"Kamu sengaja ya?" Tatapan Anthony Barnet sangat sinis, kutahu Dia merendahkanku. Segera Aku mengambil Stik laken itu dengan kasar dan menutup tubuh polosku. "Enak saja! Aku bahkan marah padamu!" seruku, dengan muka merah yang panas ini. Pria ini sungguh membuatku murka. Meskipun wajah dan tubuhnya membuatku meleleh, tapi caranya menyiksaku tadi malam tak bisa kuterima. Aku segera menangkis tangannya. Namun, Dia tampaknya tak membiarkanku. Lengannya menangkap lenganku lagi, menarikku, dan membuatku jadi keatas kasur. Sekali lagi Dia menekan kedua lenganku dengan cengkeramannya. "Apa yang kau lakukan?!" Sergahku. Untung saja kain putih itu masih membalut tubuhku, ketika Pria itu menatapku-seakan menelanjangi keangkuhanku.
"Kamu pikir kamu siapa bisa membentakku hah?" dagunya turun mendekati wajahku, sehingga posisinya bibirnya hampir menyentuh bibirku. Wangi alkohol kami masih kurasakan dengan jarak sedekat ini, namun bukan itu masalahnya. Posisinya -yang menindihku- seperti ini bisa memancingnya untuk melakukan apa yang tadi malam kami lakukan. Dan benar saja, tubuhnya semakin menindihku. "Apa yang akan kamu lakukan?" tanyaku, takut. Karena telah mengalami proses MENYAKITKAN tadi malam, badanku tiba-tiba merinding sekujur tubuh. Semoga Dia tak berpikir macam-macam, dan hanya sedikit mengancamku saja.
"Pertanyaan bodoh" tanyanya, terdengar enteng. "Kamu telah memilih masuk dalam hidupku, harusnya kamu tahu akan jadi seperti apa, wanita bodoh." ucapnya, membuatku mendengus seperti orang bodoh. "Satu hal yang harus kamu tahu, apapun yang telah menjadi milikku, akan tetap menjadi milikku. Jangan marah-marah konyol karena kamu sendiri yang memilih masuk kesarangku"
"Tidak. Aku, Aku bukan milikmu!"
"Tapi kamu sudah melewatinya,... " sudut bibirnya terangkat, dan kutahu Dia sedang mengejekku. Dia lalu mendekatkan mulutnya ditelingaku. " Aku menyukai eranganmu, Lumayan, untuk wanita yang pertama kali melewatinya," mata itu lagi, mata tampan yang ingin menyergap, tapi kutahu itu tidak tulus.
"Ti-tidak, lepaskan. Dari awal Aku hanyalah- Mmmmph" Dia memciumku, paksa. Menyumpalku dengan sengaja agar Aku tidak memberontak. Mmmmmphhh! Mmmmmmh! Bahkan hidung mancungnya juga menekan hidung mungilku, sehingga Aku hampir kehabisan napas. Pria sialan! Bila seperti ini Aku jadi merasa diinginkan, dan…
Apa yang Dia lakukan lagi? Menekanku dan memamerkan apa yang Dia punya? Tidak! Jangan! Tidak, Aku tidak mau. Aku harus segera mendorongnya! Tapi tanganku masih ditahannya dengan kuat. "Ahhhhp" Akhirnya suaraku keluar, saat Dia berhenti menciumku."Lepaskan!" Tukasku. "Aku bukan wanitamu!"
"Ini pilihanmu wanita bodoh." Tukasnya lagi terdengar nakal, diiringi dengan senyum nakalnya yang membuatku ingin mendorongnya. "Berhenti memanggilku Mrs Barnet! Aku Cuma menikah karena syarat Grandma Hilda, Ini demi keluargaku! Kau juga tahu itu" Ucapku. "Jadi lepaskan Aku, Aku tak akan lagi membahas apapun tentang tadi malam! Dan lagi sakit." tidak, untuk apa aku membahasnya didepannya. Ada rasa bangga yang terpancar diwajahnya, dan Aku hanya bisa mengalihkan tatapanku karena malu. "Yang selanjutnya tidak akan sakit" jawabnya enteng, dan secepat kilat tatapan tajamku beralih padanya."Apa? Jangan! kumohon" Air mataku hampir menganak sungai.
