Lima belas menit. Kalau tidak salah waktu selama lima belas menit ini telah kupakai berputar sebanyak tiga puluh kali. Kakiku lelah, tapi Aku malas duduk. Mungkin dan kurasa, mereka melakukannya dalam keadaan mabuk. mungkin saja.
Rasa penasaranku, membuatku menerka-nerka siapa pria yang dibawa Martha. Aku kenal suara itu. Tapi suara itu samar, seperti Pria yang baru saja minum dengan suara mulut yang penuh.
“Apa sih yang mereka pikirkan?! Diruang tamu?” umpatku.
Kuharap Ayah tak ada didalam, ya Martha juga melakukannya pasti karena Ayah tak ada. Dan seketika mataku berkelebat dan dengan kasar kuedarkan keluar halaman siapa tahu Ayah tiba-tiba datang, namun yang kudapati malah mata Jackson tengan mengamatiku dari dalam mobil. Aku terkaget, Aku juga lupa bahwa aku tadi datang bersama Supir suamiku. Astaga ini adalah kesalahan lainnya yang mungkin saja akan memperburuk hubunganku dengan Anthony. Kehadiran Jacksin yang mungkin saja tengah mengawasiku sejak tadi bersama akan memperburuk citra keluargaku (Karena satu anak perempuannya telah merelakan diri mencari uang dengan menikahi pria kaya, satu lagi sebagai penjajah tubuh).
Sialan aku lupa.
Semoga dia tidak mendengarkan apapun, dan bila mereka yang didalam sudah selesai aku akan masuk ke dalam.
Cklek!!
Seorang Pria keluar. Tinggi dengan rambut merah keritingnya Dia melihat-lihat dengan mata. Aku tahu Pria muda itu, sangat tahu. “Charly!!!” Pekikku. Charly Mc Gregor! Diantara rasa percaya dan tak percaya, Aku menyungkupkan kedua jari jemariku pada mulutku. Beberapa detik kemudian kekalutanku yang lain melepaskannya. “Tak mungkin kan kamu?” masih tak percaya, mataku juga ikut tak mengedip. "Kamu gila? Saudara perempanku?!"
“Mmmmh, Itu…”
Segera kutarik lengan pria kurus itu masuk, kutahu Jackson masih mengawasi kami di luar dan bisa saja dia melaporkan segala gerak-gerikku dan isi rumahku yang bobrok ini pada tuan brengseknya itu. "Masuk atau kepotong barangmu!" Ancam Megan.
"Galak sekali?!"
"Masuk!" Seruku yang langsung membawa tangannya masuk, dan tentu saja badannya.
Cklek!
Dan kutinggalkan Jackson yang sedang menatap kami dengan pandangan aneh dari luar sana.
***
Pria Vegetrian yang selalu kubanggakan sebagai sahabatku itu adalah sahabat karibku bersama Keira Norwood. Sampai kemarin, hanya dia yang tak setuju bila aku menikah dengan Anthony. Kata Pria tinggi berambut keriting curly itu, wanita yang senang dengan uang itu tidak baik. Sama saja seperti wanita yang menjajakan dirinya pada pria hidung belang ber-uang, dan wanita itu disebut penjual diri.
Dan lihatlah. Apa yang dia perbuat dengan saudariku? Apakah tingkahnya saat ini tidak jauh dariku, yang melakukan one day stand, sementara dia melarangku yang menikah dengan pria sah secara mata hukum untuk mendapatkan uang?
"Jangan menatapku seperti itu!" Dengan wajah angkuh tak mau disalahkan, Dia melipat kedua tangannya di dadanya dan membuang muka.
“Kau melakukan dirumahku? Kau mengerti kan?” Aku marah, namun tidak sepenuhnya marah. Charly saat masuk tadi lebih banya diam. Martha Sinclair lah yang bersemangat. Dasar Kakak penggoda!
“Jadi sejak kapan, Kau dengan Kakakku yang umurnya berbeda lima tahun itu berhubungan?” Aku bertolak pinggang untuk menginterogasinya.
