Langkahku telah sampai di ruang kantor Grandma Hilda, yang terletak di lantai dua Kafe. Ruangnya terpisah oleh dinding, dimana masih ada kafe disebelah kantor milik sang Grandma. Mungkin bukan kantor tepatnya, sebuah ruang kerja. Grandma Hilda sebetulnya jarang datang Kekantor, karena ada tangan kanannya yang bernama Denise Milano, wanita Mexico-Amerika yang berusia sekitar lima puluh tahun yang selalu membantunya. Wanita itu berperangai setengah bayah, berambut coklat tua sanggul, dan masih melajang. Dia bergantian menjalankan kafe ini dengan sang Nenek.
Sebetulnya tempat ini bukan harta satu-satunya milik Grandma Barnet yang berusia 70 tahun itu. Mereka punya banyak tanah, peternakan, dan khususnya suamiku, Dia adalah Pria yang menjalankan bisnis Hotel dan memiliki cabang dimana-mana. Anthony pindah dari New york atas perintah Neneknya setahun yang lalu tanpa penolakan. Ya, banyak rumor mengatakan Dia sangat sayang neneknya itu, dan tentunya juga alasan yang diketahui orang-orang karenansang Nenek adalah penentu masa depannya sebagai pemegang kekuasaan atas semua kekayaan yang akan diwariskan padanya. Ya, hanya Dia satu-satunya pewaris yang Aku tahu di Keluarga Barnet.
Dan tanpa sadar akan kakiku sudah sampai di depan pintu kerja ruang grandma Hilda. Menarik napas sekali dan mengeluarkannya dengan intens, napasku malah terdengar gusar.
Tok, tok.
Dan lagi, tanpa perintah dari kepalaku tanganku spontan baru saja memberanikan diri mengetuk pintu. Seharusnya ketika sudah sampai di sini Aku sudah siap dengan apa yang akan kualami di dalam kan ? Tapi jari jemariku malah gemetar berikut nadiku yang bergejolak setelahnya. Apa karena takut ketahuan sudah tak perawan, maka Aku merasa seperti penjahat yang baru saja merampas sesuatu yang tak seharusnya kumiliki?
Aku mendesah dalam ketidakkaruan pikiran dan sistem tubuhku. Seharusnya aku berpikir ulang ketika marah-marah pada Anthony saat itu, apalagi alkohol yang tak pernah konsumsi itu membuatku hilang akal dan malah membuatku jatuh pada pelukannya dan akhirnya berbuat seenaknya terhadap diriku. Satu harapanku yang kuharap menjadi kenyataan. Mudah-mudahan Anthony tak cerita apa-apa tentang apa yang terjadi pada kami. Semoga sikap cueknya itu terbawa-bawa sampai ke sini atau bila tidak, Aku tidak bisa mendapatkan uang itu, padahal itulah tujuanku berkorban sampai disini. Mendapatkan uang yang bisa membantu keluargaku tetap hidup dan membayar sisa hutang.
“Masuklah, Megan…” tiba-tiba saja suara wanita itu yang adalah Granma Hilda terdengar dari dalam ruang itu.
Da-dari mana dia tahu aku mengetuk pintu? jangan-jangan ada cctv diluar? Mataku segera mencari segala arah dari mana dia bisa melihatku. Aku bahkan tak terdengar sama sekali ketika menaiki tangga berderit ini. "Di luar tidak ada CCTV, Aku memang tahu kamu yang akan datang kemari" sahutnya yang jelas-jelas masih mencurigakan untuk Megan. "Jangan diam di depan sana dan menebak-nebak ayo masuklah" sahutnya kemudian, dan Baiklah, Aku memang datang untuk diundang masuk. Tanganku kemudian membuka pintunya.
Klek!.. krieeet.
Pintu pun terbuka.
Wanita yang dibilang ‘Nyonya tua Barnet’ oleh Kei itu duduk pada sebuah kursi kayu teras, yang yang terletak dekat tirai tipis putih dalam ruangan itu. Dia sedang minum segelas cangkir teh sendirian, didampingi segelas teh yang tengah menguap yang kupercaya ada telah disiapkan untukku. “kemarilah… “ ujarnya lagi.
