"Ouhgh" sakit. Tulang rusukku rasanya terhimpit. Badan rasanya remuk seperti baru saja bergulat. Pegal. Membuatku masih tertahan di tempat tidur. Kupandang tubuhku yang banyak meninggalkan bekas memar merah, terutama disekitar dada, lengan, dan paha yang kecilku.
Aku mendesah lemas..
Sampai tadi malam saat Seorang Pria dan diriku mengucap janji, Aku masih seorang Perawan. Tidak salah sebetulnya, karena suamiku sendiri yang merampasnya. Tapi, pria itu bukanlah pria yang kucintai atau yang akan menua bersamaku dengan cintanya.
Pria tinggi dengan otot deltoidnya menonjol itu memaksa tanganku tak bergerak dan mencumbuku dengan paksa. Caranya memaksaku naik ke tempat tidur ini dan memporak-poranda apapun yang ada dalam diriku, membuatku ingin pingsan saja. Sialnya Dia begitu perkasa dan bila kuingat kembali, mukaku spontan memerah panas.
Seberkas cahaya membesit mataku. Kusadari Pagi hari telah datang ketika cahaya lainnya membelah masuk melalui celah kecil gorden transparan putih dan kembali mengusik mataku. Mataku masih belum terbiasa oleh sinar. Disaat yang sama juga Aku menyadari Pria yang menggagahiku masih ada diranjang yang sama denganku, tidur tertelungkup.
Aku mendesah kembali, beringsut menjauhi pria itu kalau-kalau Dia bangun. Punggung kekarnya yang tertelungkup itu telah menjelajahi seluruh sela tubuhku semalam.Dia telah merampas semuanya dariku.
"Ahh" Aku langsung menyadari rasa sakit pada selangkanganku ketika bergerak. Ini memang pertama kali untukku, dan itu benar-benar sakit.
Tadi malam Aku menangis dan memintanya untuk berhenti tapi Pria itu tidak mengindahkannya, Dia terus saja melakukannya-meskipun aku bilang ini adalah pertama kalinya untukku. Entah setan jenis apa yang berkobar dalam otaknya tadi malam, namun Dia malah sangat bersemangat dengan ciuman wangi alkohol yang-kupercaya -menjadi pemicu aksinya yang tak tanggung-tanggung itu.
Dan akhirnya, disinilah kami berada, di ranjang "Pengantin Baru" yang bahkan tak kuinginkan.
Sebetulnya ini salahku yang juga memancingnya marah-marah setelah masuk pada kamar pengantin ini. Aku mabuk karena kecewa padanya yang tidak melihatku selama pesta pernikahan. Iya mengacuhkanku seperti orang bodoh, dan hanya bercengkrama dengan teman-teman sosialitanya. Daripada meneruskan sandiwara yang memuakkan di mimbar sana, Aku mau minum beberapa gelas alkohol, padahal aku tak kuat minum.
Dan ketika Antony membopongku ke kamar ini, hawa bahagia bodoh yang tercipta akibat pengaruh alkohol itu membuatku bereaksi liar. Aku, peminum satu Gelas Wine yang tidak kuat alkohol, tiba-tiba saja merasa tertarik oleh lekuk tubuh dan otot-otot sedangnya yang membuat terlihat maskulin. Dan entah kenapa rasa bahagia bodohku itu membuatku bergairah-meskipun rasa kesal sedang membebatku.
Pria dengan rambut hitam ikal yang lebat itu membuatku tak berdaya, dia juga ternyata banyak minum Alkohol. Dan aksi paling bodoh dalam sejarah harga diriku adalah tanpa pikir panjang langsung merenggut leher jenjangnya dan menciumnya sepuasku.