“Sudahlah Megan, kami hanya one day stand! It’s not what you are thingking!” Serunya. Ada kalanya Charly dengan sebutan “si tiang listrik dari scandinavia” itu terdengar sangat laki-laki. Khususnya sekarang, ketika membela dirinya. “Kau kurang setuju Aku menikah, tapi Kau mengencani Kakakku?” Aku juga ingin tahu apa alasannya kurang setuju. Intinya, Aku ingin membela diriku.
Cklek!
“Hei… Nyonya baru! Jangan buat keributan diluar.. nanti tetangga mendengar…” Martha yang membuka pintu kamar mandi keluar tanpa rasa bersalah. Dia kemudian menatap Charly penuh cinta. “Tall boy.. kita akan bertemu lagi nanti, kuharap Kau punya waktu. “ucapnya seraya mengedipkan mata.
“Marrrtha…..” umpatku, geram. Meskipun Dia Kakak angkatku, Aku tak segan padanya. Kami sudah seperti Adik-kakak sungguhan.
“Oke, kalau begitu,A.. Aku pergi!” Charly memilih melarikan diri. “Charly!” teriakku. “Hei Adik kecil, biarkan Dia pergi. Kau tidak berhak mengatur lalu lintas cinta Kakakmu!" Timpal martha.
BAIK. Kita tinggalkan Charly. Martha seharusnya bersiap dengan banyaknya pertanyaan yang akan Aku lontarkan kepadanya. Cklek!
***
Bruk! Semua barang bawaanku dari Grocery kutaruh dimeja dapur tapal kuda yang menghadap ruang keluarga. Duk! Kemudian tanganku menghentak meja kayu dapur, sebelum merapihkannya yang lainnya Aku akan bertanya dulu pada Wanita yang tak menaruh perasaan bersalah sama sekali itu. “Apa yang akan Kau jelaskan Martha?”
Martha juga ada di dapur, menyalakan kompor gas untuk menyalakan rokoknya.
“Kau kan sudah tahu dengan melihatnya” Kata-katanya sangat menyepelekan.
“Bagaimana bila Kau hamil anak Charly?”
“What? Konyol! Apa sih yang Kau pikirkan? Tentu saja kami pakai pengaman” Dia menghembuskan asap rokoknya kedepan, hampir mengenaiku.
“Terus…., ini kan dirumah, apa Kau tak takut Ayah datang dan mendapatimu sedang.. Sesuatu?”
“Gadis kecil, berhenti berlagak sok suci. Selain penuh drama, Hidup ini juga harus penuh cinta, kau tahu kan,” Aku tahu Dia hanya bercanda. Tapi Charly bukanlah Pria yang cocok untuknya, Dia saja masih magang dan baru menyelesaikan kuliahnya-sambil cari kerja. “Tapi jangan Charly!” bantahku. “Kami hanya bermain” Bantahnya, terkesan ringan, sambil mengambil sebuah gelas dan meminum air putih. “Kau sungguh kolot”
Melihat tingkahnya Aku mendengus. Memang, meskipun lebih muda, Aku terlihat kolot. Tapi tak pernah kubayangkan pria Scandinavian, rambut keriting-curly kemerahan milik sahabatku akan melakukan hubungan dengan Kakakku, dirumah Sinclair yang penuh cinta ini. “Jangan racuni Charly, Kak” pintaku dengan wajah datar. “Kami melakukannya karena sama-sama mau, kau tak usah peduli, owh.. Well, tunggu….. apa yang kau lakukan disini?”
“Mengantar bahan makanan, makan malam ini” jawabku. Benar juga, bahan-bahan itu harus kubawa masuk dalam kulkas.
“Tunggu…” Dia memberi tanda jangan bergerak, dan mematikan rokoknya di atas wastapel, dan membuangnya. “Itukah kata-kata pengantin yang baru menikah satu hari?” Dia tak percaya, terlihat dari kening Alisnya yang terangkat sebelah.
