"Apa?!" Dilara terkejut dengan mulut dan mata yang terbuka lebar. Nyaris saja bola mata gadis itu melompat keluar.
"Iya, Sayang. Mama tidak ada pilihan lain selain menerima perjodohan ini," ujar Guzel berharap putrinya akan mengerti.Andai ia bisa menolak, mungkin kabar perjodohan itu tidak akan sampai pada putrinya."Tapi, Ma. Lara masih terlalu muda untuk dinikahkan. Lagi pula, Lara masih sekolah dan Lara masih kelas tiga yang seharusnya fokus menghadapi ujian," tolak Dilara menggebu dengan kedua tangan yang mencengkram selimut kuat-kuat.Bagaimana bisa Dilara menerima perjodohan itu, sementara ia harus fokus pada ujian yang akan tiba beberapa bulan lagi? Meskipun harus menikah, ia harus menikah dengan pria yang ia cintai. Bukannya malah dijodohkan seperti ini dengan pria yang usianya berbeda empat belas tahun darinya."Ayolah, Sayang. Mama mohon! Kau tahu? Pria yang dijodohkan denganmu itu keturunan tunggal dari keluarga terhormat dan kaya raya. Bukankah cita-citamu menikah dengan pria kaya dan menjadi nyonya besar?"Guzel ingat betul sering menasehati putrinya agar menikah dengan orang yang dicintainya. Namun selain mengiyakan nasehat sang ibu, Dilara juga ingin mencari pria kaya agar hidupnya serba berkecukupan. Ya, meskipun ibunya sering mengatakan bahwa uang dan kekayaan tidak bisa menjamin kebahagiaan seseorang."Tidak, Ma. Pokoknya Lara tidak mau meskipun pria itu kaya sekalipun," tolak Dilara tegas.Gadis itu membuang pandangan menatap ke arah jendela yang terbuka lebar. Perlahan, pandangan matanya mulai mengabur. Angin yang berhembus dari luar mengusik pandangan hingga bulir-bulir bening pun jatuh tak tertahankan."Pokoknya Mama juga tidak mau tahu. Kau harus menerima perjodohan ini dan sebentar lagi keluarga dari calon suamimu akan datang untuk melamarmu. Jadi, bersiaplah di mulai dari sekarang," ujar Guzel tidak kalah tegasnya.Mendengar ucapan sang ibu, sontak Dilara langsung menoleh dengan terkejut. Ia pikir, kenapa sang ibu tidak bisa memahami perasaannya? Diulurkan tangannya dan menyentuh jemari sang ibu."Ma? Bisa tidak, sih, jangan memaksakan kehendak Lara? Lara masih terlalu muda untuk menikah. Lara ... belum siap dan masih ingin menikmati masa muda Lara," pinta Dilara sesenggukan."Kau tenang saja, Sayang. Semuanya sudah diatur dan kau hanya perlu mengikuti alurnya saja. Mama janji, setelah menikah kau akan hidup bahagia," balas Guzel bersikeras.Ibu satu anak itu meremas jemari putrinya. Lalu, ia mengulurkan tangan kanannya dan menghapus air mata yang jatuh membasahi wajah cantik Dilara.Bukan tanpa alasan Guzel begitu yakin tentang masa depan putrinya setelah menikah dengan keluarga Aslan. Hal itu terjadi karena ia tahu betul seperti apa mereka. Meskipun mereka keluarga konglomerat, tetapi mereka sangat baik. Tidak pernah membedakan status sosial mana yang atas, tengah, dan bawah.Siapa pun yang menjadi menantu keluarga itu akan selalu diliputi kebahagiaan. Jadi meski berat, ia harus merelakan putrinya demi kebahagiaan putrinya sendiri. Meskipun sudah menikah, pendidikan Dilara akan tetap dilanjutkan dan tidak akan berhenti di tengah jalan."Kenapa, sih, Mama bersikeras menjodohkan Lara dengan pria