Anthony Barnet masih pada posisinya, dan tentu keheningan ini sangat berbahaya. "Anggap saja apa yang kita lakukan tadi adalah tindakan mau-sama-mau, jadi tak perlu memperkarakannya" Mataku membulat. Dia pikir mengambil keperawananku adalah mau-sama-mau?! Tidak. Aku harus tenang, Pria ini tampaknya tidak mau mengerti apapun, dan hanya menerima apa yang ada dalam pikirannya. "Dengar. Kurasa beberapa hari yang lalu Aku sudah memberitahumu, bahwa Pernikahan kita hanya sampai-" Aku tak mau menjelaskan hal selanjutnya yang kutahu dari Grandma Hilda. Dia tiba-tiba berwajah sinis. "Kalian Perempuan sama saja! Sialan!" Itu yang Dia katakan, dengan amarah. "Memangnya kamu pikir, Aku menikah karena setuju?!" wajahnya menakutkan. Untuk sesaat Dia terlihat punya tatapan dendam, entah untuk siapa, tapi yang jelas bukan untukku. Dan Dia semakin menindihku.
"Hei..Lepaskan Aku! Aku tahu kau sebenarnya tak menginginkanku.. jadi.. kumohon! Aku tidak akan membahas apapun lagi!" Ya, Aku takut. Ini bukan saat nya beradu mulut dengan suami yang sedang marah dan menindih istrinya dalam posisi skin to skin.
"Dengan menjadi Istri Antony Barnet, salah satu kewajibanmu adalah melayaniku! Aku tidak peduli dengan apa yang Kamu janjikan pada Grandma, persetan dengan itu!"
"Tapi Sebagai Suami Kamu tetap saja menemui teman-teman wanitamu, di hari pernikahan yang meskiupun bohong, seharusnya Kamu diam bersamaku!" Ya, itulah yang ingin kukatakan dalam keadaan marah tadi malam, tapi kami berakhir begini, masih tanpa busana.
"Ohooo.. jadi Istri kontrakku ini mengeluh karena diabaikan di hari pernikahan? Bukankah kamu yang tidak suka Aku berada didekatmu?" tanyanya.
"Tak suka? Apa maksudmu?" keningku berlipat tebal, kenapa Dia berasumsi seperti itu? Aku bahkan meminta pada Grandma Hilda, untuk mengingatkannya. Namun nihil, Grandma juga tak bisa melakukan apa-apa, itu karena Pria yang menindihku ini juga tidak setuju menikah dengan cara seperti ini. Sebuah alasan juga membuat Anthony Barnet harus setuju dengan pernikahan ini. Ada sesuatu yang sangat rahasia yang tidak diketahui olehku. Dan lagi, tak ada seorangpun yang boleh tahu, Aku menikahi Barnet karena butuh uang.
"Bukankah Kamu menghindariku. Jelas sekali kamu menghindari tatapanku.." ucapnya sembari memberi senyuman sindiran merendahkan yang membuat rahangku mengeras. Aku tak suka caranya memandangku.
"Tidak. Aku tidak melakukannya!"
"Kau melakukannya"
"Tidak"
"Untuk apa Aku duduk bersama Pengantin yang wajahnya tampak menyedihkan, seakan semua hal bahagia dalam hidupnya diambil hari itu juga. Wajahmu memuakkan kau tahu"
"A-Aku gugup!" Leraiku. Jadi itu yang Dia lihat dariku?