“.. Ya.. memangnya apa lagi?” jawabku, tak ambil pusing.
“Tunggu, Kau baik-baik saja? Ini bukan saatnya membawakan Kami satu keresek bahan makan, ketika Kamu seharusnya menikmati bulan madu, Pergi Hawai… Haiti, atau America latin” Kakak Perempuanku itu memang pengejar kesenangan dunia, Dia bercita-cita keliling dunia.
“Katanya Kami akan pergi besok, jadi sekarang Aku disini” Aku mulai mengeluarkan apa yang ada di kresek Termasuk bahan pie apel yang disukai Ayah. “Jadi, Mana Suamimu? Bukankah Dia seharusnya disini juga?” Pertanyaan itu punya maksud lain, dari wajahnya saja Martha terlihat ingin mencari tahu sesuatu. “Dia pergi sebentar, Dia kan pengusaha” mulutku menjawab seadanya. Tak mau memperpanjang kalimat yang mengada-ada. “Dia malah pergi sebentar, dibanding menemani Istrinya? Memangnya laki-laki kaya seperti itu ya?” Keningnya berlipat, gaya tangannya juga berlagak sok benar” ….. Hei” Dia mendekatiku. “Kau….. jangan-jangan selama ini berlagak polos, tapi ternyata menawarkan sesuatu pada Pria itu?” Kutahu Martha tak serius, tapi Bulu kudukku merinding. Kata “Menawarkan itu”, membuatku kikuk.
“Kau jadi penari latarnya dirumah ya?” tanya Kakakku itu. “Kau bicara apa sih?” Mataku kerung, tak suka.
Bruakkk.
Tanganku segera membuka kulkas, dan menaruh sebagian bahan yang kubukan diatas meja tadi ke dalam Kulkas. Aku tak mau menanggapinya dengan serius, bisa-biasa Dia mencari tahu lebih dalam bagaimana Aku mendapatkan uang. Mataku juga beralih pada apa yang ada di Kulkas. Ada salad Sayur yang masih segar dikulkas. Salad sayur, adalah kesukaan Mom. Aku jadi teringat padanya yang sempat datang, namun kemudian pulang karena tak bisa lama-lama menikmati pesta. Mom ada di pernikahanku saja membuatku bahagia. Meskipun bukan Ibu kandung, tapi banyak hal yang dia berikan padaku sebagai puteri angkatnya.
“Apa Mom… baik-baik saja?”
“Tadi malam langsung kembali kerumah sakit, Dia lelah” jawab Martha melihat kuku-kukunya yang Dia cat merah tua.
“Martha, Aku akan membantumu membayar Pinjaman. Suamiku dan Grandma Hilda mengijinkanku membantu pengobatan Mom, jadi-“
“Jadi Kau mau berlagak,” Dia memotong kata-kataku, Kakakku itu tampak tak senang.
“Kenapa..? Kita akhirnya bisa membayar, kenapa Kau tak suka?”
“Hei….., ini bukan masalah sanggup atau tak sanggup. Kau tiba-tiba mendapat uang banyak, seperti menang lotere. Jangan-jangan… Kau benar-benar menjual dirimu pada Keluarga Barnet ya?” Dia melihatku dengan serius, tak pernah kulihat Martha begitu tak suka dengan pertanyaannya. Tatapannya saja seperti menuduh.
“Aku.. tidak menjual diri. Camkan itu baik-baik.” Jawabku, tetap tenang. Dengan begitu Dia tak akan mencoba mencari tahu lagi. Bila Aku jujur, Martha akan berlari pada Mom, dan meneriakiku dihadapan Ayah. Tidak. Terkadang Martha seperti bom untukku. Ini lebih dari pengalaman masa kecil kami, sebagai Anak asli dan angkat. Dan bagusnya, setelah dewasa Dia menjadi sangat baik. “Ohw.. Syukurlah, kuharap itu benar. Kau tahu apa yang kudengar tadi malam dari teman-temannya Anthony.. Dia …. Punya banyak rahasia sebelum pindah Beauford” tukas Martha berlagak lebih tahu dariku.
