“Aku sebetulnya ragu untuk mengatakan ini, tapi kurasa kau berhak tahu. Louis berencana melamar kekasihnya Sabtu depan. Barangkali, ada yang mau kau ungkapkan kepadanya. Lakukanlah sebelum terlambat. Jangan sampai kau menyesal.”
Sudah berapa kali Sky berusaha melupakan informasi itu. Akan tetapi, suara Emily, sahabatnya, terus bergema. Bayang-bayang cinta pertamanya juga enggan pergi dari benaknya. Semakin lama matanya terpejam, wajah Louis justru semakin jelas. Kebersamaan mereka dulu pun kembali terulas, kebersamaan yang tak pernah lagi terulang sejak mereka putus kontak beberapa tahun silam.
“Ck, kenapa aku terus memikirkan laki-laki itu? Ayolah, Sky. Dia bahkan tidak pernah menghubungimu lagi. Untuk apa mengenangnya?” batin Sky, mengingatkan diri sendiri. Sesekali, ia mengusap sudut matanya yang terasa berair. “Lagi pula, kau sudah bahagia bersama Summer sekarang.”
Seakan tahu bahwa namanya ada di pikiran sang ibu, Summer, gadis cilik yang berbaring di sisi Sky bangkit duduk.
“Mama, kenapa belum tidur?” tanya balita yang berusia empat tahun lebih tersebut.
Sky tersentak mendengar suara manis itu. Cepat-cepat ia keringkan air mata dan memutar badan. Melihat wajah layu sang putri, ia langsung mengelusnya.
“Sayang, kenapa kamu juga belum tidur? Apakah Mama mengganggumu?”
Summer mengangguk. “Mama seperti sedang gelisah. Mama bergerak-gerak terus sejak tadi. Apakah Mama sedih karena Paman Louis akan menikah dengan orang lain?”
Mata Sky sontak melebar. “Kenapa kamu bicara begitu?”
“Mama tampak murung sejak berbicara dengan Bibi Emily di telepon.”
“Kamu mendengarkan percakapan kami?”
Summer mengangguk. “Apakah Mama akan mengikuti saran Bibi Emily?”
“S-saran yang mana?”
“Tentang mengungkapkan perasaan Mama kepada Paman Louis.”
Sementara Sky tercengang, Summer berkedip lugu. Ia lanjutkan kata-katanya.
“Sebetulnya … aku sudah tahu sejak dulu kalau Mama menyukai Paman Louis. Mata Mama selalu berbinar-binar setiap Mama bercerita tentangnya.” Selang satu tarikan napas, Summer bertanya, “Apakah Mama akan menggagalkan lamaran Paman Louis?”
Kebingungan Sky semakin pekat. Umur sang putri belum genap lima tahun, tetapi mengapa ia bisa bicara begitu?
“Tidak, Sayang. Mama bukan siapa-siapa bagi Louis.” Sky berusaha memberikan pengertian. “Mama tidak berhak menggagalkan lamarannya. Biarkan saja dia bahagia bersama kekasihnya.”
“Tapi Mama menyukainya. Apa salahnya kalau Mama mengungkapkan perasaan Mama? Siapa tahu, Paman Louis berubah pikiran. Bukankah Bibi Emily bilang kalian berdua dulu saling mencintai? Aku akan sangat senang kalau Mama menikah dengannya. Aku jadi punya papa.”
Sky mendesah tak percaya. Sebelum kecanggungannya meradang, ia meloloskan tawa walau hambar. Ia harus segera menghentikan diskusi dadakan mereka.
“Sayang, kamu ini ada-ada saja. Kamu masih terlalu kecil untuk bicara soal cinta. Sekarang, bagaimana kalau kita tidur, hmm? Ini sudah terlalu malam. Kamu tidak mau punya mata panda, kan?”
Sky merangkul Summer, mengajaknya berbaring. Summer menurut, tetapi alisnya berkerut.
“Aku serius, Mama. Mungkin sudah saatnya aku punya papa.” Summer mengulang ucapannya.
Sambil menepuk-nepuk lengan sang putri, Sky menggeleng. “Bukankah selama ini kita berdua baik-baik saja dan bahagia?”
“Y-ya.”