itu? Bukankah Mama pernah bilang, kalau Lara harus menikah dengan pria yang Lara cinta dan tidak memandang harta, tapi apa ini?" tanya Dilara tidak mengerti.Gadis itu menarik tangannya dan sedikit menjauhkan tubuhnya. Ia benar-benar tidak habis pikir dengan keputusan Ibunya. Tidakkah Guzel melihat betapa Dilara sangat tidak menginginkan perjodohan itu?"Mama tahu itu, Sayang. Mama melakukan ini demi kebaikanmu. Lagi pula, cinta akan tumbuh seiring berjalannya waktu. Apalagi yang mama dengar, pria yang dijodohkan denganmu sangat tampan. Mama yakin kau pasti akan menyukainya," jawab Guzel berusaha meyakinkan.Di tengah perdebatan ibu dan anak itu, tiba-tiba terdengar suara ketukan pintu. Guzel langsung bisa menebaknya karena Arash Aslan sudah memberitahunya sejak awal, bahwa pria itu akan datang ke rumahnya untuk melamar sekaligus menentukan tanggal pernikahan."Tuan Arash sudah datang. Lebih baik kau ganti bajumu dengan yang lebih sopan," kata Guzel bergegas beranjak berdiri."Tidak, Ma. Pokoknya Lara tidak mau menikah. Kalau sampai Mama memaksa, jangan salahkan Lara kalau nanti Lara kabur," sanggah Dilara mengancam."Apa yang kau katakan, Lara?" tanya Guzel terkejut.Seumur-umur, Guzel tidak pernah berpikir kalau putri semata wayangnya itu akan berani mengancamnya. Apalagi di saat-saat serius seperti ini."Ya, Lara akan kabur di hari pernikahan nanti," sahut Dilara menjelaskan."Jangan bercanda, Sayang. Candaanmu kali ini benar-benar tidak lucu dan Mama tidak suka." Guzel menggelengkan kepala sambil menatap tajam putrinya"Lara serius, Ma. Kalau sampai pernikahan ini terjadi, Lara akan pergi sejauh mungkin," balas Dilara menggebu.Lagi-lagi, terdengar suara ketukan pintu. Suasana tegang di kamar itu musnah seketika. Guzel pun tidak ingin membuat tamu kehormatannya menunggu terlalu lama di luar."Jangan pernah berpikir untuk kabur, Lara. Mama akan keluar sekarang dan kau ganti baju. Setelah itu, kau harus ke depan," ujar Guzel sebelum akhirnya keluar.Sementara itu, Dilara berjalan ke sana kemari sambil menggigiti kuku jari tangannya. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan."Ayolah, Lara! Berpikir, berpikir, berpikir. Kau harus melakukan sesuatu agar pria itu tidak menyukaimu," gumam gadis itu sambil beberapa kali memukul kepalanya sendiri."Aha, aku punya ide!" cetus Dilara sambil menjentikkan jarinya.Gadis itu berencana untuk memakai pakaian yang mungkin tidak disukai oleh Arash. Ia ingin menunjukkan bahwa seorang Dilara tidak pantas dijadikan menantu oleh keluarga terpandang seperti mereka."Baiklah, aku harus pakai baju yang mana sekarang? Bukan ini, bukan ini, bukan yang ini juga."Dilara mulai mengacak-acak isi lemari. Melempar satu per satu pakaiannya ke atas tempat tidur hingga menjulang tinggi."Aku pakai ini saja," lanjutnya sambil meraih kaos tanpa lengan dan celana sobek-sobek.Gadis itu lekas mengganti baju dan duduk di depan meja rias. Tidak lama kemudian, ia selesai dengan penampilan yang urakan. Bibirnya yang hitam dan perona hitam di bawah matanya."Aku yakin, mereka akan langsung mengurungkan niat mereka menjadikanku menantu. Lagian, siapa suruh menjodohkanku dengan pria tua berusia tiga puluh satu