Setibanya di sebuah penthouse, gadis kecil yang bersama Louis itu tercengang. Ia tidak peduli dengan telinganya yang masih merah. Matanya sudah telanjur terpesona dengan apa yang ada di hadapannya.
“Tuan Harper, kudengar kau punya banyak rumah. Apakah ini salah satunya? Ini sangat keren dan indah. Seperti istana!”
Louis mendengus mendengar celotehan tersebut. Ia semakin yakin bahwa orang yang mengirimkan bocah itu mengincar hartanya.
“Masuklah,” Louis melangkah lebih dulu menuju sofa. Nada suaranya datar, tidak bersahabat.
Akan tetapi, sang balita sama sekali tidak mempermasalahkan. Dengan raut ceria, ia duduk di samping sebuah rak.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Louis, heran.
Gadis kecil itu mendongak sambil menarik tali sepatunya. “Mama bilang, kita tidak boleh menggunakan alas kaki di dalam rumah, apalagi rumah orang lain. Nanti lantainya bisa kotor.”
“Apakah kau sedang berusaha menarik perhatianku?” Mata Louis menyipit.
“Tidak,” sang balita menggeleng santai. “Memang begitu peraturannya. Bahkan sebelum masuk ke kamar, Mama selalu mengingatkan aku untuk mencuci kaki, muka, dan tangan. Biar kuman-kuman dari luar tidak ikut terbawa. Kita bisa juga berganti pakaian kalau mau lebih aman. Dan kalau kita mau tidur, kita tidak boleh lupa menggosok gigi. Kalau tidak, gigi kita bisa rusak.”
Usai melucuti sepatu dan kaos kaki, gadis kecil itu meletakkannya di atas rak dengan rapi. Sepatunya tampak sangat mungil di samping sepatu-sepatu yang lain.
“Oh, Tuan? Kenapa kamu tidak mencopot sepatu? Nanti lantai rumahmu jadi kotor.”
Louis mendesah tak peduli. “Ada yang membersihkannya nanti. Sekarang kemarilah! Jangan banyak tingkah. Duduk di sana.” Ia menunjuk sofa di hadapannya.
Gadis kecil itu menurut. Ia membuka ransel dan meletakkannya di atas meja. Kemudian, ia merangkak naik ke sofa yang cukup tinggi baginya. Sembari duduk di sana, ia bersenandung kecil dan mengamati sekeliling.
“Tidak ada orang lain lagi di sini. Kau bisa jujur sekarang,” tutur Louis, membuat sang balita menoleh padanya.
“Jujur? Tentang apa?” Mata abu-abunya membulat sempurna.
“Siapa yang menugaskanmu untuk mengacaukan lamaranku?”
Tiba-tiba saja, gadis kecil itu terkekeh. “Tidak ada, Tuan. Itu ideku sendiri.”
Mata Louis kembali memicing. Ia heran karena sang balita tampak jujur. “Kenapa ide itu bisa muncul?”
“Karena aku sudah tidak tahan melihat Mama kesepian dan diam-diam bersedih. Sejak kabar tentang kamu dan nona itu tersebar, Mama jadi agak murung. Aku mau Mama bahagia seperti perempuan-perempuan lain. Aku mau Mama punya suami juga.”
Louis terdiam sejenak. Otaknya sibuk mencerna. “Siapa ibumu?” tanyanya ragu.
Summer berkedip-kedip. Bibirnya menguncup. “Apakah kamu masih tidak tahu siapa Mama? Orang-orang bilang aku sangat mirip dengannya. Kau seharusnya langsung ingat. Apalagi, kalian dulu sangat dekat.”
Louis tertegun. Bayang-bayang Sky Hills, sahabat lamanya, melintas dalam pikiran. Sky dulu sering mengenakan hoodie dan jumpsuit. Rambutnya keriting, wajahnya menggemaskan. Ia juga suka membawa ransel yang dihiasi banyak pin, persis seperti gadis kecil di hadapannya sekarang.