“Itu artinya tidak ada yang perlu diubah. Hidup kita sudah sempurna, Sayang.” Sky berkata dengan nada final. “Sekarang tidurlah. Jangan berpikiran macam-macam.”
Sky mengecup kening sang putri lalu memejamkan mata. Sekilas, wanita itu terlihat seperti hendak tidur. Namun sebenarnya, ia hanya ingin menahan air mata.
“Tidak ada yang perlu diubah,” ucap Sky dalam hati. “Semua baik-baik saja asal aku bersama Summer.”
Sementara itu, Summer mulai merenung. Gadis cilik itu seperti tahu bahwa sang ibu hanya berusaha untuk terlihat baik-baik saja, padahal sebenarnya tidak.
Diraihnya tiga boneka berang-berang yang biasa ia peluk. Ia jajarkan keluarga boneka itu di atas perut.
“Kasihan Mama. Dia hanya bisa menangis dalam hati,” batin Summer sembari mengelus kepala induk berang-berang. “Dia pasti malu mengakui kalau dia sedih.”
Selang beberapa saat, fokusnya beralih ke arah boneka lain yang sedikit lebih besar.
‘Kurasa, Mama sudah terlalu lama sendiri. Dia juga butuh suami, sama seperti Mama Otter. Pasti akan lebih mudah merawatku kalau dia berdua bersama Paman Louis, seperti Mama Otter dan Papa Otter.’
Summer menautkan tangan dua boneka besar agar terlihat bergandengan. Kemudian, ia selipkan boneka terkecil di antara mereka. Melihat kebersamaan boneka itu, senyum sendu terukir di wajahnya.
‘Otter pasti sangat bahagia. Dia punya papa dan mama. Bisakah aku menjadi seperti Otter yang punya keluarga lengkap?’
Sambil melirik Sky, Summer berkedip-kedip. Meski mata sang ibu tertutup rapat, ia tetap mampu melihat kesedihannya.
‘Haruskah aku membantu Mama untuk menghubungi Paman Louis? Mama pasti bahagia kalau Paman Louis tidak jadi melamar Grace. Dia tidak akan diam-diam menangis lagi.”
Sambil menyatukan pasangan boneka berang-berang agar terlihat berpelukan, Summer berpikir lebih keras. Sesekali, tarikan napasnya menjadi lebih panjang.
‘Keluarga Otter saja selalu bersama. Kenapa kami tidak? Mama pasti akan sangat senang kalau Paman Louis bersama kami. Mama tidak akan kesepian lagi, dan aku juga akan lebih bahagia. Aku akhirnya bisa memanggil seseorang dengan sebutan ‘Papa’.’
Setelah beberapa pertimbangan, Summer menutup perenungan dengan anggukan tegas. ‘Ya, aku tidak boleh diam saja. Aku harus segera menyusun rencana, bagaimana caranya memesan tiket dan terbang ke negaranya. Paman Louis tidak boleh melamar Grace. Dia harus menjadi Papa-ku dan hanya boleh menikahi Mama. Aku akan menggagalkan lamarannya!’
***
Satu minggu kemudian ....
Sky sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tetap tenang. Akan tetapi, hatinya tetap saja gelisah. Tangannya tak bisa berhenti meremas satu sama lain.
“Bisa Anda ceritakan kronologinya, Nona?” tanya seorang petugas kepolisian setelah memperhatikan foto Summer dengan saksama.
Sky menarik napas dalam. “Siang tadi, Summer tiba-tiba meminta untuk dibuatkan biskuit. Dia sempat membantu sampai dia bilang kalau dia mau tidur. Aku sempat heran karena itu bahkan belum lewat tengah hari. Tapi kemudian, aku membiarkannya tidur sendirian, sedangkan aku menyelesaikan pekerjaan. Ternyata, begitu aku memeriksanya di kamar, dia tidak ada. Aku mencari ke mana-mana, bahkan sampai ke rumah tetangga. Aku tetap tidak menemukannya.”
“Apakah rumah Anda dalam keadaan terkunci saat itu terjadi?”
Sky mengangguk yakin. “Aku selalu mengunci semua pintu saat kami hanya berdua di rumah.”
“Bagaimana dengan jendela?”
