"Ayah…."Aku mencoba menyapa Ayah yang datang, dengan eskpresi setengah mengantuk. Menjaga Mom pasti membuatnya lelah. "Kenapa Mrs Barnet ada dirumah ini, siang-siang?" Dia berjalan tanpa memandang puteri angkatnya yang sedang menatapnya. "Ayah.. Kenapa memanggilku mrs Barnet? Aku kan masih puteri Ayah" jawabku, yang mencoba riang. Ayah terlihat sedikit aneh.
Ayah tak menjawab. Dia bahkan tak menatapku. "Pergilah, ini bukan tempatmu sekarang Nak" Perkataan Ayah membuat keningku mengerut. Ada apa dengan Ayahku? Tadi malam Dia tak bermasalah denganku.
"Ayah kenapa?" Aku mendekatinya.
"Wanita yang baru menikah satu hari seharusnya bersama Suaminya"
"Aku diijinkan datang kesini, Ayah tak perlu cemas"
"Tapi Ayah yang cemas, Kau tak tahu kan tabiat Suamimu."
Oh, kurasa itulah alasan Ayahku marah. Mungkin apa yang Dia saksikan tadi malam, membuatnya ragu pada Rumah tangga baruku. Anthony Garret Barnet tak hanya membuatku marah, tapi juga Ayahku. "Kau sadar siapa yang Kau nikahi kan?" tanya Ayah, kali ini Dia menatapku, dengan tatapan menyesal. Mungkin Dia baru tahu telah memasukkan anaknya kedalam lubang buaya KELAS BERAT.
"Aku mencintai Anthony…." Meskipun bohong, kata-kata itu akan menjadi senjataku ketika tak ada satupun yang percaya kami menikah karena suka sama suka. Ayah mendecak, Dia benar- benar tak percaya (kurasa itu adalah naluri Ayah). "Apa Dia mencintaimu?" tanyanya balik, tanpa basa-basi.
"Tentu, makanya Kami menikah" Aku berbalik dan kembali menuju dapur, dekat Kulkas. Ayah belum membalas apapun. Kurasa Dia menahan dirinya untuk bertanya lagi. Karena jawabanku memang saklek, artinya Aku tak mau ditanya lagi. "Ayah sudah makan?" tanyaku, semoga suasana teralihkan setelah ini. "Apa Anthony tahu kau disini?" tanya Ayah. "Sudah, besok kami akan bulan madu, jadi Aku kemari dulu"
Ayah akhirnya beranjak, mendekatiku dan duduk dibalik meja dapur. "Kudengar Anthony pernah punya anak… tapi Dia tak mengakui anak itu"
"Bukan anaknya, itu yang kutahu" Aku jadi ingin bertanya, seberapa banyak gosip yang sedang berputar disekitarku sampai-sampai Aku tak tahu, Suamiku ternyata punya kisah yang diketahui semua orang, bahkan Ayahku. "Oh, baguslah. Berarti Anthony jujur padamu" Raut wajah Ayah kembali segar. Mungkin yang membuatnya terlihat menua tadi adalah "Dia baru tahu telah menikahkan Puterinya pada Pria bermasalah" kurasa begitu.
"Ayah, tak perlu cemaskan Aku, Aku menikah dengan Pria baik" ingin sekali Aku menampar diriku sendiri karena telah menyebut Anthony Pria baik.
"Hm.. kuharap Kau benar- benar mencintainya, bukan apa yang Dia punya"
Aku terdiam, dan menarik napas dalam. Tidak, Aku tidak jatuh cinta pada uangnya, tapi Aku butuh uangnya. Maafkan Aku Ayah. Aku membohongi semua orang, termasuk Pria baik sepertimu. "Ayah mau Hotdog?" tanyaku kemudian.
"Ya.. boleh" Sahutnya yang kemudian duduk dan kursi bartender. "Pengantin baru ini akan membuatkan hotdog terbaik untukmu."
