Jeng jeng jeng .... Bagaimana reaksi Summer begitu tahu ibunya datang menjemput? Yang penasaran, yuk komen!
Belum sempat Sky menjawab, Summer sudah berlari ke arah cermin. Melihat wajah bulatnya sudah bersih, alisnya tertaut tipis. "Apakah aku sedang bermimpi? Seharusnya masih ada lukisan harimau di wajahku, dan Mama tidak mungkin ada di sini." Kemudian, ia tertunduk, memeriksa kedua tangan. "Tapi aku punya sepuluh jari, dan ruangan ini ...." Summer mendongak dan mengedarkan pandangan. "Tidak ada yang aneh di sini. Semuanya tampak nyata." Sementara Louis kebingungan, Sky menghampiri sang putri dan meraih pundaknya. "Sayang, kamu tidak sedang bermimpi," tuturnya lirih. Akan tetapi, Summer tidak menanggapi. Ia malah meraih tangan sang ibu. Mendapati sepuluh jari, ia berlari menuju Louis. "Paman, mana tanganmu? Aku harus memastikan kalau ini hanya mimpi." Louis mendesah iba mendengar nada keputusasaan tersebut. Ia biarkan Summer menghitung jarinya. Ketika selesai, gadis kecil itu kembali mencebik. "Ini bukan mimpi?" simpulnya lirih. "Summer," Louis mengelus rambut keritingnya ya
"Apakah kau butuh bantuanku untuk bicara dengan Summer?" tawar Louis, ragu-ragu. "Aku penyebab dia marah seperti itu. Mungkin—" "Dia justru akan semakin marah kalau kau mencoba membujuk," sela Sky, yakin. "Percayalah, Louis. Aku bisa menangani Summer. Aku ibunya." Louis menggertakkan geraham. Ia merasa prihatin kepada Sky dan Summer, tetapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. "Maaf aku gagal menghiburnya. Dia tidak akan seperti ini kalau aku memenuhi janji," bisik Louis tulus. Sambil tersenyum getir, Sky menggeleng. "Membahagiakan Summer bukanlah tugasmu. Kau bersedia menjaganya saja, aku sudah sangat bersyukur. Aku justru merasa bersalah karena dia membuat banyak masalah sehingga kau terganggu." "Kau tahu? Awalnya aku memang merasa terganggu. Dia sangat aktif dan berisik. Tapi setelah diingat-ingat, kurasa kami impas. Bukan aku saja yang jengkel. Summer juga. Aku sudah mengecewakannya beberapa kali." "Karena permintaannya yang mustahil untuk kau penuhi?" Sky memaksakan tawa.
Sky mengintip lewat celah pintu. Summer ternyata sedang tengkurap di atas kasur. Tangisnya sudah tidak terdengar. Tangannya sesekali bergerak mengusap hidung. "Sayang, bolehkah Mama masuk?" bisik Sky lembut. Bukannya menjawab, Summer malah menyembunyikan wajah dan berpura-pura tidur. Melihat itu, Sky pun duduk di tepi kasur. "Sayang, bisakah kita bicara?" tanya Sky seraya mengusap punggung Summer. "Tidak bisa, Mama. Aku sedang tidur," sahut balita itu dengan suara serak. Mendengar kebohongan yang terlampau jujur itu, Sky tersenyum kecut. "Apakah kamu masih marah kepada Mama?" Summer tidak menjawab. Kesenduan di wajah sang ibu pun menebal. "Diam itu tidak menyelesaikan masalah, Summer. Kalau kamu tidak bicara kepada Mama, bagaimana Mama bisa tahu kamu mau apa? Kita berbincang sebentar, hmm?" Akhirnya, Summer memutar kepala menghadap Sky. Matanya sudah tidak terlalu merah, tetapi alisnya masih tertaut erat. "Kenapa Mama masih bertanya? Bukankah Mama sudah tahu ap
"Oh, Sayang," Sky mengecup kepala putrinya, "maaf kalau Mama belum bisa memberikan yang terbaik untukmu. Mama pikir selama ini kamu bahagia. Mama sudah berusaha membuat kehidupanmu sempurna, tapi ternyata, kamu masih menyimpan kesedihan." Dalam pelukan sang ibu, Summer berkedip-kedip mencerna situasi. "Apakah Mama merasa bersalah terhadapku?" "Ya, Mama tidak tahu kalau kamu menginginkan kehadiran seorang ayah," bisik Sky lirih. Mendengar itu, mata Summer membulat. "Apakah itu artinya Mama akan berubah pikiran? Mama mau menikah dengan Paman Louis supaya dia menjadi papaku?" Summer menarik kepalanya mundur dan menatap sang ibu. Sky bisa melihat kerlip harapan di matanya menyapu redup. Namun, ia tidak mau menjaganya tetap menyala dengan kebohongan. "Tidak, Sayang. Mama tidak mungkin menikah dengan Paman Louis. Dia sudah melamar orang lain. Kalau kamu memang menginginkan seorang ayah, Mama harus mencari orang lain. Mungkin di luar sana, ada seseorang yang bisa mencintai kita