“Jendela kamar Summer terbuka. Itulah yang membuatku sangat cemas.”
“Menurut Anda, ini penculikan?”
Sky menggeleng samar. “Aku tidak yakin. Aku sempat memeriksa lemari. Beberapa setel pakaiannya menghilang. Ranselnya juga tidak ada. Aku khawatir Summer diam-diam merencanakan petualangan sendiri. Apalagi, ponselnya tidak aktif. Sepertinya, dia sengaja pergi tanpa sepengetahuanku.”
“Putri Anda memiliki ponsel? Bisa Anda sebutkan nomor kontaknya?”
Setelah mendapatkan apa yang ia pinta, polisi itu kembali bertanya, “Menurut Anda, ke mana kira-kira perginya putri Anda? Apakah belakangan ini dia sempat menyebutkan suatu tempat? Target liburan yang diimpikannya, misalnya?”
Sky terdiam sesaat. Bola matanya bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. “Putriku sangat suka bertualang. Dalam sehari saja, dia bisa menyebutkan puluhan tempat. Kurasa, agak sulit untuk menebak ke mana perginya.”
“Adakah tempat yang disebutnya di sekitar sini?”
Sky menggeleng. “Akhir-akhir ini, dia lebih sering menyebutkan tempat-tempat di luar negeri. Oh, kemarin dia sempat menyebut tentang Danau Louise.”
“Baiklah, kami akan melacak ponsel putri Anda dan memeriksa riwayat panggilannya. Kalau tidak ada hasil, kami akan mengirim beberapa personel untuk memeriksa wilayah di sekitar rumah Anda dan juga Danau Louise. Putri Anda masih sangat kecil. Dia tidak mungkin bisa pergi jauh. Dia pasti masih di sekitar sini. Selain itu, kami juga akan memeriksa CCTV di beberapa titik.”
Sky mencoba untuk mengangguk, tetapi lehernya kaku. Hatinya meragukan pernyataan polisi tersebut. Ia tahu betul, Summer sanggup pergi ke mana pun.
Saat polisi sedang sibuk melacak Summer, tiba-tiba, ponsel Sky berdering. Melihat nomor asing menghubunginya lewat panggilan video, napas Sky tertahan. Mungkinkah itu penculik yang meminta tebusan? Atau justru orang baik yang tidak sengaja menemukan putrinya?
Dengan hati yang berdebar, Sky menjawab panggilan. Namun, begitu melihat wajah yang muncul, keresahannya musnah. Matanya terbelalak memancarkan keheranan dan keterkejutan.
“L-Louis?”
Beberapa saat lalu, di restoran tempat Louis melamar sang kekasih ....“Hentikan! Kau tidak boleh menikah dengan gadis itu, Tuan Louis Harper. Sampai kapan pun, aku tidak akan pernah merestui kalian!”Semua orang terkesiap mendengar suara imut yang melengking itu. Tak terkecuali Louis yang sedang berlutut memegang kotak cincin. Begitu menoleh, mulutnya langsung terbuka lebar. Matanya terbelalak, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.Seorang gadis cilik sedang berkacak pinggang di pintu masuk restoran! Jumpsuit bergambar beruang membuatnya terlihat sangat lucu, apalagi dengan pipi gembul yang digembungkan dan mata bulat yang dipaksakan seram.Dalam sekejap, ruangan itu penuh dengan bisikan. Para pelayan, pengawal, bahkan paparazi yang mengintai—semua sibuk dengan asumsi masing-masing.“Astaga! Lihatlah gadis kecil itu! Bukankah dia sangat mirip dengan Tuan Harper?”“Bukan Tuan Harper, tapi kembarannya. Dia persis seperti Emily muda. Hanya rambut mereka saja yang berbeda. Gadis itu