Akan tetapi, Louis tidak mau menggubris firasatnya. Ia tidak mau mengulang rasa sakit dulu. Kemiripan sang balita dengan Sky mungkin saja hanya kebetulan.
“Siapa namamu?”
Gadis kecil itu memanjangkan leher dan menjawab dengan penuh semangat. “Summer!”
“Kau lahir di musim panas?” Louis menurunkan sebelah alis.
“Tidak. Aku lahir di musim dingin, tapi Mama memberiku nama Summer. Karena kata Mama, aku datang membawakan kehangatan,” tuturnya manis. Senyumnya sempat menawan hati Louis selama sepersekian detik.
“Berapa umurmu?”
Summer menegakkan sebelah tangan lalu melipat jempolnya yang mungil. “Empat tahun lebih.”
“Di mana kau tinggal?”
“Kami sering berpindah-pindah, Tuan. Aku dan Mama suka bertualang ke seluruh dunia. Tapi terakhir, kami sedang tinggal di Kanada.”
“Maksudku, di kota ini? Di mana kau tinggal? Aku mau menelepon polisi untuk menjemput ibumu. Dia perlu dimintai keterangan.”
Bibir Summer mengerucut. Matanya berkedip-kedip lucu. “Kami tidak punya rumah di sini. Sebetulnya, ini pertama kalinya aku datang ke T City.”
Wajah Louis mengernyit bingung. “Di mana kalian menginap selama berada di kota ini?”
Summer menggeleng. “Aku belum mencari tempat untuk menginap. Aku baru saja tiba. Dari bandara, aku buru-buru pergi ke restoran tempat kamu melamar Nona Evans. Untung saja, aku tidak terlambat.”
Louis mendengus. “Kau pikir semudah itu membohongiku? Kau bahkan belum genap lima tahun. Siapa yang akan percaya kalau kau datang dari Kanada seorang diri?”
Summer merogoh saku jumpsuit-nya. Dengan wajah polos, ia keluarkan sebuah paspor dan membuka halaman terakhir.
“Memangnya kenapa kalau aku belum berumur lima tahun? Aku ini anak pintar, Tuan. Aku bisa melakukan perjalanan seorang diri. Apalagi, aku sudah punya rekening dan ponsel sendiri sekarang. Memesan tiket pesawat dan terbang sendirian adalah hal yang sangat mudah. Dan juga mengatur transportasinya. Aku ini petualang cilik yang mandiri.”
Louis tercengang sesaat. Namun kemudian, tawanya terdengar tipis dan terkesan meremehkan.
“Tidak mungkin. Itu pasti akal-akalan kalian. Mana mungkin ada anak sehebat itu?”
“Kalau kamu masih tidak percaya,” Summer melompat turun dari sofa. Ia raih ranselnya, mengambil sebuah buku dari dalam sana. “Lihat ini!”
Louis menaikkan sebelah alis. Ia melirik buku yang penuh dengan gambar, tulisan, dan coretan itu. Lagi-lagi, ia teringat akan Sky.
“Ini adalah peta rencanaku. Semua berawal dari minggu lalu, saat aku mendengar tentang lamaranmu. Mama tampak agak murung, jadi aku bertekad untuk membatalkannya. Aku mencari tahu tentang lokasimu, mengatur rute perjalananku, mencocokkan waktu dengan—”
“Tunggu.” Louis mengangkat sebelah tangan. Summer yang hendak menjelaskan strateginya sontak menahan bicara. “Dari mana kau tahu tentang rencana lamaranku?”
“Bibi Emily yang menceritakannya.”
Louis seketika mematung. Bola matanya bergetar samar. “Kau mengenal Emily?"
“Tentu saja. Dia sahabat terbaik Mama. Dia selalu menceritakan apa pun kepada kami. Bahkan saat dia berbulan madu bersama Paman Cayden kemarin, aku dan Mama yang memandu mereka.”
Louis tak bisa lagi menyangkal. Petir yang menyambar jantungnya terlampau dahsyat. “Kau ... sungguh anak Sky? Sky sudah punya anak?”
