Setibanya di sebuah penthouse, Summer tercengang. Ia tidak peduli dengan telinganya yang masih merah. Matanya sudah telanjur terpesona dengan apa yang ada di hadapannya.
“Tuan Harper, kudengar kau punya banyak rumah. Apakah ini salah satunya? Ini sangat keren dan indah. Seperti istana!” Louis mendengus mendengar celotehan tersebut. Ia semakin yakin bahwa orang yang mengirimkan bocah itu mengincar hartanya. “Masuklah,” Louis melangkah lebih dulu menuju sofa. Nada suaranya datar, tidak bersahabat. Akan tetapi, sang balita sama sekali tidak mempermasalahkan. Dengan raut ceria, ia duduk di samping sebuah rak. “Apa yang kau lakukan?” tanya Louis, heran. Gadis kecil itu mendongak sambil menarik tali sepatunya. “Mama bilang, kita tidak boleh menggunakan alas kaki di dalam rumah, apalagi rumah orang lain. Nanti lantainya bisa kotor.” “Apakah kau sedang berusaha menarik perhatianku?” Mata Louis menyipit. “Tidak,” sang balita menggeleng santai. “Memang begitu peraturannya. Bahkan sebelum masuk ke kamar, Mama selalu mengingatkan aku untuk mencuci kaki, muka, dan tangan. Biar kuman-kuman dari luar tidak ikut terbawa. Kita bisa juga berganti pakaian kalau mau lebih aman. Dan kalau kita mau tidur, kita tidak boleh lupa menggosok gigi. Kalau tidak, gigi kita bisa rusak.” Usai melucuti sepatu dan kaos kaki, gadis kecil itu meletakkannya di atas rak dengan rapi. Sepatunya tampak sangat mungil di samping sepatu-sepatu yang lain. “Oh, Tuan? Kenapa kamu tidak mencopot sepatu? Nanti lantai rumahmu jadi kotor.” Louis mendesah tak peduli. “Ada yang membersihkannya nanti. Sekarang kemarilah! Jangan banyak tingkah. Duduk di sana.” Ia menunjuk sofa di hadapannya. Gadis kecil itu menurut. Ia membuka ransel dan meletakkannya di atas meja. Kemudian, ia merangkak naik ke sofa yang cukup tinggi baginya. Sembari duduk di sana, ia bersenandung kecil dan mengamati sekeliling. “Tidak ada orang lain lagi di sini. Kau bisa jujur sekarang,” tutur Louis, membuat sang balita menoleh padanya. “Jujur? Tentang apa?” Mata abu-abunya membulat sempurna. “Siapa yang menugaskanmu untuk mengacaukan lamaranku?” Tiba-tiba saja, gadis kecil itu terkekeh. “Tidak ada, Tuan. Itu ideku sendiri.” Mata Louis kembali memicing. Ia heran karena sang balita tampak jujur. “Kenapa ide itu bisa muncul?” “Karena aku sudah tidak tahan melihat Mama kesepian dan diam-diam bersedih. Sejak kabar tentang kamu dan nona itu tersebar, Mama jadi agak murung. Aku mau Mama bahagia seperti perempuan-perempuan lain. Aku mau Mama punya suami juga.” Louis terdiam sejenak. Otaknya sibuk mencerna. “Siapa ibumu?” tanyanya ragu. Summer berkedip-kedip. Bibirnya menguncup. “Apakah kamu masih tidak tahu siapa Mama? Orang-orang bilang aku sangat mirip dengannya. Kau seharusnya langsung ingat. Apalagi, kalian dulu sangat dekat.” Louis tertegun. Bayang-bayang Sky Hills, sahabat lamanya, melintas dalam pikiran. Sky dulu sering mengenakan hoodie dan jumpsuit. Rambutnya keriting, wajahnya menggemaskan. Ia juga suka membawa ransel yang dihiasi banyak pin, persis seperti gadis kecil di hadapannya sekarang. Akan tetapi, Louis tidak mau menggubris firasatnya. Ia tidak mau mengulang rasa sakit dulu. Kemiripan sang balita dengan Sky mungkin saja hanya kebetulan. “Siapa namamu?” Gadis kecil itu memanjangkan leher dan menjawab dengan penuh semangat. “Summer!” “Kau lahir di musim panas?” Louis menurunkan sebelah alis. “Tidak. Aku lahir