tahun. Bukannya dijadikan sebagai istri, yang ada aku malah dijadikan sebagai pengasuh pria tua itu," lirih Dilara sambil tersenyum menyeringai. Ia beranjak berdiri dan melangkah keluar.Pria berusia tiga puluh satu tahun tidaklah tua. Justru di usia itu pria sudah sangat matang untuk menikah. Hanya Dilara saja yang melebih-lebihkan karena tidak suka.Suara deritan pintu membuat Guzel menyadari bahwa putrinya telah datang."Kemarilah, Sayang, sapa Kakek Arash," kata Guzel tanpa menoleh ke belakang. Ia tidak tahu bagaimana kondisi putrinya saat ini.Mendengar ucapan sang ibu membuat Dilara memantapkan langkahnya. Baru sampai di pertengahan jalan, gadis itu menyapa, "Halo, Kakek."Sontak, Arash menoleh ke asal suara. Ia cukup terkejut melihat penampilan Dilara yang acak-acakan. Kerutan di dahinya semakin terlihat jelas dan manik matanya pun berubah menyipit.Melihat perubahan ekspresi wajah Arash, sontak Guzel mengikuti arah pandang pria itu. Ia benar-benar terkejut melihat penampilan Dilara. Ia meminta sang putri agar mengganti baju lebih sopan, tapi ternyata yang dikenakan justru jauh dari kata tidak sopan."Halo juga, Dilara," balas Arash menyapa.Dilara melanjutkan langkahnya dan langsung duduk di samping ibunya. Raut wajah gadis itu sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah. Justru, ia terlihat seperti orang yang telah memenangkan sebuah kompetisi."Sudah Lara bilang, kalau Lara tidak mau dijodohkan. Kalau Mama masih memaksa, Lara akan kabur," batin Dilara sambil melirik sinis ke arah ibunya."Saya permisi sebentar, Tuan," pamit Guzel beranjak berdiri sambil menarik tangan putrinya."Apaan, sih, Ma. Lara mau di sini saja. Bukankah Mama mau menjodohkan Lara dengan cucu dari Kakek ini? Lalu, kenapa Mama menarik tangan Lara?" protes Dilara tidak suka. Padahal dalam hatinya sedang menertawakan sang ibu."Ikut mama sebentar," geram Guzel sambil menggertakkan giginya."Ya sudah, iya," sungut Dilara ketus.Apa pun yang terjadi, ia harus membawa putrinya ke kamar dan memperbaiki riasan wajah juga pakaiannya. Jujur, ia tidak berpikir sama sekali bahwa putrinya akan melakukan hal konyol seperti itu."Tunggu sebentar!" cegah Arash."Iya, Tuan. Apa ada yang Anda butuhkan?" tanya Guzel."Biarkan saja penampilan Dilara seperti ini. Sebenarnya, kedatanganku ke sini karena ingin memberitahukan bahwa pernikahan Dilara dan cucuku akan digelar tiga hari dari sekarang," jelas Arash membuat bola mata Dilara nyaris melompat keluar."A-apa?" Dilara begitu terkejut.Harus menikah dengan pria yang
Dengan jantung yang berdegup kencang, Dilara menghentikan langkahnya. "Bukan. Saya salah satu tamu undangan hadir," sahut Dilara berbohong.Setelah menjawab, ia bergegas melanjutkan langkahnya dengan terburu-buru. Masuk ke dalam lift dan menghilang dalam sekejap mata.Sementara itu, Guzel kembali setelah dari toilet. Ia membuka pintu perlahan dan tidak mendapati putrinya di kursi. Melangkah masuk ke dalam dan mengedar pandangan. Namun sayangnya, Dilara tetap tidak ada di sana."Apa Lara sudah dibawa ke pelaminan? Tapi, kenapa tidak menungguku?" batin Guzel bertanya-tanya.Berhubung pikiran Guzel putrinya sudah dibawa ke pelaminan. Jadi, ia bergegas melangkah keluar. "A-aww!" pekik Guzel terkejut.Wanita itu hampir terjatuh karena menginjak sesuatu. Ia lekas membungkukkan tubuhnya dan meraih benda berwarna putih."Apa ini? Bukankah ini mirip seperti ... hak tinggi. Yah, hak tinggi." Ia lekas meraih hak tinggi di kakinya untuk memastikan, "Bagaimana bisa ini ada di sini?" tanyanya samb