Sungguh gila. Sangat Gila untukku sang sebelumnya adalah gadis polos. Sebelum tadi malam, Aku Megan Arianne Sinclair adalah wanita baik-baik, Aku juga Wanita yang tak mudah marah. Aku tahu pria itu tidak suka padaku, tapi didepan orang tuaku aku ingin Dia juga berakting. Bukankah kami seharusnya bekerja sama membohongi publik?Anthony Garret Barnet, itulah Nama Pria yang menikahiku. Memiliki tinggi Badan 180 cm, Dia juga memiliki bentuk wajah kotak yang lancip dan mempesona. Matanya coklat bersinar, bila diterpa cahaya emas matahari, matanya seperti cahaya yang datang dari Negeri Peri para Laki-laki tampan. Siapapun akan berdecak kagum. Ya, itulah hal pertama yang kusadari darinya ketika pertama kalinya Kami bertemu di Kafe Brightstone Evergreen. Nenek Hilda Barnet yang mempertemukan kami.
Dia Suamiku secara hukum. Tapi bukan berarti hatinya milikku. Aku tahu diri akan posisiku yang hanya mengisi status Istri syahnya. Tapi, tetap saja. Siapa yang akan terima dipermalukan dihari pernikahan? Sebetulnya aku hanya ingin meluapkan rasa kesal padanya. Namun apa yang telah terjadi, membuatku malu, apalagi ini tak seperti yang kumau!Pertemuan pertamaku dengan Anthony terjadi dua minggu yang lalu. Aku sedang magang di salah satu kafe disudut kota yang terbilang ramai. Memakai dandanan ala The maid, aku adalah Pelayan yang bekerja di Kafe dua lantai Brigthstone Evergreen. Untuk kuliah sarjana Keperawatan, Aku perlu menghasilkan uang untuk melanjutkan kuliahku. Aku menunda setahun untuk melanjutkan semester 7 yang telah kutinggalkan setengah tahun yang lalu.
Aku sendiri bukan anak kandung dari keluargaku yang sekarang. Aku diadopsi keluarga Sinclair sejak usia enam tahun. Ayahku bernama Thomas Sinclair. Dan Aku juga punya seorang kakak perempuan yang sangat baik, bernama Martha Sinclair. Ibu adopsiku bernama Petra Sinclair, akhir-akhi ini beliau sakit-sakitan. Belakangan kutahu, Ibuku yang biasa ku panggil Mom sedang menderita Leukemia dan mulai menjalani kemoterapi-yang menurut Ilmu di kuliahku adalah terapi yang sangat melelahkan. Martha meminjam uang yang banyak, sepuluh ribu dolar untuk pengobatan Mom dan membantu Ayah yang mengalami kerugian dari usahanya Dan itu tak sedikit. Martha yang hanya bekerja sebagai Manajer unit disalah satu departemen store kota kecil kami Beauford, yang terletak di Negara Bagian Shouth Carolina, US.
Martha kesulitan, karena Dia tak mungkin menanggung cicilan sebesar itu sendirian. Sementara Ayah baru saja menutup toko besi miliknya sebagai imbas dari kerugiannya. Maka dari itu, ebagai Anak adopsi keluarga Sinclair yang baik, Aku harus ikut membantu situasi pelik keluarga kami ini.
Tapi Aku sadar, sebagai mahasiswa dan hanyalah seorang pekerja magang Aku tak bisa membantu apa-apa. Aku mulai berpikir keras, bagaimana caranya menghasilkan uang yang banyak, bahkan Aku berpikir akan menjadi penari eksotis ( tanpa diktahui keluargaku) bila itu adalah satu-satunya jalan. Dan disaat seperti itulah, mucul sebuah tawaran mengejutkan dari Nenek Hilda Barnet, pemilik Brighstone. Dia tahu situasiku dari teman-teman kerjaku, Keira dan Charly. Mendengar banyaknya biaya yang kubutuhkan untuk membayar ini dan itu, akhirnya Dia menawarkan kepadaku sebuah bantuan dengan satu Syarat, menikahi Cucunya. Cucu yang datang dari New york satu tahun yang lalu. Dan disinilah Aku dan cucunya itu berada. Setelah banyaknya hal yang terjadi, Aku resmi menjadi Nyonya Barnet, dan menjadi sangat nyata setelah Kami menghabiskan malam pengantin tadi malam.
