Share

7. Bersimpati terhadap Summer

Tiba-tiba, ponsel Louis berdering. Khawatir Summer terbangun, ia cepat-cepat menyingkir. Wajahnya keruh. Namun, melihat siapa yang memanggil, matanya seketika berbinar.

“Ace? Kau sudah tidak marah lagi padaku?” Louis terdengar ceria walau suaranya agak pelan.

“Louis, kupikir kau sudah menangani anak itu. Tapi kenapa kau membawanya ke penthouse-mu?”

Cahaya di wajah Louis mendadak lenyap. Ia tidak menyangka kekasihnya akan mempermasalahkan hal itu.

“Aku perlu menginterogasinya dan aku tidak mau ada paparazi yang mengganggu. Jadi, kubawa dia ke penthouse-ku. Kau tahu? Ternyata, dia adalah putri Sky—sahabat Emily itu.”

“Sahabat lamamu itu?” balas Grace dengan penuh penekanan.

Louis menelan ludah. Ia bisa menangkap kecemburuan dari kekasihnya. “Ya. Aku juga tidak menyangka. Percaya atau tidak, anak itu berangkat seorang diri dari Kanada. Karena itu, aku tidak mungkin menelantarkannya. Kubiarkan dia beristirahat di tempatku.”

“Kau tahu kalau itu justru akan menimbulkan prasangka, kan? Paparazi bisa saja berpikir yang macam-macam. Mereka pasti mengaitkan anak itu dengan skandalmu dulu.”

“Kau tidak perlu khawatir, Ace. Kau tahu bahwa Sky dan putrinya tidak ada hubungannya dengan hal itu. Kau percaya padaku, kan? Aku tidak mungkin meniduri gadis sembarangan. Skandal itu adalah jebakan. Seseorang berusaha merusak nama baikku. Semua itu hanyalah tipuan.”

Grace tidak menjawab. Louis bisa membayangkan alis cantiknya tertaut kesal. Ia pun menambahkan, “Summer tidak akan lama di sini. Ibunya akan segera datang menjemput.”

“Jadi namanya Summer? Kalian sudah akrab, hmm?”

Louis mendesah berat. “Tolong jangan mengambek, Ace. Aku tahu kau pasti sangat kesal karena Summer mengacaukan lamaran tadi. Aku juga. Tapi kita tidak bisa menyalahkannya. Dia hanyalah seorang anak kecil yang merindukan sosok ayah.”

“Ya, bukan dia yang harus disalahkan, tapi ibunya. Dia tidak becus menjaga anaknya.”

Louis terdiam sejenak. Ia harus berhati-hati dalam memilih tanggapan yang tepat. Ia tidak mau kemarahan Grace malah memuncak.

“Nanti begitu Sky datang, aku akan menegurnya,” tuturnya kemudian.

“Menegur saja tidak cukup, Louis. Kau harus menegaskan kalau dia harus mengendalikan putrinya dengan baik. Jangan sampai anak itu mengacaukan lamaran orang lagi. Dia yang harus bertanggung jawab dalam menghadirkan sosok ayah untuk putrinya, bukan orang lain, apalagi kamu. Dia sudah bertahun-tahun tidak menghubungimu. Dia tidak seharusnya muncul secara tiba-tiba dan membebanimu dengan masalahnya sendiri.”

Dada Louis kini terasa sesak. Sang kekasih belum pernah mengomel begitu panjang. Ia jadi semakin bersalah karena gagal mengantisipasi kekacauan.

“Baiklah, aku akan menegaskannya. Sekarang, bisakah kau bersabar? Begitu Summer pergi, keadaan akan kembali normal. Aku akan mengatur lamaran yang lebih indah untukmu.”

“Jangan sekadar bicara, Louis. Buktikan. Kuharap tidak akan ada kekecewaan kedua.”

Louis mengangguk walau sang kekasih tidak sedang melihatnya. “Ya, aku akan memperketat keamanan. Tidak akan ada penyusup lagi nanti.”

Setelah panggilan berakhir, Louis mendongak dan mendesah panjang. Ia tidak pernah tahu bahwa berbicara dengan Grace bisa begitu melelahkan.

“Semua ini karena laki-laki yang tidak bertanggung jawab itu. Kalau saja dia bersedia mendampingi Sky, Summer tidak akan mendatangiku.”

Usai menyimpan ponsel, Louis memindahkan Summer ke kamar tamu. Tubuh mungilnya terasa ringan. Saat Louis meletakkannya di atas kasur, ia langsung meringkuk seperti ulat dalam kepompong.   

“Kenapa ada orang yang tega menelantarkan anaknya? Mungkinkah laki-laki itu tidak tahu kalau dia punya Summer?” batin Louis sembari mengusap pipi gembul sang balita.

Merasa gatal, Summer menggaruk muka. Louis hanya bisa tersenyum melihat tingkahnya.

“Lihatlah betapa kecil tangan ini,” Louis membandingkan jemari mereka. Merasa gemas, ia pun menyelipkan telunjuk ke dalam genggaman Summer.

“Bersabarlah, Manusia Mungil. Aku yakin, suatu hari nanti, kau pasti akan bertemu lagi dengan ayahmu. Kau dan ibumu tidak akan kesepian. Kalian juga akan menjadi keluarga bahagia.”

Louis mengelus punggung tangan Summer. Setelah mengecupnya sekali, ia beranjak dari kasur. Saat itulah, Summer berkata lirih.

“Papa ....”

Louis sontak membeku. Napasnya tersendat, matanya membulat.