Summer tersenyum semringah. “Benar! Aku adalah anak Sky. Akhirnya, kau mengingat Mama. Mama sangat merindukanmu, Tuan.”
Louis menghela napas tak percaya. Matanya bergerak-gerak mencari petunjuk, tetapi tidak ada satu pun yang ia dapat. Tak sanggup lagi membendung kebingungan, ia akhirnya menelepon adik kembarnya.
“Halo, Louis? Tumben kau menelepon? Apakah kau mau mengabarkan kalau Grace sudah menerima lamaranmu?”
“Kenapa kau tidak pernah cerita kalau Sky sudah punya anak?” sambar Louis, tanpa basa-basi.
Suasana mendadak hening. Bahkan Summer tidak lagi bergumam kecil.
“Emily? Jawab!”
“Kau tidak pernah bertanya, Louis. Terakhir saat aku ingin menceritakan tentang Sky, kau menolak untuk mendengarkan. Kau bilang dia sudah bukan sahabatmu lagi. Dari mana kau tahu kalau dia sudah punya anak? Dan kenapa kau terdengar marah?”
Louis tertunduk dan terpejam. Sebisa mungkin, ia berusaha meredam deru napasnya.
“Putrinya sedang bersamaku. Dia mengaku terbang sendiri ke sini. Dan kau tahu apa yang sudah dia lakukan?”
Louis tanpa sadar menggertakkan geraham. Emosinya terlalu sulit diredam.
“Dia muncul tiba-tiba, melarangku untuk menikahi Ace. Dia ingin aku menjadi ayahnya dan menikahi ibunya. Dia mengacaukan semua yang telah kurencanakan, Em. Karena itu, cepat kirimkan kontak Sky! Aku perlu bicara langsung dengannya dan meminta pertanggungjawaban.”
Louis semula mengernyitkan dahi. Ia sudah siap untuk menumpahkan amarah kepada Sky, menuntut pertanggungjawaban atas kekacauan yang ditimbulkan oleh putrinya.Namun, begitu wajah cantik yang diliputi air mata menerima panggilan videonya, kegeraman Louis memudar. Rasa iba dan kerinduan mendadak terbit dari sudut hatinya.“Sky,” lidahnya kelu menyebut nama itu.Sky mengerjap. Sembari tertunduk, ia menyeka mata. Ia tidak mau Louis mengetahui kegelisahannya. Ia belum siap jika statusnya sebagai ibu tunggal terbongkar.“Hai, Louis. Lama tidak berjumpa. Ada apa kau menghubungiku? Bukankah kau seharusnya sedang berbahagia bersama calon istrimu? Emily bilang, kau melamar Grace Evans hari ini.” Ia memaksakan senyum.“Kau menangis?”Louis terdengar sangat lembut. Sky sudah sangat lama tidak menangkap suara itu.“Apa? Menangis? Tidak, aku tidak menangis. Mataku kelilipan saja. Air matanya keluar sendiri.”“Kau menangis karena Summer?”Sky seketika mematung. Waktu seolah membeku dan otaknya berju
Louis menarik ransel yang terisi penuh itu. Summer mencoba untuk menghalanginya, tetapi ia kalah cepat.“Di mana kau menyembunyikan paspor ibumu?”Summer melipat tangan di depan dada. Pipinya yang menggembung membuat wajahnya tampak lebih bulat.“Apakah kau mengira aku membawanya di dalam ranselku? Kalau begitu, cari saja terus. Sampai gajah bisa bicara pun, kau tidak akan bisa menemukannya.”Louis berhenti menggeledah ransel kecil itu. “Kau tidak membawanya?”“Untuk apa? Nanti Mama tidak bisa datang ke sini kalau aku membawa paspornya.”Louis menghela napas lelah. Ia kembalikan ransel kecil itu ke atas meja. Memang tidak ada paspor sejauh pengamatannya. Summer hanya membawa pakaian, kotak bekal, botol minum, dan perlengkapan dasar untuk bertualang.“Kenapa kau bertindak sejauh ini, Manusia Mungil? Apakah kau sadar bahwa kelakuanmu ini merugikan orang lain? Kau mempersulit hidupku,” tutur Louis, terdengar putus asa.“Harus berapa kali kukatakan? Aku mau kamu menikah dengan Mama,” cele