"Hoaaam" Suara Pria itu mengagetkanku. Pria itu mungkin saja akan bangun, dan Aku harus bergegas mandi sebelum Dia bangun. Aku tak mau Dia mendapatiku masih berada disampingnya dan berpikir, aku sedang menunggunya bangun. Benar saja, badannya bergerak memutar kearahku.Aku harus pergi!kuambil kain apapun yang ada disekitarku, dan kudapati stik laken yang ada diantara selimut. Aku mengambilnya dengan cepat dan segera bergegas, harus lebih cepat.
Hep!namun Aku tertahan, masih dikasur. Lenganku tertahan sebuah genggaman kuat. "Kamu... mau kemana?" tanya Pria yang menggenggam lenganku itu.Mataku membulat tajam saking kagetnya. Dan tanpa kusadari Kain stik laken yang kupakai menutupi dadaku jatuh, " Ah..." astaga!
Badan polosku membuatnya mengeluarkan senyuman sinis yang meruntuhkan harga diriku. "Kamu.... mau pamer keseksian tubuhmu lagi, padaku lagi hah?" tanyanya. Aku seketika menelan ludah.
***-bersambung-"Kamu sengaja ya?" Tatapan Anthony Barnet sangat sinis, kutahu Dia merendahkanku. Segera Aku mengambil Stik laken itu dengan kasar dan menutup tubuh polosku. "Enak saja! Aku bahkan marah padamu!" seruku, dengan muka merah yang panas ini. Pria ini sungguh membuatku murka. Meskipun wajah dan tubuhnya membuatku meleleh, tapi caranya menyiksaku tadi malam tak bisa kuterima. Aku segera menangkis tangannya. Namun, Dia tampaknya tak membiarkanku. Lengannya menangkap lenganku lagi, menarikku, dan membuatku jadi keatas kasur. Sekali lagi Dia menekan kedua lenganku dengan cengkeramannya. "Apa yang kau lakukan?!" Sergahku. Untung saja kain putih itu masih membalut tubuhku, ketika Pria itu menatapku-seakan menelanjangi keangkuhanku. "Kamu pikir kamu siapa bisa membentakku hah?" dagunya turun mendekati wajahku, sehingga posisinya bibirnya hampir menyentuh bibirku. Wangi alkohol kami masih kurasakan dengan jarak sedekat ini, namun bukan itu masalahnya. Posisinya -yang menindihku- seperti
Antony Barnet sudah tak ada ditempatnya saat Aku kembali setelah mandi. Apa Dia sudah pergi? "An... Thony?" Bagus, kuharap begitu. Aku tak ingin menjadi bulan-bulanannya, karena itulah yang akan terjadi padaku. Mulutku mendesah, dalam arti penuh kebebasan karena bisa melakukan apapun lalu dengan secepatnya mengeringkan rambut basahku dengan handuk. Kupastikan kembali Mr Barnet sialan itu sudah tak ada ditempat, lalu Aku memilih keluar dari kamar itu, ketika rambut basah ini kubiarkan saja terurai saja hingga membasahi baju mandi yang masih kupakai (Aku tak punya gaun selain gaun putih menikahku yang cukup besar itu)Kepalaku sebetulnya masih pusing, namun kakiku tak tahan untuk tak melangkah menuruni rumah dua lantai ini, mencari sesosok makhluk hidup selain diriku.Kupandang istana bentuk rumah ini. Dan, Wow.. Super. Ada lampu kristal mahal diatas plafon mewah rumah ini dan terangnya membuat pencahayaan sungguh baik. Suasana rumah ini pun mirip sep
Brightstone Evergreen. Aku telah berada disini, setelah satu jam tadi menunggu Anthony pergi. Seperti yang diinginkannya, Aku, datang dengan supir dan mobil yang telah disiapkannya, dan sesuai perintahnya hanya Nyonya Barnet dan orangtuaku yang bisa kukunjungi hari ini. itu juga yang diulang supir bernama Jackson yang dinginnya hampir seperti bosnya. kulihat kembali Kafe yang cukup besar itu. Aku tersenyum tipis membayangkan masalaluku yang adalah beberapa hari lalu, masih menggunakan seragam The maid. Kini, Aku tak diperbolehkan lagi memakai baju itu, karen Grandma Hilda tak mengizinkanku. Menurutnya