di musim dingin, tapi Mama memberiku nama Summer. Karena kata Mama, aku datang membawakan kehangatan,” tuturnya manis. Senyumnya sempat menawan hati Louis selama sepersekian detik. “Berapa umurmu?” Summer menegakkan sebelah tangan lalu melipat jempolnya yang mungil. “Empat tahun lebih.” “Di mana kau tinggal?” “Kami sering berpindah-pindah, Tuan. Aku dan Mama suka bertualang ke seluruh dunia. Tapi terakhir, kami sedang tinggal di Kanada.” “Maksudku, di kota ini? Di mana kau tinggal? Aku mau menelepon polisi untuk menjemput ibumu. Dia perlu dimintai keterangan.” Bibir Summer mengerucut. Matanya berkedip-kedip lucu. “Kami tidak punya rumah di sini. Sebetulnya, ini pertama kalinya aku datang ke T City.” Wajah Louis mengernyit bingung. “Di mana kalian menginap selama berada di kota ini?” Summer menggeleng. “Aku belum mencari tempat untuk menginap. Aku baru saja tiba. Dari bandara, aku buru-buru pergi ke restoran tempat kamu melamar Nona Evans. Untung saja, aku tidak terlambat.” Louis mendengus. “Kau pikir semudah itu membohongiku? Kau bahkan belum genap lima tahun. Siapa yang akan percaya kalau kau datang dari Kanada seorang diri?” Summer merogoh saku jumpsuit-nya. Dengan wajah polos, ia keluarkan sebuah paspor dan membuka halaman terakhir. “Memangnya kenapa kalau aku belum berumur lima tahun? Aku ini anak pintar, Tuan. Aku bisa melakukan perjalanan seorang diri. Apalagi, aku sudah punya rekening dan ponsel sendiri sekarang. Memesan tiket pesawat dan terbang sendirian adalah hal yang sangat mudah. Dan juga mengatur transportasinya. Aku ini petualang cilik yang mandiri.” Louis tercengang sesaat. Namun kemudian, tawanya terdengar tipis dan terkesan meremehkan. “Tidak mungkin. Itu pasti akal-akalan kalian. Mana mungkin ada anak sehebat itu?” “Kalau kamu masih tidak percaya,” Summer melompat turun dari sofa. Ia raih ranselnya, mengambil sebuah buku dari dalam sana. “Lihat ini!” Louis menaikkan sebelah alis. Ia melirik buku yang penuh dengan gambar, tulisan, dan coretan itu. Lagi-lagi, ia teringat akan Sky. “Ini adalah peta rencanaku. Semua berawal dari minggu lalu, saat aku mendengar tentang lamaranmu. Mama tampak agak murung, jadi aku bertekad untuk membatalkannya. Aku mencari tahu tentang lokasimu, mengatur rute perjalananku, mencocokkan waktu dengan—” “Tunggu.” Louis mengangkat sebelah tangan. Summer yang hendak menjelaskan strateginya sontak menahan bicara. “Dari mana kau tahu tentang rencana lamaranku?” “Bibi Emily yang menceritakannya.” Louis seketika mematung. Bola matanya bergetar samar. “Kau mengenal Emily?" “Tentu saja. Dia sahabat terbaik Mama. Dia selalu menceritakan apa pun kepada kami. Bahkan saat dia berbulan madu bersama Paman Cayden kemarin, aku dan Mama yang memandu mereka.” Louis tak bisa lagi menyangkal. Petir yang menyambar jantungnya terlampau dahsyat. “Kau ... sungguh anak Sky? Sky sudah punya anak?” Summer tersenyum semringah. “Benar! Aku adalah anak Sky. Akhirnya, kau mengingat Mama. Mama sangat merindukanmu, Tuan.” Louis menghela napas tak percaya. Matanya bergerak-gerak mencari petunjuk, tetapi tidak ada satu pun yang ia dapat. Tak sanggup lagi membendung kebingungan, ia akhirnya menelepon adik kembarnya. “Halo, Louis? Tumben kau menelepon? Apakah kau mau mengabarkan kalau Grace sudah menerima lamaranmu?” “Kenapa kau tidak pernah cerita kalau Sky sudah punya anak?” sambar Louis, tanpa basa-basi. Suasana mendadak