Sambil duduk di tepi ranjang, Louis mulai membentur-benturkan kepala dengan kepalan tangan. Matanya tertutup, alisnya berkerut. Ia sadar, dirinya tidak boleh hanyut dalam pikiran keruh.
“Tidak. Sky tidak mungkin sejahat itu. Putri kecilnya itulah yang bermasalah. Kalau memang dia ingin punya ayah, kenapa dia tidak mencari ayah kandungnya saja? Kenapa malah mengacaukan rencana indahku? Kalau dia tidak datang, aku pasti sedang berbahagia bersama Grace.”
Selang keheningan sejenak, Louis mengangguk-angguk mantap. “Ya, dia pasti mewarisi sikap menjengkelkan itu dari ayahnya. Dia banyak tingkah, keras kepala, dan semena-mena. Pasti itu dia dapatkan dari sang ayah. Bukan Sky yang bersalah, tapi Summer dan ayahnya. Sekarang apa yang dia lakukan? Dia tidak sedang menghancurkan rumah, kan?”
Louis mengeluarkan ponsel, memantau kamera pengawas. Tidak mendapati Summer di ruang depan, ia terbelalak. “Ke mana perginya manusia mungil itu?”
Louis pun memeriksa kamera lain. Menemukan Summer sedang mencuci tangan di wastafel dapur, alisnya meninggi.
“Dia menggeser kursi itu supaya bisa naik? Cerdas juga dia.”
Louis tidak sadar kalau bibirnya melengkung tipis. Selama beberapa saat, ia perhatikan gerak-gerik gadis kecil itu. Summer tampak ceria dan menggemaskan. Namun, saat ia membawa kotak bekalnya mendekati kulkas, Louis kembali menautkan alis.
“Apa yang dia cari di situ? Apakah dia berencana untuk mencuri makanan?”
Tanpa terduga, gadis kecil itu meletakkan dua kotak susu di dalam kulkas. Setelah itu, ia duduk di meja makan. Ia nikmati roti yang ia beli di bandara. Kepalanya mengangguk-angguk riang.
“Apakah dia kenyang dengan sepotong roti itu?” gumam Louis spontan. Ketika tersadar, ia cepat-cepat menggelengkan kepala. “Untuk apa aku peduli padanya? Dia bukan anakku. Dia adalah pembawa sial dalam hubunganku dengan Grace. Aku tidak boleh mengasihaninya.”
Usai makan, Summer kembali membuka kulkas. Ia ambil satu kotak susu dari sana dan membawanya ke meja.
“Itu bahkan belum dingin. Kenapa dia meminumnya?” gerutu Louis, berusaha terdengar tak acuh.
Namun, saat Summer membersihkan meja dan mengembalikan kursi ke tempat semula, Louis tidak bisa menyangkal kalau ia terpukau. Saat balita itu membawa handuk, piama, dan sikat gigi ke kamar mandi, ia tidak bisa menyangkal kalau dirinya merasa was-was.
Banyak hal bisa terjadi di dalam sana. Summer bisa saja terpeleset. Kepalanya membentur sesuatu atau lututnya terluka. Saat sang balita keluar dengan piama lucu bergambar rusa, barulah Louis menghela napas lega.
“Dia betul-betul bisa mengurus diri sendiri? Syukurlah.”
Louis mengangguk-angguk bangga. Namun, menyadari apa yang baru saja ia katakan, senyumnya kembali datar.
“Tunggu dulu. Apa yang sedang kulakukan? Kenapa aku mengawasi manusia mungil itu? Meskipun dia putri dari Sky, dia tidak ada hubungannya denganku. Apakah ini karena sisi kemanusiaan?”
Tak ingin memikirkan alasan lain, Louis memaksakan diri untuk percaya. “Ya, aku mengawasinya karena rasa kemanusiaan. Aku ini pria baik. Aku tidak mungkin tega menelantarkan seorang anak kecil meskipun dia sangat menyebalkan.”
