Selama ini, setiap kali Emily bertanya tentang penampilan Sky, Louis selalu menjawab dengan candaan. Hal itu sering membuat Sky kecewa dan kesal. Namun tadi, jawaban Louis terdengar jujur dan spontan. Sky tidak bisa berhenti tersenyum karenanya. Bahkan, saat mereka sudah menunggangi kuda, sudut bibirnya masih terangkat ringan. "Sayang, apakah kau suka dengan kuda itu?" tanya Sky ringan. Balita yang sedang mengelus kuda pun menoleh. Wajahnya sama ceria dengan wajah sang ibu. "Ya, Mama! Dusty sangat kuat! Padahal, aku dan Paman Louis berat, tapi dia sanggup membawa kami. Dia sudah bekerja keras hari ini. Dan dia sangat cepat! Apakah Mama lihat bagaimana dia berlari tadi?" Sky mengangguk dengan senyum manis. "Ya. Kuda Mama sampai tertinggal jauh tadi." Rasa bangga semakin terpancar dari mata abu si gadis kecil. "Aku sudah seperti koboi cilik yang sedang menggembala sapi bersama ayahnya. Kuda kami melaju cepat karena harus mengejar ternak. Kalau ada sapi yang nakal, aku bisa memut
Sky mematung. Tubuhnya terasa dingin, sarafnya menegang. Ia tidak bisa membayangkan apa jadinya kalau kunci itu sungguh hilang. Posisi mereka saat ini cukup jauh dari kandang. Bagaimana mereka bisa kembali dengan tangan terkunci? "Apa katamu, Sayang?" tanyanya lagi, berharap Summer mengucapkan sesuatu yang berbeda. "Kuncinya hilang, Mama. Dia tidak ada di dalam kantongku," jawab Summer dengan alis berkerut. Tidak percaya, Sky memeriksa sendiri saku sang putri. Ia juga meraba-raba pakaian si gadis kecil. Tidak menemukan apa-apa, ia mendesah lirih, "Kamu tidak bercanda, kan, Sayang? Apakah kamu sengaja menyembunyikan kuncinya supaya Mama dan Paman Louis terus dekat?" Louis spontan melirik. Ia tidak menduga Sky bisa menyuarakan pendapat sejujur itu. "Tidak, Mama. Aku sudah berjanji tidak akan menjadi anak nakal lagi tadi. Aku juga sudah bertekad untuk menjaga pemberian Tuan Rodriguez dengan baik. Mungkinkah kuncinya jatuh sewaktu kita berkuda tadi?" Sementara Sky menghela
Dari posisi kudanya yang agak tertinggal, Summer berkedip-kedip melihat punggung Louis. Ia heran apa yang laki-laki itu bicarakan bersama Sky. Sama sekali tidak ada suara yang bisa ia dengar. "Hei, Straw," Summer berbisik kepada sang kuda, "bisakah kamu berjalan sedikit lebih cepat? Aku mau melihat apa yang sedang Paman dan Mama lakukan." Summer menunggu beberapa saat. Akan tetapi, kuda yang ditungganginya tetap berjalan lambat. "Oh, bagaimana ini? Apa yang harus dilakukan supaya kuda bisa berjalan lebih cepat?" Summer mulai berpikir. "Haruskah aku menggerakkan kaki seperti saat menunggangi Dusty tadi? Dia berlari karena aku menjepit perutnya. Kalau aku menekan perut Straw sedikit, mungkin dia tidak akan berlari, hanya berjalan lebih cepat. Perlukah aku mencobanya?" Setelah mengetuk-ngetuk dagu beberapa kali, Summer akhirnya memberanikan diri. Ia menggerakkan kaki sekali. Tanpa terduga, caranya berhasil. "Bagus, Straw. Ayo susul Dusty!" bisiknya, penuh semangat. Tanpa sadar
Pipi Sky memerah mendengar bisikan Louis. Darahnya berdesir, mata bulatnya berkedip-kedip. Sambil berusaha mengendalikan imajinasi, ia mencondongkan diri ke arah Louis. "Hei, tidak bisakah kau menahannya? Tunggu saja sampai borgol ini lepas. Aku juga sebetulnya ingin ke toilet, kau tahu? Tapi aku menahannya," bisiknya. "Kau pikir aku suka pergi ke toilet bersamamu? Aku juga terpaksa! Ini sudah tidak bisa ditahan. Kita ke toilet saja daripada kandung kemih kita pecah," balas Louis dengan ekspresi serius. Sky menghela napas berat. Melihat itu, Summer tidak bisa lagi menahan rasa penasarannya. "Mama, Paman, apa yang kalian bicarakan? Kenapa berbisik-bisik seperti itu? Apakah itu urusan orang dewasa yang tidak boleh diketahui oleh anak kecil lagi? Kalian berencana untuk berciuman tanpa terlihat olehku?" selidik Summer sambil memiringkan kepala. Sky sontak mengerjap. "Apa? Berciuman? Dengan Louis? Tidak, Sayang. Kenapa kamu berpikir begitu?" "Memangnya, apa lagi yang tidak
