Brightstone Evergreen. Aku telah berada disini, setelah satu jam tadi menunggu Anthony pergi. Seperti yang diinginkannya, Aku, datang dengan supir dan mobil yang telah disiapkannya, dan sesuai perintahnya hanya Nyonya Barnet dan orangtuaku yang bisa kukunjungi hari ini. itu juga yang diulang supir bernama Jackson yang dinginnya hampir seperti bosnya.
kulihat kembali Kafe yang cukup besar itu. Aku tersenyum tipis membayangkan masalaluku yang adalah beberapa hari lalu, masih menggunakan seragam The maid. Kini, Aku tak diperbolehkan lagi memakai baju itu, karen Grandma Hilda tak mengizinkanku. Menurutnya, Istri pria TERHORMAT Anthony Barnet tak bisa lagi menjadi pelayan di Kafe besar ini. Itu diucapkan sehari sebelum pernikahanku, namun Aku harus tetap kekantornya, menyapanya sebagai nenek Mertua.
Pastinya Dia ingin membahas tentang tingkah lakuku di kemudian hari, dan lebih resminya dengan perjanjian hitam putih. Ya, kurasa itulah yang terjadi. Kulihat dari depan Colorado Road, seberang jalan Kafe di depan jalan itu adalah yang terbaik. Baru satu minggu Aku hengkang dari tempat itu, namun rasanya tempat magangku itu seolah memintaku untuk kembali bekerja."Yah... Aku di sini seb" sahutku sambil menyilap rambutku yang tertiup angin. Semoga tidakn ada yang menyadari diriku sebagai Pengantin baru Barnet, karena Aku tak mau menjawab pertanyaan mereka mengenai malam naas kami. Ya, begitulah aku memaknai tadi malam.Mataku segera kekanan dan kiri, memastikan tak ada motor dan mobil nekat yang menghalau jalanku. Oke, Aku menyeberang. YA! lagi, sakit. selangkaganku hampir saja berteriak. Memangnya efek tadi malam akan lama kurasakan ya? Memang saat buang air kecil tadi terasa sangat nyeri, Aku bahkan tak berani melihat apapun. cukup. Aku tak sekalipun mempersiapkan bagian penting untukku itu, karena itu…Ya, ampun. Kenapa sih? Kenapa Aku harus persiapan? Aku tidak berniat untuk menyerahkan diri pada penyamun itu. Bodoh, bodoh, bodoh. Aku tak harus membayangkannya. Kakiku segera kulangkahkan lagi, pura-pura tak terjadi apapun. Nenek Hilda menungguku untuk menandatangi sesuatu, perjanjian kontrak.Dan untuk kejadian tadi malam, sungguh, Aku juga tak akan membahasnya. Kuharap dia juga tak tahu.Langkahku sampai pada pintu masuk Brightsone yang terbuat dari kayu dan kaca setengah pintu. Mataku segera menengadah, membocorkan lonceng khas pintu yang selalu berbunyi bila terbuka. Emas, dan terlihat menyala seperti seharusnya. Lonceng itu segera berbunyi begitu tiba dan membuka pintu.Kriling-kriling….! Ya, Aku masuk. Kakiku masuk dengan hentakan sepatu menikah putih pengantinku. Aku tidak punya sepatu lagi, jadi disinilah Aku dengan sepatu pengantin yang membawaku masuk. Lumayan banyak pengunjung, dan tak kusangka tempat ini jadi ramai, padahal ini adalah pagi hari dimana seharusnya semua orang tengah bekerja. Aku melangkah, mencari Keira. Pagi ini adalah jadwal jaganya di kafe ini. Dia pasti ada.Mataku masih berusaha mencari keberadaannya, Mencari sosok wanita berkulit putih gelap terbakar matahari dengan rambut coklat pirang yang mirip daun telinganya. Kucari, namun tak ketemu. Beberapa mata juga memandangku, dan kembali mataku ikut memandang tubuhku akan apa yang kupakai. Hari ini Aku datang menggunakan celana Palazzo hitam dan kemeja putih putih polos. Anthony cukup sigap memesan baju untukku, akhirnya Aku bisa berbusana seperti layaknya wanita yang memakai baju. Dan kembali pada alasan para orang-orang menatapku. Kurasa, tak ada yang aneh. Rambutku terurai, kering