Sementara itu, Summer telah kembali ke ruang tamu. Ia merapikan tas, lalu menyisir rambut ikalnya dengan susah payah. Hati kecil Louis sempat tergerak untuk membantu. Namun, lagi-lagi, ia mengabaikan niat itu.
Tak lama setelah berbaring dalam kantung tidur, Summer terlelap. Ia sesekali menggaruk leher. Melihat itu, Louis kembali resah.
“Apakah dia kepanasan? Dia seharusnya tidak perlu menggunakan kantung tidur di dalam ruangan seperti itu.”
Sambil terus memandangi Summer, Louis berkutat dalam perenungan. Lambat laun, ia mulai sadar. Meskipun ia benci dengan apa yang telah Summer lakukan, ia tidak bisa menyalahkannya. Mungkin saja, gadis kecil itu adalah jiwa yang tersiksa karena merindukan sosok ayah, sama seperti dirinya dulu bersama Emily, kembarannya.
Selang beberapa saat, Louis akhirnya keluar dari kamar. Ia perintahkan para pelayan untuk menyiapkan kamar tamu. Lalu, di dekat Summer, Louis berdiri dengan tatapan sendu. Wajah damai balita itu mengingatkannya pada masa lalu.
Dulu saat ibunya masih berstatus sebagai orang tua tunggal, ia dan Emily juga selalu merindukan sosok ayah. Mereka berdoa setiap malam agar Tuhan mengirimkan seorang malaikat untuk menjadi ayah mereka. Mungkinkah Summer merasakan hal yang sama?
“Aku bukan malaikat, Summer. Kenapa kau memilihku? Kenapa kau tidak mencari ayah kandungmu saja? Apakah Sky merahasiakan identitasnya darimu seperti yang ibuku lakukan dulu? Tapi untuk apa? Bagaimanapun, dia adalah ayah kandungmu. Aku yakin dia pasti akan menyayangimu kalau dia tahu kau anaknya. Sky seharusnya belajar dari kesalahan ibuku dulu. Kenapa malah meniru jejaknya?”
Selama beberapa saat, Louis termenung. Ia merasa iba pada sang balita hingga tiba-tiba, seorang pelayan berbisik padanya, “Tuan, kamar tamu sudah siap.”
Louis mengerjap. Ia mengangguk samar. “Terima kasih. Sekarang kembalilah ke kamar kalian.”
“Apakah kami masih harus bersembunyi, Tuan? Perlukah kami membuatkan makan malam untuk nona kecil ini? Kami sempat mengintip tadi. Dia hanya memakan sepotong roti. Dilihat dari caranya makan yang sangat lahap, sepertinya dia lapar sekali.”
Louis memandangi wajah Summer lagi. Mulut kecilnya sedikit menganga sekarang.
“Biarkan saja dia beristirahat. Dia pasti lelah setelah menempuh perjalanan panjang. Besok pagi, tolong siapkan sarapan yang biasanya disukai anak-anak.”
“Baiklah, Tuan.”
Setelah para pelayan kembali ke kamar masing-masing, Louis menekuk lutut dan memperhatikan wajah Summer. Pipi gembulnya tampak merona merah. Louis semakin yakin kalau ia kepanasan di dalam kantung tidur itu.
“Summer, kalau matamu terpejam begini, kau mirip sekali dengan ibumu,” gumam Louis sebelum menghela napas panjang. Tanpa sadar, tangannya bergerak mengusap rambut ikalnya.
“Kenapa ibumu harus terlibat dengan pria bermata abu-abu? Orang-orang jadi salah sangka karena warna mata kita sama,” bisiknya sebelum termenung sendu.
Dalam keheningan, pandangan Louis beralih ke buku jurnal di samping ransel. Ia raih buku itu dan membukanya. Banyak hal tertulis di sana. Pada lembaran awal, huruf-huruf tampak lebih berantakan.