“Aku sudah menikah. Gosip apapun tak akan mengubah pendapatku. Setidaknya saat ini, saat Aku telah syah menjadi Istri Barnet”
“Kau percaya diri juga Sister.. Baik. Untuk sementara ini takkan ada interogasi berlebih dari Seorang Martha”
“Oh, bila begitu sekarang giliranku” Dengan percaya diri kedua lenganku kulipat diatas perutku. “Kau, tak akan membuat James masuk dalam perangkapmu kan?”
Dia mendeham, tertawa, “Hahahaaahahahahaha” , terdengar terbahak-bahak. “James bukan anak kecil, kenapa Kamu seperti Mommy dengan dua tanduk dikepala sih?” Dia tertawa lagi.
“Dia Pria polos.. sudah tugasku sebagai teman untuk menekan laju kenakalan Wanita dewasa pada Pria Remaja tua” jawabku, blak-blakan.
“ Remaja tua? Hahahaha…. Hei, pengantin baru, Kami hanya iseng berbagi kebahagiaan, tak ada yang perlu kau khawatirkan, lama-lama Aku muak denganmu, dan Kamu sendiri, bagaimana dengan malam pertamamu? Seharusnya menyakitkan bila ini pertama kalinya” ejek Martha, tanpa melihatku.
“Itu…… masalahku”
“Berarti tadi malam Kau baru saja melewati sebuah masalah, masalah. Nyeri bukan?” Tekannya.
Dasar, Martha! Dia membuatku terpojok. “Masalahnya.. begitulah… tak perlu kusampaikan. Eh, tunggu, Aku melewatkan pertanyaan penting. Mana Ayah? Kenapa tak ada tanda-tanda kehadirannya?” tanyaku, sekaligus mengalihkan pembahasan KONYOL ini.
“Kau sengaja mengalihkan pembahasan ya?”
“Jawab saja”
“Ayah, menemani Ibu, di rumah sakit, Dia bilang akan pulang sore”
“Jadi karena itulah, Kau bebas mempergunakan rumah ini” sindirku lagi.
“Sudahlah, apa yang ada dirumah ini sudah tak normal. Jangan terlalu kolot” bantanya lagi.
“Aku mau mandi. Aku mau tidur siang ini” Dia segera beranjak pergi, menuju kamarnya, dan menutup pintunya. Okey. Kurasa nanti akan kutanya kembali, mungkin dilain waktu selain hari ini, selain itu akan kunasehati James yang polos itu juga, bila Pria itu tak setuju dengan pernikahanku, Aku juga takkan setuju bila Dia kencan dengan Kakakku.
Cklek!! Pintu ruang tamu terbuka. Sosok pendek besar, dan berjanggut besar masuk membawa sekantung belanjaan masuk, dan menutup pintu. Ayah akhirya pulang. “Ayah” panggil.
“Megan….?” Dia tersentak, entah kenapa cukup kaget melihatku disini. “Apa yang kau lakukan disini?”