"Oke.. Ayah akan menunggu"
"Baik, akan kubuat yang terbaik"
"Apa kau sudah bertemu Martha?"
"Dia ada dikamarnya, sebelum bertemu Ayah, Aku juga mengobrol dengan Martha" jawabku, sambil membelah calon roti hotdog, yang tadi kubeli.
"Kukira Dia akan keluyuran"
Aku mendeham tersenyum. Dalam hati Aku mengumpat, "Dia bukan keluyuran, Dia membawa mangsa tak terduga dan membuatku marah). Seketika Aku teringat sesuatu, Aku kesini kan untuk memberitahu Aku akan membantu pengobatan Ibu. "Ayah, Aku akan membantu pengobatan Mom"
"Kau tak perlu repot-repot… Ada Martha"
"Ayah…. Sudah saatnya Aku juga membantu… Aku ingin berbakti pada Kalian yang membesarkanku dengan cinta"
Ayah terdiam, menyapu mukanya. Wajahnya seperti memiliki beban lain yang ingin Dia hempaskan. "jadi… selama ini, Kau tidak menganggap Kami keluarga aslimu..?" tanyanya, terdengar tak menyenangkan. Tanganku segera menghentikan potongan tomat yang baru kuiris dua potong. "Apa yang Ayah bicarakan? Tentu saja, Aku adalah bagian dari keluarga Sinclair, kita akan memecahkan masalah bersama"
Ayah masih berkutat pada sikapnya yang enak dilihat itu. "Biar kutanya sekali lagi, Kau tidak menikah karena uang kan?"
"Aku mencintai Anthony. Dan uangnya, adalah hal lain yang kubutuhkan. Aku manusia biasa, bohong Kalau Aku tak butuh uang"
"Ha….h, astaga.. kukira Kau anak polos yang tak memikirkan pikiran seperti itu, Ck. Karena usaha Ayah bangkrut, dan kita tak punya uang membayar pengobatan Petra" Lagi, Ayah menyalahkan apa yang telah terjadi. "Ayah, cukup. Ayah punya dua putri yang sudah dewasa, sudah seharusnya Kami membantu Ayah"
"Tidak Honey. Jangan, simpanlah uangmu. Suatu saat mungkin Kau akan membutuhkannya"
"Tidak Aku –"
"Turuti kata-kata Ayah, atau kau tidak boleh datang kerumah ini" Ayah benar-benar punya harga diri yang tinggi. Dan itu membuatku marah, bahkan memikirkan hal lain.
"Bila seperti ini, Aku …. merasa bukan bagian dari Keluarga Sinclair" jawabku, yang menunduk ditempatku. "Aku bukan anak kandung Ayah, jadi Ayah tak menerima bantuanku…" Ya, Untuk sesaat Aku merasa patah hati, Ayahku menolak bantuanku.
Kembali, Ayah mengusap wajahnya. Kata-kataku tidak salah, sungguh Aku ingin membantu. "Kau sudah mulai punya sikap membantah" umpatnya. Kulihat raut wajahnya berubah, tak seperti tadi. "Ayolah Ayah, Aku bukan menghasilkan uang dengan penari latar" jawabku, mengingat Kata kakakku tadi.
Ayah masih terdiam, tapi matanya mengunci mataku. " Kau… pandai juga merajuk ya.. Baiklah… Tapi Kau tak boleh memanfaatkan suamimu, Kau mengerti?"
Aku tersenyum sumringah, tak kukira Ayah akan setuju. "I Love you Father!!" Aku memeluknya dengan erat pundaknya dan mencium pipinya. Usahaku tak sia-sia. Akhirnya Kami keluar dari masalah. Uang dari Grandma Hilda akan kugunakan sebaik-baiknya. "Jangan lupa jenguk Ibumu setelah bulan madu" sahut Ayah, ketika kulihat sunggingan senyum menghiasi wajahnya.