Setibanya di sebuah penthouse, gadis kecil yang bersama Louis itu tercengang. Ia tidak peduli dengan telinganya yang masih merah. Matanya sudah telanjur terpesona dengan apa yang ada di hadapannya.“Tuan Harper, kudengar kau punya banyak rumah. Apakah ini salah satunya? Ini sangat keren dan indah. Seperti istana!”Louis mendengus mendengar celotehan tersebut. Ia semakin yakin bahwa orang yang mengirimkan bocah itu mengincar hartanya.“Masuklah,” Louis melangkah lebih dulu menuju sofa. Nada suaranya datar, tidak bersahabat.Akan tetapi, sang balita sama sekali tidak mempermasalahkan. Dengan raut ceria, ia duduk di samping sebuah rak.“Apa yang kau lakukan?” tanya Louis, heran.Gadis kecil itu mendongak sambil menarik tali sepatunya. “Mama bilang, kita tidak boleh menggunakan alas kaki di dalam rumah, apalagi rumah orang lain. Nanti lantainya bisa kotor.”“Apakah kau sedang berusaha menarik perhatianku?” Mata Louis menyipit.“Tidak,” sang balita menggeleng santai. “Memang begitu peratur
Louis semula mengernyitkan dahi. Ia sudah siap untuk menumpahkan amarah kepada Sky, menuntut pertanggungjawaban atas kekacauan yang ditimbulkan oleh putrinya.Namun, begitu wajah cantik yang diliputi air mata menerima panggilan videonya, kegeraman Louis memudar. Rasa iba dan kerinduan mendadak terbit dari sudut hatinya.“Sky,” lidahnya kelu menyebut nama itu.Sky mengerjap. Sembari tertunduk, ia menyeka mata. Ia tidak mau Louis mengetahui kegelisahannya. Ia belum siap jika statusnya sebagai ibu tunggal terbongkar.“Hai, Louis. Lama tidak berjumpa. Ada apa kau menghubungiku? Bukankah kau seharusnya sedang berbahagia bersama calon istrimu? Emily bilang, kau melamar Grace Evans hari ini.” Ia memaksakan senyum.“Kau menangis?”Louis terdengar sangat lembut. Sky sudah sangat lama tidak menangkap suara itu.“Apa? Menangis? Tidak, aku tidak menangis. Mataku kelilipan saja. Air matanya keluar sendiri.”“Kau menangis karena Summer?”Sky seketika mematung. Waktu seolah membeku dan otaknya berju
Louis menarik ransel yang terisi penuh itu. Summer mencoba untuk menghalanginya, tetapi ia kalah cepat.“Di mana kau menyembunyikan paspor ibumu?”Summer melipat tangan di depan dada. Pipinya yang menggembung membuat wajahnya tampak lebih bulat.“Apakah kau mengira aku membawanya di dalam ranselku? Kalau begitu, cari saja terus. Sampai gajah bisa bicara pun, kau tidak akan bisa menemukannya.”Louis berhenti menggeledah ransel kecil itu. “Kau tidak membawanya?”“Untuk apa? Nanti Mama tidak bisa datang ke sini kalau aku membawa paspornya.”Louis menghela napas lelah. Ia kembalikan ransel kecil itu ke atas meja. Memang tidak ada paspor sejauh pengamatannya. Summer hanya membawa pakaian, kotak bekal, botol minum, dan perlengkapan dasar untuk bertualang.“Kenapa kau bertindak sejauh ini, Manusia Mungil? Apakah kau sadar bahwa kelakuanmu ini merugikan orang lain? Kau mempersulit hidupku,” tutur Louis, terdengar putus asa.“Harus berapa kali kukatakan? Aku mau kamu menikah dengan Mama,” cele
Sambil duduk di tepi ranjang, Louis mulai membentur-benturkan kepala dengan kepalan tangan. Matanya tertutup, alisnya berkerut. Ia sadar, dirinya tidak boleh hanyut dalam pikiran keruh.“Tidak. Sky tidak mungkin sejahat itu. Putri kecilnya itulah yang bermasalah. Kalau memang dia ingin punya ayah, kenapa dia tidak mencari ayah kandungnya saja? Kenapa malah mengacaukan rencana indahku? Kalau dia tidak datang, aku pasti sedang berbahagia bersama Grace.”Selang keheningan sejenak, Louis mengangguk-angguk mantap. “Ya, dia pasti mewarisi sikap menjengkelkan itu dari ayahnya. Dia banyak tingkah, keras kepala, dan semena-mena. Pasti itu dia dapatkan dari sang ayah. Bukan Sky yang bersalah, tapi Summer dan ayahnya. Sekarang apa yang dia lakukan? Dia tidak sedang menghancurkan rumah, kan?”Louis mengeluarkan ponsel, memantau kamera pengawas. Tidak mendapati Summer di ruang depan, ia terbelalak. “Ke mana perginya manusia mungil itu?”Louis pun memeriksa kamera lain. Menemukan Summer sedang mencu