Setibanya di penginapan yang dipilih oleh Summer, Sky dan Louis masih saja canggung. Meskipun balita itu tidak berkomentar apa-apa, mereka tetap merasa terbebani. Apalagi, staf peternakan yang menemani Summer tadi sesekali melirik dengan penuh arti. Karena itu, saat Summer berlari masuk, Sky dan Louis tidak buru-buru mengejar. Mereka justru menahan staf tersebut agar tidak pergi. "Maaf, Nyonya Gale. Bisakah kami meminta waktu Anda sebentar?" bisik Sky. Wanita paruh baya itu berbalik sambil meninggikan alis. "Ya? Ada lagi yang bisa saya bantu, Nona Hills?" Sky melirik Louis. Pria itu malah memberi gestur untuk menyuruhnya bicara. Sky pun menggigit bibir. "Sebenarnya tadi itu," ia menarik napas dalam-dalam, "kami tidak melakukan apa-apa. Louis ingin buang air kecil, tapi tangan kami masih diborgol begini. Jadi, mau tidak mau, aku menemaninya." Nyonya Gale berkedip-kedip, berpura-pura lugu. Akan tetapi, dagunya berkedut. Bibirnya bergetar menahan senyum. "Anda tidak perlu menj
“Aku sebetulnya ragu untuk mengatakan ini, tapi kurasa kau berhak tahu. Louis berencana melamar kekasihnya Sabtu depan. Barangkali, ada yang mau kau ungkapkan kepadanya. Lakukanlah sebelum terlambat. Jangan sampai kau menyesal.”Sudah berapa kali Sky berusaha melupakan informasi itu. Akan tetapi, suara Emily, sahabatnya, terus bergema. Bayang-bayang cinta pertamanya juga enggan pergi dari benaknya. Semakin lama matanya terpejam, wajah Louis justru semakin jelas. Kebersamaan mereka dulu pun kembali terulas, kebersamaan yang tak pernah lagi terulang sejak mereka putus kontak beberapa tahun silam.“Ck, kenapa aku terus memikirkan laki-laki itu? Ayolah, Sky. Dia bahkan tidak pernah menghubungimu lagi. Untuk apa mengenangnya?” batin Sky, mengingatkan diri sendiri. Sesekali, ia mengusap sudut matanya yang terasa berair. “Lagi pula, kau sudah bahagia bersama Summer sekarang.”Seakan tahu bahwa namanya ada di pikiran sang ibu, Summer, gadis cilik yang berbaring di sisi Sky bangkit duduk. “Ma
Beberapa saat lalu, di restoran tempat Louis melamar sang kekasih ....“Hentikan! Kau tidak boleh menikah dengan gadis itu, Tuan Louis Harper. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah merestui kalian!”Semua orang terkesiap mendengar suara imut yang melengking itu. Tak terkecuali Louis yang sedang berlutut memegang kotak cincin. Begitu menoleh, mulutnya langsung terbuka lebar. Matanya terbelalak, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.Seorang gadis cilik sedang berkacak pinggang di pintu masuk restoran! Jumpsuit bergambar beruang membuatnya terlihat sangat lucu, apalagi dengan pipi gembul yang digembungkan dan mata bulat yang dipaksakan seram.Dalam sekejap, ruangan itu penuh dengan bisikan. Para pelayan, pengawal, bahkan paparazi yang mengintai—semua sibuk dengan asumsi masing-masing.“Astaga! Lihatlah gadis kecil itu! Bukankah dia sangat mirip dengan Tuan Harper?”“Bukan Tuan Harper, tapi kembarannya. Dia persis seperti Emily muda. Hanya rambut mereka saja yang berbeda. Gadis itu
Setibanya di sebuah penthouse, gadis kecil yang bersama Louis itu tercengang. Ia tidak peduli dengan telinganya yang masih merah. Matanya sudah telanjur terpesona dengan apa yang ada di hadapannya.“Tuan Harper, kudengar kau punya banyak rumah. Apakah ini salah satunya? Ini sangat keren dan indah. Seperti istana!”Louis mendengus mendengar celotehan tersebut. Ia semakin yakin bahwa orang yang mengirimkan bocah itu mengincar hartanya.“Masuklah,” Louis melangkah lebih dulu menuju sofa. Nada suaranya datar, tidak bersahabat.Akan tetapi, sang balita sama sekali tidak mempermasalahkan. Dengan raut ceria, ia duduk di samping sebuah rak.“Apa yang kau lakukan?” tanya Louis, heran.Gadis kecil itu mendongak sambil menarik tali sepatunya. “Mama bilang, kita tidak boleh menggunakan alas kaki di dalam rumah, apalagi rumah orang lain. Nanti lantainya bisa kotor.”“Apakah kau sedang berusaha menarik perhatianku?” Mata Louis menyipit.“Tidak,” sang balita menggeleng santai. “Memang begitu peratur