“Halo, namaku Summer. Umurku tiga tahun. Nama ibuku Sky. Aku dan Mama suka bertualang keling dunia. Kadang-kadang, kami pergi megunjungi Kakek dan Nenek. Mereka juga suka bertualang. Kami adalah keluarga petualang.”
Louis tersenyum mendapati kesalahan eja itu. Gambar seorang wanita dewasa dan seorang anak kecil juga terlihat lucu di sana. Keduanya mengenakan hoodie, jumpsuit, dan tas ransel. Sambil menggeleng gemas, Louis memeriksa halaman lain.
“Hari ini, aku dan Mama berangkat ke Perancis. Mama bilang kami akan bekerja sebagai pemandu di sebuah kastil di atas laut. Aku tidak sabar ingin melihat tempat itu!”
“Mama mengajakku mengunjungi Kakek dan Nenek di NZ. Mama bilang sebentar lagi bulu-bulu domba harus dicukur. Aku jadi penasaran seperti apa domba-domba itu tanpa bulu. Mereka pasti akan malu.”
“Aku senang Mama bisa bertemu dengan Bibi Emily lagi. Mereka adalah sahabat yang telah lama berpisah. Suatu saat nanti, kuharap aku juga bisa memiliki sahabat. Aku tidak perlu bermain sendiri lagi kalau sudah punya teman.”
Wajah Louis mendadak berubah kusut. Pikirannya terganggu bukan karena nama saudara kembarnya, melainkan karena fakta bahwa Summer mendambakan seorang sahabat.
“Apakah dia selama ini kesepian?” gumamnya lirih. Ia tidak bisa menyangkal bahwa ada kepedihan dalam hatinya.
Halo, guys! Selamat datang di cerita baru Pixie. Gimana nih? Suka gak sama kegilaan Summer? Buku ini lagi ikut kontes, loh. Kalau kalian suka dan mau dukung, bisa dengan cara kasih komentar dan gems sebanyak mungkin. Kasih review dan bintang 5 juga. Biar Pixie tambah semangat juga ngetiknya. Kira-kira, apa sih yang disembunyikan Sky? Kenapa dia memilih jadi ibu tunggal? Dan siapa ayah Summer? Dan siapa yang akan Louis pilih nanti? Kepada pembaca analis dan detektif, silakan menduga-duga. Kita lihat tebakan kalian benar atau enggak. Selamat membaca! Stay healthy and happy, guys!
Tiba-tiba, ponsel Louis berdering. Khawatir Summer terbangun, ia cepat-cepat menyingkir. Wajahnya keruh. Namun, melihat siapa yang memanggil, matanya seketika berbinar.“Ace? Kau sudah tidak marah lagi padaku?” Louis terdengar ceria walau suaranya agak pelan.“Louis, kupikir kau sudah menangani anak itu. Tapi kenapa kau membawanya ke penthouse-mu?”Cahaya di wajah Louis mendadak lenyap. Ia tidak menyangka kekasihnya akan mempermasalahkan hal itu.“Aku perlu menginterogasinya dan aku tidak mau ada paparazi yang mengganggu. Jadi, kubawa dia ke penthouse-ku. Kau tahu? Ternyata, dia adalah putri Sky—sahabat Emily itu.”“Sahabat lamamu itu?” balas Grace dengan penuh penekanan.Louis menelan ludah. Ia bisa menangkap kecemburuan dari kekasihnya. “Ya. Aku juga tidak menyangka. Percaya atau tidak, anak itu berangkat seorang diri dari Kanada. Karena itu, aku tidak mungkin menelantarkannya. Kubiarkan dia beristirahat di tempatku.”“Kau tahu kalau itu justru akan menimbulkan prasangka, kan? Papara