dengan sendirinya tanpa perlu memakai pengering rambut. Ya, Sebetulnya tak ada yang aneh. Tapi kenapa mata-mata itu masih melihatku. Aku kemudian ikut jalanku. Sambil kembali melihat sekeliling."Megan?" Aku kenal suara itu, Keira Norwood, sahabatku. Tubuhku segera berbalik, "Kei!" Sahutku. " Ohw.. yaa.. itu kamu… selamat pagi Mrs Barnet! Apa yang dilakukan pengantin baru disini?" Keira tak tahu aku akan datang kesini. "Sssst!" Terlambat. Semua orang memandangku. Aku merangkulnya untuk membawanya ke toilet. "Hei, kamu kenapa sih?!" tanyanya tidak mengerti. "Jangan ribut! Ayo ke toilet dulu!" Sahutku sambil membawanya dengan paksa. Cklek! Pintu itu tertutup, dan Aku berinisiatif menguncinya. "Apa yang kamu lakukan? Mengapa tidak terkunci?" Tanyanya, Dia pasti heran dengan perlakuanku. "Sssssst! Kau ini berisik sekali sih!" Sahutku. "Dengar dulu, dengar!" seruku."Oke, Aku diam, apa yang akan kau katakan?" Tanyanya seraya melipat kedua di atas perut kecilnya. Aku menghela napas dalam. Cukup dalam. Keira tahu alasanku menikah dengan Barnet. Begitu pula Charly (Meskipun Dia sedikit kurang setuju dengan keputusan terburu-buru ini). Namun untuk saat ini, ada yang harus kuakui pada Keira saja. "Kei.. dengar, Aku... tadi malam aku tidur dengan Anthony.."
"APA?!" Pekiknya, sembari menyungkupkan kedua tangan pada hidungnya. "Terus bagaimana? Apa yang kau lihat?"Ya ampun anak ini!
"Hehehe... Jelas Kau pasti terpesona, mana sini kulihat cara berjalanmu!" Tukasnya memegang pinggangku.
"Tunggu! Dengarkan aku dulu?!" Dia yang terlihat senang, namun Aku yang jengkel.
"Mrs Barnet….., mm, kata-kata itu pas kamu"
"Kecilkan suaramu, keadaan tak seperti itu!" Aku malu, ternyata pengakuanku menjadi senjata untuk mempermalukanku. "Ayooo Aku mau melihat caramu berjalan..." Dia menggodaku lagi. "Sudahlah Keira.. please...!" Tampikku, kurasa telah memerah tanpa bisa kucegah. "Lihatlah wajahmu memerah,..bagaimana? Apa dia sangat bersemangat? Apa kasur kalian sampai rubuh? Kau tidak sakit saat pipis?"
Kenapa wanita ini jadi antusias? Gigiku bergemeretak malu. Aku ingin mengoceh, namun kutahan. Alhasil, malah keningku yang panas. "Kau tahu kan, aku menikah untuk apa? Memangnya aku suka sama suka tidur dengannya?" jelasku, tak tahan untuk memberitahu semuanya.
"Kau ini wanita barat, Aku saja sudah melakukannya diusia delapan belas, Kau ini terlalu kuno Megan! Kau wanita cantik yang kuno.." umpatnya, sampil menyentuh pundak kiriku. "Aku tidak percaya melewatinya sambil mabuk, Pria itu memaksaku jadi-" mulut ini berbicara sebelum hatiku siap."Wauuuwh…. Dipaksa. Entah mengapa saya menyesal tidak memasang Video di rumah Barnet, khususnya..."Aku hanya bisa memasangkan wajah sewot, sembari bertolak belakang. Percuma membahas ini dengan Keira Norwood, kepalanya sudah berisi hal yang begituan. "Okey okey. Kau mempertahan kegadisanmu, tapi siapa yang akan percaya wanita yang menikah dua tahun, tak bersentuhan dengan suaminya? Mereka akan mengira Barnet penyuka sesama jenis"
"Hidupnya tak ada hubungannya denganku""Ohya… Kau tidak akan tahan hidup dengan Pria sepertinya, lihat saja. Aku menunggu Kau mengaku jatuh hati padamu" umpatnya lagi. Lagi-lagi Keira menggodaku. "Apa itu penting? Kami akan bercerai, satu tahun lagi.." meskipun Anthony memberitahuku bahwa keputusan cerai akan datang darinya. "Jelas ada, Kalian akan hidup bersama. Satu tahun itu lumayan panjang sobat" Ya, benar."Hei... Apa Nyonya tua Barnet sudah memberimu harta warisan?" tanya Alana dengan kening mengangkat.
