Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan badan di atas tempat tidur. Aku ingin berhela-hela dulu untuk sementara waktu, pikiran dan hati ini sungguh lelah adanya. karena waktuku disini masih panjang. Panjang, untuk berjuang. Semangat juang harus kupupuk sejak saat ini, karena sang pemilik rumah bukanlah orang yang ramah.
Kupandang langit-langit megah di rumah ini. Tempat ini cukup luas, hingga membuatku minder. Bila saja. Aku tak menikah dengan Anthony, kira-kira apa yang akan kulakukan saat ini? Apa Aku akan mencari pekerjaan tambahan lainnya?
Bodoh, untuk apa lagi aku berpikir seperti itu. Tugasku saat ini hanyalah menjalankan perintah Anthony yang galak itu, meskipun aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku setelah ini. Dan hembusan nafas berat kembali mengalir dari hidungku.
Membandingkan kenyamanan di sini dan di rumahku tadi, membuatku kembali menitikkan airmata.
Tidak.., tidak, tidak. Aku harus tegar. Semua telah kutandatangani hari ini, dan semua ini kulakukan demi keluargaku. Ayah, Martha, dan mom yang membuatku bisa bertahan hingga sampai sini.
Kesadaranku mulai berangsur-angsur menurun. Sebelum ujung mataku mulai memperkecil sudutnya dan akhirnya memberat. Kurasakan angin sepoi-sepoi dari jendela mulai membelai rambut dan wajahku. Terakhir sebelum mataku, kutatap sesosok kaki kekar dalam balutan celana khaki coklat pastel- yang entah dari mana datangnya- telah berada di depanku.
Tidak mungkin itu Anthony. Anthony takkan sebaik itu padaku. Kurasa pria itu adalah jelmaan peri tampan pengantar tidur, dan kuharap Dia akan terus menjagaku sebelum pria itu mulai menganggu hidupku.
Hangat. Peri itu menutupkan selimut pada bahuku. Sentuhannya lembut, seperti seorang ayah yang menenangkan putri kecilnya yang akan terlelap. Dia pun membelai satu bagian rambutku dan menyelipkannya pada telingaku. Membuatku merasa disayang. Sungguh damai, Aku tak ingin Dia pergi.
"Tidurlah" ucapnya dengan suara lembut.Ya Tuhan, Dia memang peri.
"Jangan pergi tuan Peri, tetap temani aku selagi tidur.." ucapku, yang kemudian terlelap.
***Sepoi-sepoi Udara yang telah mendingin, mengenai wajahku dan lenganku. Kerugian sedikit otot ku yang sepertinya dari tadi tertahan karena posisi tidur. Mataku membuka sedikit demi sedikit. Dinding kamar yang sama lagi dengan kamar Anthony. Aku menghembuskan nafas. Perlahan dengan pasti aku membiasakan kembali bangun di tempat ini, kamar sebelah Anthony.Ku tengok ke arah jendela tempat udara hilir mudik, ternyata Jendela itu telah membuka lebih lebar, menempatkan suasana malam yang penuh bintang di luar sana, menghembuskan angin kuat-kuat menuju kamarku. "Sampai kapan kamu mau tidur?"Suara itu? Hah? Aku kenal suara itu?Aku terpaksa membangunkan kepalaku lebih cepat, karena kutahu pemilik suara itu adalah orang yang berbahaya bagiku. "Kenapa begitu awas?"tanyanya sangat enteng. Mataku mencari selimut ataupun bantal yang berada di sekitarnya namun dia hanya menemukan bantal. Benda itu terbuat dari tempatnya bertahta, lalu ku jadikan tameng untuk melawan Anthony bila dia macam-macam. "Kenapa kamu ada di kamarku?" Tanyaku."Kamarmu?" Pria itu ternyata terduduk di salah satu kursi pojokan di kamar ini sembari membuka sebuah majalah