Tiba-tiba, ponsel Louis berdering. Khawatir Summer terbangun, ia cepat-cepat menyingkir. Wajahnya keruh. Namun, melihat siapa yang memanggil, matanya seketika berbinar.
“Ace? Kau sudah tidak marah lagi padaku?” Louis terdengar ceria walau suaranya agak pelan.
“Louis, kupikir kau sudah menangani anak itu. Tapi kenapa kau membawanya ke penthouse-mu?”
Cahaya di wajah Louis mendadak lenyap. Ia tidak menyangka kekasihnya akan mempermasalahkan hal itu.
“Aku perlu menginterogasinya dan aku tidak mau ada paparazi yang mengganggu. Jadi, kubawa dia ke penthouse-ku. Kau tahu? Ternyata, dia adalah putri Sky—sahabat Emily itu.”
“Sahabat lamamu itu?” balas Grace dengan penuh penekanan.
Louis menelan ludah. Ia bisa menangkap kecemburuan dari kekasihnya. “Ya. Aku juga tidak menyangka. Percaya atau tidak, anak itu berangkat seorang diri dari Kanada. Karena itu, aku tidak mungkin menelantarkannya. Kubiarkan dia beristirahat di tempatku.”
“Kau tahu kalau itu justru akan menimbulkan prasangka, kan? Paparazi bisa saja berpikir yang macam-macam. Mereka pasti mengaitkan anak itu dengan skandalmu dulu.”
“Kau tidak perlu khawatir, Ace. Kau tahu bahwa Sky dan putrinya tidak ada hubungannya dengan hal itu. Kau percaya padaku, kan? Aku tidak mungkin meniduri gadis sembarangan. Skandal itu adalah jebakan. Seseorang berusaha merusak nama baikku. Semua itu hanyalah tipuan.”
Grace tidak menjawab. Louis bisa membayangkan alis cantiknya tertaut kesal. Ia pun menambahkan, “Summer tidak akan lama di sini. Ibunya akan segera datang menjemput.”
“Jadi namanya Summer? Kalian sudah akrab, hmm?”
Louis mendesah berat. “Tolong jangan mengambek, Ace. Aku tahu kau pasti sangat kesal karena Summer mengacaukan lamaran tadi. Aku juga. Tapi kita tidak bisa menyalahkannya. Dia hanyalah seorang anak kecil yang merindukan sosok ayah.”
“Ya, bukan dia yang harus disalahkan, tapi ibunya. Dia tidak becus menjaga anaknya.”
Louis terdiam sejenak. Ia harus berhati-hati dalam memilih tanggapan yang tepat. Ia tidak mau kemarahan Grace malah memuncak.
“Nanti begitu Sky datang, aku akan menegurnya,” tuturnya kemudian.
“Menegur saja tidak cukup, Louis. Kau harus menegaskan kalau dia harus mengendalikan putrinya dengan baik. Jangan sampai anak itu mengacaukan lamaran orang lagi. Dia yang harus bertanggung jawab dalam menghadirkan sosok ayah untuk putrinya, bukan orang lain, apalagi kamu. Dia sudah bertahun-tahun tidak menghubungimu. Dia tidak seharusnya muncul secara tiba-tiba dan membebanimu dengan masalahnya sendiri.”
Dada Louis kini terasa sesak. Sang kekasih belum pernah mengomel begitu panjang. Ia jadi semakin bersalah karena gagal mengantisipasi kekacauan.
“Baiklah, aku akan menegaskannya. Sekarang, bisakah kau bersabar? Begitu Summer pergi, keadaan akan kembali normal. Aku akan mengatur lamaran yang lebih indah untukmu.”
“Jangan sekadar bicara, Louis. Buktikan. Kuharap tidak akan ada kekecewaan kedua.”
Louis mengangguk walau sang kekasih tidak sedang melihatnya. “Ya, aku akan memperketat keamanan. Tidak akan ada penyusup lagi nanti.”
Setelah panggilan berakhir, Louis mendongak dan mendesah panjang. Ia tidak pernah tahu bahwa berbicara dengan Grace bisa begitu melelahkan.