"Warisan? Apa maksudmu?"
"Kau menikah dengan Pria kaya, meskipun palsu, Kau kan sudah terikat kontrak dengan Nyonya tua yang kendalikan atas Suamimu" tukasnya.
"Tidak…." Yang kutahu, Nenek Hilda akan memberiku sejumlah uang. Dan uang itu akan kugunakan membayar pengobatan Ibu, membantu Martha untuk utangnya, serta untuk memajukan bisnis Ayahku kembali. Itulah misi Megan Sinclair.
"Jadi Nyonya memanggilmu kesini untuk membahas kontrak?" "Ya, kurasa begitu" jawabku acuh tak acuh."Pelajari dengan jelas kontraknya, isi kontrak dengan orang kaya tak boleh disepelekan, Anda mengerti?" Ya, Inilah Keira yang mendukungku. Akhirnya Kepalanya sehat, syukurlah."Charly masih setuju tak setuju dengan keputusanmu, tapi sudahlah, ini bukan masalahnya, kami tahu masalahmu berat sobat…" Benar. Pria itu sebetulnya tak setuju. Tapi Dia tak menjelaskannya terang-terangan. Dia adalah teman yang baik. Pria tinggi yang hampir tak memiliki otot bisep dan trisep, si Vegetarian yang gemar membaca buku perjuangan Abraham Lincoln untuk kemerdekaan Amerika dan kisah Pearl Harbour. "Sudahlah, nanti juga James akan mengerti. Dia kan Pria, jadi biarlah…." Ulang Keira lagi. "Ya, nanti Aku akan berbicara dengannya" ucapku. Kurasa sahabatku yang satu lagi itu harus kuajak bicara. "Jam berapa kau janjian dengan nyonya Barnet?"Kulihat jam tangan di lengan Keira. "Sekarang jam berapa?" bertanya. "Jam sebelas pagi waktu Beauford. "Astaga, aku janjian jam sebelas siang. Oke, aku akan menemui Nenek Barnet dulu" ucapku yang segera bergerak membuka kunci."Ya.. Kalau kau ingin makan siang, Kau bilang saja ya aku.""Okey.. Aku akan turun selepas bertemu Grandma" jawabku yang segera berlalu. Kini saatnya membuat janji yang sejelas-jelasnya dengan TETUA BARNET yang menguasai hajat hidup Anthony Barnet.***Keira itu sebelas dua belas sama Barnet kayaknya, XD.
-bersambung-
Langkahku telah sampai di ruang kantor Grandma Hilda, yang terletak di lantai dua Kafe. Ruangnya terpisah oleh dinding, dimana masih ada kafe disebelah kantor milik sang Grandma. Mungkin bukan kantor tepatnya, sebuah ruang kerja. Grandma Hilda sebetulnya jarang datang Kekantor, karena ada tangan kanannya yang bernama Denise Milano, wanita Mexico-Amerika yang berusia sekitar lima puluh tahun yang selalu membantunya. Wanita itu berperangai setengah bayah, berambut coklat tua sanggul, dan masih melajang. Dia bergantian menjalankan kafe ini dengan sang Nenek.Sebetulnya tempat ini bukan harta satu-satunya milik Grandma Barnet yang berusia 70 tahun itu. Mereka punya banyak tanah, peternakan, dan khususnya suamiku, Dia adalah Pria yang menjalankan bisnis Hotel dan memiliki cabang dimana-mana. Anthony pindah dari New york atas perintah Neneknya setahun yang lalu tanpa penolakan. Ya, banyak rumor mengatakan Dia sangat sayang neneknya itu, dan tentunya juga a
Aku menjadi apa….?“Penghalang?” tanyaku, setelah sebelumnya menelan ludah, saking lamanya mencerna kata-kata itu. “Kenapa Aku harus jadi penghalang?"Grand mahilda tidak bergeming dia pasti ingin aku mencari tahu Maksudnya. "Sebelumnya dia tidak mengatakan apa-apa tentang itu.""Ini tidak sulit Megan sayang, kamu cukup menghalau wanita itu saja dan berpura-pura saling mencinta dengan Anthony"“Ya… persisnya begitu…” ujar Grandma Hilda, tanpa memerdulikan reaksiku. Mataku mengerjap tak mengerti, banyak hal yang harus akan kutanya setelah ini. “Aku tahu banyak yang ingin kau tanyakan. Pertama-tama, Kau akan kuberitahu dari awal kejadian tiga tahun yang lalu. Dengarkanlah… karena Kamu akan mengerti” ucap Grandma Hilda.Aku menahan napasku yang sedikit tersengal berkat informasi tak terduga itu. Tapi, Aku sudah sampai disini, dan tak bisa kembali. Jadi pilihanku adalah mendeng
