"Pagi, Sayang," sapa Gregory dengan suara renyah.Semalam setelah mengetahui Satya mengatakan tentang kondisinya pada Dilara, Gregory tidak bisa tenang. Sekedar untuk menutup mata dan tidur saja kesulitan. Pikirannya kacau takut membuat anak-anaknya khawatir. Jadi tepat pukul tiga pagi, ia meminta Satya agar mengantarnya pulang. Kini, di sanalah pria dua anak itu berada. Berdiri di depan pintu ruang meja makan menatap tiga orang tercintanya.Sontak, semua orang yang ada di meja makan menoleh ke asal suara. Manik mata si kembar terlihat berbinar-binar. Mereka beranjak berdiri dan mendorong kursi ke belakang."Daddy!" teriak si kembar bersamaan sambil berlari mendekat.Melihat betapa antusias kedua putranya, muncul guratan khawatir di wajah Dilara. Ia ingat betul luka yang Gregory alami ada di dada kiri. Kemudian, lekas beranjak mengejar Shine dan Shane berusaha melindungi Gregory dengan cara berdiri membentangkan kedua tangan tepat di depan tubuh pria itu."Mommy, Shine mau peluk Daddy
Dilara seolah menerima perlakuan Gregory, padahal ia berusaha menahan. Awalnya ia ingin mendorong tubuh pria itu menjauh, tetapi takut tekanan yang dibuat akan membuat ayah kedua anaknya kesakitan.Meskipun demikian, lama-kelamaan ia mulai terlena. Tanpa sadar meresapi dan membuka mulutnya secara perlahan memberi akses Gregory untuk menjelajahi setiap rongga mulutnya.Ketika napas keduanya memburu, keringat gairah menyelimuti, Gregory menjauhkan kepalanya. Bola mata berkabutnya menatap netra cantik Dilara yang sama berkabutnya dengannya."Bisakah kita melakukannya?" tanya Gregory dengan suara serak."Hah? Apa?" Dilara tersentak kaget mendengar pertanyaan Gregory. Ia sampai melangkah mundur dengan tidak seimbang."Tidak, tidak ada." Gregory menggeleng sambil tersenyum.Bisa lebih banyak interaksi dan sampai berciuman saja sudah membuat Gregory sangat bahagia. Jadi meski ingin, ia tidak boleh terlalu terburu-buru. Sedikit menahannya tidaklah sulit, sementara selama ini ia bisa menunggu
"Apa?!" Dilara terkejut dengan mulut dan mata yang terbuka lebar. Nyaris saja bola mata gadis itu melompat keluar."Iya, Sayang. Mama tidak ada pilihan lain selain menerima perjodohan ini," ujar Guzel berharap putrinya akan mengerti.Andai ia bisa menolak, mungkin kabar perjodohan itu tidak akan sampai pada putrinya."Tapi, Ma. Lara masih terlalu muda untuk dinikahkan. Lagi pula, Lara masih sekolah dan Lara masih kelas tiga yang seharusnya fokus menghadapi ujian," tolak Dilara menggebu dengan kedua tangan yang mencengkram selimut kuat-kuat.Bagaimana bisa Dilara menerima perjodohan itu, sementara ia harus fokus pada ujian yang akan tiba beberapa bulan lagi? Meskipun harus menikah, ia harus menikah dengan pria yang ia cintai. Bukannya malah dijodohkan seperti ini dengan pria yang usianya berbeda empat belas tahun darinya."Ayolah, Sayang. Mama mohon! Kau tahu? Pria yang dijodohkan denganmu itu keturunan tunggal dari keluarga terhormat dan kaya raya. Bukankah cita-citamu menikah dengan
"Saya permisi sebentar, Tuan," pamit Guzel beranjak berdiri sambil menarik tangan putrinya."Apaan, sih, Ma. Lara mau di sini saja. Bukankah Mama mau menjodohkan Lara dengan cucu dari Kakek ini? Lalu, kenapa Mama menarik tangan Lara?" protes Dilara tidak suka. Padahal dalam hatinya sedang menertawakan sang ibu."Ikut mama sebentar," geram Guzel sambil menggertakkan giginya."Ya sudah, iya," sungut Dilara ketus.Apa pun yang terjadi, ia harus membawa putrinya ke kamar dan memperbaiki riasan wajah juga pakaiannya. Jujur, ia tidak berpikir sama sekali bahwa putrinya akan melakukan hal konyol seperti itu."Tunggu sebentar!" cegah Arash."Iya, Tuan. Apa ada yang Anda butuhkan?" tanya Guzel."Biarkan saja penampilan Dilara seperti ini. Sebenarnya, kedatanganku ke sini karena ingin memberitahukan bahwa pernikahan Dilara dan cucuku akan digelar tiga hari dari sekarang," jelas Arash membuat bola mata Dilara nyaris melompat keluar."A-apa?" Dilara begitu terkejut.Harus menikah dengan pria yang
