Silau.
Mataku baru saja dipaksa mengerjap-ngerjap ketika kulihat sosok pria tubuh tinggi besar yang baru saja membuka layar. Caranya membuka layar sebelahnya lagi menyadari, itu bukan cara sembarang orang, kecuali….
Mataku membelalak. " lAnthony?!" Pekikku. Dia berhenti dengan posisi bertolak pinggang di depanku. "Bangun" ucapnya. Aku beringsut dan bangun secepat kilat meletakkan kakiku kelantai namun aku hampir terjatuh karena masih linglung.
Hep!
Tangannya dengan cepat meraihku, hingga tubuhku berada dalam dekapannya. Pandangan kami menjadi satu sesaat. Tampan. Sesaat Aku mengagumi Pemilik manik mata coklat terang itu. Dia sangat tampan, menyayat keangkuhanku yang selalu berkata kasar padanya. Kalau saja dia adalah pria baik, mungkin aku sedikit menaruh perasaan padanya.
Tuk!
"Awh!" tahu-tahu keningku diketuk oleh jemarinya.
Sakit!
Pria yang baru saja menyunggingkan s
Pria ini lebih ngotot dari yang kukira. Padahal tidak ada yang pernah menuduhku macam-macam, dan kini Dia mengataiku genit? Enak saja! Kalau bukan karena punya hutang budi kepadanya, tanganku mungkin akan segera menamparnya, berikut merobek-robek baju olahraganya dengan kuku-kukuku yang mulai panjang ini. Ingin sekali Aku terbawa emosi sesaat ini, namun tidak. Akal sehatku memilih untuk tak menggubrisnya, dan berjalan masuk mendahuluinya ke dalam rumah. "Hei!" Panggilnya. Tidak ada gunanya melawan Anthony, sebaiknya Aku pergi sebelum dia meraih tanganku kembali, dan mungkin akan menyuruhku yang tidak-tidak. "Megan Ariana Barnet! Aku memanggilmu!"Bulu kudukku merinding, tubuhku mendadak kaku karena namaku dipanggil lengkap menggunakan nama belakangnya. Karena penasaran lantas aku berbalik. "Diam di tempatmu!" Sahutnya, kemarahan yang tadi Dia semburkan padaku sudah tak kulihat. Apa dia menyerah? Aku memilih untuk tak bergeming. Sementara pria itu berjalan pada
Toktok!Suara ketukan terdengar dari pintu utama rumah Keira. "Oke tunggu..!" Keira selalu spontan mengatakan hal itu pada siapapun yang mengetuk pintunya. "Tunggu di sini" ujarnya, dan kujawab mengangguk. Dia lalu beranjak menuruni tangga sementara Aku menuruti instruksinya untuk tetap menunggu di kamarnya saja.Memandang seisi kamar Keira, membuat hati tenang. Nyawa mudaku seperti baru saja kembali, karena beberapa hari kemarin Aku harus berurusan dengan si kolot Anthony. Kamar Keira adalah tempat ternyaman kedua setelah kamar dirumahku, jadi meskipun hanya sehari, Aku tak masalah, setidaknya bebab dikepalaku akan kuhempaskan malam ini dengan bercengkerama bersama gadis itu.Anthony Gareth Barnett, Aku tidak mau berurusan dan melihatnya lagi. Beberapa hari menikah saja sudah membuatku seperti ini, apalagi dua tahun? Jangan-jangan nanti Aku hanya tinggal nama.Sudah sepuluh menit lamanya Keira di bawah, dan dia tak k
"Kamu?" Aku terkaget. "Kenapa kamu ada di sini?" Badanku beringsut menumpu pada sudut mobil tempatku masuk tadi. Aku tidak percaya pria itu dari tadi ada dimobil dan hanya bodyguard serta sopinya yang turun? "Kaget?" tanyanya yang bahkan tak menatapku. Iya, kaget. Mata, kepala, dan hatiku terkejut melihat Anthony Gareth Barnett bersama iPadnya berada di dalam mobil ini. Dia akhirnya menatapku pelan-pelan dengan senyum intensny yang benar-benar memuakkan. "Memangnya Aku tidak boleh menjemput istriku?" Itu yang dia katakan. Dan seketika otot-otot perutku memanas. Lucu sekali! 'menjemput istriku' katanya? Ekspresi dan caranya berbicara membuatku
Aku tidak beruntung. Semua Anggota keluargaku berada di rumah. Anthony yang tiba-tiba datang berkunjung untuk pertama kalinya sejak kami menikah pasti membuat orangtua dan Kakakku kaget. Jari jemariku pun panas. Kegiatan menggenggam yang sedari tadi kulakukan pada lengan bajuku membuatnya jadi panas. Aku gugup, mewanti-wanti Suamiku agar tak berkata macam-macam. Kuharap apa yang Dia bilang tadi memang benar, Aku tak perlu mengintervensi apapun untuk kebaikan orangtuaku. "Kenapa hanya berdiam di depan pintu saja?" pertanyaan Ayah memecah keheningan yang menguasai kami selama beberapa detik. "I-iya, masuk..., masuklah." Ibuku Petra Sinclair segera mempersilahkan Menantunya itu untuk masuk kedalam. Kami akhirnya melangkah masuk, sementara Kakakku Martha hanya terdiam mengamati Anthony dari sudut kursi tempatnya berdiri. Kutahu sejak datang tadi, Dia mengamati interaksi Anthony dengan Ayah dan Ibu. Terakhir, Dia mengamatiku namun Aku seger