“Semua ini karena laki-laki yang tidak bertanggung jawab itu. Kalau saja dia bersedia mendampingi Sky, Summer tidak akan mendatangiku.”
Usai menyimpan ponsel, Louis memindahkan Summer ke kamar tamu. Tubuh mungilnya terasa ringan. Saat Louis meletakkannya di atas kasur, ia langsung meringkuk seperti ulat dalam kepompong.
“Kenapa ada orang yang tega menelantarkan anaknya? Mungkinkah laki-laki itu tidak tahu kalau dia punya Summer?” batin Louis sembari mengusap pipi gembul sang balita.
Merasa gatal, Summer menggaruk muka. Louis hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya.
“Lihatlah betapa kecil tangan ini,” Louis membandingkan jemari mereka. Merasa gemas, ia pun menyelipkan telunjuk ke dalam genggaman Summer.
“Bersabarlah, Manusia Mungil. Aku yakin, suatu hari nanti, kau pasti akan bertemu lagi dengan ayahmu. Kau dan ibumu tidak akan kesepian. Kalian juga akan menjadi keluarga bahagia.”
Louis mengelus punggung tangan Summer. Setelah mengecupnya sekali, ia beranjak dari kasur. Saat itulah, Summer berkata lirih.
“Papa ....”
Louis sontak membeku. Napasnya tersendat, matanya membulat.
Suara Summer begitu menyayat hati. Alisnya berkerut, dagunya tertekuk. Tangannya menggenggam telunjuk Louis seolah tidak mengizinkannya menjauh.
Selama beberapa saat, Louis terjebak dalam perenungan. Ia telah kembali duduk di sisi kasur. Matanya terpaku pada wajah bulat Summer.
Ada perasaan asing yang tidak ia mengerti di dalam kalbu. Perasaan yang membuatnya sesak. Perasaan yang mengajaknya bertanya-tanya sejak kapan ada ruang hampa dalam hatinya.
“Mungkinkah aku merasa kasihan pada Summer? Nasibnya jauh lebih buruk dari nasibku. Aku dan Emily sudah bertemu dengan Papa saat kami seusianya dulu, sedangkan Summer belum.”
Dengan alis yang berkerut, Louis mengamati tangan kecil yang enggan melepasnya. Ada getaran aneh yang timbul dari sentuhan itu, getaran yang belum pernah ada dan tidak jelas apa maknanya.
“Apakah aku berempati padanya? Karena itu aku merasakan ini?”
Louis memegangi jantungnya sendiri. Tak menemukan jawaban, ia pun berbaring miring di sisi Summer. Ia biarkan gadis kecil itu terus menggenggam telunjuknya. Sambil menyangga kepala dengan sebelah tangan, ia perhatikan bagaimana kerut alis sang balita memudar.
“Benar, kau harus melupakan kegelisahanmu. Jangan biarkan kerinduan terus menghantuimu. Ketika waktunya sudah tepat, ayahmu pasti akan datang.”
Louis mengelus punggung tangan balita itu dengan ibu jari. Selang beberapa saat, matanya ikut terpejam. Bibirnya tanpa sadar berbisik, “Mimpi yang indah, Summer. Kau juga layak bahagia.”
***
Begitu membuka mata, Louis langsung tersentak. Mulutnya ternganga, tangannya terangkat memegangi dada.
Melihat respon heboh itu, gadis kecil yang duduk bersimpuh di sampingnya tertawa terbahak-bahak.
"Kenapa kamu terkejut begitu? Apakah kamu mengira kalau aku hantu? Mana ada hantu selucu aku?" Summer menangkup kedua pipi dan memiringkan kepalanya sedikit. Kedipan matanya yang cepat membuat Louis merasa terintimidasi.
"Siapa yang tidak terkejut kalau seseorang menatapmu sedekat itu begitu bangun tidur? Kau beruntung aku tidak refleks meninjumu. Kalau tidak, kau pasti sudah terpental dari kasur."
Sambil menjepit leher dengan pundak, Summer terkekeh.