hening. Bahkan Summer tidak lagi bergumam kecil. “Emily? Jawab!” “Kau tidak pernah bertanya, Louis. Terakhir saat aku ingin menceritakan tentang Sky, kau menolak untuk mendengarkan. Kau bilang dia sudah bukan sahabatmu lagi. Dari mana kau tahu kalau dia sudah punya anak? Dan kenapa kau terdengar marah?” Louis tertunduk dan terpejam. Sebisa mungkin, ia berusaha meredam deru napasnya. “Putrinya sedang bersamaku. Dia mengaku terbang sendiri ke sini. Dan kau tahu apa yang sudah dia lakukan?” Louis tanpa sadar menggertakkan geraham. Emosinya terlalu sulit diredam. “Dia muncul tiba-tiba, melarangku untuk menikahi Ace. Dia ingin aku menjadi ayahnya dan menikahi ibunya. Dia mengacaukan semua yang telah kurencanakan, Em. Karena itu, cepat kirimkan kontak Sky! Aku perlu bicara langsung dengannya dan meminta pertanggungjawaban.”Saat polisi sedang sibuk melacak Summer, tiba-tiba, ponsel Sky berdering. Melihat nomor asing menghubunginya lewat panggilan video, napas Sky tertahan. Mungkinkah itu penculik yang meminta tebusan? Atau justru orang baik yang tidak sengaja menemukan putrinya? Sky pun menjawab panggilan dengan hati yang berdebar. Namun, begitu melihat wajah yang muncul, keresahannya musnah. Matanya terbelalak memancarkan keheranan dan keterkejutan. “L-Louis?” Louis semula mengernyitkan dahi. Ia sudah siap untuk menumpahkan amarah kepada Sky, menuntut pertanggungjawaban atas kekacauan yang ditimbulkan oleh putrinya. Namun, begitu wajah cantik yang diliputi air mata menerima panggilan videonya, kegeraman Louis memudar. Rasa iba dan kerinduan mendadak terbit dari sudut hatinya. “Sky,” lidahnya kelu menyebut nama itu. Sky mengerjap. Sembari tertunduk, ia menyeka mata. Ia tidak mau Louis mengetahui kegelisahannya. Ia belum siap jika statusnya sebagai ibu tunggal terbongkar. “Hai, Louis. Lama tidak b
Louis menarik ransel yang terisi penuh itu. Summer mencoba untuk menghalanginya, tetapi ia kalah cepat.“Di mana kau menyembunyikan paspor ibumu?”Summer melipat tangan di depan dada. Pipinya yang menggembung membuat wajahnya tampak lebih bulat.“Apakah kau mengira aku membawanya di dalam ranselku? Kalau begitu, cari saja terus. Sampai gajah bisa bicara pun, kau tidak akan bisa menemukannya.”Louis berhenti menggeledah ransel kecil itu. “Kau tidak membawanya?”“Untuk apa? Nanti Mama tidak bisa datang ke sini kalau aku membawa paspornya.”Louis menghela napas lelah. Ia kembalikan ransel kecil itu ke atas meja. Memang tidak ada paspor sejauh pengamatannya. Summer hanya membawa pakaian, kotak bekal, botol minum, dan perlengkapan dasar untuk bertualang.“Kenapa kau bertindak sejauh ini, Manusia Mungil? Apakah kau sadar bahwa kelakuanmu ini merugikan orang lain? Kau mempersulit hidupku,” tutur Louis, terdengar putus asa.“Harus berapa kali kukatakan? Aku mau kamu menikah dengan Mama,” cele
Sambil duduk di tepi ranjang, Louis mulai membentur-benturkan kepala dengan kepalan tangan. Matanya tertutup, alisnya berkerut. Ia sadar, dirinya tidak boleh hanyut dalam pikiran keruh.“Tidak. Sky tidak mungkin sejahat itu. Putri kecilnya itulah yang bermasalah. Kalau memang dia ingin punya ayah, kenapa dia tidak mencari ayah kandungnya saja? Kenapa malah mengacaukan rencana indahku? Kalau dia tidak datang, aku pasti sedang berbahagia bersama Grace.”Selang keheningan sejenak, Louis mengangguk-angguk mantap. “Ya, dia pasti mewarisi sikap menjengkelkan itu dari ayahnya. Dia banyak tingkah, keras kepala, dan semena-mena. Pasti itu dia dapatkan dari sang ayah. Bukan Sky yang bersalah, tapi Summer dan ayahnya. Sekarang apa yang dia lakukan? Dia tidak sedang menghancurkan rumah, kan?”Louis mengeluarkan ponsel, memantau kamera pengawas. Tidak mendapati Summer di ruang depan, ia terbelalak. “Ke mana perginya manusia mungil itu?”Louis pun memeriksa kamera lain. Menemukan Summer sedang mencu