bisnis yang sepertinya sudah dari tadi dia baca karena aku melihat dia sudah membuka bagian tengah majalah itu. "Di rumah ini tidak ada kamar yang tidak menjadi kamarku juga" Dia kemudian menutup majalah itu.A-apa sih maunya? "Setidaknya kamu ijin dulu padaku!""Izin? setelah apa yang kita lakukan?" Suara bassnya yang serak membuatku sangat jengkel. Pasalnya wajah tampan ditambah suaranya yang seperti itu seharusnya sejalan dengan tingkah lakunya. "Kamu kok sudah jadi milikku, untuk apa bertanya seperti itu?"lagi-lagi pria itu mengungkitnya. Bukan pria brengsek yang tiba-tiba masuk mengatasnamakan pemilik rumah ini. Bantal di tanganku menjadi korban amarah kepalan tanganku dan hampir saja mencekik ujungnya.Dia berdiri dan melangkah ke arahku. Tanpa sadar, aku menggeser tubuhku ke belakang hingga terpentok pada papan lembut tempat tidur king size ini. Dia maju, dan naik atas kasurku, dan semakin membuat tenggorokanku tercekat. "Apa yang mau kau lakukan?!" Aku masih takut, sungguh. Badan besarnya mampu membuatku tak bisa bergerak, itu yang kau tahu dari kejadian tadi malam.Dia menyajikan senyum miris yang berakhir pada senyum mengejek. "Sepertinya kamu bukan cewek polos Yang kukira" katanya. "Apa maksudmu?" Mataku masih memandangnya dengan awas, hingga rasanya terasa perih. Dia menggantikan jari tengahnya pada keningku,"Aw!"dan membuatku memakai kecil lalu memegang keningku yang sakit. Dia terkekeh sembari tersenyum diatas keningku. Lalumendekatkan mulutnya pada telingaku. Aku hampir menjauh namun dia malah memegang lenganku, hingga aku tak bisa bergerak. "Memangnya aku mendekatimu karena ingin melakukan hal yang tadi malam kita lakukan?"
Sialan! pria ini hanya mengerjaiku saja.Setelah itu kusadari tangannya tengah menyentuh kepalaku Sepertinya dia sedang mengambil sesuatu. "Kau bawa sampah ini dari mana sih? Di rumahku tidak ada daun seperti ini"
Aku kemudian melihat apa yang dibilang oleh Anthony? Ini daun pohon yang ada di sekitar rumahku. Aneh sekali pria itu mengumpat masalah sepele seperti ini saja. Dia hanya mendengus karena aku tidak menjawab."Kalau sudah bangun cepatlah berdiri"ucapnya yang kemudian kembali pada kursi yang tadi. Aku melihat sebuah kantong baju berada di atas meja sofa yang tadi dipakainya duduk. Dia mengambil tas itu dan kemudian melemparkannya di atas tempat tidurku. "A-apa ini?"tanyaku spontan."Kamu baru saja dapat uang kan?"
I-iya dan maksudnya?"Apa yang ada di dunia ini tidak gratis. Termasuk tinggal di rumahku. Bangun cepat berdiri dan pakai baju itu!"serunya yang tanpa tedeng Aling memerintahku dengan kedua lengan yang saling bertaut di bawah pinggangnya. Kedua tanganku kemudian membuka apa yang ada dalam tas itu. "Baju pelayan?"tanyaku pada baju itu. Mulai malam besok kamu akan melayani ku. Kamu akan bekerja sebagai the maid, merangkap istriku""........Hah?"***Pagi hari telah kembali lagi ketika Aku harus segera bersiap. Sudah tiga hari Aku berada di rumah ini sebagainya Istri. Dan selama tiga hari sebelumnya juga, Aku bekerja sebagai the Maid yang dipekerjakan suamiku sendiri. Gila rasanya mendapat perlakuan seperti ini ketika Grandma saja melarangku memakai baju ini "lagi". Ya, tentu saja. Hanya Anthony Barnett yang mampu melakukannya.