"Honey....." Panggilan itu keluar dari mulut pria yang menggenggam lengan lain dari ibu. Pelan tapi pasti aku menatapnya. “Kau memegang kuat tangan Ibumu dan membuatnya merah” “Ahk?” bisa kurasakan suara hidungku berbunyi. “Jangan memegang Ibumu seperti kau memegangku” ucapnya, membuat pipiku memerah padam. Situasi yang sebetulnya syahdu, namun Dia membuatnya menjadi konyol kala semua orang senyam-senyum –seakan mengerti- apa yang Antony maksud. “Me, memegang apa?” gerutuku, tak mau melihat Anthony. “Kamu yang paling tahu jawabannya” Maksud Antony itu seronok. Dasar pria itu. Dan baru kusadari tangan Ibu memerah setelah Aku melepas peganganku. Bekas peganganku mencetak merah pada lengan pucat Ibu. "Astaga. Maaf Ibu, Aku tidak sengaja!" Tukasku, segera mengusap tangan ibu. Ini pertama kalinya Aku melihatIbu tersenyum luas, dalam beberapa bulan terakhir. “Tak apa, sungguh tak apa sayang” ucap Ibu memegang pipiku.
Kami sudah tak bisa mundur. Anthony yang menawarkan sandiwara ini, dan Dia tak bisa kudorong kebelakang. Gemuruh didadaku berdebar hebat. Penolakan dan hasrat terpencil yang bergolak dalam diriku membuat pembuluh darahku mendidih.Anthony mendekat, tatapannya meneduhkanku sesaat kala Dia memberiku intens seperti kekasih. Pria yang terkadang galak dan barbar ini terlihat seperti seorang suami, saat ini. Aku tak punya pilihan lain, ya tak ada pilihan lain ketika bibir sensual itu juga menggiurkan untuk kujamah. Membuatku nanar, dan hampir memalingkan wajah, namun dengan segera Anthony melahapku dengan sempurna. Ciuman ini sempurna kala hasratku ikut berpacu menantang debaran memabukkan ini. Aku tidak perduli dengan logikaku yang menolaknya. Ciuman yang kuatas namakan ‘akting’ ini akan kubuat bekerja sama dengan harga diri dan emosiku.Kubuka sedikit mataku. Kudapati Martha menatap kami dengan mulut setengah terbuka, dan kurasa tujuan kami
"Ouhgh" sakit. Tulang rusukku rasanya terhimpit. Badan rasanya remuk seperti baru saja bergulat. Pegal. Membuatku masih tertahan di tempat tidur. Kupandang tubuhku yang banyak meninggalkan bekas memar merah, terutama disekitar dada, lengan, dan paha yang kecilku. Aku mendesah lemas.. Sampai tadi malam saat Seorang Pria dan diriku mengucap janji, Aku masih seorang Perawan. Tidak salah sebetulnya, karena suamiku sendiri yang merampasnya. Tapi, pria itu bukanlah pria yang kucintai atau yang akan menua bersamaku dengan cintanya. Pria tinggi dengan otot deltoidnya menonjol itu memaksa tanganku tak bergerak dan mencumbuku dengan paksa. Caranya memaksaku naik ke tempat tidur ini dan memporak-poranda apapun yang ada dalam diriku, membuatku ingin pingsan saja. Sialnya Dia begitu perkasa dan bila kuingat kembali, mukaku spontan memerah panas. Seberkas cahaya membesit mataku. Kusadari Pagi hari telah datang ketika cahaya lainnya mem
"Kamu sengaja ya?" Tatapan Anthony Barnet sangat sinis, kutahu Dia merendahkanku. Segera Aku mengambil Stik laken itu dengan kasar dan menutup tubuh polosku. "Enak saja! Aku bahkan marah padamu!" seruku, dengan muka merah yang panas ini. Pria ini sungguh membuatku murka. Meskipun wajah dan tubuhnya membuatku meleleh, tapi caranya menyiksaku tadi malam tak bisa kuterima. Aku segera menangkis tangannya. Namun, Dia tampaknya tak membiarkanku. Lengannya menangkap lenganku lagi, menarikku, dan membuatku jadi keatas kasur. Sekali lagi Dia menekan kedua lenganku dengan cengkeramannya. "Apa yang kau lakukan?!" Sergahku. Untung saja kain putih itu masih membalut tubuhku, ketika Pria itu menatapku-seakan menelanjangi keangkuhanku. "Kamu pikir kamu siapa bisa membentakku hah?" dagunya turun mendekati wajahku, sehingga posisinya bibirnya hampir menyentuh bibirku. Wangi alkohol kami masih kurasakan dengan jarak sedekat ini, namun bukan itu masalahnya. Posisinya -yang menindihku- seperti