Tiba-tiba, ponsel Louis berdering. Khawatir Summer terbangun, ia cepat-cepat menyingkir. Wajahnya keruh. Namun, melihat siapa yang memanggil, matanya seketika berbinar.“Ace? Kau sudah tidak marah lagi padaku?” Louis terdengar ceria walau suaranya agak pelan.“Louis, kupikir kau sudah menangani anak itu. Tapi kenapa kau membawanya ke penthouse-mu?”Cahaya di wajah Louis mendadak lenyap. Ia tidak menyangka kekasihnya akan mempermasalahkan hal itu.“Aku perlu menginterogasinya dan aku tidak mau ada paparazi yang mengganggu. Jadi, kubawa dia ke penthouse-ku. Kau tahu? Ternyata, dia adalah putri Sky—sahabat Emily itu.”“Sahabat lamamu itu?” balas Grace dengan penuh penekanan.Louis menelan ludah. Ia bisa menangkap kecemburuan dari kekasihnya. “Ya. Aku juga tidak menyangka. Percaya atau tidak, anak itu berangkat seorang diri dari Kanada. Karena itu, aku tidak mungkin menelantarkannya. Kubiarkan dia beristirahat di tempatku.”“Kau tahu kalau itu justru akan menimbulkan prasangka, kan? Papara
"Summer, kau anak baik, kan?" tanya Louis dengan nada membujuk.Sang balita menjawab dengan mata berbinar. "Tentu saja! Kalau saja ada penghargaan untuk anak terbaik di seluruh dunia, aku pasti sudah mendapatnya. Aku ini pintar dan senang membantu orang-orang. Aku juga mandiri dan jarang merepotkan orang lain, kecuali Mama. Terkadang, aku masih membutuhkan bantuan darinya. Tapi kata Mama, itu wajar. Aku masih terlalu kecil untuk melakukan semuanya sendirian."Louis mengangguk-angguk dengan senyum yang dipaksa lebar. "Bagus. Kalau begitu, bisakah kau buktikan? Uruslah dirimu sendiri. Aku harus berangkat kerja sekarang. Ini sudah sangat terlambat."Summer tersenyum miring mendengar itu. Telunjuknya menggeliat seperti cacing di depan dagu. "Paman Louis, kamu tidak bisa membohongiku. Ini hari Minggu. Bibi Emily bilang kalian tidak pernah bekerja di akhir pekan. Sabtu dan Minggu adalah waktu khusus untuk diri sendiri dan keluarga. Karena kamu akan menjadi Papa-ku, bagaimana kalau kita meng
Louis menghela napas cepat. Kepalanya menggeleng tak percaya. "Ace? Aku tahu kau sedang ingin menguji ketulusan dan kesetiaanku, tapi bukan begini caranya.""Tidak ada cara lain, Louis. Aku mulai meragukanmu dan kamu harus menghentikan itu. Kau tahu seberapa kacau pikiran dan perasaanku sejak bocah itu muncul? Bayangkan saja. Lamaran yang kuimpi-impikan hancur karena ulahnya. Coba tempatkan dirimu di posisiku. Jangan hanya bersimpati padanya!"Louis terdiam dan membisu. Matanya yang sayu kini ikut berkaca-kaca. "Kau sungguh ingin aku mengusir anak kecil yang tidak berdaya itu?""Gunakan akal sehatmu, Louis. Kau tidak harus melemparnya ke jalan. Kau punya banyak pelayan dan pengawal. Pilih saja beberapa untuk mengirimnya pulang. Yang penting, ia enyah dari sini dan tidak mengusik hubungan kita lagi."Louis menarik napas berat. Ia melirik ke arah pintu. Balita yang mengintip di sana tampak ketakutan."Paman Louis, tolong jangan usir aku. Masih ada banyak hal yang mau kulakukan denganmu.