"Hah? Hahahhaahah" Dia melepas kedua tanganku dan tergeletak di sampingku menghadap langit- langit kamar. "Hahahaha" Pria itu masih tertawa sembari mengusap wajahnya. Keningku mengkerut, menebal dengan sendirinya ketika merasa aneh dengan sikapnya barusan, memangnya ada yang salah dengan ucapanku?
"Kamu benar-benar wanita muda yang diluar dugaan" Ucapnya, sambil melihat langit-langiit itu. Sesaat kemudian Dia bangun dengan lengan yang menopang wajahnya ketika Dia menyamping menghadapku. "Tapi, semua hal itu urusan pribadiku.. Kita hanya pasangan hukum. Jangan mengatur hidupku" itu yang Dia katakan.
Lagi-lagi rahangku terasa kaku, bahkan mengeluarkan rasa ngilu. Tenggorokanku juga mengering, dan tanpa sadar menelan ludah. Aku, yang menurutnya telah menyandang nama Nyonya Barnet tak akan kalah dengan ancamannya. "Menjadi urusanku, karena Aku adalah Istrimu yang sah" Karena intinya tolong jangan permalukan Aku. "Aku janji tak akan menganggu hal pribadimu yang lain, bahkan kamar kita juga akan terpisah…"
"Oh, yaa…? Hal Pribadi apa? Siapa bilang Kita akan tidur terpisah? Kau akan tetap tidur dikamar ini" tantangnya, terdengar nyinyir.
"What the h*ll? Tidak. Aku tidak mau tidur disini.. bagaimana bila sesuatu diluar dugaan terjadi lagi?"Ya, Aku tidak mau, tiap malam Aku harus bersikap awas dengan mengawasinya agar tidak menyentuhku? Tentu saja Aku tidak mau kesusahan seperti itu. " Kamu istriku.. Harusnya kau tahu konsekuensi menikah denganku.. Suami mana yang telah menikah dan dilarang menyentuh istrinya?" tanyanya, terkesan menngodaku untuk marah
"Tidak! Pokoknya, Aku... " Aku tidak punya kata-kata untuk mengelak, rahangku bergetar karena membayangkan masadepanku yang setiap hari harus melayaninya. Aku memang mengagumi tubuhnya. Tapi bukan berarti akan menjadi Istri sesungguhnya. Bagaimana Kalau Aku punya Anak darinya? Apa Aku akan bercerai dalam kondisi hamil?
" Pokoknya Tidak!" Seruku tiba-tiba.
"HAAHAHHAHAHAHAHAHA!" Dia tertawa, "HAHAHAHAHAHA" Masih lanjut tertawa seakan aku adalah lelucon.
Sialan. "Apanya yang lucu?"
"Lihat ekspresimu.. wanita Beauford mana yang masih memegang prinsip melakukan seks hanya pada pasangan yang dicintainya? Kamu ini bodoh. Jangan terlalu diperdaya cinta. Itu bodoh" Jelasnya.
"Tidak, kalau kamu benar-benar telah mencintai seseorang" Aku tetap teguh pada prinsipku, bahwa saling cinta itu penting, meskipun bercinta dengannya tadi malam belum mengandalkan cinta.
"Cinta..? Omong kosong. Dunia ini penuh intrik, Mrs Barnet. Kamu harus tahu, tak ada yang namanya cinta sejati" jelasnya lagi. Jelas Dia percaya. Atau mungkin, Dia pernah mengalami hal pahit tentang cinta.
"Terserah. Bagiku, cinta tetap penting.., Dan.. setelah ini. Kita harus membuat perjanjian. Aku sudah berjanji pada Grandma hilda, maka kau juga harus ikut dalam aturan main pernikahan ini"
"Terserahmu. Aku akan hanya pergi mandi" ucapnya seraya bergegas.
"Tidak, Aku duluan!" Sahutku. Bila Dia yang mandi duluan kutakut Dia akan menimpaku lagi diatas ranjang ini.