Dan baju ini? entahlah, ini keseingen Anthony atau bukan, tapi bagian dadanya membuat dada pepatku sedikit menonjol. Aku ingin mengutuk baju ini dan membakarnya tapi Anthony mungkin yang akan membakarku terlebih dahulu, karena tak menurut padanya.Aku sudah mengepel lantai membersihkan sofa putih anggun ini dan bercokol dengan segala aktivitas dapur, di mana tenagaku sudah hampir habis karena rumah ini terlalu luas untuk dibersihkan. Dan, kurasa inilah alasannya rumah ini kosong. Akan ada Maid, Diriku, yang akan membersihkannya.Setelah melap meja dan membersihkan semua peralatan dapur yang berdebu, Aku mulai dengan aktivitas dapur, memasak. Ternyata banyak bahan juga yang sudah disiapkan di sini. Ini aneh juga ketika tak ada siapapun yang terlihat berbelanja, namun isi kulkas cukup penuh, bahkan masih segar. Apa Jackson? Hmm, kurasa tak mungkin. Apa ada pembantu yang sebelumnya bekerja di sini namun disuruh Anthony untuk pergi?Hmm, tak mungkin ada yang menjawab juga, karena teman disekitarku saat ini hanya udara. Hal yang pasti terjadi saat ini adalah pria itu pasti tengah menikmati bagaimana Aku bekerja keras di bawah sini, karena dia pasti ingin melihatku tertekan."Baik akan kutunjukkan aku bisa mencari uang dengan cara seperti ini. Dia pikir aku mengharapkan uang itu karena foya-foya? Pria itu kadang pantas dihajar! “Awas saja kalau dia tiba-tiba mendekatiku lagi, akan ku potong anunya!”"Kau mau potong apaku..?""Astaga gila!" hatiku, dan otakku bergejolak mendengar suaranya muncul di belakangku.***
'Potong terong Pak' ujar sang Author. XD
Em
“Awas saja kalau dia tiba-tiba mendekatiku lagi, akan ku potong anunya!”"Kau mau potong apaku..?""Astaga gila!" hatiku, dan otakku bergejolak mendengar suaranya muncul di belakangku. Aku mencoba berbalik dan mengubah ekspresiku menjadi biasa lagi (meskipun jantungku baru saja mengeras gara-gara pria ini selalu datang disaat yang tidak tepat). Benar-benar tidak tepat. "Kau mau potong apaku?" tanyanya lagi. "Si-Siapa yang merujuk padamu?" Aku berkilah. Hal itu pun membuatnya memicingkan mata."Kalau itu adalah milikku yang besar ini, kamulah yang akan dimutilasi oleh Grandma" ucapnya dengan senyum terkekehnya yang menyebalkan.Besar? Dasar pria gila, seronok!"Kenapa Grandma yang harus memutilasiku?"nada bicara terdengar sewot."Karena gara-gara kamu, Aku tak punya pewaris" Enteng sekali caranya menjawab.Aku tidak peduli dengan masa depanmu. Karena bukan Aku yang akan memb
Aku telah selesai makan dan menaruh peralatan makanku dimeja dapur ketika kudengar suara mobil Chevrolet Colorado berhenti di depan pintu utama. Cepat sekali? Apa mungkin dia mengantar Anthony setengah jalan? Ya, mungkin saja. Kurasa Anthony tidak akan kembali hingga malam nanti. "Baiklah akan kubuang saja makanan ini," dia membuatku mengerjakan ini semua padahal dia tidak memakannya. Tanganku lalu meraih plastik-plastik bening untuk membuang makanan-makanan ini. Dan, tanganku, terlebih dahulu memilih new England chowder. "Apa yang kau lakukan?!" Tersentak oleh pertanyaan itu, mataku memburu dari mana datangnya suara itu. "Anthony?" Dia tepat berada di depan meja makan sembari bertolak pinggang, dan ada iPad ditangan kirinya. "Kenapa makanan di buang buang?" tanya seperti bukan orang kaya saja. "A... Anu.. " Dia akhirnya sampai di depanku dengan matanya yang sewot. "Kenapa membuang makanan itu? Aku ka
