Share

3. Interogasi

Setibanya di sebuah penthouse, gadis kecil yang bersama Louis itu tercengang. Ia tidak peduli dengan telinganya yang masih merah. Matanya sudah telanjur terpesona dengan apa yang ada di hadapannya.

“Tuan Harper, kudengar kau punya banyak rumah. Apakah ini salah satunya? Ini sangat keren dan indah. Seperti istana!”

Louis mendengus mendengar celotehan tersebut. Ia semakin yakin bahwa orang yang mengirimkan bocah itu mengincar hartanya.

“Masuklah,” Louis melangkah lebih dulu menuju sofa. Nada suaranya datar, tidak bersahabat.

Akan tetapi, sang balita sama sekali tidak mempermasalahkan. Dengan raut ceria, ia duduk di samping sebuah rak.

“Apa yang kau lakukan?” tanya Louis, heran.

Gadis kecil itu mendongak sambil menarik tali sepatunya. “Mama bilang, kita tidak boleh menggunakan alas kaki di dalam rumah, apalagi rumah orang lain. Nanti lantainya bisa kotor.”

“Apakah kau sedang berusaha menarik perhatianku?” Mata Louis menyipit.

“Tidak,” sang balita menggeleng santai. “Memang begitu peraturannya. Bahkan sebelum masuk ke kamar, Mama selalu mengingatkan aku untuk mencuci kaki, muka, dan tangan. Biar kuman-kuman dari luar tidak ikut terbawa. Kita bisa juga berganti pakaian kalau mau lebih aman. Dan kalau kita mau tidur, kita tidak boleh lupa menggosok gigi. Kalau tidak, gigi kita bisa rusak.”

Usai melucuti sepatu dan kaos kaki, gadis kecil itu meletakkannya di atas rak dengan rapi. Sepatunya tampak sangat mungil di samping sepatu-sepatu yang lain.

“Oh, Tuan? Kenapa kamu tidak mencopot sepatu? Nanti lantai rumahmu jadi kotor.”

Louis mendesah tak peduli. “Ada yang membersihkannya nanti. Sekarang kemarilah! Jangan banyak tingkah. Duduk di sana.” Ia menunjuk sofa di hadapannya.

Gadis kecil itu menurut. Ia membuka ransel dan meletakkannya di atas meja. Kemudian, ia merangkak naik ke sofa yang cukup tinggi baginya. Sembari duduk di sana, ia bersenandung kecil dan mengamati sekeliling.

“Tidak ada orang lain lagi di sini. Kau bisa jujur sekarang,” tutur Louis, membuat sang balita menoleh padanya.

“Jujur? Tentang apa?” Mata abu-abunya membulat sempurna.

“Siapa yang menugaskanmu untuk mengacaukan lamaranku?”

Tiba-tiba saja, gadis kecil itu terkekeh. “Tidak ada, Tuan. Itu ideku sendiri.”

Mata Louis kembali memicing. Ia heran karena sang balita tampak jujur. “Kenapa ide itu bisa muncul?”

“Karena aku sudah tidak tahan melihat Mama kesepian dan diam-diam bersedih. Sejak kabar tentang kamu dan nona itu tersebar, Mama jadi agak murung. Aku mau Mama bahagia seperti perempuan-perempuan lain. Aku mau Mama punya suami juga.”

Louis terdiam sejenak. Otaknya sibuk mencerna. “Siapa ibumu?” tanyanya ragu.

Summer berkedip-kedip. Bibirnya menguncup. “Apakah kamu masih tidak tahu siapa Mama? Orang-orang bilang aku sangat mirip dengannya. Kau seharusnya langsung ingat. Apalagi, kalian dulu sangat dekat.”

Louis tertegun. Bayang-bayang Sky Hills, sahabat lamanya, melintas dalam pikiran. Sky dulu sering mengenakan hoodie dan jumpsuit. Rambutnya keriting, wajahnya menggemaskan. Ia juga suka membawa ransel yang dihiasi banyak pin, persis seperti gadis kecil di hadapannya sekarang.

Akan tetapi, Louis tidak mau menggubris firasatnya. Ia tidak mau mengulang rasa sakit dulu. Kemiripan sang balita dengan Sky mungkin saja hanya kebetulan.

“Siapa namamu?”

Gadis kecil itu memanjangkan leher dan menjawab dengan penuh semangat. “Summer!”

“Kau lahir di musim panas?” Louis menurunkan sebelah alis.

“Tidak. Aku lahir di musim dingin, tapi Mama memberiku nama Summer. Karena kata Mama, aku datang membawakan kehangatan,” tuturnya manis. Senyumnya sempat menawan hati Louis selama sepersekian detik.

“Berapa umurmu?”

Summer menegakkan sebelah tangan lalu melipat jempolnya yang mungil. “Empat tahun lebih.”

“Di mana kau tinggal?”

“Kami sering berpindah-pindah, Tuan. Aku dan Mama suka bertualang ke seluruh dunia. Tapi terakhir, kami sedang tinggal di Kanada.”