Suara Summer begitu menyayat hati. Alisnya berkerut, dagunya tertekuk. Tangannya menggenggam telunjuk Louis seolah tidak mengizinkannya menjauh.

Selama beberapa saat, Louis terjebak dalam perenungan. Ia telah kembali duduk di sisi kasur. Matanya terpaku pada wajah bulat Summer.

Ada perasaan asing yang tidak ia mengerti di dalam kalbu. Perasaan yang membuatnya sesak. Perasaan yang mengajaknya bertanya-tanya sejak kapan ada ruang hampa dalam hatinya.

“Mungkinkah aku merasa kasihan pada Summer? Nasibnya jauh lebih buruk dari nasibku. Aku dan Emily sudah bertemu dengan Papa saat kami seusianya dulu, sedangkan Summer belum.”

Dengan alis yang berkerut, Louis mengamati tangan kecil yang enggan melepasnya. Ada getaran aneh yang timbul dari sentuhan itu, getaran yang belum pernah ada dan tidak jelas apa maknanya.

“Apakah aku berempati padanya? Karena itu aku merasakan ini?”

Louis memegangi jantungnya sendiri. Tak menemukan jawaban, ia pun berbaring miring di sisi Summer. Ia biarkan gadis kecil itu terus menggenggam telunjuknya. Sambil menyangga kepala dengan sebelah tangan, ia perhatikan bagaimana kerut alis sang balita memudar.

“Benar, kau harus melupakan kegelisahanmu. Jangan biarkan kerinduan terus menghantuimu. Ketika waktunya sudah tepat, ayahmu pasti akan datang.”

Louis mengelus punggung tangan balita itu dengan ibu jari. Selang beberapa saat, matanya ikut terpejam. Bibirnya tanpa sadar berbisik, “Mimpi yang indah, Summer. Kau juga layak bahagia.”

***

Begitu membuka mata, Louis langsung tersentak. Mulutnya ternganga, tangannya terangkat memegangi dada.

Melihat respon heboh itu, gadis kecil yang duduk bersimpuh di sampingnya tertawa terbahak-bahak. 

"Kenapa kamu terkejut begitu? Apakah kamu mengira kalau aku hantu? Mana ada hantu selucu aku?" Summer menangkup kedua pipi dan memiringkan kepalanya sedikit. Kedipan matanya yang cepat membuat Louis merasa terintimidasi. 

"Siapa yang tidak terkejut kalau seseorang menatapmu sedekat itu begitu bangun tidur? Kau beruntung aku tidak refleks meninjumu. Kalau tidak, kau pasti sudah terpental dari kasur." 

Sambil menjepit leher dengan pundak, Summer terkekeh. 

"Maaf, Paman. Aku tidak bermaksud mengagetimu. Aku hanya mau mengamati wajahmu. Aku tidak menyangka kau bisa tiba-tiba bangun. Padahal tadi, kau masih mendengkur. Omong-omong, tidak apa-apa kan kalau aku memanggilmu Paman? Kurasa kita sudah akrab sekarang."

Mata Louis seketika menyipit. "Kenapa kau menyimpulkan begitu?" 

"Karena kamu sudah mulai peduli padaku. Buktinya, kamu memindahkan aku ke kamar ini. Tidurku jadi lebih nyenyak. Bagaimana tidurmu semalam, Paman? Apakah kamu tidur nyenyak juga? Kurasa iya. Kalau tidak, tidak mungkin kamu mendengkur begitu kencang."

Louis menghela napas panjang. Ia tidak pernah tahu kalau seorang balita bisa bicara begitu panjang dan tanpa jeda. 

"Tolong jangan salah paham. Aku memindahkanmu bukan karena kita sudah akrab, tapi karena aku orang baik. Aku tidak bisa menelantarkan anak kecil. Kalau ada paparazi yang merekam, nama baikku bisa hancur."

"Apa itu parapazi?" tanya Summer dengan bibir mengerucut.

"Paparazi," koreksi Louis. "Orang yang mengambil foto secara diam-diam untuk disebarkan melalui media. Biasanya, mereka mengincar orang-orang terkenal. Itu sangat merugikan orang yang mereka potret."

"Oh, itu pekerjaan yang tidak sopan. Mereka seharusnya meminta izin dulu sebelum memotret seseorang," omel Summer sembari berkacak pinggang. 

Louis mendengus mendengarnya. "Apa bedanya denganmu? Kau mengacaukan lamaranku tanpa meminta izin. Kau juga tidak sopan."

"Tentu saja aku berbeda dengan parapazi. Mereka merugikanmu, sedangkan aku tidak. Aku melakukan itu demi kebaikanmu."

"Kebaikanku?" Alis Louis naik mendesak dahi. 

Summer mengangguk. "Apakah kau masih belum sadar juga? Kalau kau menikah dengan Nona Evans, kau tidak akan bahagia, Paman. Dia bukan orang yang kamu cinta."

Louis kembali mendesah dan terpejam. Itu masih terlalu pagi untuk mengulang perdebatan semalam. Fokusnya hari ini adalah mencari cara untuk memulangkan Summer kepada Sky.

Pixie

Hai, guys! Terima kasih sudah membaca. Hari ini Pixie up 2 bab. Jangan lupa komen, review, dan gems buat Summer, ya. Biar Summer menang kontes. Terima kasih!

| 6
Komen (7)
goodnovel comment avatar
Fikri Light
summer kamu kok lucu banget sih,, pengen dibungkus bawa pulang satu
goodnovel comment avatar
Pixie
Summer emang cetakan emaknya
goodnovel comment avatar
Pixie
Siaaap! Makasi, Tante Indah. Salam peluk dari Summer.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status