Setibanya di hadapan Summer, Louis langsung menekuk lutut. Hatinya terasa pedih mendengar rintihan gadis kecil itu. Apalagi, saat ia memeluknya, punggung Summer ternyata gemetar hebat. Dua tangan mungil yang mendekap lehernya juga terasa dingin dan berkeringat."Paman Louis," isak Summer sambil terbatuk-batuk, "kenapa kamu meninggalkan aku? Tolong jangan lakukan itu lagi."Louis menarik napas berat. Ia tidak bisa menyangkal kalau penyesalan telah menumpuk tinggi dalam dadanya.Sayangnya, ia tidak bisa meminta maaf. Itu bisa menjadi perdebatan baru antara Grace dengan dirinya. Ia tidak bisa juga berjanji untuk tidak meninggalkan Summer. Itu hanya akan menjadi harapan palsu baginya."Kenapa kamu mengejarku, Summer? Bukankah sudah kubilang untuk mendengarkan Nyonya Campbell? Kenapa malah berlari tanpa sepatu?"Louis mempertemukan pandangan. Air mata ternyata masih menetes dari sudut mata sang balita. Dengan penuh perhatian, ia menyekanya."Aku sangat takut tadi. Aku takut tidak bisa berte
"Lalu, apa lagi? Pilihlah beberapa," tutur Louis kaku. Ia merasa konyol karena berniat mencocokkan selera makannya dengan Summer."Kurasa itu akan sulit bagiku. Aku suka makanan. Aku bisa memakan semuanya dengan lahap, kecuali sayur kribo itu. Aku sebenarnya kurang suka brokoli, tapi Mama bilang dia punya banyak manfaat. Jadi, aku terpaksa memakannya."Louis lagi-lagi mematung. Itu sama persis dengan apa yang dialaminya sewaktu masih kecil dulu."Tapi Paman Louis," suara Summer membuatnya mengerjap, "apakah semua makanan ini aman? Maksudku, tidak ada almond atau udang, kan?"Mata Louis kini membulat maksimal. Ia tahu bahwa Sky alergi terhadap almond. Hal itu sangat mungkin menurun kepada Summer. Tetapi udang? Mengapa Summer takut pada udang?"Ada apa dengan almond dan udang?" Louis berpura-pura tidak tahu."Mereka jahat, Paman. Mereka bisa membuatku gatal-gatal dan sesak napas."Louis berusaha untuk tidak mengubah ekspresi. Akan tetapi, kepalanya terlalu berisik oleh pertanyaan-pertany
Angelica kembali menggertakkan geraham. Sambil berkacak sebelah pinggang, ia berkata, "Kau bahkan belum menyentuhku. Bagaimana mungkin kau bisa menyimpulkan begitu?" "Aku tidak perlu menyentuhmu. Melihatmu saja aku sudah tahu. Kau gadis murahan yang tidak pantas mendapatkan perhatianku," tegas Louis walau dengan suara menggerutu. Lagi-lagi, Angelica memekik. Bukan karena tamparan Sky, melainkan sindiran Louis. Ia merasa terhina. "Bisa-bisanya kau merendahkan aku? Aku adalah Angelica, model ternama yang dikagumi oleh semua pria. Kau tidak normal kalau berani menolakku!" tuduhnya. "Kaulah yang tidak normal! Mana ada perempuan waras yang berani merebutku dari istriku?" gerutu Louis sembari menggosok-gosok kepala Sky dengan pipinya. Merasa geram, Angelica berjalan cepat menuju sebuah rak. Sebelum ia bisa menarik salah satu laci, Sky menodongkan pistol ke arahnya, "Jangan bergerak atau kau kutembak!" Angelica melirik dengan sorot mata sinis. Melihat apa yang ditodongkan oleh Sky,
Sky menggertakkan geraham. Matanya telah memerah. Dadanya sesak oleh amarah. Semakin lama Draco menahannya, semakin tipis kemungkinan ia bisa melabrak Angelica. "Berapa sesi yang kau butuhkan?" tanyanya lantang. Draco masih merasa kesakitan. Sambil meringis dan tetap menodongkan senjata, ia menjawab, "Sebanyak-banyaknya. Aku tidak akan berhenti sampai benihku betul-betul tertanam." Sky mendengus meremehkan. "Kau selemah itu, rupanya? Suamiku hanya butuh satu sesi untuk menghasilkan anak." Harga diri Draco terluka. Ia angkat pistolnya lebih tinggi. Kepala Sky kini menjadi targetnya. "Jangan membandingkan aku dengannya! Sekarang juga, cepat lakukan apa yang kuperintahkan! Kau tidak mungkin membiarkan nyawamu melayang sia-sia, kan?" ancamnya. Akan tetapi, Sky sama sekali tidak gentar. Ia memutar mata dan menghela napas cepat. "Aku tidak punya banyak waktu sekarang. Satu sesi saja. Setelah itu, biarkan aku menyingkirkan Angelica," tuturnya sembari melangkah dengan mala