"Summer, kau anak baik, kan?" tanya Louis dengan nada membujuk.Sang balita menjawab dengan mata berbinar. "Tentu saja! Kalau saja ada penghargaan untuk anak terbaik di seluruh dunia, aku pasti sudah mendapatnya. Aku ini pintar dan senang membantu orang-orang. Aku juga mandiri dan jarang merepotkan orang lain, kecuali Mama. Terkadang, aku masih membutuhkan bantuan darinya. Tapi kata Mama, itu wajar. Aku masih terlalu kecil untuk melakukan semuanya sendirian."Louis mengangguk-angguk dengan senyum yang dipaksa lebar. "Bagus. Kalau begitu, bisakah kau buktikan? Uruslah dirimu sendiri. Aku harus berangkat kerja sekarang. Ini sudah sangat terlambat."Summer tersenyum miring mendengar itu. Telunjuknya menggeliat seperti cacing di depan dagu. "Paman Louis, kamu tidak bisa membohongiku. Ini hari Minggu. Bibi Emily bilang kalian tidak pernah bekerja di akhir pekan. Sabtu dan Minggu adalah waktu khusus untuk diri sendiri dan keluarga. Karena kamu akan menjadi Papa-ku, bagaimana kalau kita meng
Louis menghela napas cepat. Kepalanya menggeleng tak percaya. "Ace? Aku tahu kau sedang ingin menguji ketulusan dan kesetiaanku, tapi bukan begini caranya.""Tidak ada cara lain, Louis. Aku mulai meragukanmu dan kamu harus menghentikan itu. Kau tahu seberapa kacau pikiran dan perasaanku sejak bocah itu muncul? Bayangkan saja. Lamaran yang kuimpi-impikan hancur karena ulahnya. Coba tempatkan dirimu di posisiku. Jangan hanya bersimpati padanya!"Louis terdiam dan membisu. Matanya yang sayu kini ikut berkaca-kaca. "Kau sungguh ingin aku mengusir anak kecil yang tidak berdaya itu?""Gunakan akal sehatmu, Louis. Kau tidak harus melemparnya ke jalan. Kau punya banyak pelayan dan pengawal. Pilih saja beberapa untuk mengirimnya pulang. Yang penting, ia enyah dari sini dan tidak mengusik hubungan kita lagi."Louis menarik napas berat. Ia melirik ke arah pintu. Balita yang mengintip di sana tampak ketakutan."Paman Louis, tolong jangan usir aku. Masih ada banyak hal yang mau kulakukan denganmu.
Setibanya di hadapan Summer, Louis langsung menekuk lutut. Hatinya terasa pedih mendengar rintihan gadis kecil itu. Apalagi, saat ia memeluknya, punggung Summer ternyata gemetar hebat. Dua tangan mungil yang mendekap lehernya juga terasa dingin dan berkeringat."Paman Louis," isak Summer sambil terbatuk-batuk, "kenapa kamu meninggalkan aku? Tolong jangan lakukan itu lagi."Louis menarik napas berat. Ia tidak bisa menyangkal kalau penyesalan telah menumpuk tinggi dalam dadanya.Sayangnya, ia tidak bisa meminta maaf. Itu bisa menjadi perdebatan baru antara Grace dengan dirinya. Ia tidak bisa juga berjanji untuk tidak meninggalkan Summer. Itu hanya akan menjadi harapan palsu baginya."Kenapa kamu mengejarku, Summer? Bukankah sudah kubilang untuk mendengarkan Nyonya Campbell? Kenapa malah berlari tanpa sepatu?"Louis mempertemukan pandangan. Air mata ternyata masih menetes dari sudut mata sang balita. Dengan penuh perhatian, ia menyekanya."Aku sangat takut tadi. Aku takut tidak bisa berte