"Maaf, Paman. Aku tidak bermaksud mengagetimu. Aku hanya mau mengamati wajahmu. Aku tidak menyangka kau bisa tiba-tiba bangun. Padahal tadi, kau masih mendengkur. Omong-omong, tidak apa-apa kan kalau aku memanggilmu Paman? Kurasa kita sudah akrab sekarang."
Mata Louis seketika menyipit. "Kenapa kau menyimpulkan begitu?"
"Karena kamu sudah mulai peduli padaku. Buktinya, kamu memindahkan aku ke kamar ini. Tidurku jadi lebih nyenyak. Bagaimana tidurmu semalam, Paman? Apakah kamu tidur nyenyak juga? Kurasa iya. Kalau tidak, tidak mungkin kamu mendengkur begitu kencang."
Louis menghela napas panjang. Ia tidak pernah tahu kalau seorang balita bisa bicara begitu panjang dan tanpa jeda.
"Tolong jangan salah paham. Aku memindahkanmu bukan karena kita sudah akrab, tapi karena aku orang baik. Aku tidak bisa menelantarkan anak kecil. Kalau ada paparazi yang merekam, nama baikku bisa hancur."
"Apa itu parapazi?" tanya Summer dengan bibir mengerucut.
"Paparazi," koreksi Louis. "Orang yang mengambil foto secara diam-diam untuk disebarkan melalui media. Biasanya, mereka mengincar orang-orang terkenal. Itu sangat merugikan orang yang mereka potret."
"Oh, itu pekerjaan yang tidak sopan. Mereka seharusnya meminta izin dulu sebelum memotret seseorang," omel Summer sembari berkacak pinggang.
Louis mendengus mendengarnya. "Apa bedanya denganmu? Kau mengacaukan lamaranku tanpa meminta izin. Kau juga tidak sopan."
"Tentu saja aku berbeda dengan parapazi. Mereka merugikanmu, sedangkan aku tidak. Aku melakukan itu demi kebaikanmu."
"Kebaikanku?" Alis Louis naik mendesak dahi.
Summer mengangguk. "Apakah kau masih belum sadar juga? Kalau kau menikah dengan Nona Evans, kau tidak akan bahagia, Paman. Dia bukan orang yang kamu cinta."
Louis kembali mendesah dan terpejam. Itu masih terlalu pagi untuk mengulang perdebatan semalam. Fokusnya hari ini adalah mencari cara untuk memulangkan Summer kepada Sky.
Hai, guys! Terima kasih sudah membaca. Hari ini Pixie up 2 bab. Jangan lupa komen, review, dan gems buat Summer, ya. Biar Summer menang kontes. Terima kasih!
"Summer, kau anak baik, kan?" tanya Louis dengan nada membujuk.Sang balita menjawab dengan mata berbinar. "Tentu saja! Kalau saja ada penghargaan untuk anak terbaik di seluruh dunia, aku pasti sudah mendapatnya. Aku ini pintar dan senang membantu orang-orang. Aku juga mandiri dan jarang merepotkan orang lain, kecuali Mama. Terkadang, aku masih membutuhkan bantuan darinya. Tapi kata Mama, itu wajar. Aku masih terlalu kecil untuk melakukan semuanya sendirian."Louis mengangguk-angguk dengan senyum yang dipaksa lebar. "Bagus. Kalau begitu, bisakah kau buktikan? Uruslah dirimu sendiri. Aku harus berangkat kerja sekarang. Ini sudah sangat terlambat."Summer tersenyum miring mendengar itu. Telunjuknya menggeliat seperti cacing di depan dagu. "Paman Louis, kamu tidak bisa membohongiku. Ini hari Minggu. Bibi Emily bilang kalian tidak pernah bekerja di akhir pekan. Sabtu dan Minggu adalah waktu khusus untuk diri sendiri dan keluarga. Karena kamu akan menjadi Papa-ku, bagaimana kalau kita meng
Louis menghela napas cepat. Kepalanya menggeleng tak percaya. "Ace? Aku tahu kau sedang ingin menguji ketulusan dan kesetiaanku, tapi bukan begini caranya.""Tidak ada cara lain, Louis. Aku mulai meragukanmu dan kamu harus menghentikan itu. Kau tahu seberapa kacau pikiran dan perasaanku sejak bocah itu muncul? Bayangkan saja. Lamaran yang kuimpi-impikan hancur karena ulahnya. Coba tempatkan dirimu di posisiku. Jangan hanya bersimpati padanya!"Louis terdiam dan membisu. Matanya yang sayu kini ikut berkaca-kaca. "Kau sungguh ingin aku mengusir anak kecil yang tidak berdaya itu?""Gunakan akal sehatmu, Louis. Kau tidak harus melemparnya ke jalan. Kau punya banyak pelayan dan pengawal. Pilih saja beberapa untuk mengirimnya pulang. Yang penting, ia enyah dari sini dan tidak mengusik hubungan kita lagi."Louis menarik napas berat. Ia melirik ke arah pintu. Balita yang mengintip di sana tampak ketakutan."Paman Louis, tolong jangan usir aku. Masih ada banyak hal yang mau kulakukan denganmu.