Langkahku telah sampai di ruang kantor Grandma Hilda, yang terletak di lantai dua Kafe. Ruangnya terpisah oleh dinding, dimana masih ada kafe disebelah kantor milik sang Grandma. Mungkin bukan kantor tepatnya, sebuah ruang kerja. Grandma Hilda sebetulnya jarang datang Kekantor, karena ada tangan kanannya yang bernama Denise Milano, wanita Mexico-Amerika yang berusia sekitar lima puluh tahun yang selalu membantunya. Wanita itu berperangai setengah bayah, berambut coklat tua sanggul, dan masih melajang. Dia bergantian menjalankan kafe ini dengan sang Nenek.Sebetulnya tempat ini bukan harta satu-satunya milik Grandma Barnet yang berusia 70 tahun itu. Mereka punya banyak tanah, peternakan, dan khususnya suamiku, Dia adalah Pria yang menjalankan bisnis Hotel dan memiliki cabang dimana-mana. Anthony pindah dari New york atas perintah Neneknya setahun yang lalu tanpa penolakan. Ya, banyak rumor mengatakan Dia sangat sayang neneknya itu, dan tentunya juga a
Aku menjadi apa….?“Penghalang?” tanyaku, setelah sebelumnya menelan ludah, saking lamanya mencerna kata-kata itu. “Kenapa Aku harus jadi penghalang?"Grand mahilda tidak bergeming dia pasti ingin aku mencari tahu Maksudnya. "Sebelumnya dia tidak mengatakan apa-apa tentang itu.""Ini tidak sulit Megan sayang, kamu cukup menghalau wanita itu saja dan berpura-pura saling mencinta dengan Anthony"“Ya… persisnya begitu…” ujar Grandma Hilda, tanpa memerdulikan reaksiku. Mataku mengerjap tak mengerti, banyak hal yang harus akan kutanya setelah ini. “Aku tahu banyak yang ingin kau tanyakan. Pertama-tama, Kau akan kuberitahu dari awal kejadian tiga tahun yang lalu. Dengarkanlah… karena Kamu akan mengerti” ucap Grandma Hilda.Aku menahan napasku yang sedikit tersengal berkat informasi tak terduga itu. Tapi, Aku sudah sampai disini, dan tak bisa kembali. Jadi pilihanku adalah mendeng
Setelah betemu Grandma Hilda tadi, Aku meminta Jackson mengantarku ke Supermarket terdekat untuk membawa bahan-bahan makan. Ya, Aku akan memasak sedikit dirumah, karena mungkin Aku akan jarang pulang. Dalam perjalanan menuju rumahku ini, Aku menyempatkan mengamati sopir Anthony yang bernama Jackson Lord itu. Pria yang memiliki badan besar dengan kulit hitam gelapnya yang terlihat dari seperti seorang bodyguard, Dia terlihat sangar.Seperti yang telah disetujui oleh Anthony, setelah bertemu Grandma Hilda, Jackson akan mengantarku ke rumah orang tuaku. Sebelum pergi tadi Aku bertanya pada Jackson berapa lama waktu yang di berikan padaku oleh CEO itu. Waktuku hanya sampai jam 7 malam. Aku ingin bertanya apa yang terjadi bila aku tidak pulang jam 7 namun Jackson tak memberikan jawaban pasti, hanya menggumam tidak jelas. Dan ketika pria berambut hitam pekat itu masih serius menatap kedepan, disinilah saatnya, Aku harus mengambil kesempatan lagi untuk bertanya bertanya atau sekedar