Setelah betemu Grandma Hilda tadi, Aku meminta Jackson mengantarku ke Supermarket terdekat untuk membawa bahan-bahan makan. Ya, Aku akan memasak sedikit dirumah, karena mungkin Aku akan jarang pulang. Dalam perjalanan menuju rumahku ini, Aku menyempatkan mengamati sopir Anthony yang bernama Jackson Lord itu. Pria yang memiliki badan besar dengan kulit hitam gelapnya yang terlihat dari seperti seorang bodyguard, Dia terlihat sangar.Seperti yang telah disetujui oleh Anthony, setelah bertemu Grandma Hilda, Jackson akan mengantarku ke rumah orang tuaku. Sebelum pergi tadi Aku bertanya pada Jackson berapa lama waktu yang di berikan padaku oleh CEO itu. Waktuku hanya sampai jam 7 malam. Aku ingin bertanya apa yang terjadi bila aku tidak pulang jam 7 namun Jackson tak memberikan jawaban pasti, hanya menggumam tidak jelas. Dan ketika pria berambut hitam pekat itu masih serius menatap kedepan, disinilah saatnya, Aku harus mengambil kesempatan lagi untuk bertanya bertanya atau sekedar
Lima belas menit. Kalau tidak salah waktu selama lima belas menit ini telah kupakai berputar sebanyak tiga puluh kali. Kakiku lelah, tapi Aku malas duduk. Mungkin dan kurasa, mereka melakukannya dalam keadaan mabuk. mungkin saja. Rasa penasaranku, membuatku menerka-nerka siapa pria yang dibawa Martha. Aku kenal suara itu. Tapi suara itu samar, seperti Pria yang baru saja minum dengan suara mulut yang penuh. “Apa sih yang mereka pikirkan?! Diruang tamu?” umpatku. Kuharap Ayah tak ada didalam, ya Martha juga melakukannya pasti karena Ayah tak ada. Dan seketika mataku berkelebat dan dengan kasar kuedarkan keluar halaman siapa tahu Ayah tiba-tiba datang, namun yang kudapati malah mata Jackson tengan mengamatiku dari dalam mobil. Aku terkaget, Aku juga lupa bahwa aku tadi datang bersama Supir suamiku. Astaga ini adalah kesalahan lainnya yang mungkin saja akan memperburuk hubunganku dengan Anthony. Kehadiran Jacksin yang mungkin saja tengah
"Ayah…."Aku mencoba menyapa Ayah yang datang, dengan eskpresi setengah mengantuk. Menjaga Mom pasti membuatnya lelah. "Kenapa Mrs Barnet ada dirumah ini, siang-siang?" Dia berjalan tanpa memandang puteri angkatnya yang sedang menatapnya. "Ayah.. Kenapa memanggilku mrs Barnet? Aku kan masih puteri Ayah" jawabku, yang mencoba riang. Ayah terlihat sedikit aneh. Ayah tak menjawab. Dia bahkan tak menatapku. "Pergilah, ini bukan tempatmu sekarang Nak" Perkataan Ayah membuat keningku mengerut. Ada apa dengan Ayahku? Tadi malam Dia tak bermasalah denganku. "Ayah kenapa?" Aku mendekatinya. "Wanita yang baru menikah satu hari seharusnya bersama Suaminya" "Aku diijinkan datang kesini, Ayah tak perlu cemas" "Tapi Ayah yang cemas, Kau tak tahu kan tabiat Suamimu." Oh, kurasa itulah alasan Ayahku marah. Mungkin apa yang Dia saksikan tadi malam, membuatnya ragu pada Rumah tangga baruku. Anthony Garret Barnet tak hanya membuatku marah, tapi juga Ayahk
Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan badan di atas tempat tidur. Aku ingin berhela-hela dulu untuk sementara waktu, pikiran dan hati ini sungguh lelah adanya. karena waktuku disini masih panjang. Panjang, untuk berjuang. Semangat juang harus kupupuk sejak saat ini, karena sang pemilik rumah bukanlah orang yang ramah. Kupandang langit-langit megah di rumah ini. Tempat ini cukup luas, hingga membuatku minder. Bila saja. Aku tak menikah dengan Anthony, kira-kira apa yang akan kulakukan saat ini? Apa Aku akan mencari pekerjaan tambahan lainnya? Bodoh, untuk apa lagi aku berpikir seperti itu. Tugasku saat ini hanyalah menjalankan perintah Anthony yang galak itu, meskipun aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku setelah ini. Dan hembusan nafas berat kembali mengalir dari hidungku. Membandingkan kenyamanan di sini dan di rumahku tadi, membuatku kembali menitikkan airmata. Tidak.., tidak, tidak. Aku harus tegar. Semua telah kutandatangan