"Kenapa kau diam saja? Cepat jalan bodoh atau kau--"Tanpa menjawab, Guzel melangkah maju membuat ucapan Serkan terhenti. "Tunggu!" cegah Serkan."Apalagi, sih?" keluh Guzel kesal. Ia tidak tahu dengan apa yang sebenarnya pria itu inginkan."Air mata. Hapus air matamu dan berhenti menangis. Tunjukkan senyum terbaikmu agar tidak ada satu orang pun yang curiga," sahut Serkan menjelaskan.Bagaimana bisa wajah Guzel bersimbah air mata ketika mereka hendak menuju pelaminan? Apa kata tamu undangan nanti kalau mereka melihatnya?"Bagaimana bisa aku tersenyum kalau--""Aku tidak mau tahu. Kalau kau merusak acara ini dan membuat keluargaku malu. Akan kuhabisi putrimu," potong Serkan mengancam.Semua ini terjadi karena Dilara. Jadi, Serkan sengaja mengancam agar Guzel menurut dan tidak membuat masalah."Ti-tidak, jangan. Ak-aku ... aku akan berhenti menangis dan tersenyum," ujar Guzel ketakutan sambil menghapus air mata di wajahnya."Bagus. Ingat putrimu kalau kau mau berbuat macam-macam," kat
Manik mata Serkan bergerak dari atas ke bawah. Meneliti setiap jengkal bagian tubuh Guzel. Seketika, pria itu menelan ludahnya dengan kasar. Meski ia sudah menelannya berkali-kali, lehernya tetap terasa kering."Ehem!" Pria itu berdehem berusaha menetralkan pikirannya yang hampir berkelana entah ke mana. "Sial! Kenapa dia harus memakai kemeja itu, sih?"Guzel sama sekali tidak tahu bagaimana reaksi Serkan. Yang ia pikirkan saat ini hanya meletakkan pakaian kotor dan pergi tidur. "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau bolak-balik tidak jelas seperti itu? Mengganggu saja," tanya Serkan kesal."Maaf. Aku akan berhenti dan pergi tidur," balas Guzel bergegas membaringkan tubuhnya di sofa.Wanita itu berbaring dengan posisi terlentang melipat kedua tangannya di perut dan memejamkan mata. Lama-kelamaan, ia merasa kurang nyaman karena lampu kamar masih menyala dan menyilaukan mata. Jadi, ia memutuskan untuk membalikkan tubuhnya dengan posisi miring.Mendengar suatu pergerakan, Serkan menoleh dan
"Terimakasih, Mas," ujar Guzel setelah berada di depan rumahnya."Tunggu!" cegah Serkan ketika sang istri hendak turun."Ada apa?" tanya Guzel sambil mengerutkan keningnya.Setengah perjalanan, mereka hanya diam. Tidak ada gerak-gerik mencurigakan dari keduanya. Namun tiba-tiba, Serkan menghentikan Guzel Ketika bersiap untuk turun. Apa ia perlu membayar jasa antar?"Apa perlu aku temani?" Serkan terlihat salah tingkah. "Maksud aku, apa kau tidak memintaku untuk mampir sebentar?"Semalam, ia meminta sekretarisnya untuk mencari informasi pribadi Guzel. Namun sampai keesokan harinya, ia belum juga mendapatkan informasi apa pun. Berhubung ia sangat penasaran dengan sosok Dilara. Jadi, ia berencana untuk mampir sebentar. Hal itu ia lakukan karena ingin tahu seperti apa sosok gadis itu, sampai-sampai pergi meninggalkannya di tengah pelaminan."Sebenarnya aku ingin, tapi kau ada rapat penting sebentar lagi," balas Guzel ragu."Tidak masalah. Aku bisa menundanya sekitar tiga puluh menit. Itu,