Silau. Mataku baru saja dipaksa mengerjap-ngerjap ketika kulihat sosok pria tubuh tinggi besar yang baru saja membuka layar. Caranya membuka layar sebelahnya lagi menyadari, itu bukan cara sembarang orang, kecuali…. Mataku membelalak. " lAnthony?!" Pekikku. Dia berhenti dengan posisi bertolak pinggang di depanku. "Bangun" ucapnya. Aku beringsut dan bangun secepat kilat meletakkan kakiku kelantai namun aku hampir terjatuh karena masih linglung. Hep! Tangannya dengan cepat meraihku, hingga tubuhku berada dalam dekapannya. Pandangan kami menjadi satu sesaat. Tampan. Sesaat Aku mengagumi Pemilik manik mata coklat terang itu. Dia sangat tampan, menyayat keangkuhanku yang selalu berkata kasar padanya. Kalau saja dia adalah pria baik, mungkin aku sedikit menaruh perasaan padanya. Tuk! "Awh!" tahu-tahu keningku diketuk oleh jemarinya. Sakit! Pria yang baru saja menyunggingkan s
Pria ini lebih ngotot dari yang kukira. Padahal tidak ada yang pernah menuduhku macam-macam, dan kini Dia mengataiku genit? Enak saja! Kalau bukan karena punya hutang budi kepadanya, tanganku mungkin akan segera menamparnya, berikut merobek-robek baju olahraganya dengan kuku-kukuku yang mulai panjang ini. Ingin sekali Aku terbawa emosi sesaat ini, namun tidak. Akal sehatku memilih untuk tak menggubrisnya, dan berjalan masuk mendahuluinya ke dalam rumah. "Hei!" Panggilnya. Tidak ada gunanya melawan Anthony, sebaiknya Aku pergi sebelum dia meraih tanganku kembali, dan mungkin akan menyuruhku yang tidak-tidak. "Megan Ariana Barnet! Aku memanggilmu!"Bulu kudukku merinding, tubuhku mendadak kaku karena namaku dipanggil lengkap menggunakan nama belakangnya. Karena penasaran lantas aku berbalik. "Diam di tempatmu!" Sahutnya, kemarahan yang tadi Dia semburkan padaku sudah tak kulihat. Apa dia menyerah? Aku memilih untuk tak bergeming. Sementara pria itu berjalan pada
Toktok!Suara ketukan terdengar dari pintu utama rumah Keira. "Oke tunggu..!" Keira selalu spontan mengatakan hal itu pada siapapun yang mengetuk pintunya. "Tunggu di sini" ujarnya, dan kujawab mengangguk. Dia lalu beranjak menuruni tangga sementara Aku menuruti instruksinya untuk tetap menunggu di kamarnya saja.Memandang seisi kamar Keira, membuat hati tenang. Nyawa mudaku seperti baru saja kembali, karena beberapa hari kemarin Aku harus berurusan dengan si kolot Anthony. Kamar Keira adalah tempat ternyaman kedua setelah kamar dirumahku, jadi meskipun hanya sehari, Aku tak masalah, setidaknya bebab dikepalaku akan kuhempaskan malam ini dengan bercengkerama bersama gadis itu.Anthony Gareth Barnett, Aku tidak mau berurusan dan melihatnya lagi. Beberapa hari menikah saja sudah membuatku seperti ini, apalagi dua tahun? Jangan-jangan nanti Aku hanya tinggal nama.Sudah sepuluh menit lamanya Keira di bawah, dan dia tak k
"Kamu?" Aku terkaget. "Kenapa kamu ada di sini?" Badanku beringsut menumpu pada sudut mobil tempatku masuk tadi. Aku tidak percaya pria itu dari tadi ada dimobil dan hanya bodyguard serta sopinya yang turun? "Kaget?" tanyanya yang bahkan tak menatapku. Iya, kaget. Mata, kepala, dan hatiku terkejut melihat Anthony Gareth Barnett bersama iPadnya berada di dalam mobil ini. Dia akhirnya menatapku pelan-pelan dengan senyum intensny yang benar-benar memuakkan. "Memangnya Aku tidak boleh menjemput istriku?" Itu yang dia katakan. Dan seketika otot-otot perutku memanas. Lucu sekali! 'menjemput istriku' katanya? Ekspresi dan caranya berbicara membuatku