“Awas saja kalau dia tiba-tiba mendekatiku lagi, akan ku potong anunya!”"Kau mau potong apaku..?""Astaga gila!" hatiku, dan otakku bergejolak mendengar suaranya muncul di belakangku. Aku mencoba berbalik dan mengubah ekspresiku menjadi biasa lagi (meskipun jantungku baru saja mengeras gara-gara pria ini selalu datang disaat yang tidak tepat). Benar-benar tidak tepat. "Kau mau potong apaku?" tanyanya lagi. "Si-Siapa yang merujuk padamu?" Aku berkilah. Hal itu pun membuatnya memicingkan mata."Kalau itu adalah milikku yang besar ini, kamulah yang akan dimutilasi oleh Grandma" ucapnya dengan senyum terkekehnya yang menyebalkan.Besar? Dasar pria gila, seronok!"Kenapa Grandma yang harus memutilasiku?"nada bicara terdengar sewot."Karena gara-gara kamu, Aku tak punya pewaris" Enteng sekali caranya menjawab.Aku tidak peduli dengan masa depanmu. Karena bukan Aku yang akan memb
Aku telah selesai makan dan menaruh peralatan makanku dimeja dapur ketika kudengar suara mobil Chevrolet Colorado berhenti di depan pintu utama. Cepat sekali? Apa mungkin dia mengantar Anthony setengah jalan? Ya, mungkin saja. Kurasa Anthony tidak akan kembali hingga malam nanti. "Baiklah akan kubuang saja makanan ini," dia membuatku mengerjakan ini semua padahal dia tidak memakannya. Tanganku lalu meraih plastik-plastik bening untuk membuang makanan-makanan ini. Dan, tanganku, terlebih dahulu memilih new England chowder. "Apa yang kau lakukan?!" Tersentak oleh pertanyaan itu, mataku memburu dari mana datangnya suara itu. "Anthony?" Dia tepat berada di depan meja makan sembari bertolak pinggang, dan ada iPad ditangan kirinya. "Kenapa makanan di buang buang?" tanya seperti bukan orang kaya saja. "A... Anu.. " Dia akhirnya sampai di depanku dengan matanya yang sewot. "Kenapa membuang makanan itu? Aku ka
Kami sudah tak bisa mundur. Anthony yang menawarkan sandiwara ini, dan Dia tak bisa kudorong kebelakang. Gemuruh didadaku berdebar hebat. Penolakan dan hasrat terpencil yang bergolak dalam diriku membuat pembuluh darahku mendidih.Anthony mendekat, tatapannya meneduhkanku sesaat kala Dia memberiku intens seperti kekasih. Pria yang terkadang galak dan barbar ini terlihat seperti seorang suami, saat ini. Aku tak punya pilihan lain, ya tak ada pilihan lain ketika bibir sensual itu juga menggiurkan untuk kujamah. Membuatku nanar, dan hampir memalingkan wajah, namun dengan segera Anthony melahapku dengan sempurna. Ciuman ini sempurna kala hasratku ikut berpacu menantang debaran memabukkan ini. Aku tidak perduli dengan logikaku yang menolaknya. Ciuman yang kuatas namakan ‘akting’ ini akan kubuat bekerja sama dengan harga diri dan emosiku.Kubuka sedikit mataku. Kudapati Martha menatap kami dengan mulut setengah terbuka, dan kurasa tujuan kami
"Honey....." Panggilan itu keluar dari mulut pria yang menggenggam lengan lain dari ibu. Pelan tapi pasti aku menatapnya. “Kau memegang kuat tangan Ibumu dan membuatnya merah” “Ahk?” bisa kurasakan suara hidungku berbunyi. “Jangan memegang Ibumu seperti kau memegangku” ucapnya, membuat pipiku memerah padam. Situasi yang sebetulnya syahdu, namun Dia membuatnya menjadi konyol kala semua orang senyam-senyum –seakan mengerti- apa yang Antony maksud. “Me, memegang apa?” gerutuku, tak mau melihat Anthony. “Kamu yang paling tahu jawabannya” Maksud Antony itu seronok. Dasar pria itu. Dan baru kusadari tangan Ibu memerah setelah Aku melepas peganganku. Bekas peganganku mencetak merah pada lengan pucat Ibu. "Astaga. Maaf Ibu, Aku tidak sengaja!" Tukasku, segera mengusap tangan ibu. Ini pertama kalinya Aku melihatIbu tersenyum luas, dalam beberapa bulan terakhir. “Tak apa, sungguh tak apa sayang” ucap Ibu memegang pipiku.