"Kalau begitu kita akan mandi berdua" godanya.
"NO!" Aku segera pergi memakai stik laken itu, Brak! Membuka pintu, dan Cklek! Mengunci pintu kamar mandi. Done. Dia tak akan bisa masuk disini. "Hahahahaahaha!" Kudengar tawa meledeknya dari balik pintu, Dia memang menikmati leluconnya padaku.
SIAL.
***
Antony Barnet sudah tak ada ditempatnya saat Aku kembali setelah mandi. Apa Dia sudah pergi? "An... Thony?" Bagus, kuharap begitu. Aku tak ingin menjadi bulan-bulanannya, karena itulah yang akan terjadi padaku. Mulutku mendesah, dalam arti penuh kebebasan karena bisa melakukan apapun lalu dengan secepatnya mengeringkan rambut basahku dengan handuk. Kupastikan kembali Mr Barnet sialan itu sudah tak ada ditempat, lalu Aku memilih keluar dari kamar itu, ketika rambut basah ini kubiarkan saja terurai saja hingga membasahi baju mandi yang masih kupakai (Aku tak punya gaun selain gaun putih menikahku yang cukup besar itu)Kepalaku sebetulnya masih pusing, namun kakiku tak tahan untuk tak melangkah menuruni rumah dua lantai ini, mencari sesosok makhluk hidup selain diriku.Kupandang istana bentuk rumah ini. Dan, Wow.. Super. Ada lampu kristal mahal diatas plafon mewah rumah ini dan terangnya membuat pencahayaan sungguh baik. Suasana rumah ini pun mirip sep
Brightstone Evergreen. Aku telah berada disini, setelah satu jam tadi menunggu Anthony pergi. Seperti yang diinginkannya, Aku, datang dengan supir dan mobil yang telah disiapkannya, dan sesuai perintahnya hanya Nyonya Barnet dan orangtuaku yang bisa kukunjungi hari ini. itu juga yang diulang supir bernama Jackson yang dinginnya hampir seperti bosnya. kulihat kembali Kafe yang cukup besar itu. Aku tersenyum tipis membayangkan masalaluku yang adalah beberapa hari lalu, masih menggunakan seragam The maid. Kini, Aku tak diperbolehkan lagi memakai baju itu, karen Grandma Hilda tak mengizinkanku. Menurutnya
Langkahku telah sampai di ruang kantor Grandma Hilda, yang terletak di lantai dua Kafe. Ruangnya terpisah oleh dinding, dimana masih ada kafe disebelah kantor milik sang Grandma. Mungkin bukan kantor tepatnya, sebuah ruang kerja. Grandma Hilda sebetulnya jarang datang Kekantor, karena ada tangan kanannya yang bernama Denise Milano, wanita Mexico-Amerika yang berusia sekitar lima puluh tahun yang selalu membantunya. Wanita itu berperangai setengah bayah, berambut coklat tua sanggul, dan masih melajang. Dia bergantian menjalankan kafe ini dengan sang Nenek.Sebetulnya tempat ini bukan harta satu-satunya milik Grandma Barnet yang berusia 70 tahun itu. Mereka punya banyak tanah, peternakan, dan khususnya suamiku, Dia adalah Pria yang menjalankan bisnis Hotel dan memiliki cabang dimana-mana. Anthony pindah dari New york atas perintah Neneknya setahun yang lalu tanpa penolakan. Ya, banyak rumor mengatakan Dia sangat sayang neneknya itu, dan tentunya juga a