Lima belas menit. Kalau tidak salah waktu selama lima belas menit ini telah kupakai berputar sebanyak tiga puluh kali. Kakiku lelah, tapi Aku malas duduk. Mungkin dan kurasa, mereka melakukannya dalam keadaan mabuk. mungkin saja. Rasa penasaranku, membuatku menerka-nerka siapa pria yang dibawa Martha. Aku kenal suara itu. Tapi suara itu samar, seperti Pria yang baru saja minum dengan suara mulut yang penuh. “Apa sih yang mereka pikirkan?! Diruang tamu?” umpatku. Kuharap Ayah tak ada didalam, ya Martha juga melakukannya pasti karena Ayah tak ada. Dan seketika mataku berkelebat dan dengan kasar kuedarkan keluar halaman siapa tahu Ayah tiba-tiba datang, namun yang kudapati malah mata Jackson tengan mengamatiku dari dalam mobil. Aku terkaget, Aku juga lupa bahwa aku tadi datang bersama Supir suamiku. Astaga ini adalah kesalahan lainnya yang mungkin saja akan memperburuk hubunganku dengan Anthony. Kehadiran Jacksin yang mungkin saja tengah
"Ayah…."Aku mencoba menyapa Ayah yang datang, dengan eskpresi setengah mengantuk. Menjaga Mom pasti membuatnya lelah. "Kenapa Mrs Barnet ada dirumah ini, siang-siang?" Dia berjalan tanpa memandang puteri angkatnya yang sedang menatapnya. "Ayah.. Kenapa memanggilku mrs Barnet? Aku kan masih puteri Ayah" jawabku, yang mencoba riang. Ayah terlihat sedikit aneh. Ayah tak menjawab. Dia bahkan tak menatapku. "Pergilah, ini bukan tempatmu sekarang Nak" Perkataan Ayah membuat keningku mengerut. Ada apa dengan Ayahku? Tadi malam Dia tak bermasalah denganku. "Ayah kenapa?" Aku mendekatinya. "Wanita yang baru menikah satu hari seharusnya bersama Suaminya" "Aku diijinkan datang kesini, Ayah tak perlu cemas" "Tapi Ayah yang cemas, Kau tak tahu kan tabiat Suamimu." Oh, kurasa itulah alasan Ayahku marah. Mungkin apa yang Dia saksikan tadi malam, membuatnya ragu pada Rumah tangga baruku. Anthony Garret Barnet tak hanya membuatku marah, tapi juga Ayahk
Kami sudah tak bisa mundur. Anthony yang menawarkan sandiwara ini, dan Dia tak bisa kudorong kebelakang. Gemuruh didadaku berdebar hebat. Penolakan dan hasrat terpencil yang bergolak dalam diriku membuat pembuluh darahku mendidih.Anthony mendekat, tatapannya meneduhkanku sesaat kala Dia memberiku intens seperti kekasih. Pria yang terkadang galak dan barbar ini terlihat seperti seorang suami, saat ini. Aku tak punya pilihan lain, ya tak ada pilihan lain ketika bibir sensual itu juga menggiurkan untuk kujamah. Membuatku nanar, dan hampir memalingkan wajah, namun dengan segera Anthony melahapku dengan sempurna. Ciuman ini sempurna kala hasratku ikut berpacu menantang debaran memabukkan ini. Aku tidak perduli dengan logikaku yang menolaknya. Ciuman yang kuatas namakan ‘akting’ ini akan kubuat bekerja sama dengan harga diri dan emosiku.Kubuka sedikit mataku. Kudapati Martha menatap kami dengan mulut setengah terbuka, dan kurasa tujuan kami
"Honey....." Panggilan itu keluar dari mulut pria yang menggenggam lengan lain dari ibu. Pelan tapi pasti aku menatapnya. “Kau memegang kuat tangan Ibumu dan membuatnya merah” “Ahk?” bisa kurasakan suara hidungku berbunyi. “Jangan memegang Ibumu seperti kau memegangku” ucapnya, membuat pipiku memerah padam. Situasi yang sebetulnya syahdu, namun Dia membuatnya menjadi konyol kala semua orang senyam-senyum –seakan mengerti- apa yang Antony maksud. “Me, memegang apa?” gerutuku, tak mau melihat Anthony. “Kamu yang paling tahu jawabannya” Maksud Antony itu seronok. Dasar pria itu. Dan baru kusadari tangan Ibu memerah setelah Aku melepas peganganku. Bekas peganganku mencetak merah pada lengan pucat Ibu. "Astaga. Maaf Ibu, Aku tidak sengaja!" Tukasku, segera mengusap tangan ibu. Ini pertama kalinya Aku melihatIbu tersenyum luas, dalam beberapa bulan terakhir. “Tak apa, sungguh tak apa sayang” ucap Ibu memegang pipiku.