"Lalu, apa lagi? Pilihlah beberapa," tutur Louis kaku. Ia merasa konyol karena berniat mencocokkan selera makannya dengan Summer."Kurasa itu akan sulit bagiku. Aku suka makanan. Aku bisa memakan semuanya dengan lahap, kecuali sayur kribo itu. Aku sebenarnya kurang suka brokoli, tapi Mama bilang dia punya banyak manfaat. Jadi, aku terpaksa memakannya."Louis lagi-lagi mematung. Itu sama persis dengan apa yang dialaminya sewaktu masih kecil dulu."Tapi Paman Louis," suara Summer membuatnya mengerjap, "apakah semua makanan ini aman? Maksudku, tidak ada almond atau udang, kan?"Mata Louis kini membulat maksimal. Ia tahu bahwa Sky alergi terhadap almond. Hal itu sangat mungkin menurun kepada Summer. Tetapi udang? Mengapa Summer takut pada udang?"Ada apa dengan almond dan udang?" Louis berpura-pura tidak tahu."Mereka jahat, Paman. Mereka bisa membuatku gatal-gatal dan sesak napas."Louis berusaha untuk tidak mengubah ekspresi. Akan tetapi, kepalanya terlalu berisik oleh pertanyaan-pertany
"Kedua, kamu orang baik. Aku sering mendengar Mama memujimu begitu. Kata Mama, kamu suka membantu orang-orang. Kamu tidak pernah marah-marah. Kamu juga suka membuat orang-orang tertawa," terang Summer sebelum menangkup pipinya sendiri. Wajahnya jadi tampak lebih manis."Jadi, kamu suka orang yang baik, humoris, dan sabar?" Louis menyimpulkan."Ya!"Selagi Louis menulis, Summer menambahkan, "Aku suka orang yang ramah dan pandai menghibur. Dia tidak akan pernah membuat orang lain bosan."Louis mengangguk-angguk mengerti. "Lalu apa lagi?""Kudengar kamu juga suka bertualang. Itu poin penting untuk menjadi Papa karena aku dan Mama suka bertualang. Kalau kita menjadi keluarga, kita akan sering bepergian ke berbagai tempat."Dahi Louis mengernyit. Setelah menulis, ia menunjuk Summer dengan pulpen."Summer, maaf sekali. Aku tidak memenuhi kriteria ini. Aku sebetulnya tidak suka bertualang. Aku bahkan sudah bertahun-tahun tidak melakukannya.""Benarkah?" Mata Summer membulat. Itu seperti masal
Summer berkedip-kedip melihat bangunan berdinding kaca di depan mobil mereka. Banyak rak tersusun rapi di dalam sana."Itukah toko buku yang akan kita kunjungi, Paman?" tanya Summer kepada pria yang duduk di jok sebelah.Louis mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. "Benar.""Lalu kenapa kita belum turun?" Summer memiringkan kepala sedikit.Louis akhirnya melirik. Ekspresinya datar, sorot matanya terkesan tak acuh. Grace baru saja memblokir nomornya. Pikirannya masih tertuju ke situ."Area itu belum selesai disterilisasi. Jadi tunggulah sebentar," jawabnya jutek.Summer sebetulnya tidak mengerti apa itu disterilisasi. Ia hendak bertanya, tetapi Louis sudah kembali sibuk dengan ponselnya. Alhasil, ia kembali memanjangkan leher, mengamati apa yang terjadi di luar sana.Beberapa orang baru saja keluar dari pintu bangunan. Kebanyakan adalah anak-anak bersama orang tua mereka. Mereka berjalan bergandengan dengan langkah riang dan wajah gembira. Diam-diam, Summer merasa iri ke