"Tentu.. nanti, Aku akan jenguk Mom!" Aku senang, dan lebih senang lagi, ketika Ayah tak bertanya banyak dengan pernikahanku. Thomas Sinclair selalu menjadi Ayah terbaik untukku. Dan Petra, Aku akan mengunjunginya nanti, karena kurasa alasan kepulangannya tadi malam pasti ada hubugannya dengan raut wajah sendu Ayah saat bertemu tadi. "Kapan kau akan berangkat?" tanya Ayah.
"Aku tidak tahu kemana Anthony akan membawaku" jawabku. Kemanapun sebetulnya tak peduli. "Mungkin Dia sengaja merahasiakannya"
"Hmm, rahasia…" Dagu Ayah bermanggut-manggut, kening kanan atasnya juga ikut mengangkat.
"Ya, rahasia"
"Ayah jadi penasaran kemana Dia akan membawamu.."
"Aku… juga" sebetulnya tidak terlalu sih. Toh kami juga bukan pengantin sungguhan.
"Ya, setidaknya ajaklah suamimu, datang kemari setelah bulan madu"
"Ya, Ayah akan kuusahakan"
"Ayo Ayah sebaiknya kita berpesta sedikit, sebelum kembali kerumah penuh aturan-, ah,.. ayah tahu lah rumah Anthony bukan rumah sembarangan" Ya, rumah itu didesain untuk mengurung wanita pecinta uang sepertiku.
"Apa... kau baik-baik saja disana?"
"Aku... baik? Hanya sehari tinggal tak membuat kepalaku pusing ayah, hanya saja banyak aturan, dan dimanapun keluarga tempat kita tinggal sebelumny adalah yang terbaik" Aku tidak mengerti arah oomonganku sendiri, tapi sudahlah.
"Kau sepertinya butuh istirahat, sebaiknya kau pulang saja-""Oh, Ayolah Ayah, berbaik hati sedikit padaku dongg... Aku anak dari rumah ini. Aku akan pulang. Ayah lihat sopir Anthony didepan kan? Ya, Aku juga ditunggu untuk pulang, jadi biarkan aku disini ya plissss...."
Ayah yang masih tertegun tak bersuara.
"Biarkan saja Dia ayah... dia nanti nangis darah kalau dilarang" baik, kuampuni Martha hari ini, karena telah menolongku.
"ya, baiklah... ingat, karena kamu ditunggu, jangan bablas atau Athony akan memarahiku!"
"Jangan peduikan Dia, aku kan ditunggu sopir, Dia takkan mencariku Ayah" Aku segera mengambil beberapa selada di meja makan dan memasukkannya bersama daging asap ) yang entah sejak kapan sudah ada dimeja sana)
Ayah pasti sedang mengawasiku-atas tingkah lakuku. Tapi satu yang kutahu, Aku ingin menikmati momen ini sebelum besok seseorang akan menghancurkan moodku seharian.
***
Usahakan udah bawa momongan aja deh.
Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan badan di atas tempat tidur. Aku ingin berhela-hela dulu untuk sementara waktu, pikiran dan hati ini sungguh lelah adanya. karena waktuku disini masih panjang. Panjang, untuk berjuang. Semangat juang harus kupupuk sejak saat ini, karena sang pemilik rumah bukanlah orang yang ramah. Kupandang langit-langit megah di rumah ini. Tempat ini cukup luas, hingga membuatku minder. Bila saja. Aku tak menikah dengan Anthony, kira-kira apa yang akan kulakukan saat ini? Apa Aku akan mencari pekerjaan tambahan lainnya? Bodoh, untuk apa lagi aku berpikir seperti itu. Tugasku saat ini hanyalah menjalankan perintah Anthony yang galak itu, meskipun aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku setelah ini. Dan hembusan nafas berat kembali mengalir dari hidungku. Membandingkan kenyamanan di sini dan di rumahku tadi, membuatku kembali menitikkan airmata. Tidak.., tidak, tidak. Aku harus tegar. Semua telah kutandatangan
“Awas saja kalau dia tiba-tiba mendekatiku lagi, akan ku potong anunya!”"Kau mau potong apaku..?""Astaga gila!" hatiku, dan otakku bergejolak mendengar suaranya muncul di belakangku. Aku mencoba berbalik dan mengubah ekspresiku menjadi biasa lagi (meskipun jantungku baru saja mengeras gara-gara pria ini selalu datang disaat yang tidak tepat). Benar-benar tidak tepat. "Kau mau potong apaku?" tanyanya lagi. "Si-Siapa yang merujuk padamu?" Aku berkilah. Hal itu pun membuatnya memicingkan mata."Kalau itu adalah milikku yang besar ini, kamulah yang akan dimutilasi oleh Grandma" ucapnya dengan senyum terkekehnya yang menyebalkan.Besar? Dasar pria gila, seronok!"Kenapa Grandma yang harus memutilasiku?"nada bicara terdengar sewot."Karena gara-gara kamu, Aku tak punya pewaris" Enteng sekali caranya menjawab.Aku tidak peduli dengan masa depanmu. Karena bukan Aku yang akan memb
Aku telah selesai makan dan menaruh peralatan makanku dimeja dapur ketika kudengar suara mobil Chevrolet Colorado berhenti di depan pintu utama. Cepat sekali? Apa mungkin dia mengantar Anthony setengah jalan? Ya, mungkin saja. Kurasa Anthony tidak akan kembali hingga malam nanti. "Baiklah akan kubuang saja makanan ini," dia membuatku mengerjakan ini semua padahal dia tidak memakannya. Tanganku lalu meraih plastik-plastik bening untuk membuang makanan-makanan ini. Dan, tanganku, terlebih dahulu memilih new England chowder. "Apa yang kau lakukan?!" Tersentak oleh pertanyaan itu, mataku memburu dari mana datangnya suara itu. "Anthony?" Dia tepat berada di depan meja makan sembari bertolak pinggang, dan ada iPad ditangan kirinya. "Kenapa makanan di buang buang?" tanya seperti bukan orang kaya saja. "A... Anu.. " Dia akhirnya sampai di depanku dengan matanya yang sewot. "Kenapa membuang makanan itu? Aku ka
Silau. Mataku baru saja dipaksa mengerjap-ngerjap ketika kulihat sosok pria tubuh tinggi besar yang baru saja membuka layar. Caranya membuka layar sebelahnya lagi menyadari, itu bukan cara sembarang orang, kecuali…. Mataku membelalak. " lAnthony?!" Pekikku. Dia berhenti dengan posisi bertolak pinggang di depanku. "Bangun" ucapnya. Aku beringsut dan bangun secepat kilat meletakkan kakiku kelantai namun aku hampir terjatuh karena masih linglung. Hep! Tangannya dengan cepat meraihku, hingga tubuhku berada dalam dekapannya. Pandangan kami menjadi satu sesaat. Tampan. Sesaat Aku mengagumi Pemilik manik mata coklat terang itu. Dia sangat tampan, menyayat keangkuhanku yang selalu berkata kasar padanya. Kalau saja dia adalah pria baik, mungkin aku sedikit menaruh perasaan padanya. Tuk! "Awh!" tahu-tahu keningku diketuk oleh jemarinya. Sakit! Pria yang baru saja menyunggingkan s