***
"Ayah…."Aku mencoba menyapa Ayah yang datang, dengan eskpresi setengah mengantuk. Menjaga Mom pasti membuatnya lelah. "Kenapa Mrs Barnet ada dirumah ini, siang-siang?" Dia berjalan tanpa memandang puteri angkatnya yang sedang menatapnya. "Ayah.. Kenapa memanggilku mrs Barnet? Aku kan masih puteri Ayah" jawabku, yang mencoba riang. Ayah terlihat sedikit aneh. Ayah tak menjawab. Dia bahkan tak menatapku. "Pergilah, ini bukan tempatmu sekarang Nak" Perkataan Ayah membuat keningku mengerut. Ada apa dengan Ayahku? Tadi malam Dia tak bermasalah denganku. "Ayah kenapa?" Aku mendekatinya. "Wanita yang baru menikah satu hari seharusnya bersama Suaminya" "Aku diijinkan datang kesini, Ayah tak perlu cemas" "Tapi Ayah yang cemas, Kau tak tahu kan tabiat Suamimu." Oh, kurasa itulah alasan Ayahku marah. Mungkin apa yang Dia saksikan tadi malam, membuatnya ragu pada Rumah tangga baruku. Anthony Garret Barnet tak hanya membuatku marah, tapi juga Ayahk
Sesampainya di rumah, aku langsung merebahkan badan di atas tempat tidur. Aku ingin berhela-hela dulu untuk sementara waktu, pikiran dan hati ini sungguh lelah adanya. karena waktuku disini masih panjang. Panjang, untuk berjuang. Semangat juang harus kupupuk sejak saat ini, karena sang pemilik rumah bukanlah orang yang ramah. Kupandang langit-langit megah di rumah ini. Tempat ini cukup luas, hingga membuatku minder. Bila saja. Aku tak menikah dengan Anthony, kira-kira apa yang akan kulakukan saat ini? Apa Aku akan mencari pekerjaan tambahan lainnya? Bodoh, untuk apa lagi aku berpikir seperti itu. Tugasku saat ini hanyalah menjalankan perintah Anthony yang galak itu, meskipun aku tak tahu apa yang akan terjadi padaku setelah ini. Dan hembusan nafas berat kembali mengalir dari hidungku. Membandingkan kenyamanan di sini dan di rumahku tadi, membuatku kembali menitikkan airmata. Tidak.., tidak, tidak. Aku harus tegar. Semua telah kutandatangan
“Awas saja kalau dia tiba-tiba mendekatiku lagi, akan ku potong anunya!”"Kau mau potong apaku..?""Astaga gila!" hatiku, dan otakku bergejolak mendengar suaranya muncul di belakangku. Aku mencoba berbalik dan mengubah ekspresiku menjadi biasa lagi (meskipun jantungku baru saja mengeras gara-gara pria ini selalu datang disaat yang tidak tepat). Benar-benar tidak tepat. "Kau mau potong apaku?" tanyanya lagi. "Si-Siapa yang merujuk padamu?" Aku berkilah. Hal itu pun membuatnya memicingkan mata."Kalau itu adalah milikku yang besar ini, kamulah yang akan dimutilasi oleh Grandma" ucapnya dengan senyum terkekehnya yang menyebalkan.Besar? Dasar pria gila, seronok!"Kenapa Grandma yang harus memutilasiku?"nada bicara terdengar sewot."Karena gara-gara kamu, Aku tak punya pewaris" Enteng sekali caranya menjawab.Aku tidak peduli dengan masa depanmu. Karena bukan Aku yang akan memb
Aku telah selesai makan dan menaruh peralatan makanku dimeja dapur ketika kudengar suara mobil Chevrolet Colorado berhenti di depan pintu utama. Cepat sekali? Apa mungkin dia mengantar Anthony setengah jalan? Ya, mungkin saja. Kurasa Anthony tidak akan kembali hingga malam nanti. "Baiklah akan kubuang saja makanan ini," dia membuatku mengerjakan ini semua padahal dia tidak memakannya. Tanganku lalu meraih plastik-plastik bening untuk membuang makanan-makanan ini. Dan, tanganku, terlebih dahulu memilih new England chowder. "Apa yang kau lakukan?!" Tersentak oleh pertanyaan itu, mataku memburu dari mana datangnya suara itu. "Anthony?" Dia tepat berada di depan meja makan sembari bertolak pinggang, dan ada iPad ditangan kirinya. "Kenapa makanan di buang buang?" tanya seperti bukan orang kaya saja. "A... Anu.. " Dia akhirnya sampai di depanku dengan matanya yang sewot. "Kenapa membuang makanan itu? Aku ka