Aku tidak beruntung. Semua Anggota keluargaku berada di rumah. Anthony yang tiba-tiba datang berkunjung untuk pertama kalinya sejak kami menikah pasti membuat orangtua dan Kakakku kaget. Jari jemariku pun panas. Kegiatan menggenggam yang sedari tadi kulakukan pada lengan bajuku membuatnya jadi panas. Aku gugup, mewanti-wanti Suamiku agar tak berkata macam-macam. Kuharap apa yang Dia bilang tadi memang benar, Aku tak perlu mengintervensi apapun untuk kebaikan orangtuaku. "Kenapa hanya berdiam di depan pintu saja?" pertanyaan Ayah memecah keheningan yang menguasai kami selama beberapa detik. "I-iya, masuk..., masuklah." Ibuku Petra Sinclair segera mempersilahkan Menantunya itu untuk masuk kedalam. Kami akhirnya melangkah masuk, sementara Kakakku Martha hanya terdiam mengamati Anthony dari sudut kursi tempatnya berdiri. Kutahu sejak datang tadi, Dia mengamati interaksi Anthony dengan Ayah dan Ibu. Terakhir, Dia mengamatiku namun Aku seger
"Kamu?" Aku terkaget. "Kenapa kamu ada di sini?" Badanku beringsut menumpu pada sudut mobil tempatku masuk tadi. Aku tidak percaya pria itu dari tadi ada dimobil dan hanya bodyguard serta sopinya yang turun? "Kaget?" tanyanya yang bahkan tak menatapku. Iya, kaget. Mata, kepala, dan hatiku terkejut melihat Anthony Gareth Barnett bersama iPadnya berada di dalam mobil ini. Dia akhirnya menatapku pelan-pelan dengan senyum intensny yang benar-benar memuakkan. "Memangnya Aku tidak boleh menjemput istriku?" Itu yang dia katakan. Dan seketika otot-otot perutku memanas. Lucu sekali! 'menjemput istriku' katanya? Ekspresi dan caranya berbicara membuatku
Toktok!Suara ketukan terdengar dari pintu utama rumah Keira. "Oke tunggu..!" Keira selalu spontan mengatakan hal itu pada siapapun yang mengetuk pintunya. "Tunggu di sini" ujarnya, dan kujawab mengangguk. Dia lalu beranjak menuruni tangga sementara Aku menuruti instruksinya untuk tetap menunggu di kamarnya saja.Memandang seisi kamar Keira, membuat hati tenang. Nyawa mudaku seperti baru saja kembali, karena beberapa hari kemarin Aku harus berurusan dengan si kolot Anthony. Kamar Keira adalah tempat ternyaman kedua setelah kamar dirumahku, jadi meskipun hanya sehari, Aku tak masalah, setidaknya bebab dikepalaku akan kuhempaskan malam ini dengan bercengkerama bersama gadis itu.Anthony Gareth Barnett, Aku tidak mau berurusan dan melihatnya lagi. Beberapa hari menikah saja sudah membuatku seperti ini, apalagi dua tahun? Jangan-jangan nanti Aku hanya tinggal nama.Sudah sepuluh menit lamanya Keira di bawah, dan dia tak k
Pria ini lebih ngotot dari yang kukira. Padahal tidak ada yang pernah menuduhku macam-macam, dan kini Dia mengataiku genit? Enak saja! Kalau bukan karena punya hutang budi kepadanya, tanganku mungkin akan segera menamparnya, berikut merobek-robek baju olahraganya dengan kuku-kukuku yang mulai panjang ini. Ingin sekali Aku terbawa emosi sesaat ini, namun tidak. Akal sehatku memilih untuk tak menggubrisnya, dan berjalan masuk mendahuluinya ke dalam rumah. "Hei!" Panggilnya. Tidak ada gunanya melawan Anthony, sebaiknya Aku pergi sebelum dia meraih tanganku kembali, dan mungkin akan menyuruhku yang tidak-tidak. "Megan Ariana Barnet! Aku memanggilmu!"Bulu kudukku merinding, tubuhku mendadak kaku karena namaku dipanggil lengkap menggunakan nama belakangnya. Karena penasaran lantas aku berbalik. "Diam di tempatmu!" Sahutnya, kemarahan yang tadi Dia semburkan padaku sudah tak kulihat. Apa dia menyerah? Aku memilih untuk tak bergeming. Sementara pria itu berjalan pada