Sambil duduk di tepi ranjang, Louis mulai membentur-benturkan kepala dengan kepalan tangan. Matanya tertutup, alisnya berkerut. Ia sadar, dirinya tidak boleh hanyut dalam pikiran keruh.“Tidak. Sky tidak mungkin sejahat itu. Putri kecilnya itulah yang bermasalah. Kalau memang dia ingin punya ayah, kenapa dia tidak mencari ayah kandungnya saja? Kenapa malah mengacaukan rencana indahku? Kalau dia tidak datang, aku pasti sedang berbahagia bersama Grace.”Selang keheningan sejenak, Louis mengangguk-angguk mantap. “Ya, dia pasti mewarisi sikap menjengkelkan itu dari ayahnya. Dia banyak tingkah, keras kepala, dan semena-mena. Pasti itu dia dapatkan dari sang ayah. Bukan Sky yang bersalah, tapi Summer dan ayahnya. Sekarang apa yang dia lakukan? Dia tidak sedang menghancurkan rumah, kan?”Louis mengeluarkan ponsel, memantau kamera pengawas. Tidak mendapati Summer di ruang depan, ia terbelalak. “Ke mana perginya manusia mungil itu?”Louis pun memeriksa kamera lain. Menemukan Summer sedang mencu
Tiba-tiba, ponsel Louis berdering. Khawatir Summer terbangun, ia cepat-cepat menyingkir. Wajahnya keruh. Namun, melihat siapa yang memanggil, matanya seketika berbinar.“Ace? Kau sudah tidak marah lagi padaku?” Louis terdengar ceria walau suaranya agak pelan.“Louis, kupikir kau sudah menangani anak itu. Tapi kenapa kau membawanya ke penthouse-mu?”Cahaya di wajah Louis mendadak lenyap. Ia tidak menyangka kekasihnya akan mempermasalahkan hal itu.“Aku perlu menginterogasinya dan aku tidak mau ada paparazi yang mengganggu. Jadi, kubawa dia ke penthouse-ku. Kau tahu? Ternyata, dia adalah putri Sky—sahabat Emily itu.”“Sahabat lamamu itu?” balas Grace dengan penuh penekanan.Louis menelan ludah. Ia bisa menangkap kecemburuan dari kekasihnya. “Ya. Aku juga tidak menyangka. Percaya atau tidak, anak itu berangkat seorang diri dari Kanada. Karena itu, aku tidak mungkin menelantarkannya. Kubiarkan dia beristirahat di tempatku.”“Kau tahu kalau itu justru akan menimbulkan prasangka, kan? Papara
"Summer, kau anak baik, kan?" tanya Louis dengan nada membujuk.Sang balita menjawab dengan mata berbinar. "Tentu saja! Kalau saja ada penghargaan untuk anak terbaik di seluruh dunia, aku pasti sudah mendapatnya. Aku ini pintar dan senang membantu orang-orang. Aku juga mandiri dan jarang merepotkan orang lain, kecuali Mama. Terkadang, aku masih membutuhkan bantuan darinya. Tapi kata Mama, itu wajar. Aku masih terlalu kecil untuk melakukan semuanya sendirian."Louis mengangguk-angguk dengan senyum yang dipaksa lebar. "Bagus. Kalau begitu, bisakah kau buktikan? Uruslah dirimu sendiri. Aku harus berangkat kerja sekarang. Ini sudah sangat terlambat."Summer tersenyum miring mendengar itu. Telunjuknya menggeliat seperti cacing di depan dagu. "Paman Louis, kamu tidak bisa membohongiku. Ini hari Minggu. Bibi Emily bilang kalian tidak pernah bekerja di akhir pekan. Sabtu dan Minggu adalah waktu khusus untuk diri sendiri dan keluarga. Karena kamu akan menjadi Papa-ku, bagaimana kalau kita meng