Tanpa menjawab aku segera melangkah masuk. “Duduklah disebelahku” suruhnya lagi, dan gelas di sebelahnya itu memang benar diperuntukkan untukku. Dan sesuai permintaannya aku telah duduk di sampingnya.
“Aku sudah memesan the Chamomile pada Denise, minumlah…” Tukasnya. Aku mengangguk, dan sebelum duduk mataku memandang seluruh penjuru ruangan, tak ada Nyonya Denise. "Anda sendirian?' tanyaku.
"Ya... Denis sengaja kau suruh ke bawah..."
Keningku spontan berkernyit, dan disadari Grandma Hildanyang segera tersenyum tipis. "Dia tak perlu mendengarkan perjanjian rahasia ini" sungguh tumben mendengar kata-kata itu keluar dari mulut Grandma Hilda, pasalnya sejak kemarin ketika grandma memintaku menikah dengan Anthony, wanita itu tak pernah pergi dari sisi Grandma. Dia selalu ada disekitar kami bahkan aku seperti merasa diawasi oleh Nyonya Denise, menurutku dia kurang percaya padaku.
Dan, dalam keheningan emas ini, tangan kananku memilih memegang cangkir teh Chamomile untuk minum lebih dulu. Keadaan bisa terlalu berbahaya bila aku memulai percakapan yang salah. Mataku lalu memperhatikan cara Grandma memperlakukan gelasnya. Lucunya aku menyukai keningratannya itu dan melakukan hal yang sama. Orang kaya memang berbeda sekali. Tidak seperti perlakuan keluarga adopsiku dirumah yang serba ‘apa adanya’. Disini, sebagai cucu menantu aku harus hati-hati bergerak, dan tidak sembrono.
"Tehnya segar bukan?" Grandma Hilda mulai bersuara.
"Ya Grandma" kembali ke minum segelas cangkir teh chamomile itu, karena kurasa teh ini menenangkan kegugupanku. Sekilas, dari celah cangkirku kudapati tatapan grandma Hilda sedang tertuju padaku seperti mengamatiku akan sesuatu.
Sruuuup...
“Apa ada sesuatu yang terjadi pagi ini?”
Sruuuusssshhhhh!!!!!
Pertanyaannya itu membuat Air teh chamomile yang hampir sampai pertemuan kerongkongan dan tenggorokanku tiba-tiba tersembur dari mulutku.
Uhuk! Ukhhh! Mmmmmmh, kutahan, batuk ini harus kutahan.
“Hei… hei…” Grandma Hilda bangkit dan menepuk-nepuk punggungku. “Uhuk, huk, huk, uhuuueeekk!” Jelas tak bisa kutahan.
“Kau baik baik saja?”
Bagaimana baik-baik saja, bila batuk begini? namun hal itu tak mungkin kukatakan. “Hoek, uhoekk!” Mulai reda, gatal tenggorokan ini mulai reda. Harusnya Dia tak bertanya 'sesuatu itu' saat Aku minum teh. “Aku, hoekk.. Aku baik-baik saja” jawabku seraya memegang tenggorokanku. Rasanya gatal dan panas. "oke oke baiklah selesaikan dulu batukmu. Aku akan mengambilkan segelas air putih"dia lalu beranjak dari samping kanan Meghan tadi dan berjalan pada sebuah meja yang menyediakan centong air putih.
Nenek tua itu kembali dengan membawa segelas cangkir yang berisikan air putih. "Nah, minumlah" ujarnya dan aku mengambil air gelas putih itu dan meminumnya.
***
Keadaan sudah tenang setelah 10 menit kemudian, karena grand Max baru saja menyediakan air putih untukku dan yang bisa menetralkan batuk ini. Sambil meredakan sisa gatal tenggorokan ini aku mencari cara untuk menjawab pertanyaan sang nenek, dan bagaimana cara menjawabnya agar grandma Hilda tidak tahu apapun Yang terjadi.
“Okey.. bila begitu, Dia kembali duduk ditempatnya, dan kembali menatapku. Posisiku pun sudah bisa stabil dan duduk dengan formal kembali. Sejenak, tatapannya membuatku merasa seperti sedang diselidiki. Dan pastinya, Aku tak punya pilihan lain selain menutupinya.
“Aku tidak akan membahas hal tak perlu. Anthony sudah memberi tahu semuanya…”
Wajahku kaku, Aku tak ingin bertanya namun bibirku ingin memastikannya, “Semua? Tentang apa?”