Dengan jantung yang berdegup kencang, Dilara menghentikan langkahnya. "Bukan. Saya salah satu tamu undangan hadir," sahut Dilara berbohong.Setelah menjawab, ia bergegas melanjutkan langkahnya dengan terburu-buru. Masuk ke dalam lift dan menghilang dalam sekejap mata.Sementara itu, Guzel kembali setelah dari toilet. Ia membuka pintu perlahan dan tidak mendapati putrinya di kursi. Melangkah masuk ke dalam dan mengedar pandangan. Namun sayangnya, Dilara tetap tidak ada di sana."Apa Lara sudah dibawa ke pelaminan? Tapi, kenapa tidak menungguku?" batin Guzel bertanya-tanya.Berhubung pikiran Guzel putrinya sudah dibawa ke pelaminan. Jadi, ia bergegas melangkah keluar. "A-aww!" pekik Guzel terkejut.Wanita itu hampir terjatuh karena menginjak sesuatu. Ia lekas membungkukkan tubuhnya dan meraih benda berwarna putih."Apa ini? Bukankah ini mirip seperti ... hak tinggi. Yah, hak tinggi." Ia lekas meraih hak tinggi di kakinya untuk memastikan, "Bagaimana bisa ini ada di sini?" tanyanya samb
"Kenapa kau diam saja? Cepat jalan bodoh atau kau--"Tanpa menjawab, Guzel melangkah maju membuat ucapan Serkan terhenti. "Tunggu!" cegah Serkan."Apalagi, sih?" keluh Guzel kesal. Ia tidak tahu dengan apa yang sebenarnya pria itu inginkan."Air mata. Hapus air matamu dan berhenti menangis. Tunjukkan senyum terbaikmu agar tidak ada satu orang pun yang curiga," sahut Serkan menjelaskan.Bagaimana bisa wajah Guzel bersimbah air mata ketika mereka hendak menuju pelaminan? Apa kata tamu undangan nanti kalau mereka melihatnya?"Bagaimana bisa aku tersenyum kalau--""Aku tidak mau tahu. Kalau kau merusak acara ini dan membuat keluargaku malu. Akan kuhabisi putrimu," potong Serkan mengancam.Semua ini terjadi karena Dilara. Jadi, Serkan sengaja mengancam agar Guzel menurut dan tidak membuat masalah."Ti-tidak, jangan. Ak-aku ... aku akan berhenti menangis dan tersenyum," ujar Guzel ketakutan sambil menghapus air mata di wajahnya."Bagus. Ingat putrimu kalau kau mau berbuat macam-macam," kat
Manik mata Serkan bergerak dari atas ke bawah. Meneliti setiap jengkal bagian tubuh Guzel. Seketika, pria itu menelan ludahnya dengan kasar. Meski ia sudah menelannya berkali-kali, lehernya tetap terasa kering."Ehem!" Pria itu berdehem berusaha menetralkan pikirannya yang hampir berkelana entah ke mana. "Sial! Kenapa dia harus memakai kemeja itu, sih?"Guzel sama sekali tidak tahu bagaimana reaksi Serkan. Yang ia pikirkan saat ini hanya meletakkan pakaian kotor dan pergi tidur. "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau bolak-balik tidak jelas seperti itu? Mengganggu saja," tanya Serkan kesal."Maaf. Aku akan berhenti dan pergi tidur," balas Guzel bergegas membaringkan tubuhnya di sofa.Wanita itu berbaring dengan posisi terlentang melipat kedua tangannya di perut dan memejamkan mata. Lama-kelamaan, ia merasa kurang nyaman karena lampu kamar masih menyala dan menyilaukan mata. Jadi, ia memutuskan untuk membalikkan tubuhnya dengan posisi miring.Mendengar suatu pergerakan, Serkan menoleh dan
"Terimakasih, Mas," ujar Guzel setelah berada di depan rumahnya."Tunggu!" cegah Serkan ketika sang istri hendak turun."Ada apa?" tanya Guzel sambil mengerutkan keningnya.Setengah perjalanan, mereka hanya diam. Tidak ada gerak-gerik mencurigakan dari keduanya. Namun tiba-tiba, Serkan menghentikan Guzel Ketika bersiap untuk turun. Apa ia perlu membayar jasa antar?"Apa perlu aku temani?" Serkan terlihat salah tingkah. "Maksud aku, apa kau tidak memintaku untuk mampir sebentar?"Semalam, ia meminta sekretarisnya untuk mencari informasi pribadi Guzel. Namun sampai keesokan harinya, ia belum juga mendapatkan informasi apa pun. Berhubung ia sangat penasaran dengan sosok Dilara. Jadi, ia berencana untuk mampir sebentar. Hal itu ia lakukan karena ingin tahu seperti apa sosok gadis itu, sampai-sampai pergi meninggalkannya di tengah pelaminan."Sebenarnya aku ingin, tapi kau ada rapat penting sebentar lagi," balas Guzel ragu."Tidak masalah. Aku bisa menundanya sekitar tiga puluh menit. Itu,