Pria ini lebih ngotot dari yang kukira. Padahal tidak ada yang pernah menuduhku macam-macam, dan kini Dia mengataiku genit? Enak saja! Kalau bukan karena punya hutang budi kepadanya, tanganku mungkin akan segera menamparnya, berikut merobek-robek baju olahraganya dengan kuku-kukuku yang mulai panjang ini. Ingin sekali Aku terbawa emosi sesaat ini, namun tidak. Akal sehatku memilih untuk tak menggubrisnya, dan berjalan masuk mendahuluinya ke dalam rumah. "Hei!" Panggilnya. Tidak ada gunanya melawan Anthony, sebaiknya Aku pergi sebelum dia meraih tanganku kembali, dan mungkin akan menyuruhku yang tidak-tidak. "Megan Ariana Barnet! Aku memanggilmu!"Bulu kudukku merinding, tubuhku mendadak kaku karena namaku dipanggil lengkap menggunakan nama belakangnya. Karena penasaran lantas aku berbalik. "Diam di tempatmu!" Sahutnya, kemarahan yang tadi Dia semburkan padaku sudah tak kulihat. Apa dia menyerah? Aku memilih untuk tak bergeming. Sementara pria itu berjalan pada
Toktok!Suara ketukan terdengar dari pintu utama rumah Keira. "Oke tunggu..!" Keira selalu spontan mengatakan hal itu pada siapapun yang mengetuk pintunya. "Tunggu di sini" ujarnya, dan kujawab mengangguk. Dia lalu beranjak menuruni tangga sementara Aku menuruti instruksinya untuk tetap menunggu di kamarnya saja.Memandang seisi kamar Keira, membuat hati tenang. Nyawa mudaku seperti baru saja kembali, karena beberapa hari kemarin Aku harus berurusan dengan si kolot Anthony. Kamar Keira adalah tempat ternyaman kedua setelah kamar dirumahku, jadi meskipun hanya sehari, Aku tak masalah, setidaknya bebab dikepalaku akan kuhempaskan malam ini dengan bercengkerama bersama gadis itu.Anthony Gareth Barnett, Aku tidak mau berurusan dan melihatnya lagi. Beberapa hari menikah saja sudah membuatku seperti ini, apalagi dua tahun? Jangan-jangan nanti Aku hanya tinggal nama.Sudah sepuluh menit lamanya Keira di bawah, dan dia tak k
"Kamu?" Aku terkaget. "Kenapa kamu ada di sini?" Badanku beringsut menumpu pada sudut mobil tempatku masuk tadi. Aku tidak percaya pria itu dari tadi ada dimobil dan hanya bodyguard serta sopinya yang turun? "Kaget?" tanyanya yang bahkan tak menatapku. Iya, kaget. Mata, kepala, dan hatiku terkejut melihat Anthony Gareth Barnett bersama iPadnya berada di dalam mobil ini. Dia akhirnya menatapku pelan-pelan dengan senyum intensny yang benar-benar memuakkan. "Memangnya Aku tidak boleh menjemput istriku?" Itu yang dia katakan. Dan seketika otot-otot perutku memanas. Lucu sekali! 'menjemput istriku' katanya? Ekspresi dan caranya berbicara membuatku
Aku tidak beruntung. Semua Anggota keluargaku berada di rumah. Anthony yang tiba-tiba datang berkunjung untuk pertama kalinya sejak kami menikah pasti membuat orangtua dan Kakakku kaget. Jari jemariku pun panas. Kegiatan menggenggam yang sedari tadi kulakukan pada lengan bajuku membuatnya jadi panas. Aku gugup, mewanti-wanti Suamiku agar tak berkata macam-macam. Kuharap apa yang Dia bilang tadi memang benar, Aku tak perlu mengintervensi apapun untuk kebaikan orangtuaku. "Kenapa hanya berdiam di depan pintu saja?" pertanyaan Ayah memecah keheningan yang menguasai kami selama beberapa detik. "I-iya, masuk..., masuklah." Ibuku Petra Sinclair segera mempersilahkan Menantunya itu untuk masuk kedalam. Kami akhirnya melangkah masuk, sementara Kakakku Martha hanya terdiam mengamati Anthony dari sudut kursi tempatnya berdiri. Kutahu sejak datang tadi, Dia mengamati interaksi Anthony dengan Ayah dan Ibu. Terakhir, Dia mengamatiku namun Aku seger