"Baikah, kuakui niatmu sangat mulia. Kau anak baik, Summer. Teruslah berbaktilah kepada ibumu. Omong-omong," Louis menggaruk hidung. Ia khawatir perasaannya terkuak."Apa hubungannya buku ini denganku? Kenapa kau mau membelikannya untukku? Kalau kau mau mendapat banyak royalti, bukankah kau seharusnya memintaku untuk membelinya?" Louis menyerahkan buku tersebut kepada Summer.Lagi-lagi, wajah Summer berubah sendu. Sambil menerima buku itu, kepalanya tertunduk."Seperti yang kubilang, aku tidak mau kau melupakan aku. Kalau kau menyimpan bukuku, kau pasti akan selalu ingat padaku. Sesekali, bacalah buku ini, Paman. Mungkin malam sebelum tidur. Dengan begitu, aku akan selalu ada dalam ingatanmu."Tiba-tiba, Summer kembali mendongak. Matanya bercahaya lagi sekarang."Paman Louis, bagaimana kalau malam ini kamu membacakan buku untukku? Kudengar, itu biasa dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya. Bukankah hari ini aku boleh menganggapmu papa?"Louis tertegun. Ia sebetulnya khawatir mengab
Merasakan Summer bergerak-gerak di sampingnya, River pun terbangun. Ia bangkit duduk, berbisik sambil mengusap mata, "Summer, ada apa? Apakah kamu mimpi buruk?" Summer menggeleng lemah. Matanya masih mencari-cari. "Tidak." "Apakah kamu takut ada ular yang masuk? Kamu masih trauma dengan pengalaman buruk buruk yang tadi kamu ceritakan kepadaku?" "Tidak, River. Bukan itu." "Apakah kamu merindukan orang tuamu?" Summer akhirnya menatap River dengan wajah lusuhnya. "Tidak juga. Aku bersama kamu dan yang lain di sini. Untuk apa aku merindukan orang tuaku yang sedang berbulan madu? Biarkan saja mereka bersenang-senang berdua." River menggaruk-garuk kepala. "Lalu apa yang membuatmu resah?" "Aku mencari kantung tidurku. Aku selalu memakainya setiap kali camping. Aku tidak bisa tidur nyenyak kalau tidak ada dia," sahut sang balita, serak. Dengan penerangan dari lampu cas yang sudah sangat redup, River pun membantu Summer mencarinya. Ternyata, kantung tidur Summer masih terlipa
Briony tidak mampu lagi berkata-kata. Kejujuran Summer sudah seperti skakmat baginya. Melihat diamnya sang bibi, keresahan Summer kembali meradang. Ia maju sedikit, berbisik, "Tapi sekarang, aku sudah sadar kalau tindakanku itu salah, Bibi. Aku tidak seharusnya ikut campur persoalan orang dewasa. Karena itu, aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Bibi mau kan memaafkan aku?" Briony mengerjap. Matanya terpaku pada wajah bulat yang mengharapkan maafnya. "Kamu janji tidak akan menjodoh-jodohkan aku dengan siapa pun lagi?" tanyanya, memastikan. Summer mengangguk. "Ya. Seperti yang Paman Brandon bilang, Bibi butuh waktu untuk memulihkan hati. Kesedihan Bibi tidak bisa langsung hilang hanya dengan memiliki pasangan. Aku sudah mengerti tentang itu." Alis Briony melengkung tinggi. "Brandon bilang begitu?" Summer mengangguk. "Karena itu, tolong jangan marah padaku lagi, Bibi. Aku sudah bertobat. Aku tidak akan mengulangi kesalahan." Briony terdiam sejenak, mencerna keadaan.