“Maksudku, di kota ini? Di mana kau tinggal? Aku mau menelepon polisi untuk menjemput ibumu. Dia perlu dimintai keterangan.”

Bibir Summer mengerucut. Matanya berkedip-kedip lucu. “Kami tidak punya rumah di sini. Sebetulnya, ini pertama kalinya aku datang ke T City.”

Wajah Louis mengernyit bingung. “Di mana kalian menginap selama berada di kota ini?”

Summer menggeleng. “Aku belum mencari tempat untuk menginap. Aku baru saja tiba. Dari bandara, aku buru-buru pergi ke restoran tempat kamu melamar Nona Evans. Untung saja, aku tidak terlambat.”

Louis mendengus. “Kau pikir semudah itu membohongiku? Kau bahkan belum genap lima tahun. Siapa yang akan percaya kalau kau datang dari Kanada seorang diri?”

Summer merogoh saku jumpsuit-nya. Dengan wajah polos, ia keluarkan sebuah paspor dan membuka halaman terakhir.

“Memangnya kenapa kalau aku belum berumur lima tahun? Aku ini anak pintar, Tuan. Aku bisa melakukan perjalanan seorang diri. Apalagi, aku sudah punya rekening dan ponsel sendiri sekarang. Memesan tiket pesawat dan terbang sendirian adalah hal yang sangat mudah. Dan juga mengatur transportasinya. Aku ini petualang cilik yang mandiri.”

Louis tercengang sesaat. Namun kemudian, tawanya terdengar tipis dan terkesan meremehkan.

“Tidak mungkin. Itu pasti akal-akalan kalian. Mana mungkin ada anak sehebat itu?”

“Kalau kamu masih tidak percaya,” Summer melompat turun dari sofa. Ia raih ranselnya, mengambil sebuah buku dari dalam sana. “Lihat ini!”

Louis menaikkan sebelah alis. Ia melirik buku yang penuh dengan gambar, tulisan, dan coretan itu. Lagi-lagi, ia teringat akan Sky.

“Ini adalah peta rencanaku. Semua berawal dari minggu lalu, saat aku mendengar tentang lamaranmu. Mama tampak agak murung, jadi aku bertekad untuk membatalkannya. Aku mencari tahu tentang lokasimu, mengatur rute perjalananku, mencocokkan waktu dengan—”

“Tunggu.” Louis mengangkat sebelah tangan. Summer yang hendak menjelaskan strateginya sontak menahan bicara. “Dari mana kau tahu tentang rencana lamaranku?”

“Bibi Emily yang menceritakannya.”

Louis seketika mematung. Bola matanya bergetar samar. “Kau mengenal Emily?"

“Tentu saja. Dia sahabat terbaik Mama. Dia selalu menceritakan apa pun kepada kami. Bahkan saat dia berbulan madu bersama Paman Cayden kemarin, aku dan Mama yang memandu mereka.”

Louis tak bisa lagi menyangkal. Petir yang menyambar jantungnya terlampau dahsyat. “Kau ... sungguh anak Sky? Sky sudah punya anak?”

Summer tersenyum semringah. “Benar! Aku adalah anak Sky. Akhirnya, kau mengingat Mama. Mama sangat merindukanmu, Tuan.”

Louis menghela napas tak percaya. Matanya bergerak-gerak mencari petunjuk, tetapi tidak ada satu pun yang ia dapat. Tak sanggup lagi membendung kebingungan, ia akhirnya menelepon adik kembarnya.

“Halo, Louis? Tumben kau menelepon? Apakah kau mau mengabarkan kalau Grace sudah menerima lamaranmu?”

“Kenapa kau tidak pernah cerita kalau Sky sudah punya anak?” sambar Louis, tanpa basa-basi.

Suasana mendadak hening. Bahkan Summer tidak lagi bergumam kecil.

“Emily? Jawab!”

“Kau tidak pernah bertanya, Louis. Terakhir saat aku ingin menceritakan tentang Sky, kau menolak untuk mendengarkan. Kau bilang dia sudah bukan sahabatmu lagi. Dari mana kau tahu kalau dia sudah punya anak? Dan kenapa kau terdengar marah?”

Louis tertunduk dan terpejam. Sebisa mungkin, ia berusaha meredam deru napasnya.

“Putrinya sedang bersamaku. Dia mengaku terbang sendiri ke sini. Dan kau tahu apa yang sudah dia lakukan?”

Louis tanpa sadar menggertakkan geraham. Emosinya terlalu sulit diredam.

“Dia muncul tiba-tiba, melarangku untuk menikahi Ace. Dia ingin aku menjadi ayahnya dan menikahi ibunya. Dia mengacaukan semua yang telah kurencanakan, Em. Karena itu, cepat kirimkan kontak Sky! Aku perlu bicara langsung dengannya dan meminta pertanggungjawaban.”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Pixie
Paling jago bikin rusuh
goodnovel comment avatar
Indah Carolina
ahahaha.... kerja bagus summer !!!
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status