Aku tidak beruntung. Semua Anggota keluargaku berada di rumah. Anthony yang tiba-tiba datang berkunjung untuk pertama kalinya sejak kami menikah pasti membuat orangtua dan Kakakku kaget. Jari jemariku pun panas. Kegiatan menggenggam yang sedari tadi kulakukan pada lengan bajuku membuatnya jadi panas. Aku gugup, mewanti-wanti Suamiku agar tak berkata macam-macam. Kuharap apa yang Dia bilang tadi memang benar, Aku tak perlu mengintervensi apapun untuk kebaikan orangtuaku. "Kenapa hanya berdiam di depan pintu saja?" pertanyaan Ayah memecah keheningan yang menguasai kami selama beberapa detik. "I-iya, masuk..., masuklah." Ibuku Petra Sinclair segera mempersilahkan Menantunya itu untuk masuk kedalam. Kami akhirnya melangkah masuk, sementara Kakakku Martha hanya terdiam mengamati Anthony dari sudut kursi tempatnya berdiri. Kutahu sejak datang tadi, Dia mengamati interaksi Anthony dengan Ayah dan Ibu. Terakhir, Dia mengamatiku namun Aku seger
"Honey....." Panggilan itu keluar dari mulut pria yang menggenggam lengan lain dari ibu. Pelan tapi pasti aku menatapnya. “Kau memegang kuat tangan Ibumu dan membuatnya merah” “Ahk?” bisa kurasakan suara hidungku berbunyi. “Jangan memegang Ibumu seperti kau memegangku” ucapnya, membuat pipiku memerah padam. Situasi yang sebetulnya syahdu, namun Dia membuatnya menjadi konyol kala semua orang senyam-senyum –seakan mengerti- apa yang Antony maksud. “Me, memegang apa?” gerutuku, tak mau melihat Anthony. “Kamu yang paling tahu jawabannya” Maksud Antony itu seronok. Dasar pria itu. Dan baru kusadari tangan Ibu memerah setelah Aku melepas peganganku. Bekas peganganku mencetak merah pada lengan pucat Ibu. "Astaga. Maaf Ibu, Aku tidak sengaja!" Tukasku, segera mengusap tangan ibu. Ini pertama kalinya Aku melihatIbu tersenyum luas, dalam beberapa bulan terakhir. “Tak apa, sungguh tak apa sayang” ucap Ibu memegang pipiku.
Kami sudah tak bisa mundur. Anthony yang menawarkan sandiwara ini, dan Dia tak bisa kudorong kebelakang. Gemuruh didadaku berdebar hebat. Penolakan dan hasrat terpencil yang bergolak dalam diriku membuat pembuluh darahku mendidih.Anthony mendekat, tatapannya meneduhkanku sesaat kala Dia memberiku intens seperti kekasih. Pria yang terkadang galak dan barbar ini terlihat seperti seorang suami, saat ini. Aku tak punya pilihan lain, ya tak ada pilihan lain ketika bibir sensual itu juga menggiurkan untuk kujamah. Membuatku nanar, dan hampir memalingkan wajah, namun dengan segera Anthony melahapku dengan sempurna. Ciuman ini sempurna kala hasratku ikut berpacu menantang debaran memabukkan ini. Aku tidak perduli dengan logikaku yang menolaknya. Ciuman yang kuatas namakan ‘akting’ ini akan kubuat bekerja sama dengan harga diri dan emosiku.Kubuka sedikit mataku. Kudapati Martha menatap kami dengan mulut setengah terbuka, dan kurasa tujuan kami
"Honey....." Panggilan itu keluar dari mulut pria yang menggenggam lengan lain dari ibu. Pelan tapi pasti aku menatapnya. “Kau memegang kuat tangan Ibumu dan membuatnya merah” “Ahk?” bisa kurasakan suara hidungku berbunyi. “Jangan memegang Ibumu seperti kau memegangku” ucapnya, membuat pipiku memerah padam. Situasi yang sebetulnya syahdu, namun Dia membuatnya menjadi konyol kala semua orang senyam-senyum –seakan mengerti- apa yang Antony maksud. “Me, memegang apa?” gerutuku, tak mau melihat Anthony. “Kamu yang paling tahu jawabannya” Maksud Antony itu seronok. Dasar pria itu. Dan baru kusadari tangan Ibu memerah setelah Aku melepas peganganku. Bekas peganganku mencetak merah pada lengan pucat Ibu. "Astaga. Maaf Ibu, Aku tidak sengaja!" Tukasku, segera mengusap tangan ibu. Ini pertama kalinya Aku melihatIbu tersenyum luas, dalam beberapa bulan terakhir. “Tak apa, sungguh tak apa sayang” ucap Ibu memegang pipiku.