Tiba-tiba, ponsel Louis berdering. Khawatir Summer terbangun, ia cepat-cepat menyingkir. Wajahnya keruh. Namun, melihat siapa yang memanggil, matanya seketika berbinar.“Ace? Kau sudah tidak marah lagi padaku?” Louis terdengar ceria walau suaranya agak pelan.“Louis, kupikir kau sudah menangani anak itu. Tapi kenapa kau membawanya ke penthouse-mu?”Cahaya di wajah Louis mendadak lenyap. Ia tidak menyangka kekasihnya akan mempermasalahkan hal itu.“Aku perlu menginterogasinya dan aku tidak mau ada paparazi yang mengganggu. Jadi, kubawa dia ke penthouse-ku. Kau tahu? Ternyata, dia adalah putri Sky—sahabat Emily itu.”“Sahabat lamamu itu?” balas Grace dengan penuh penekanan.Louis menelan ludah. Ia bisa menangkap kecemburuan dari kekasihnya. “Ya. Aku juga tidak menyangka. Percaya atau tidak, anak itu berangkat seorang diri dari Kanada. Karena itu, aku tidak mungkin menelantarkannya. Kubiarkan dia beristirahat di tempatku.”“Kau tahu kalau itu justru akan menimbulkan prasangka, kan? Papara
"Summer, kau anak baik, kan?" tanya Louis dengan nada membujuk.Sang balita menjawab dengan mata berbinar. "Tentu saja! Kalau saja ada penghargaan untuk anak terbaik di seluruh dunia, aku pasti sudah mendapatnya. Aku ini pintar dan senang membantu orang-orang. Aku juga mandiri dan jarang merepotkan orang lain, kecuali Mama. Terkadang, aku masih membutuhkan bantuan darinya. Tapi kata Mama, itu wajar. Aku masih terlalu kecil untuk melakukan semuanya sendirian."Louis mengangguk-angguk dengan senyum yang dipaksa lebar. "Bagus. Kalau begitu, bisakah kau buktikan? Uruslah dirimu sendiri. Aku harus berangkat kerja sekarang. Ini sudah sangat terlambat."Summer tersenyum miring mendengar itu. Telunjuknya menggeliat seperti cacing di depan dagu. "Paman Louis, kamu tidak bisa membohongiku. Ini hari Minggu. Bibi Emily bilang kalian tidak pernah bekerja di akhir pekan. Sabtu dan Minggu adalah waktu khusus untuk diri sendiri dan keluarga. Karena kamu akan menjadi Papa-ku, bagaimana kalau kita meng
Louis menghela napas cepat. Kepalanya menggeleng tak percaya. "Ace? Aku tahu kau sedang ingin menguji ketulusan dan kesetiaanku, tapi bukan begini caranya.""Tidak ada cara lain, Louis. Aku mulai meragukanmu dan kamu harus menghentikan itu. Kau tahu seberapa kacau pikiran dan perasaanku sejak bocah itu muncul? Bayangkan saja. Lamaran yang kuimpi-impikan hancur karena ulahnya. Coba tempatkan dirimu di posisiku. Jangan hanya bersimpati padanya!"Louis terdiam dan membisu. Matanya yang sayu kini ikut berkaca-kaca. "Kau sungguh ingin aku mengusir anak kecil yang tidak berdaya itu?""Gunakan akal sehatmu, Louis. Kau tidak harus melemparnya ke jalan. Kau punya banyak pelayan dan pengawal. Pilih saja beberapa untuk mengirimnya pulang. Yang penting, ia enyah dari sini dan tidak mengusik hubungan kita lagi."Louis menarik napas berat. Ia melirik ke arah pintu. Balita yang mengintip di sana tampak ketakutan."Paman Louis, tolong jangan usir aku. Masih ada banyak hal yang mau kulakukan denganmu.