Briony menghela napas cepat. Sebelum gadis itu kembali bertengkar dengan keponakannya, Brandon menyela, "Summer, sudah berapa jauh progres kalian?" "Sedikit lagi kami selesai, Paman!" "Ya, tersisa tiga lilitan lagi. Tapi kurasa ini akan memakan waktu lebih lama. Tali yang terulur sudah sangat panjang," imbuh River sambil terus bekerja. Keringat telah membutir di keningnya. Briony memutar bola mata. Ia benar-benar sudah tak nyaman. Ia ingin keluar dari situasi itu dengan segera. Karena itu, begitu lilitan tali terlepas, ia cepat-cepat bangkit dan melangkah pergi. Melihat sikap dingin sang bibi, Summer kembali diliputi rasa bersalah. "Oh, tidak. Bibi sungguh-sungguh marah kepadaku," gumamnya sambil mencebik. "Jangan berpikiran negatif dulu, Summer. Siapa tahu bibimu pergi karena malu," River mencoba untuk menenangkan. "Tapi Bibi tidak pernah mengabaikan aku begitu. Paman Brandon, apakah sikapku tadi sudah keterlaluan?" tanya Summer dengan mata berkaca-kaca. Saat ini,
"Paman Brandon dan Bibi Briony kan sudah dewasa. Kalian sama-sama belum mempunyai pasangan. Bukankah tidak apa-apa kalau kalian berdua berciuman?" tanya Summer sambil menahan tawa. Meski demikian, kegelian tetap lolos dari mulutnya.Mendengar pernyataan semacam itu, Briony menghela napas tak percaya. "Summer, apakah kau lupa berapa umurmu? Kamu itu masih kecil. Belum saatnya kamu membicarakan tentang pasangan dan ciuman!""Apa masalahnya, Bibi? Bukan aku yang akan berciuman, tapi Bibi dan Paman Brandon!"Pipi Briony semakin memanas. "Kami tidak akan berciuman, Summer. Kami hanya berteman!" tegasnya, kesal.Sementara itu, Brandon melirik River. Ia merasa ulah keponakannya itu sudah melewati batas. "River, apakah ini idemu? Kau mengajari Summer hal yang tidak pantas lagi?" "Tidak, Paman. Bukan aku! Itu ide Summer!" Sambil tertawa, Summer mengaku. "Tolong jangan memarahi River, Paman. Ini memang ideku. Aku sedang bereksperimen tentang cinta. Aku ingin membuktikan apakah dua orang yang
"Wow! Eksperimen kalian memang keren! Selamat, Summer, River. Kalian berhasil melakukannya dengan benar. Menyusun stik es krim agar reaksi berantainya tidak putus bukanlah hal yang mudah," puji Brandon, membuat mata para bocah berbinar-binar. "Paman benar! Susunan stiknya memang rumit dan sulit untuk dilakukan!" seru River sambil mengangguk yakin. "Untung saja kerja sama kami baik. Eksperimen terselesaikan dengan sempurna!" lanjut Summer bangga. "Omong-omong, Paman, Bibi, apakah kalian punya waktu untuk kami? Masih ada satu eksperimen yang perlu kami lakukan, tapi kami tidak bisa melakukannya berdua." Brandon dan Briony mengangkat alis. "Eksperimen apa?" tanya mereka bersamaan. Summer dan River saling lirik dan bertukar senyum. Selang beberapa saat, Brandon dan Briony telah berdiri di tengah pekarangan. Mereka menghadap satu sama lain dengan jarak sekitar 10 meter. Masing-masing dari mereka menggenggam ujung dari seutas tali. "Hei, Summer, apakah tali itu tidak kepanjanga