"Louis," panggil Sky ketika memasuki kamar. Ia bergegas menghampiri tempat tidur, mengira bahwa Louis terbaring di sana. Sayangnya, tidak seorang pun terlihat. "Di mana Louis? Apakah dia di kamar mandi? Mungkin dia merasa mual dan bangun untuk muntah?" pikir Sky, menduga-duga. Sky pun pergi ke kamar mandi. Tidak menemukan Louis di sana, kepanikannya merebak. "Ini gawat! Drac, Louis tidak ada di sini! Kurasa dia diculik!" serunya sambil berlari keluar. Namun, begitu melihat Draco, Sky tersentak. Mulutnya berhenti mengeluarkan suara, dan matanya terbelalak. Pria itu telah mengganjal pintu dengan kursi dan duduk di sana! "Drac? Apa yang kau lakukan?" tanya Sky, penuh keheranan. Draco tersenyum misterius. "Bisakah kita bersantai sebentar? Biarkan Angelica mendapat sedikit waktu untuk mewujudkan impiannya." Sky menggeleng tak paham. "Apa maksudmu?" "Biarkan dia bersama pria idamannya." "Dia sedang bersama Louis?" Suara Sky meledak. Matanya terbuka maksimal. Selang satu dengu
Angelica menggeleng cepat. "Aku tidak sengaja. Aku bermaksud untuk bersalaman dengan Nyonya Harper, tapi selendangku menyibak botol sampanye-nya." Setelah menjepit pangkal hidungnya sebentar, Draco berkata, "Tuan Harper, tolong maafkan Angelica. Dia memang ceroboh dan keras kepala. Mulai sekarang, saya janji dia tidak akan mendekati Anda lagi. Permisi." Draco mencengkeram lengan Angelica, mengajaknya untuk meninggalkan ruangan. Wanita itu sempat melakukan perlawanan. Ia belum mau pergi jika Louis masih salah paham terhadapnya. Namun, dengan kehadiran dua orang security, ia tidak punya pilihan. Sementara ia diseret ke luar, Draco berjalan kembali ke meja Louis dan Sky. "Tuan dan Nyonya Harper, maaf atas apa yang sudah Angelica perbuat. Dia memang suka membuat masalah. Saya tidak seharusnya meninggalkan dia sendirian tadi. Dia jadi punya kesempatan untuk mengganggu kalian berdua," ujar Draco dengan sebelah tangan diletakkan di depan dada. Sementara Louis fokus membersihkan gaun S
"Sky, kamu kelihatannya tegang sekali. Ada apa?" selidik Louis saat mereka sedang menyantap makanan pembuka. Sky berkedip-kedip dengan mata bulat. Punggungnya yang tegak akhirnya condong ke depan. "Apakah kamu sadar? Semua orang sedang memperhatikan kita. Rasanya, mereka sudah siap melempariku dengan gelas jika aku mengambil sendok yang salah," bisiknya dengan penuh keseriusan. Louis tertawa mendengar alasan tersebut. "Untuk apa gugup, Sky? Bukankah kamu biasanya tidak peduli dengan pendapat orang lain? Cukup jadi dirimu sendiri." "Ini bukan soal menjadi siapa, Louis. Ini soal penempatan diri. Kita sedang makan malam di kapal pesiar yang megah. Table manner harus diperhatikan." Louis menggeleng tak habis pikir. "Sky, aku mengajakmu kemari untuk menikmati makanan lezat, bukan untuk mengikuti ujian. Jadi santai saja. Kalaupun kamu memakai sendok yang salah, tidak akan ada yang menghukummu." "Aku hanya tidak mau menjadi aib bagimu, Louis. Bisa kamu bayangkan betapa hebohn
"Halo, Mama? Kenapa meneleponku? Bukankah Mama seharusnya sedang bersenang-senang bersama Papa?" sapa Summer dengan suara lucunya. "Hai, Sayang. Kami tiba-tiba saja merindukanmu. Kamu sedang apa?" tanya Sky sambil melirik Louis dengan tatapan was-was. Sang suami juga sedang memasang telinga. "Aku?" Summer agak terkesiap. "Sedang bermain bersama River." "Ya, kami sedang bermain bersama, Nyonya Harper," sambung seorang bocah laki-laki. Mulut Sky membulat. "Oh, kalian tidak bereksperimen hari ini?" "Bereksperimen, Mama. Hanya saja, ini sedang waktu istirahat. Jadi kami bermain," tutur Summer lantang. Hal itu membuat Louis dan Sky semakin curiga. "Bermain apa, Sayang?" selidik Louis, penasaran. "Kami sedang bermain ponsel. River sedang menunjukkan permainan keren kepadaku." "Permainan apa?" "Jual beli saham. Tapi ini hanya simulasi," jawab River tergesa-gesa. Louis dan Sky jadi semakin bertanya-tanya. "Kalian tidak sedang melakukan sesuatu yang terlarang, kan?"