Aku menjadi apa….?“Penghalang?” tanyaku, setelah sebelumnya menelan ludah, saking lamanya mencerna kata-kata itu. “Kenapa Aku harus jadi penghalang?"Grand mahilda tidak bergeming dia pasti ingin aku mencari tahu Maksudnya. "Sebelumnya dia tidak mengatakan apa-apa tentang itu.""Ini tidak sulit Megan sayang, kamu cukup menghalau wanita itu saja dan berpura-pura saling mencinta dengan Anthony"“Ya… persisnya begitu…” ujar Grandma Hilda, tanpa memerdulikan reaksiku. Mataku mengerjap tak mengerti, banyak hal yang harus akan kutanya setelah ini. “Aku tahu banyak yang ingin kau tanyakan. Pertama-tama, Kau akan kuberitahu dari awal kejadian tiga tahun yang lalu. Dengarkanlah… karena Kamu akan mengerti” ucap Grandma Hilda.Aku menahan napasku yang sedikit tersengal berkat informasi tak terduga itu. Tapi, Aku sudah sampai disini, dan tak bisa kembali. Jadi pilihanku adalah mendeng
Setelah betemu Grandma Hilda tadi, Aku meminta Jackson mengantarku ke Supermarket terdekat untuk membawa bahan-bahan makan. Ya, Aku akan memasak sedikit dirumah, karena mungkin Aku akan jarang pulang. Dalam perjalanan menuju rumahku ini, Aku menyempatkan mengamati sopir Anthony yang bernama Jackson Lord itu. Pria yang memiliki badan besar dengan kulit hitam gelapnya yang terlihat dari seperti seorang bodyguard, Dia terlihat sangar.Seperti yang telah disetujui oleh Anthony, setelah bertemu Grandma Hilda, Jackson akan mengantarku ke rumah orang tuaku. Sebelum pergi tadi Aku bertanya pada Jackson berapa lama waktu yang di berikan padaku oleh CEO itu. Waktuku hanya sampai jam 7 malam. Aku ingin bertanya apa yang terjadi bila aku tidak pulang jam 7 namun Jackson tak memberikan jawaban pasti, hanya menggumam tidak jelas. Dan ketika pria berambut hitam pekat itu masih serius menatap kedepan, disinilah saatnya, Aku harus mengambil kesempatan lagi untuk bertanya bertanya atau sekedar
Lima belas menit. Kalau tidak salah waktu selama lima belas menit ini telah kupakai berputar sebanyak tiga puluh kali. Kakiku lelah, tapi Aku malas duduk. Mungkin dan kurasa, mereka melakukannya dalam keadaan mabuk. mungkin saja. Rasa penasaranku, membuatku menerka-nerka siapa pria yang dibawa Martha. Aku kenal suara itu. Tapi suara itu samar, seperti Pria yang baru saja minum dengan suara mulut yang penuh. “Apa sih yang mereka pikirkan?! Diruang tamu?” umpatku. Kuharap Ayah tak ada didalam, ya Martha juga melakukannya pasti karena Ayah tak ada. Dan seketika mataku berkelebat dan dengan kasar kuedarkan keluar halaman siapa tahu Ayah tiba-tiba datang, namun yang kudapati malah mata Jackson tengan mengamatiku dari dalam mobil. Aku terkaget, Aku juga lupa bahwa aku tadi datang bersama Supir suamiku. Astaga ini adalah kesalahan lainnya yang mungkin saja akan memperburuk hubunganku dengan Anthony. Kehadiran Jacksin yang mungkin saja tengah
"Ayah…."Aku mencoba menyapa Ayah yang datang, dengan eskpresi setengah mengantuk. Menjaga Mom pasti membuatnya lelah. "Kenapa Mrs Barnet ada dirumah ini, siang-siang?" Dia berjalan tanpa memandang puteri angkatnya yang sedang menatapnya. "Ayah.. Kenapa memanggilku mrs Barnet? Aku kan masih puteri Ayah" jawabku, yang mencoba riang. Ayah terlihat sedikit aneh. Ayah tak menjawab. Dia bahkan tak menatapku. "Pergilah, ini bukan tempatmu sekarang Nak" Perkataan Ayah membuat keningku mengerut. Ada apa dengan Ayahku? Tadi malam Dia tak bermasalah denganku. "Ayah kenapa?" Aku mendekatinya. "Wanita yang baru menikah satu hari seharusnya bersama Suaminya" "Aku diijinkan datang kesini, Ayah tak perlu cemas" "Tapi Ayah yang cemas, Kau tak tahu kan tabiat Suamimu." Oh, kurasa itulah alasan Ayahku marah. Mungkin apa yang Dia saksikan tadi malam, membuatnya ragu pada Rumah tangga baruku. Anthony Garret Barnet tak hanya membuatku marah, tapi juga Ayahk
Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan badan di atas tempat tidur. Aku ingin berhela-hela dulu untuk sementara waktu, pikiran dan hati ini sungguh lelah adanya. karena waktuku disini masih panjang. Panjang, untuk berjuang. Semangat juang harus kupupuk sejak saat ini, karena sang pemilik rumah bukanlah orang yang ramah. Kupandang langit-langit megah di rumah ini. Tempat ini cukup luas, hingga membuatku minder. Bila saja. Aku tak menikah dengan Anthony, kira-kira apa yang akan kulakukan saat ini? Apa Aku akan mencari pekerjaan tambahan lainnya? Bodoh, untuk apa lagi aku berpikir seperti itu. Tugasku saat ini hanyalah menjalankan perintah Anthony yang galak itu, meskipun aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku setelah ini. Dan hembusan nafas berat kembali mengalir dari hidungku. Membandingkan kenyamanan di sini dan di rumahku tadi, membuatku kembali menitikkan airmata. Tidak.., tidak, tidak. Aku harus tegar. Semua telah kutandatangan
Kami sudah tak bisa mundur. Anthony yang menawarkan sandiwara ini, dan Dia tak bisa kudorong kebelakang. Gemuruh didadaku berdebar hebat. Penolakan dan hasrat terpencil yang bergolak dalam diriku membuat pembuluh darahku mendidih.Anthony mendekat, tatapannya meneduhkanku sesaat kala Dia memberiku intens seperti kekasih. Pria yang terkadang galak dan barbar ini terlihat seperti seorang suami, saat ini. Aku tak punya pilihan lain, ya tak ada pilihan lain ketika bibir sensual itu juga menggiurkan untuk kujamah. Membuatku nanar, dan hampir memalingkan wajah, namun dengan segera Anthony melahapku dengan sempurna. Ciuman ini sempurna kala hasratku ikut berpacu menantang debaran memabukkan ini. Aku tidak perduli dengan logikaku yang menolaknya. Ciuman yang kuatas namakan ‘akting’ ini akan kubuat bekerja sama dengan harga diri dan emosiku.Kubuka sedikit mataku. Kudapati Martha menatap kami dengan mulut setengah terbuka, dan kurasa tujuan kami
"Honey....." Panggilan itu keluar dari mulut pria yang menggenggam lengan lain dari ibu. Pelan tapi pasti aku menatapnya. “Kau memegang kuat tangan Ibumu dan membuatnya merah” “Ahk?” bisa kurasakan suara hidungku berbunyi. “Jangan memegang Ibumu seperti kau memegangku” ucapnya, membuat pipiku memerah padam. Situasi yang sebetulnya syahdu, namun Dia membuatnya menjadi konyol kala semua orang senyam-senyum –seakan mengerti- apa yang Antony maksud. “Me, memegang apa?” gerutuku, tak mau melihat Anthony. “Kamu yang paling tahu jawabannya” Maksud Antony itu seronok. Dasar pria itu. Dan baru kusadari tangan Ibu memerah setelah Aku melepas peganganku. Bekas peganganku mencetak merah pada lengan pucat Ibu. "Astaga. Maaf Ibu, Aku tidak sengaja!" Tukasku, segera mengusap tangan ibu. Ini pertama kalinya Aku melihatIbu tersenyum luas, dalam beberapa bulan terakhir. “Tak apa, sungguh tak apa sayang” ucap Ibu memegang pipiku.