Uang....., uangku, bagaimana ini? pekikku dalah hati.
“Ini….. tentang masalah yang akan kita bahas”
“Ya…. , Uhmmmh, Itu… maksudku… apa yang Dia jelaskan?”
Aneh sebetulnya tak melihat Grandma marah. “Kontrak yang akan kita buat” jawabnya.
“O,….Ouhhh, begitu. Hanya….. kontrak?” tanyaku, mudah-mudahan Anthony tak mengatakan yang lainnya. “Memangnya ada lagi?” tanya Grandma. “Tidak.. maksudku tak ada” Ya, jawab saja seyakin-yakinnya. Dengan begitu Grandma tak akan bertanya. “Dan, kudengar pagi ini kalian bangun diranjang yang sama bukan?”
HAH???!
Mataku membulat. Palu seperti bar saja dipukulkan kekepalaku di hampir semua areanya. Sementara Grandma, Dia hanya memasang wajah masabodoh seakan apa yang Dia tanyakan bukanlah apa-apa. “Sudah kuduga, cucu brengsekku itu pasti melakukan sesuatu padamu” umpatnya. Aku tersadar, Grandma malah terlihat marah, dan ekspresinya itu pasti Dia tujukan pada cucunya. “Cucuku itu… benar-benar…..” Dia memijat keningnya, dan bersender pada punggung kursi dengan lengan yang bertumpu pada peyangga kursi. “Apa Kalian pakai pengaman?”tanyanya lagi. Kujawab atau tidak? Bulu kudukku panas dingin. Aku sendiri juga tak hamil.
“Dari ekspresimu itu, Kau tak bisa berbohong lagi padaku.. Dia menidurimu kan?”
Benar, Aku tak bisa melarikan diri lagi. “Ya… Kami satu…. Ran, jang. Tapi Aku-“
“Sudahlah. Aku tahu apa yang terjadi. Kau tak usah menjelaskannya, Aku sudah cukup tua untuk mendengar emosi labil kalian saat melakukannya” Jawabnya, tak mau melihatku. “Begitu melihat Wanita cantik dan seksi… dasar Anthony…” Grandma mendengus. Aku seksi, dan cantik?
“Kami.. terjebak alkohol” jawabku, berpura-pura tak berdaya. Padahal kenyatannya, Aku masih mengingat bagaimana Aku yang memaksanya duluan, dan melihat Anthony bergairah menindihku.
“Kau harus memastikan bahwa Kamu tidak hamil, mengerti” tukasnya. Aku hanya bisa menjawabnya dengan mengangguk lambat. Aku juga salah. Tidak, sangat salah. Membiarkan alkohol menguasaiku, padahal Aku hanya jengkel biasa tadi malam. “Kau tahu kenapa Kau kuminta menikah dengan Anthony?” tanya Grandma kemudian. Aku menggeleng, tak tahu. “Ada seorang Wanita yang berusaha menjebak Anthony beberapa tahun yang lalu, Dia mengklaim hamil dari Anthony, namun Aku mengambil sikap tanggap. Dengan segera Aku meminta Wanita yang bernama Charlotte Grey itu melakukan test DNA. Kuminta dokter untuk mengawasinya dengan ketat. Dan, hasil test DNA keluar, Anak itu bukan anak Anthony. Tapi Wanita itu tak terima, Dia terus meneror Anthony. Dia ingin dinikahi Anthony….”
What…..?
Jadi itulah yang terjadi?
