak tadi fokus dengan dirinya sendiri mendadak merasa bersalah. Padahal, ia sudah berjanji untuk membantu Summer kalau ia mengalami kesulitan di kelas. "Summer, apakah kamu belum mengerti?" tanya River, mendahului Mrs. Ross yang baru sempat membuka mulut. Summer berkedip lugu. Senyumnya manis. "Aku mengerti," angguknya. "Summer," panggil Mrs. Ross dengan penuh perhatian, "kalau kamu memang belum mengerti, tidak apa-apa. Ibu guru bisa menjelaskannya lagi padamu." "Tidak usah, Mrs. Ross. Anda tidak perlu menjelaskan ulang. Aku sungguh sudah mengerti," Summer mengangguk-angguk lebih cepat. "Kalau kau memang sudah mengerti, kenapa kau diam saja sejak tadi?" celetuk Gigi, nyinyir. Summer mengedikkan bahu ringan. "Aku tidak mau menghambat pembelajaran. Aku hanya murid sementara di kelas ini.