Aku tidak beruntung. Semua Anggota keluargaku berada di rumah. Anthony yang tiba-tiba datang berkunjung untuk pertama kalinya sejak kami menikah pasti membuat orangtua dan Kakakku kaget. Jari jemariku pun panas. Kegiatan menggenggam yang sedari tadi kulakukan pada lengan bajuku membuatnya jadi panas. Aku gugup, mewanti-wanti Suamiku agar tak berkata macam-macam. Kuharap apa yang Dia bilang tadi memang benar, Aku tak perlu mengintervensi apapun untuk kebaikan orangtuaku. "Kenapa hanya berdiam di depan pintu saja?" pertanyaan Ayah memecah keheningan yang menguasai kami selama beberapa detik. "I-iya, masuk..., masuklah." Ibuku Petra Sinclair segera mempersilahkan Menantunya itu untuk masuk kedalam. Kami akhirnya melangkah masuk, sementara Kakakku Martha hanya terdiam mengamati Anthony dari sudut kursi tempatnya berdiri. Kutahu sejak datang tadi, Dia mengamati interaksi Anthony dengan Ayah dan Ibu. Terakhir, Dia mengamatiku namun Aku seger
"Kamu?" Aku terkaget. "Kenapa kamu ada di sini?" Badanku beringsut menumpu pada sudut mobil tempatku masuk tadi. Aku tidak percaya pria itu dari tadi ada dimobil dan hanya bodyguard serta sopinya yang turun? "Kaget?" tanyanya yang bahkan tak menatapku. Iya, kaget. Mata, kepala, dan hatiku terkejut melihat Anthony Gareth Barnett bersama iPadnya berada di dalam mobil ini. Dia akhirnya menatapku pelan-pelan dengan senyum intensny yang benar-benar memuakkan. "Memangnya Aku tidak boleh menjemput istriku?" Itu yang dia katakan. Dan seketika otot-otot perutku memanas. Lucu sekali! 'menjemput istriku' katanya? Ekspresi dan caranya berbicara membuatku
Toktok!Suara ketukan terdengar dari pintu utama rumah Keira. "Oke tunggu..!" Keira selalu spontan mengatakan hal itu pada siapapun yang mengetuk pintunya. "Tunggu di sini" ujarnya, dan kujawab mengangguk. Dia lalu beranjak menuruni tangga sementara Aku menuruti instruksinya untuk tetap menunggu di kamarnya saja.Memandang seisi kamar Keira, membuat hati tenang. Nyawa mudaku seperti baru saja kembali, karena beberapa hari kemarin Aku harus berurusan dengan si kolot Anthony. Kamar Keira adalah tempat ternyaman kedua setelah kamar dirumahku, jadi meskipun hanya sehari, Aku tak masalah, setidaknya bebab dikepalaku akan kuhempaskan malam ini dengan bercengkerama bersama gadis itu.Anthony Gareth Barnett, Aku tidak mau berurusan dan melihatnya lagi. Beberapa hari menikah saja sudah membuatku seperti ini, apalagi dua tahun? Jangan-jangan nanti Aku hanya tinggal nama.Sudah sepuluh menit lamanya Keira di bawah, dan dia tak k
Pria ini lebih ngotot dari yang kukira. Padahal tidak ada yang pernah menuduhku macam-macam, dan kini Dia mengataiku genit? Enak saja! Kalau bukan karena punya hutang budi kepadanya, tanganku mungkin akan segera menamparnya, berikut merobek-robek baju olahraganya dengan kuku-kukuku yang mulai panjang ini. Ingin sekali Aku terbawa emosi sesaat ini, namun tidak. Akal sehatku memilih untuk tak menggubrisnya, dan berjalan masuk mendahuluinya ke dalam rumah. "Hei!" Panggilnya. Tidak ada gunanya melawan Anthony, sebaiknya Aku pergi sebelum dia meraih tanganku kembali, dan mungkin akan menyuruhku yang tidak-tidak. "Megan Ariana Barnet! Aku memanggilmu!"Bulu kudukku merinding, tubuhku mendadak kaku karena namaku dipanggil lengkap menggunakan nama belakangnya. Karena penasaran lantas aku berbalik. "Diam di tempatmu!" Sahutnya, kemarahan yang tadi Dia semburkan padaku sudah tak kulihat. Apa dia menyerah? Aku memilih untuk tak bergeming. Sementara pria itu berjalan pada