Aku tidak beruntung. Semua Anggota keluargaku berada di rumah. Anthony yang tiba-tiba datang berkunjung untuk pertama kalinya sejak kami menikah pasti membuat orangtua dan Kakakku kaget. Jari jemariku pun panas. Kegiatan menggenggam yang sedari tadi kulakukan pada lengan bajuku membuatnya jadi panas. Aku gugup, mewanti-wanti Suamiku agar tak berkata macam-macam. Kuharap apa yang Dia bilang tadi memang benar, Aku tak perlu mengintervensi apapun untuk kebaikan orangtuaku. "Kenapa hanya berdiam di depan pintu saja?" pertanyaan Ayah memecah keheningan yang menguasai kami selama beberapa detik. "I-iya, masuk..., masuklah." Ibuku Petra Sinclair segera mempersilahkan Menantunya itu untuk masuk kedalam. Kami akhirnya melangkah masuk, sementara Kakakku Martha hanya terdiam mengamati Anthony dari sudut kursi tempatnya berdiri. Kutahu sejak datang tadi, Dia mengamati interaksi Anthony dengan Ayah dan Ibu. Terakhir, Dia mengamatiku namun Aku seger
"Kamu?" Aku terkaget. "Kenapa kamu ada di sini?" Badanku beringsut menumpu pada sudut mobil tempatku masuk tadi. Aku tidak percaya pria itu dari tadi ada dimobil dan hanya bodyguard serta sopinya yang turun? "Kaget?" tanyanya yang bahkan tak menatapku. Iya, kaget. Mata, kepala, dan hatiku terkejut melihat Anthony Gareth Barnett bersama iPadnya berada di dalam mobil ini. Dia akhirnya menatapku pelan-pelan dengan senyum intensny yang benar-benar memuakkan. "Memangnya Aku tidak boleh menjemput istriku?" Itu yang dia katakan. Dan seketika otot-otot perutku memanas. Lucu sekali! 'menjemput istriku' katanya? Ekspresi dan caranya berbicara membuatku
Toktok!Suara ketukan terdengar dari pintu utama rumah Keira. "Oke tunggu..!" Keira selalu spontan mengatakan hal itu pada siapapun yang mengetuk pintunya. "Tunggu di sini" ujarnya, dan kujawab mengangguk. Dia lalu beranjak menuruni tangga sementara Aku menuruti instruksinya untuk tetap menunggu di kamarnya saja.Memandang seisi kamar Keira, membuat hati tenang. Nyawa mudaku seperti baru saja kembali, karena beberapa hari kemarin Aku harus berurusan dengan si kolot Anthony. Kamar Keira adalah tempat ternyaman kedua setelah kamar dirumahku, jadi meskipun hanya sehari, Aku tak masalah, setidaknya bebab dikepalaku akan kuhempaskan malam ini dengan bercengkerama bersama gadis itu.Anthony Gareth Barnett, Aku tidak mau berurusan dan melihatnya lagi. Beberapa hari menikah saja sudah membuatku seperti ini, apalagi dua tahun? Jangan-jangan nanti Aku hanya tinggal nama.Sudah sepuluh menit lamanya Keira di bawah, dan dia tak k
Pria ini lebih ngotot dari yang kukira. Padahal tidak ada yang pernah menuduhku macam-macam, dan kini Dia mengataiku genit? Enak saja! Kalau bukan karena punya hutang budi kepadanya, tanganku mungkin akan segera menamparnya, berikut merobek-robek baju olahraganya dengan kuku-kukuku yang mulai panjang ini. Ingin sekali Aku terbawa emosi sesaat ini, namun tidak. Akal sehatku memilih untuk tak menggubrisnya, dan berjalan masuk mendahuluinya ke dalam rumah. "Hei!" Panggilnya. Tidak ada gunanya melawan Anthony, sebaiknya Aku pergi sebelum dia meraih tanganku kembali, dan mungkin akan menyuruhku yang tidak-tidak. "Megan Ariana Barnet! Aku memanggilmu!"Bulu kudukku merinding, tubuhku mendadak kaku karena namaku dipanggil lengkap menggunakan nama belakangnya. Karena penasaran lantas aku berbalik. "Diam di tempatmu!" Sahutnya, kemarahan yang tadi Dia semburkan padaku sudah tak kulihat. Apa dia menyerah? Aku memilih untuk tak bergeming. Sementara pria itu berjalan pada