Aku tidak beruntung. Semua Anggota keluargaku berada di rumah. Anthony yang tiba-tiba datang berkunjung untuk pertama kalinya sejak kami menikah pasti membuat orangtua dan Kakakku kaget. Jari jemariku pun panas. Kegiatan menggenggam yang sedari tadi kulakukan pada lengan bajuku membuatnya jadi panas. Aku gugup, mewanti-wanti Suamiku agar tak berkata macam-macam. Kuharap apa yang Dia bilang tadi memang benar, Aku tak perlu mengintervensi apapun untuk kebaikan orangtuaku. "Kenapa hanya berdiam di depan pintu saja?" pertanyaan Ayah memecah keheningan yang menguasai kami selama beberapa detik. "I-iya, masuk..., masuklah." Ibuku Petra Sinclair segera mempersilahkan Menantunya itu untuk masuk kedalam. Kami akhirnya melangkah masuk, sementara Kakakku Martha hanya terdiam mengamati Anthony dari sudut kursi tempatnya berdiri. Kutahu sejak datang tadi, Dia mengamati interaksi Anthony dengan Ayah dan Ibu. Terakhir, Dia mengamatiku namun Aku seger
"Kamu?" Aku terkaget. "Kenapa kamu ada di sini?" Badanku beringsut menumpu pada sudut mobil tempatku masuk tadi. Aku tidak percaya pria itu dari tadi ada dimobil dan hanya bodyguard serta sopinya yang turun? "Kaget?" tanyanya yang bahkan tak menatapku. Iya, kaget. Mata, kepala, dan hatiku terkejut melihat Anthony Gareth Barnett bersama iPadnya berada di dalam mobil ini. Dia akhirnya menatapku pelan-pelan dengan senyum intensny yang benar-benar memuakkan. "Memangnya Aku tidak boleh menjemput istriku?" Itu yang dia katakan. Dan seketika otot-otot perutku memanas. Lucu sekali! 'menjemput istriku' katanya? Ekspresi dan caranya berbicara membuatku
Toktok!Suara ketukan terdengar dari pintu utama rumah Keira. "Oke tunggu..!" Keira selalu spontan mengatakan hal itu pada siapapun yang mengetuk pintunya. "Tunggu di sini" ujarnya, dan kujawab mengangguk. Dia lalu beranjak menuruni tangga sementara Aku menuruti instruksinya untuk tetap menunggu di kamarnya saja.Memandang seisi kamar Keira, membuat hati tenang. Nyawa mudaku seperti baru saja kembali, karena beberapa hari kemarin Aku harus berurusan dengan si kolot Anthony. Kamar Keira adalah tempat ternyaman kedua setelah kamar dirumahku, jadi meskipun hanya sehari, Aku tak masalah, setidaknya bebab dikepalaku akan kuhempaskan malam ini dengan bercengkerama bersama gadis itu.Anthony Gareth Barnett, Aku tidak mau berurusan dan melihatnya lagi. Beberapa hari menikah saja sudah membuatku seperti ini, apalagi dua tahun? Jangan-jangan nanti Aku hanya tinggal nama.Sudah sepuluh menit lamanya Keira di bawah, dan dia tak k
Pria ini lebih ngotot dari yang kukira. Padahal tidak ada yang pernah menuduhku macam-macam, dan kini Dia mengataiku genit? Enak saja! Kalau bukan karena punya hutang budi kepadanya, tanganku mungkin akan segera menamparnya, berikut merobek-robek baju olahraganya dengan kuku-kukuku yang mulai panjang ini. Ingin sekali Aku terbawa emosi sesaat ini, namun tidak. Akal sehatku memilih untuk tak menggubrisnya, dan berjalan masuk mendahuluinya ke dalam rumah. "Hei!" Panggilnya. Tidak ada gunanya melawan Anthony, sebaiknya Aku pergi sebelum dia meraih tanganku kembali, dan mungkin akan menyuruhku yang tidak-tidak. "Megan Ariana Barnet! Aku memanggilmu!"Bulu kudukku merinding, tubuhku mendadak kaku karena namaku dipanggil lengkap menggunakan nama belakangnya. Karena penasaran lantas aku berbalik. "Diam di tempatmu!" Sahutnya, kemarahan yang tadi Dia semburkan padaku sudah tak kulihat. Apa dia menyerah? Aku memilih untuk tak bergeming. Sementara pria itu berjalan pada