Silau. Mataku baru saja dipaksa mengerjap-ngerjap ketika kulihat sosok pria tubuh tinggi besar yang baru saja membuka layar. Caranya membuka layar sebelahnya lagi menyadari, itu bukan cara sembarang orang, kecuali…. Mataku membelalak. " lAnthony?!" Pekikku. Dia berhenti dengan posisi bertolak pinggang di depanku. "Bangun" ucapnya. Aku beringsut dan bangun secepat kilat meletakkan kakiku kelantai namun aku hampir terjatuh karena masih linglung. Hep! Tangannya dengan cepat meraihku, hingga tubuhku berada dalam dekapannya. Pandangan kami menjadi satu sesaat. Tampan. Sesaat Aku mengagumi Pemilik manik mata coklat terang itu. Dia sangat tampan, menyayat keangkuhanku yang selalu berkata kasar padanya. Kalau saja dia adalah pria baik, mungkin aku sedikit menaruh perasaan padanya. Tuk! "Awh!" tahu-tahu keningku diketuk oleh jemarinya. Sakit! Pria yang baru saja menyunggingkan s
Aku telah selesai makan dan menaruh peralatan makanku dimeja dapur ketika kudengar suara mobil Chevrolet Colorado berhenti di depan pintu utama. Cepat sekali? Apa mungkin dia mengantar Anthony setengah jalan? Ya, mungkin saja. Kurasa Anthony tidak akan kembali hingga malam nanti. "Baiklah akan kubuang saja makanan ini," dia membuatku mengerjakan ini semua padahal dia tidak memakannya. Tanganku lalu meraih plastik-plastik bening untuk membuang makanan-makanan ini. Dan, tanganku, terlebih dahulu memilih new England chowder. "Apa yang kau lakukan?!" Tersentak oleh pertanyaan itu, mataku memburu dari mana datangnya suara itu. "Anthony?" Dia tepat berada di depan meja makan sembari bertolak pinggang, dan ada iPad ditangan kirinya. "Kenapa makanan di buang buang?" tanya seperti bukan orang kaya saja. "A... Anu.. " Dia akhirnya sampai di depanku dengan matanya yang sewot. "Kenapa membuang makanan itu? Aku ka
“Awas saja kalau dia tiba-tiba mendekatiku lagi, akan ku potong anunya!”"Kau mau potong apaku..?""Astaga gila!" hatiku, dan otakku bergejolak mendengar suaranya muncul di belakangku. Aku mencoba berbalik dan mengubah ekspresiku menjadi biasa lagi (meskipun jantungku baru saja mengeras gara-gara pria ini selalu datang disaat yang tidak tepat). Benar-benar tidak tepat. "Kau mau potong apaku?" tanyanya lagi. "Si-Siapa yang merujuk padamu?" Aku berkilah. Hal itu pun membuatnya memicingkan mata."Kalau itu adalah milikku yang besar ini, kamulah yang akan dimutilasi oleh Grandma" ucapnya dengan senyum terkekehnya yang menyebalkan.Besar? Dasar pria gila, seronok!"Kenapa Grandma yang harus memutilasiku?"nada bicara terdengar sewot."Karena gara-gara kamu, Aku tak punya pewaris" Enteng sekali caranya menjawab.Aku tidak peduli dengan masa depanmu. Karena bukan Aku yang akan memb