Selama beberapa saat, Summer membiarkan River mengamati hasil eksperimennya. Setiap bocah laki-laki itu berdecak kagum, hati Summer berbunga-bunga. Ia merasa bangga pada dirinya sendiri karena telah berhasil membuat percobaan yang mengagumkan. "Wow, apakah ini kertas daur ulang?" River menyentuhkan telunjuk mungilnya pada sebuah kertas tebal dengan permukaan tak rata dan warna yang agak kusam. Summer mengangguk mantap. "Ya, itu adalah percobaan ketigaku, tapi hasilnya belum memuaskan. Aku akan mencoba untuk membuatnya lagi sampai hasilnya sebagus kertas biasa." "Apakah kalau sudah berhasil, kau mau menjualnya?" Bibir Summer mengerucut. "Entahlah, aku belum yakin tentang itu. Mungkin, aku akan menggunakannya untuk mencetak buku-bukuku terlebih dahulu. Setelah itu, baru aku akan memperluas penggunaannya. Aku berharap, dengan adanya kertas daur ulang ini, penebangan pohon bisa berkurang. Orang-orang tidak perlu menggunakan kertas baru. Kertas-kertas lama juga bisa." River men
Tiba-tiba, Summer dan River melangkah mundur. Namun, setelah hitungan ketiga, mereka malah berlari maju. Mereka tanpa ragu menabrak Brandon dan Briony. Saat mereka terpental dan jatuh ke lantai, mereka malah tertawa terpingkal-pingkal. "Summer, kamu benar! Kita terpental karena gaya dorong yang kita berikan kembali kepada kita!" ujar River seraya mengatur napas. "Itulah Hukum Newton ke-3. Aksi sama dengan reaksi! Sekarang, bagaimana kalau kita beralih ke agenda selanjutnya? Ayo ke ruang eksperimen dan memulai eksperimen yang sesungguhnya!" "Ayo!" Kedua bocah itu bergegas bangkit dan berlari ke pekarangan barat. Melihat kecepatan mereka, Brandon dan Briony hanya bisa berkedip-kedip dengan mulut ternganga. "Astaga .... Apa yang salah dengan mereka? Apakah mereka mengira kita ini benda mati? Mereka bahkan tidak sempat meminta maaf sebelum pergi," desah Briony, tak habis pikir. Ia tidak sadar jika tubuhnya masih menempel pada Brandon. Sambil menghela napas, Brandon mengusi
"Sampai jumpa, Mama, Papa! Semoga perjalanan kalian lancar! Bersenang-senanglah bersama penguin di Kutub Selatan!" ujar Summer sembari melambaikan tangan dengan sekuat tenaga. Senyumnya semringah, kakinya sesekali melompat. Louis dan Sky balas melambai dari jendela mobil mereka. "Sampai jumpa nanti, Sayang. Jangan lupa pesan Mama! Jadilah anak baik. Jangan membuat masalah selama Mama dan Papa pergi, oke?" pesan Sky dengan mata berkaca-kaca. "Tenang, Mama. Aku ini anak baik. Aku tidak mungkin membuat masalah. Mama dan Papa fokus pada bulan madu saja!" angguk Summer sambil berkacak pinggang. Dari sisi Sky, Louis menunjuk sepupunya. "Briony, tolong awasi Summer dengan baik. Kami percayakan dia kepadamu," tuturnya serius. "Kurasa tidak ada yang perlu kuawasi, Louis. Putrimu adalah anak yang cerdas dan manis. Lagi pula, bukan hanya aku orang dewasa yang ada di rumah ini," celetuk Briony ringan. "Ya, ada Kakek, Nenek, Bibi Emily, Paman Cayden, Paman Russell, dan Paman Brand
Louis meringis. Sambil mengelus kepala sang putri, ia memberi penjelasan, "Papa dan Mama tidak mau mengganggu pikiranmu. Kami berencana untuk membicarakannya setelah kamu memutuskan untuk lanjut bersekolah atau belajar mandiri." "Papa dan Mama seharusnya tidak perlu menunggu. Itu sama sekali tidak mengganggu pikiranku," geleng Summer lucu. "Jadi, kau tidak keberatan kalau ayah dan ibumu pergi berbulan madu?" selidik Brandon, penasaran. Summer mengangguk. "Tentu saja tidak. Orang yang baru menikah memang seharusnya pergi berbulan madu, seperti Paman Cayden dan Bibi Emily. Gerry dan Merry juga." "Benarkah? Kamu tidak keberatan kalau Mama dan Papa berpergian berdua, sedangkan kamu di rumah?" tanya Sky spontan. Summer mengerjap. "Oh? Aku tidak ikut?" Para orang dewasa sontak menggigit bibir menahan geli. Sementara itu, River menjawab, "Tentu saja kau tidak boleh ikut, Summer. Itu bulan madu, bukan liburan. Hanya pengantin baru yang akan berangkat. Kehadiran orang lain hanya