Silau. Mataku baru saja dipaksa mengerjap-ngerjap ketika kulihat sosok pria tubuh tinggi besar yang baru saja membuka layar. Caranya membuka layar sebelahnya lagi menyadari, itu bukan cara sembarang orang, kecuali…. Mataku membelalak. " lAnthony?!" Pekikku. Dia berhenti dengan posisi bertolak pinggang di depanku. "Bangun" ucapnya. Aku beringsut dan bangun secepat kilat meletakkan kakiku kelantai namun aku hampir terjatuh karena masih linglung. Hep! Tangannya dengan cepat meraihku, hingga tubuhku berada dalam dekapannya. Pandangan kami menjadi satu sesaat. Tampan. Sesaat Aku mengagumi Pemilik manik mata coklat terang itu. Dia sangat tampan, menyayat keangkuhanku yang selalu berkata kasar padanya. Kalau saja dia adalah pria baik, mungkin aku sedikit menaruh perasaan padanya. Tuk! "Awh!" tahu-tahu keningku diketuk oleh jemarinya. Sakit! Pria yang baru saja menyunggingkan s
Aku telah selesai makan dan menaruh peralatan makanku dimeja dapur ketika kudengar suara mobil Chevrolet Colorado berhenti di depan pintu utama. Cepat sekali? Apa mungkin dia mengantar Anthony setengah jalan? Ya, mungkin saja. Kurasa Anthony tidak akan kembali hingga malam nanti. "Baiklah akan kubuang saja makanan ini," dia membuatku mengerjakan ini semua padahal dia tidak memakannya. Tanganku lalu meraih plastik-plastik bening untuk membuang makanan-makanan ini. Dan, tanganku, terlebih dahulu memilih new England chowder. "Apa yang kau lakukan?!" Tersentak oleh pertanyaan itu, mataku memburu dari mana datangnya suara itu. "Anthony?" Dia tepat berada di depan meja makan sembari bertolak pinggang, dan ada iPad ditangan kirinya. "Kenapa makanan di buang buang?" tanya seperti bukan orang kaya saja. "A... Anu.. " Dia akhirnya sampai di depanku dengan matanya yang sewot. "Kenapa membuang makanan itu? Aku ka
“Awas saja kalau dia tiba-tiba mendekatiku lagi, akan ku potong anunya!”"Kau mau potong apaku..?""Astaga gila!" hatiku, dan otakku bergejolak mendengar suaranya muncul di belakangku. Aku mencoba berbalik dan mengubah ekspresiku menjadi biasa lagi (meskipun jantungku baru saja mengeras gara-gara pria ini selalu datang disaat yang tidak tepat). Benar-benar tidak tepat. "Kau mau potong apaku?" tanyanya lagi. "Si-Siapa yang merujuk padamu?" Aku berkilah. Hal itu pun membuatnya memicingkan mata."Kalau itu adalah milikku yang besar ini, kamulah yang akan dimutilasi oleh Grandma" ucapnya dengan senyum terkekehnya yang menyebalkan.Besar? Dasar pria gila, seronok!"Kenapa Grandma yang harus memutilasiku?"nada bicara terdengar sewot."Karena gara-gara kamu, Aku tak punya pewaris" Enteng sekali caranya menjawab.Aku tidak peduli dengan masa depanmu. Karena bukan Aku yang akan memb