Silau. Mataku baru saja dipaksa mengerjap-ngerjap ketika kulihat sosok pria tubuh tinggi besar yang baru saja membuka layar. Caranya membuka layar sebelahnya lagi menyadari, itu bukan cara sembarang orang, kecuali…. Mataku membelalak. " lAnthony?!" Pekikku. Dia berhenti dengan posisi bertolak pinggang di depanku. "Bangun" ucapnya. Aku beringsut dan bangun secepat kilat meletakkan kakiku kelantai namun aku hampir terjatuh karena masih linglung. Hep! Tangannya dengan cepat meraihku, hingga tubuhku berada dalam dekapannya. Pandangan kami menjadi satu sesaat. Tampan. Sesaat Aku mengagumi Pemilik manik mata coklat terang itu. Dia sangat tampan, menyayat keangkuhanku yang selalu berkata kasar padanya. Kalau saja dia adalah pria baik, mungkin aku sedikit menaruh perasaan padanya. Tuk! "Awh!" tahu-tahu keningku diketuk oleh jemarinya. Sakit! Pria yang baru saja menyunggingkan s
Pria ini lebih ngotot dari yang kukira. Padahal tidak ada yang pernah menuduhku macam-macam, dan kini Dia mengataiku genit? Enak saja! Kalau bukan karena punya hutang budi kepadanya, tanganku mungkin akan segera menamparnya, berikut merobek-robek baju olahraganya dengan kuku-kukuku yang mulai panjang ini. Ingin sekali Aku terbawa emosi sesaat ini, namun tidak. Akal sehatku memilih untuk tak menggubrisnya, dan berjalan masuk mendahuluinya ke dalam rumah. "Hei!" Panggilnya. Tidak ada gunanya melawan Anthony, sebaiknya Aku pergi sebelum dia meraih tanganku kembali, dan mungkin akan menyuruhku yang tidak-tidak. "Megan Ariana Barnet! Aku memanggilmu!"Bulu kudukku merinding, tubuhku mendadak kaku karena namaku dipanggil lengkap menggunakan nama belakangnya. Karena penasaran lantas aku berbalik. "Diam di tempatmu!" Sahutnya, kemarahan yang tadi Dia semburkan padaku sudah tak kulihat. Apa dia menyerah? Aku memilih untuk tak bergeming. Sementara pria itu berjalan pada
Toktok!Suara ketukan terdengar dari pintu utama rumah Keira. "Oke tunggu..!" Keira selalu spontan mengatakan hal itu pada siapapun yang mengetuk pintunya. "Tunggu di sini" ujarnya, dan kujawab mengangguk. Dia lalu beranjak menuruni tangga sementara Aku menuruti instruksinya untuk tetap menunggu di kamarnya saja.Memandang seisi kamar Keira, membuat hati tenang. Nyawa mudaku seperti baru saja kembali, karena beberapa hari kemarin Aku harus berurusan dengan si kolot Anthony. Kamar Keira adalah tempat ternyaman kedua setelah kamar dirumahku, jadi meskipun hanya sehari, Aku tak masalah, setidaknya bebab dikepalaku akan kuhempaskan malam ini dengan bercengkerama bersama gadis itu.Anthony Gareth Barnett, Aku tidak mau berurusan dan melihatnya lagi. Beberapa hari menikah saja sudah membuatku seperti ini, apalagi dua tahun? Jangan-jangan nanti Aku hanya tinggal nama.Sudah sepuluh menit lamanya Keira di bawah, dan dia tak k
"Kamu?" Aku terkaget. "Kenapa kamu ada di sini?" Badanku beringsut menumpu pada sudut mobil tempatku masuk tadi. Aku tidak percaya pria itu dari tadi ada dimobil dan hanya bodyguard serta sopinya yang turun? "Kaget?" tanyanya yang bahkan tak menatapku. Iya, kaget. Mata, kepala, dan hatiku terkejut melihat Anthony Gareth Barnett bersama iPadnya berada di dalam mobil ini. Dia akhirnya menatapku pelan-pelan dengan senyum intensny yang benar-benar memuakkan. "Memangnya Aku tidak boleh menjemput istriku?" Itu yang dia katakan. Dan seketika otot-otot perutku memanas. Lucu sekali! 'menjemput istriku' katanya? Ekspresi dan caranya berbicara membuatku