Louis menghela napas cepat. Kepalanya menggeleng tak percaya. "Ace? Aku tahu kau sedang ingin menguji ketulusan dan kesetiaanku, tapi bukan begini caranya.""Tidak ada cara lain, Louis. Aku mulai meragukanmu dan kamu harus menghentikan itu. Kau tahu seberapa kacau pikiran dan perasaanku sejak bocah itu muncul? Bayangkan saja. Lamaran yang kuimpi-impikan hancur karena ulahnya. Coba tempatkan dirimu di posisiku. Jangan hanya bersimpati padanya!"Louis terdiam dan membisu. Matanya yang sayu kini ikut berkaca-kaca. "Kau sungguh ingin aku mengusir anak kecil yang tidak berdaya itu?""Gunakan akal sehatmu, Louis. Kau tidak harus melemparnya ke jalan. Kau punya banyak pelayan dan pengawal. Pilih saja beberapa untuk mengirimnya pulang. Yang penting, ia enyah dari sini dan tidak mengusik hubungan kita lagi."Louis menarik napas berat. Ia melirik ke arah pintu. Balita yang mengintip di sana tampak ketakutan."Paman Louis, tolong jangan usir aku. Masih ada banyak hal yang mau kulakukan denganmu.
Setibanya di hadapan Summer, Louis langsung menekuk lutut. Hatinya terasa pedih mendengar rintihan gadis kecil itu. Apalagi, saat ia memeluknya, punggung Summer ternyata gemetar hebat. Dua tangan mungil yang mendekap lehernya juga terasa dingin dan berkeringat."Paman Louis," isak Summer sambil terbatuk-batuk, "kenapa kamu meninggalkan aku? Tolong jangan lakukan itu lagi."Louis menarik napas berat. Ia tidak bisa menyangkal kalau penyesalan telah menumpuk tinggi dalam dadanya.Sayangnya, ia tidak bisa meminta maaf. Itu bisa menjadi perdebatan baru antara Grace dengan dirinya. Ia tidak bisa juga berjanji untuk tidak meninggalkan Summer. Itu hanya akan menjadi harapan palsu baginya."Kenapa kamu mengejarku, Summer? Bukankah sudah kubilang untuk mendengarkan Nyonya Campbell? Kenapa malah berlari tanpa sepatu?"Louis mempertemukan pandangan. Air mata ternyata masih menetes dari sudut mata sang balita. Dengan penuh perhatian, ia menyekanya."Aku sangat takut tadi. Aku takut tidak bisa berte
"Lalu, apa lagi? Pilihlah beberapa," tutur Louis kaku. Ia merasa konyol karena berniat mencocokkan selera makannya dengan Summer."Kurasa itu akan sulit bagiku. Aku suka makanan. Aku bisa memakan semuanya dengan lahap, kecuali sayur kribo itu. Aku sebenarnya kurang suka brokoli, tapi Mama bilang dia punya banyak manfaat. Jadi, aku terpaksa memakannya."Louis lagi-lagi mematung. Itu sama persis dengan apa yang dialaminya sewaktu masih kecil dulu."Tapi Paman Louis," suara Summer membuatnya mengerjap, "apakah semua makanan ini aman? Maksudku, tidak ada almond atau udang, kan?"Mata Louis kini membulat maksimal. Ia tahu bahwa Sky alergi terhadap almond. Hal itu sangat mungkin menurun kepada Summer. Tetapi udang? Mengapa Summer takut pada udang?"Ada apa dengan almond dan udang?" Louis berpura-pura tidak tahu."Mereka jahat, Paman. Mereka bisa membuatku gatal-gatal dan sesak napas."Louis berusaha untuk tidak mengubah ekspresi. Akan tetapi, kepalanya terlalu berisik oleh pertanyaan-pertany