Sambil meringis menahan malu, Sky menurunkan kakinya dari atas tempat tidur. Setelah itu, cepat-cepat ia bergeser ke samping, menjauh dari Louis. "Aku baik-baik saja. Terima kasih telah menolongku," tutur Sky setengah berbisik. Entah karena terkejut ataupun karena kehangatan yang tadi sempat melingkupinya, debar jantungnya masih terlalu kencang. "Kau yakin baik-baik saja? Tidak ada yang sakit?" selidik Louis. Sky tidak berani membalas tatapan kawatir itu. Ia tertunduk, memutar badan ke kanan dan ke kiri. "Ya, pinggangku aman." Louis pun mengangguk lega. Sementara itu, dari atas kasur, Summer menyaksikan dengan senyum terkulum. Ia merasa lucu melihat ibunya salah tingkah, dan ia senang karena Louis masih perhatian terhadap Sky. "Paman Louis kurasa kau harus memeriksa kaki Mama. Mama bisa saja terkilir. Kakinya terangkat begitu tinggi saat ia jatuh tadi," tutur Summer tanpa sedikit pun rasa bersalah. Mendengar nada ceria tersebut, Sky menoleh. Ia mengira bahwa telinganya salah
Louis menghela napas. Tatapannya terkunci pada wajah bulat yang menggemaskan di hadapannya. "Kau boleh tinggal di sini satu hari lagi. Kita lakukan agenda yang tertunda, tapi ingat! Besok kau harus pulang bersama ibumu. Aku tidak bisa mengantar kalian karena hari ini, aku akan menunda banyak pekerjaan. Besok aku harus mengurusnya." "Benarkah?" Mata Summer berbinar. Tawanya bergema. Dengan penuh semangat, ia bangkit duduk menghadap Louis. "Kamu sungguh akan menghabiskan waktu bersamaku hari ini, Paman?" tanyanya dengan suara ringan. Louis mengangguk. "Ya." Summer langsung menghambur ke arah Louis, memeluknya erat. Kalau saja Louis tidak kuat menahan serbuannya, mereka berdua pasti sudah terguling ke lantai. "Terima kasih, Paman Louis. Kamu memang bijaksana! Aku janji tidak akan nakal. Aku akan menjadi anak baik selama kita bersama!" seru Summer ringan. "Jangan hanya saat kita bersama, Manusia Mungil, tapi selamanya. Teruslah menjadi anak baik supaya ibumu tidak pusing."
Pagi itu, Summer tak henti-hentinya tersenyum dan tertawa. Hatinya sangat bahagia. Louis betul-betul menepati janji. Ia menemani Summer menggosok gigi dan mencuci muka. Setelah balita itu selesai mandi, ia juga menyisir rambutnya. Louis jadi seperti sedang memanjakan anaknya sendiri. Menyaksikan hal itu, napas Sky terasa berat, matanya berkaca-kaca. Rasa bersalah mengendap di hatinya. Summer sudah berusia empat tahun, tetapi baru sekarang ia bisa merasakan kasih sayang dan perhatian dari “seorang ayah”. Sky merasa bertanggung jawab atas kemalangan putrinya. "Lihat, Mama! Aku akhirnya menjadi bersih dan wangi lagi. Rasanya segar sekali," tutur Summer begitu Louis selesai mengolesi wajahnya dengan krim. Wanita yang sejak tadi mengamati dari pintu pun tersenyum kecut. "Kamu bicara seolah-olah kamu sudah lama tidak mandi, Sayang." "Memang sudah lama, Mama. Sejak tiba di sini, baru pagi ini aku sempat mandi," aku Summer tanpa dosa. Alis Sky sontak terdongkrak naik. "Kenapa? B
Summer tampak sangat lucu dengan setelan balap mungil di tubuhnya. Apalagi, helm yang ia kenakan menjepit pipi gembulnya. Semua orang yang melihat merasa gemas. "Ayo mulai berlatih, Paman Louis! Hari ini, aku harus sudah bisa mengemudi!" seru Summer sembari mengepalkan tangan dengan erat. Saat ia menapakkan kaki di atas mini jeep, semangatnya semakin membara. Semua penjelasan Louis ia simak dengan saksama. Beberapa saat kemudian, ia sudah meluncur meski lajunya berkelok-kelok. "Woohoo! Mama, lihat aku! Aku sudah bisa mengemudi!" serunya sembari melambaikan tangan. Saat itulah, mobilnya berbelok drastis. Louis yang mengawasi dari belakang pun berseru, "Summer, pegang kemudi dengan dua tangan! Bisa gawat kalau kamu menabrak pagar." Melihat bagaimana Louis berlari mengejar gadis kecil, Sky terkekeh. Namun, ketika sesuatu melintas dalam pikirannya, tawanya mereda. Perlahan-lahan, sudut bibirnya berubah arah. Matanya berkaca-kaca. "Apakah aku egois telah membiarkan Summer tumbuh