Setibanya di hadapan Summer, Louis langsung menekuk lutut. Hatinya terasa pedih mendengar rintihan gadis kecil itu. Apalagi, saat ia memeluknya, punggung Summer ternyata gemetar hebat. Dua tangan mungil yang mendekap lehernya juga terasa dingin dan berkeringat."Paman Louis," isak Summer sambil terbatuk-batuk, "kenapa kamu meninggalkan aku? Tolong jangan lakukan itu lagi."Louis menarik napas berat. Ia tidak bisa menyangkal kalau penyesalan telah menumpuk tinggi dalam dadanya.Sayangnya, ia tidak bisa meminta maaf. Itu bisa menjadi perdebatan baru antara Grace dengan dirinya. Ia tidak bisa juga berjanji untuk tidak meninggalkan Summer. Itu hanya akan menjadi harapan palsu baginya."Kenapa kamu mengejarku, Summer? Bukankah sudah kubilang untuk mendengarkan Nyonya Campbell? Kenapa malah berlari tanpa sepatu?"Louis mempertemukan pandangan. Air mata ternyata masih menetes dari sudut mata sang balita. Dengan penuh perhatian, ia menyekanya."Aku sangat takut tadi. Aku takut tidak bisa berte
"Lalu, apa lagi? Pilihlah beberapa," tutur Louis kaku. Ia merasa konyol karena berniat mencocokkan selera makannya dengan Summer."Kurasa itu akan sulit bagiku. Aku suka makanan. Aku bisa memakan semuanya dengan lahap, kecuali sayur kribo itu. Aku sebenarnya kurang suka brokoli, tapi Mama bilang dia punya banyak manfaat. Jadi, aku terpaksa memakannya."Louis lagi-lagi mematung. Itu sama persis dengan apa yang dialaminya sewaktu masih kecil dulu."Tapi Paman Louis," suara Summer membuatnya mengerjap, "apakah semua makanan ini aman? Maksudku, tidak ada almond atau udang, kan?"Mata Louis kini membulat maksimal. Ia tahu bahwa Sky alergi terhadap almond. Hal itu sangat mungkin menurun kepada Summer. Tetapi udang? Mengapa Summer takut pada udang?"Ada apa dengan almond dan udang?" Louis berpura-pura tidak tahu."Mereka jahat, Paman. Mereka bisa membuatku gatal-gatal dan sesak napas."Louis berusaha untuk tidak mengubah ekspresi. Akan tetapi, kepalanya terlalu berisik oleh pertanyaan-pertany
"Kedua, kamu orang baik. Aku sering mendengar Mama memujimu begitu. Kata Mama, kamu suka membantu orang-orang. Kamu tidak pernah marah-marah. Kamu juga suka membuat orang-orang tertawa," terang Summer sebelum menangkup pipinya sendiri. Wajahnya jadi tampak lebih manis."Jadi, kamu suka orang yang baik, humoris, dan sabar?" Louis menyimpulkan."Ya!"Selagi Louis menulis, Summer menambahkan, "Aku suka orang yang ramah dan pandai menghibur. Dia tidak akan pernah membuat orang lain bosan."Louis mengangguk-angguk mengerti. "Lalu apa lagi?""Kudengar kamu juga suka bertualang. Itu poin penting untuk menjadi Papa karena aku dan Mama suka bertualang. Kalau kita menjadi keluarga, kita akan sering bepergian ke berbagai tempat."Dahi Louis mengernyit. Setelah menulis, ia menunjuk Summer dengan pulpen."Summer, maaf sekali. Aku tidak memenuhi kriteria ini. Aku sebetulnya tidak suka bertualang. Aku bahkan sudah bertahun-tahun tidak melakukannya.""Benarkah?" Mata Summer membulat. Itu seperti masal