"Ada apa? Kenapa kau datang ke sini?" tanya Serkan terkejut. Baru saja menyelesaikan rapat dan hendak kembali ke ruangannya. Tiba-tiba, ia dikejutkan dengan keberadaan Guzel di depan pintu lift, tepat di depan matanya."Aku membawakan ini sebagai ucapan terimakasihku," sahut Guzel sambil mengangkat rantang di tangan kanannya.Pandangan mata Serkan bergerak menatap rantang itu. Kemudian, ia melangkah keluar melewati istrinya."Seharusnya kau tidak perlu repot-repot. Aku melakukan itu hanya demi kemanusiaan saja," balas Serkan datar.Ucapannya terdengar seperti pria itu akan melakukan hal yang sama, jika itu terjadi pada orang lain. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Ia melakukan itu hanya untuk Guzel dan untuk yang pertama kalinya seumur hidup. Meskipun demikian, Guzel tidak merasa kecewa sama sekali. Mungkin karena wanita itu belum ada perasaan apa pun pada Serkan."Tidak apa-apa. Memasak adalah hobiku dan ini sama sekali tidak merepotkan." Guzel berbalik dan mengikuti Serkan ma
Manik mata Serkan terbelalak sambil menahan nafas. Seumur-umur, ia belum pernah yang namanya berciuman. Bahkan sekedar berpacaran saja belum pernah. Tidakkah kalian penasaran dengan apa yang Serkan rasakan saat ini?Entah sudah berapa lama mereka berdua berada dalam posisi itu. Jarum panjang jam dinding terus bergerak memutar. Dan tiba-tiba, Guzel menggeliat melepaskan tangannya dan meringkuk."Ini tidak enak," lirihnya dengan manik mata yang masih terpejam sempurna.Mendengar hal itu, manik mata Serkan membola karena terkejut. "Apa kau bilang?" geram pria itu.Bagaimana bisa Guzel berkata seperti itu setelah merenggut ciuman pertama Serkan? Hal itu membuat sang empu tidak terima dan marah. Lihat saja, wajah yang memerah, gigi yang saling dieratkan, dan tangan yang terkepal kuat."Sial!" umpat Serkan kesal. Ia beranjak berdiri dan menyugar rambutnya ke belakang.Andai saat ini Guzel tidak sedang tidur. Mungkin Serkan sudah membuat pembalasan telak. Entah itu dengan sebuah kecupan men
Dengan nafas yang terengah-engah, Serkan menjauhkan kepalanya. Manik mata berkabutnya menatap bibir Guzel yang membengkak. Rasanya, masih sangat kurang untuk berhenti. Rasanya ingin lagi dan lagi sampai merasa puas."Sial! Aku harus apa sekarang?" umpat Serkan kesal.Ia kebingungan harus berbuat apa sementara sisi liarnya sudah bangkit dari keabadian. Padahal seharusnya, ia menahan diri dan tidak melakukan banyak kecupan. Cukup hanya sekali kecupan dan bukannya masalah sampai ke tiga kecupan. Sekarang, ia sendiri yang terkena batunya karena tidak bisa menahan diri lagi."Sekali lagi. Yah, sekali lagi. Aku janji hanya akan melakukan satu kali lagi. Setelah ini, aku akan pergi tidur," kata Serkan setelah nafasnya teratur.Ia pikir, ia bisa tidur setelah sisi liarnya bangun. Padahal, semakin ia melakukannya lagi. Mak, sisi liarnya akan meminta lebih untuk memuaskan diri. Namun sayangnya, pria itu terlalu bodoh untuk memahami dirinya sendiri."Satu, dua, tiga." Dalam hitungan detik, ia k