Silau. Mataku baru saja dipaksa mengerjap-ngerjap ketika kulihat sosok pria tubuh tinggi besar yang baru saja membuka layar. Caranya membuka layar sebelahnya lagi menyadari, itu bukan cara sembarang orang, kecuali…. Mataku membelalak. " lAnthony?!" Pekikku. Dia berhenti dengan posisi bertolak pinggang di depanku. "Bangun" ucapnya. Aku beringsut dan bangun secepat kilat meletakkan kakiku kelantai namun aku hampir terjatuh karena masih linglung. Hep! Tangannya dengan cepat meraihku, hingga tubuhku berada dalam dekapannya. Pandangan kami menjadi satu sesaat. Tampan. Sesaat Aku mengagumi Pemilik manik mata coklat terang itu. Dia sangat tampan, menyayat keangkuhanku yang selalu berkata kasar padanya. Kalau saja dia adalah pria baik, mungkin aku sedikit menaruh perasaan padanya. Tuk! "Awh!" tahu-tahu keningku diketuk oleh jemarinya. Sakit! Pria yang baru saja menyunggingkan s
Aku telah selesai makan dan menaruh peralatan makanku dimeja dapur ketika kudengar suara mobil Chevrolet Colorado berhenti di depan pintu utama. Cepat sekali? Apa mungkin dia mengantar Anthony setengah jalan? Ya, mungkin saja. Kurasa Anthony tidak akan kembali hingga malam nanti. "Baiklah akan kubuang saja makanan ini," dia membuatku mengerjakan ini semua padahal dia tidak memakannya. Tanganku lalu meraih plastik-plastik bening untuk membuang makanan-makanan ini. Dan, tanganku, terlebih dahulu memilih new England chowder. "Apa yang kau lakukan?!" Tersentak oleh pertanyaan itu, mataku memburu dari mana datangnya suara itu. "Anthony?" Dia tepat berada di depan meja makan sembari bertolak pinggang, dan ada iPad ditangan kirinya. "Kenapa makanan di buang buang?" tanya seperti bukan orang kaya saja. "A... Anu.. " Dia akhirnya sampai di depanku dengan matanya yang sewot. "Kenapa membuang makanan itu? Aku ka
“Awas saja kalau dia tiba-tiba mendekatiku lagi, akan ku potong anunya!”"Kau mau potong apaku..?""Astaga gila!" hatiku, dan otakku bergejolak mendengar suaranya muncul di belakangku. Aku mencoba berbalik dan mengubah ekspresiku menjadi biasa lagi (meskipun jantungku baru saja mengeras gara-gara pria ini selalu datang disaat yang tidak tepat). Benar-benar tidak tepat. "Kau mau potong apaku?" tanyanya lagi. "Si-Siapa yang merujuk padamu?" Aku berkilah. Hal itu pun membuatnya memicingkan mata."Kalau itu adalah milikku yang besar ini, kamulah yang akan dimutilasi oleh Grandma" ucapnya dengan senyum terkekehnya yang menyebalkan.Besar? Dasar pria gila, seronok!"Kenapa Grandma yang harus memutilasiku?"nada bicara terdengar sewot."Karena gara-gara kamu, Aku tak punya pewaris" Enteng sekali caranya menjawab.Aku tidak peduli dengan masa depanmu. Karena bukan Aku yang akan memb