Silau. Mataku baru saja dipaksa mengerjap-ngerjap ketika kulihat sosok pria tubuh tinggi besar yang baru saja membuka layar. Caranya membuka layar sebelahnya lagi menyadari, itu bukan cara sembarang orang, kecuali…. Mataku membelalak. " lAnthony?!" Pekikku. Dia berhenti dengan posisi bertolak pinggang di depanku. "Bangun" ucapnya. Aku beringsut dan bangun secepat kilat meletakkan kakiku kelantai namun aku hampir terjatuh karena masih linglung. Hep! Tangannya dengan cepat meraihku, hingga tubuhku berada dalam dekapannya. Pandangan kami menjadi satu sesaat. Tampan. Sesaat Aku mengagumi Pemilik manik mata coklat terang itu. Dia sangat tampan, menyayat keangkuhanku yang selalu berkata kasar padanya. Kalau saja dia adalah pria baik, mungkin aku sedikit menaruh perasaan padanya. Tuk! "Awh!" tahu-tahu keningku diketuk oleh jemarinya. Sakit! Pria yang baru saja menyunggingkan s
Aku telah selesai makan dan menaruh peralatan makanku dimeja dapur ketika kudengar suara mobil Chevrolet Colorado berhenti di depan pintu utama. Cepat sekali? Apa mungkin dia mengantar Anthony setengah jalan? Ya, mungkin saja. Kurasa Anthony tidak akan kembali hingga malam nanti. "Baiklah akan kubuang saja makanan ini," dia membuatku mengerjakan ini semua padahal dia tidak memakannya. Tanganku lalu meraih plastik-plastik bening untuk membuang makanan-makanan ini. Dan, tanganku, terlebih dahulu memilih new England chowder. "Apa yang kau lakukan?!" Tersentak oleh pertanyaan itu, mataku memburu dari mana datangnya suara itu. "Anthony?" Dia tepat berada di depan meja makan sembari bertolak pinggang, dan ada iPad ditangan kirinya. "Kenapa makanan di buang buang?" tanya seperti bukan orang kaya saja. "A... Anu.. " Dia akhirnya sampai di depanku dengan matanya yang sewot. "Kenapa membuang makanan itu? Aku ka
“Awas saja kalau dia tiba-tiba mendekatiku lagi, akan ku potong anunya!”"Kau mau potong apaku..?""Astaga gila!" hatiku, dan otakku bergejolak mendengar suaranya muncul di belakangku. Aku mencoba berbalik dan mengubah ekspresiku menjadi biasa lagi (meskipun jantungku baru saja mengeras gara-gara pria ini selalu datang disaat yang tidak tepat). Benar-benar tidak tepat. "Kau mau potong apaku?" tanyanya lagi. "Si-Siapa yang merujuk padamu?" Aku berkilah. Hal itu pun membuatnya memicingkan mata."Kalau itu adalah milikku yang besar ini, kamulah yang akan dimutilasi oleh Grandma" ucapnya dengan senyum terkekehnya yang menyebalkan.Besar? Dasar pria gila, seronok!"Kenapa Grandma yang harus memutilasiku?"nada bicara terdengar sewot."Karena gara-gara kamu, Aku tak punya pewaris" Enteng sekali caranya menjawab.Aku tidak peduli dengan masa depanmu. Karena bukan Aku yang akan memb