Summer berkedip-kedip melihat bangunan berdinding kaca di depan mobil mereka. Banyak rak tersusun rapi di dalam sana."Itukah toko buku yang akan kita kunjungi, Paman?" tanya Summer kepada pria yang duduk di jok sebelah.Louis mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya. "Benar.""Lalu kenapa kita belum turun?" Summer memiringkan kepala sedikit.Louis akhirnya melirik. Ekspresinya datar, sorot matanya terkesan tak acuh. Grace baru saja memblokir nomornya. Pikirannya masih tertuju ke situ."Area itu belum selesai disterilisasi. Jadi tunggulah sebentar," jawabnya jutek.Summer sebetulnya tidak mengerti apa itu disterilisasi. Ia hendak bertanya, tetapi Louis sudah kembali sibuk dengan ponselnya. Alhasil, ia kembali memanjangkan leher, mengamati apa yang terjadi di luar sana.Beberapa orang baru saja keluar dari pintu bangunan. Kebanyakan adalah anak-anak bersama orang tua mereka. Mereka berjalan bergandengan dengan langkah riang dan wajah gembira. Diam-diam, Summer merasa iri ke
"Baikah, kuakui niatmu sangat mulia. Kau anak baik, Summer. Teruslah berbaktilah kepada ibumu. Omong-omong," Louis menggaruk hidung. Ia khawatir perasaannya terkuak."Apa hubungannya buku ini denganku? Kenapa kau mau membelikannya untukku? Kalau kau mau mendapat banyak royalti, bukankah kau seharusnya memintaku untuk membelinya?" Louis menyerahkan buku tersebut kepada Summer.Lagi-lagi, wajah Summer berubah sendu. Sambil menerima buku itu, kepalanya tertunduk."Seperti yang kubilang, aku tidak mau kau melupakan aku. Kalau kau menyimpan bukuku, kau pasti akan selalu ingat padaku. Sesekali, bacalah buku ini, Paman. Mungkin malam sebelum tidur. Dengan begitu, aku akan selalu ada dalam ingatanmu."Tiba-tiba, Summer kembali mendongak. Matanya bercahaya lagi sekarang."Paman Louis, bagaimana kalau malam ini kamu membacakan buku untukku? Kudengar, itu biasa dilakukan oleh seorang ayah kepada anaknya. Bukankah hari ini aku boleh menganggapmu papa?"Louis tertegun. Ia sebetulnya khawatir mengab
Summer terkikik melihat penampilannya di cermin. Ia terlihat sangat keren dengan topi koboi, kemeja kotak-kotak biru, dan rompi kulit yang senada dengan sepatu boot cokelatnya. Apalagi, celana yang dikenakannya berumbai-rumbai dan ikat pinggang di depan perutnya berbentuk kepala sapi."Oh, ini adalah pakaian terbaik yang pernah kukenakan," ujarnya sambil merentangkan tangan.Melihat respons lucu tersebut, pegawai toko yang membantunya di ruang ganti ikut tersenyum. "Benar, kan? Toko kami memang yang terbaik di T City. Tapi, Nona Kecil, Anda belum selesai. Masih ada scarf merah yang harus Anda pakai di leher."Gadis muda itu membentangkan scarf yang telah dilipat dua membentuk segitiga. Dengan senang hati, Summer mengangkat dagunya."Tolong pasangkan itu untukku, Nona," pintanya sopan."Dengan senang hati, Nona Kecil."Begitu scarf melingkar di lehernya, Summer langsung tersenyum bangga. Ia cepat-cepat berlari keluar, berharap bisa menunjukkan penampilannya kepada Louis. Namun ternyata,