Draco tertawa samar. "Maaf, Tuan Harper. Saya tidak bermaksud seperti itu. Saya hanya ingin menyapa teman lama. Jadi, apakah kau sudah berhasil mengingatku, Sky? Aku Draco. Kau pernah memanduku saat kita masih remaja dulu." Sky terdiam. Matanya memicing, sibuk menelusuri ingatan. "Masih belum ingat?" tanya Draco seraya meninggikan alis. "Waktu itu, aku ikut tur keliling Eropa. Kamu bekerja sebagai pemandunya. Saat itu, kamu adalah pemandu termuda di HealingHills Travel Company. Fakta tersebut membuatku terkagum-kagum. Aku bahkan mengajakmu berfoto dan meminta tanda tanganmu." Sky menggeleng samar. "Maaf. Aku terlalu sering berfoto dan memberikan tanda tanganku." "Lalu kita bertemu lagi beberapa tahun kemudian, secara tidak sengaja, di Kanada. Summer masih sangat kecil saat itu," Draco menambah petunjuk. Alis Louis semakin tertaut. "Kau mengenal Summer?" gumamnya dengan nada tak senang. Draco mengangguk ringan. "Ya, dia bayi mungil yang lucu. Meskipun saat itu dia belum bi
"Halo? Apakah ini nomor Angelica?" tanya seorang anak kecil yang mengubah suaranya agar terdengar seperti orang dewasa. Angelica mengernyitkan dahi. "Siapa ini?" "Perkenalkan. Saya Summer." "Dan saya River," sambung anak lain dengan suara yang juga dibuat-buat. "Kami berdua adalah agen rahasia dari kepolisian." Angelica tercengang mendengar informasi tak terduga itu. "Kepolisian?" Ia tampak sangat terkejut. Namun, sedetik kemudian, ia tertawa meremehkan. "Heh, anak kecil, dengarkan aku baik-baik. Kalau kalian mau mengusili seseorang, kalian sebaiknya menghubungi orang lain. Aku tidak punya waktu untuk meladeni keisengan seperti ini." "Ini bukan keisengan, Angelica. Meskipun kami masih kecil, kami ini profesional. Kalau tidak, bagaimana kami bisa menemukan nomor ponselmu? Ini nomor rahasiamu, kan? Bukan nomor bisnis?" Raut Angelica tiba-tiba berubah serius. Ia perhatikan layar ponselnya. Panggilan yang ia terima ternyata masuk ke SIM-card 2. "Dari mana kalian men
Sore harinya, banyak orang bersantai di dek lido. Sebagian asyik berenang di kolam. Sebagian lagi bersantai di kursi lounge, termasuk Louis dan Sky. Louis sengaja menggeser kursinya agar berdekatan dengan kursi Sky. Dengan begitu, mereka bisa duduk berdampingan, sembari mengisi buku spesial mereka. "Selesai!" Sky membuat satu titik di kalimat terakhir. Senyumnya sangat manis, apalagi saat ia melirik ke samping. "Pertemuan dan petualangan pertama kita sudah ditulis di sini. Sekarang apa lagi? Kurasa kita tidak mungkin menceritakan semua kebersamaan kita, Louis. Itu banyak sekali. Bagaimana kalau kita pilih saja beberapa yang paling berkesan?" Hati Louis terasa ringan melihat semangat istrinya itu. Sambil membelai kepalanya, ia berbisik, "Ide bagus, Sky. Tapi masalahnya, semua momen yang kulalui bersamamu itu berkesan." Sky mendengus geli. "Kau benar. Semua petualangan kita memang berkesan. Tapi, dari sekian banyak momen itu, pasti ada yang paling membekas." "Begitukah?" A