“Dan kamu menikah…. Untuk menghalau Wanita itu sampai pada Anthony… itu akan menjadi tugasmu… selama dua tahun kedepan……”
***
Aku menjadi apa….?“Penghalang?” tanyaku, setelah sebelumnya menelan ludah, saking lamanya mencerna kata-kata itu. “Kenapa Aku harus jadi penghalang?"Grand mahilda tidak bergeming dia pasti ingin aku mencari tahu Maksudnya. "Sebelumnya dia tidak mengatakan apa-apa tentang itu.""Ini tidak sulit Megan sayang, kamu cukup menghalau wanita itu saja dan berpura-pura saling mencinta dengan Anthony"“Ya… persisnya begitu…” ujar Grandma Hilda, tanpa memerdulikan reaksiku. Mataku mengerjap tak mengerti, banyak hal yang harus akan kutanya setelah ini. “Aku tahu banyak yang ingin kau tanyakan. Pertama-tama, Kau akan kuberitahu dari awal kejadian tiga tahun yang lalu. Dengarkanlah… karena Kamu akan mengerti” ucap Grandma Hilda.Aku menahan napasku yang sedikit tersengal berkat informasi tak terduga itu. Tapi, Aku sudah sampai disini, dan tak bisa kembali. Jadi pilihanku adalah mendeng
Setelah betemu Grandma Hilda tadi, Aku meminta Jackson mengantarku ke Supermarket terdekat untuk membawa bahan-bahan makan. Ya, Aku akan memasak sedikit dirumah, karena mungkin Aku akan jarang pulang. Dalam perjalanan menuju rumahku ini, Aku menyempatkan mengamati sopir Anthony yang bernama Jackson Lord itu. Pria yang memiliki badan besar dengan kulit hitam gelapnya yang terlihat dari seperti seorang bodyguard, Dia terlihat sangar.Seperti yang telah disetujui oleh Anthony, setelah bertemu Grandma Hilda, Jackson akan mengantarku ke rumah orang tuaku. Sebelum pergi tadi Aku bertanya pada Jackson berapa lama waktu yang di berikan padaku oleh CEO itu. Waktuku hanya sampai jam 7 malam. Aku ingin bertanya apa yang terjadi bila aku tidak pulang jam 7 namun Jackson tak memberikan jawaban pasti, hanya menggumam tidak jelas. Dan ketika pria berambut hitam pekat itu masih serius menatap kedepan, disinilah saatnya, Aku harus mengambil kesempatan lagi untuk bertanya bertanya atau sekedar
Lima belas menit. Kalau tidak salah waktu selama lima belas menit ini telah kupakai berputar sebanyak tiga puluh kali. Kakiku lelah, tapi Aku malas duduk. Mungkin dan kurasa, mereka melakukannya dalam keadaan mabuk. mungkin saja. Rasa penasaranku, membuatku menerka-nerka siapa pria yang dibawa Martha. Aku kenal suara itu. Tapi suara itu samar, seperti Pria yang baru saja minum dengan suara mulut yang penuh. “Apa sih yang mereka pikirkan?! Diruang tamu?” umpatku. Kuharap Ayah tak ada didalam, ya Martha juga melakukannya pasti karena Ayah tak ada. Dan seketika mataku berkelebat dan dengan kasar kuedarkan keluar halaman siapa tahu Ayah tiba-tiba datang, namun yang kudapati malah mata Jackson tengan mengamatiku dari dalam mobil. Aku terkaget, Aku juga lupa bahwa aku tadi datang bersama Supir suamiku. Astaga ini adalah kesalahan lainnya yang mungkin saja akan memperburuk hubunganku dengan Anthony. Kehadiran Jacksin yang mungkin saja tengah
"Ayah…."Aku mencoba menyapa Ayah yang datang, dengan eskpresi setengah mengantuk. Menjaga Mom pasti membuatnya lelah. "Kenapa Mrs Barnet ada dirumah ini, siang-siang?" Dia berjalan tanpa memandang puteri angkatnya yang sedang menatapnya. "Ayah.. Kenapa memanggilku mrs Barnet? Aku kan masih puteri Ayah" jawabku, yang mencoba riang. Ayah terlihat sedikit aneh. Ayah tak menjawab. Dia bahkan tak menatapku. "Pergilah, ini bukan tempatmu sekarang Nak" Perkataan Ayah membuat keningku mengerut. Ada apa dengan Ayahku? Tadi malam Dia tak bermasalah denganku. "Ayah kenapa?" Aku mendekatinya. "Wanita yang baru menikah satu hari seharusnya bersama Suaminya" "Aku diijinkan datang kesini, Ayah tak perlu cemas" "Tapi Ayah yang cemas, Kau tak tahu kan tabiat Suamimu." Oh, kurasa itulah alasan Ayahku marah. Mungkin apa yang Dia saksikan tadi malam, membuatnya ragu pada Rumah tangga baruku. Anthony Garret Barnet tak hanya membuatku marah, tapi juga Ayahk
Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan badan di atas tempat tidur. Aku ingin berhela-hela dulu untuk sementara waktu, pikiran dan hati ini sungguh lelah adanya. karena waktuku disini masih panjang. Panjang, untuk berjuang. Semangat juang harus kupupuk sejak saat ini, karena sang pemilik rumah bukanlah orang yang ramah. Kupandang langit-langit megah di rumah ini. Tempat ini cukup luas, hingga membuatku minder. Bila saja. Aku tak menikah dengan Anthony, kira-kira apa yang akan kulakukan saat ini? Apa Aku akan mencari pekerjaan tambahan lainnya? Bodoh, untuk apa lagi aku berpikir seperti itu. Tugasku saat ini hanyalah menjalankan perintah Anthony yang galak itu, meskipun aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku setelah ini. Dan hembusan nafas berat kembali mengalir dari hidungku. Membandingkan kenyamanan di sini dan di rumahku tadi, membuatku kembali menitikkan airmata. Tidak.., tidak, tidak. Aku harus tegar. Semua telah kutandatangan
“Awas saja kalau dia tiba-tiba mendekatiku lagi, akan ku potong anunya!”"Kau mau potong apaku..?""Astaga gila!" hatiku, dan otakku bergejolak mendengar suaranya muncul di belakangku. Aku mencoba berbalik dan mengubah ekspresiku menjadi biasa lagi (meskipun jantungku baru saja mengeras gara-gara pria ini selalu datang disaat yang tidak tepat). Benar-benar tidak tepat. "Kau mau potong apaku?" tanyanya lagi. "Si-Siapa yang merujuk padamu?" Aku berkilah. Hal itu pun membuatnya memicingkan mata."Kalau itu adalah milikku yang besar ini, kamulah yang akan dimutilasi oleh Grandma" ucapnya dengan senyum terkekehnya yang menyebalkan.Besar? Dasar pria gila, seronok!"Kenapa Grandma yang harus memutilasiku?"nada bicara terdengar sewot."Karena gara-gara kamu, Aku tak punya pewaris" Enteng sekali caranya menjawab.Aku tidak peduli dengan masa depanmu. Karena bukan Aku yang akan memb
Aku telah selesai makan dan menaruh peralatan makanku dimeja dapur ketika kudengar suara mobil Chevrolet Colorado berhenti di depan pintu utama. Cepat sekali? Apa mungkin dia mengantar Anthony setengah jalan? Ya, mungkin saja. Kurasa Anthony tidak akan kembali hingga malam nanti. "Baiklah akan kubuang saja makanan ini," dia membuatku mengerjakan ini semua padahal dia tidak memakannya. Tanganku lalu meraih plastik-plastik bening untuk membuang makanan-makanan ini. Dan, tanganku, terlebih dahulu memilih new England chowder. "Apa yang kau lakukan?!" Tersentak oleh pertanyaan itu, mataku memburu dari mana datangnya suara itu. "Anthony?" Dia tepat berada di depan meja makan sembari bertolak pinggang, dan ada iPad ditangan kirinya. "Kenapa makanan di buang buang?" tanya seperti bukan orang kaya saja. "A... Anu.. " Dia akhirnya sampai di depanku dengan matanya yang sewot. "Kenapa membuang makanan itu? Aku ka
Silau. Mataku baru saja dipaksa mengerjap-ngerjap ketika kulihat sosok pria tubuh tinggi besar yang baru saja membuka layar. Caranya membuka layar sebelahnya lagi menyadari, itu bukan cara sembarang orang, kecuali…. Mataku membelalak. " lAnthony?!" Pekikku. Dia berhenti dengan posisi bertolak pinggang di depanku. "Bangun" ucapnya. Aku beringsut dan bangun secepat kilat meletakkan kakiku kelantai namun aku hampir terjatuh karena masih linglung. Hep! Tangannya dengan cepat meraihku, hingga tubuhku berada dalam dekapannya. Pandangan kami menjadi satu sesaat. Tampan. Sesaat Aku mengagumi Pemilik manik mata coklat terang itu. Dia sangat tampan, menyayat keangkuhanku yang selalu berkata kasar padanya. Kalau saja dia adalah pria baik, mungkin aku sedikit menaruh perasaan padanya. Tuk! "Awh!" tahu-tahu keningku diketuk oleh jemarinya. Sakit! Pria yang baru saja menyunggingkan s