"Saya permisi sebentar, Tuan," pamit Guzel beranjak berdiri sambil menarik tangan putrinya.
"Apaan, sih, Ma. Lara mau di sini saja. Bukankah Mama mau menjodohkan Lara dengan cucu dari Kakek ini? Lalu, kenapa Mama menarik tangan Lara?" protes Dilara tidak suka. Padahal dalam hatinya sedang menertawakan sang ibu."Ikut mama sebentar," geram Guzel sambil menggertakkan giginya."Ya sudah, iya," sungut Dilara ketus.Apa pun yang terjadi, ia harus membawa putrinya ke kamar dan memperbaiki riasan wajah juga pakaiannya. Jujur, ia tidak berpikir sama sekali bahwa putrinya akan melakukan hal konyol seperti itu."Tunggu sebentar!" cegah Arash."Iya, Tuan. Apa ada yang Anda butuhkan?" tanya Guzel."Biarkan saja penampilan Dilara seperti ini. Sebenarnya, kedatanganku ke sini karena ingin memberitahukan bahwa pernikahan Dilara dan cucuku akan digelar tiga hari dari sekarang," jelas Arash membuat bola mata Dilara nyaris melompat keluar."A-apa?" Dilara begitu terkejut.Harus menikah dengan pria yang jauh lebih tua darinya saja sudah membuatnya cukup terkejut. Apalagi ia harus menikah tiga hari mendatang. Rasanya jantung yang bersemayam di dalam tubuhnya hampir berhenti berdetak."Kenapa? Apa terlalu lama?" Arash bertanya seolah ia tidak tahu keterkejutan yang Dilara tunjukkan. "Kalau begitu, bagaimana kalau dua hari dari sekarang?"Alih-alih memundurkan waktunya, pria tua itu justru semakin memajukan harinya. Ia terlihat sangat bersemangat ingin menikahkan cucunya dengan Dilara."Apa?!" teriak Dilara jauh lebih terkejut dari sebelumnya. Bahkan ia sampai beranjak berdiri."Astaga, Dilara! Apa kau sudah tidak sabar ingin menikah dengan cucuku?" Arash mengangguk-anggukkan kepalanya sambil menyentuh jenggot putihnya, "Baiklah kalau begitu, acara pernikahanmu dan cucuku digelar besok pagi saja," putus pria tua itu tanpa memberi Dilara kesempatan untuk berbicara."Be-besok?"Mulut dan mata Dilara terbuka lebar-lebar. Seluruh tubuhnya terasa lemas seolah tidak Memiliki tulang. Hanya dalam hitungan detik, tubuhnya sudah meluruh ke sofa."Lara tidak salah dengar, 'kan?" tanya Dilara dengan tatapan kosong."Tentu saja tidak." Arash menatap Dilara dengan seringaian tipisnya, "Kalau begitu, kakek permisi pulang dulu karena harus mengurus semuanya," imbuhnya sambil beranjak berdiri."Tunggu!" Dilara beranjak bangun, "Tidak bisakah pernikahan ini diundur? Setidaknya, Lara harus mempersiapkan diri," lanjutnya meminta.Jika rencananya akan kabur nanti menjelang hari pernikahan, maka ia harus mempersiapkan segalanya. Jangan sampai ia tertangkap di tengah jalan dan kembali dinikahkan."Sayangnya tidak bisa," tolak Arash.Rencana awal memang akan menikahkan cucunya dengan Dilara tiga hari lagi. Akan tetapi, kesabarannya tiba-tiba hilang melihat betapa menggemaskannya Dilara saat ini. Ia yakin, cucu semata wayangnya akan menyukai gadis pilihannya.Mendengar penolakan Arash, tubuh Dilara kembali meluruh ke sofa. Bedanya, kali ini gadis itu terlihat lebih hancur dari sebelumnya. Ia terlihat tidak memiliki semangat hidup sama sekali."Mari saya antar," kata Guzel sambil mengulurkan tangannya mempersilakan agar Arash berjalan lebih dulu.Setelah sampai di depan pintu, Arash berkata, "Besok pagi, akan ada yang datang menjemput.""Baik, Tuan," balas Guzel mengangguk.Arash kembali melanjutkan langkahnya. Di depan sana, terlihat seorang supir terburu-buru turun dan membuka pintu mobil. Arash menoleh ke belakang sekilas dan mengangguk. Lalu, ia masuk dan mobil pun mulai menghilang dari area pelataran rumah.Guzel menghela nafas pelan. Manik matanya menyapu setiap pot bunga yang tersusun rapi di halaman rumah. Mungkin sebentar lagi, ia sendiri yang akan menggantikan Dilara merawat bunga-bunga itu. Lalu, ia membalikkan tubuhnya hendak masuk ke dalam."Mama jahat. Mama sudah tidak sayang Lara lagi," ujar Dilara dingin.Dada gadis itu bergerak naik turun dan hidungnya pun kembang kempis. Ia benar-benar kesal dengan ibunya yang sama sekali tidak mau memahami perasaannya."Ini demi kebaikanmu, Sayang." Guzel melangkah masuk menghampiri putrinya. Namun sayang, Dilara justru bergerak menjauh."Tidak. Kalau Mama sayang Lara, Mama tidak akan memaksa Lara untuk menikah," sergahnya sambil menggeleng pelan. Suaranya bergetar diiringi bulir-bulir bening yang menetes.Andai sang ibu benar-benar menyayanginya, mungkin Dilara tidak akan dipaksa menikah. Mungkin penolakannya akan perjodohan itu akan didengar."Mama tidak punya pilihan lain, Lara. Ayolah, Sayang. Calon suamimu itu tampan, kaya, dan berasal dari keluarga baik-baik. Akan sulit mendapatkan pria sempurna sepertinya di luaran sana," kata Guzel membujuk."Ya sudah, Mama saja yang nikah sama dia. Kenapa harus Lara?" sanggah Dilara menggebu. Manik matanya membola dan memerah.Yah. Kenapa tidak Guzel saja? Tentu saja karena yang mereka inginkan itu Dilara dan bukan Guzel."Mana bisa? Mama sudah tua dan dia tidak mungkin mau. Lagi pula, di sini masih ada nama Papamu." Guzel menyentuh dadanya yang masih bergetar hebat untuk mendiang suaminya.Untuk orang kaya seperti mereka, apalagi pria itu tidak memiliki kekurangan apa pun. Tidak mungkin akan menerima janda berusia tiga puluh tujuh tahun dengan seorang putri."Bahkan Mama sendiri tidak mau. Pakai alasan Papa segala," sindir Dilara.Ia tersenyum kecut melirik sinis ke arah ibunya. Lalu, berjalan meninggalkan sang ibu menuju kamar dan membanting pintu dengan keras."Astaga, Lara!" Guzel menatap pintu kamar putrinya frustasi. Duduk sambil memijat pelipisnya yang tiba-tiba terasa pusing.***Keesokan harinya, Dilara sudah di hotel. Saat ini ia berada di sebuah ruangan. Duduk di kursi khusus pengantin dengan mengenakan gaun yang sangat indah."Mama pergi ke toilet sebentar ya, Sayang," izin Guzel.Sebenarnya, ia ingin menahan rasa ingin buang air kecil karena sebentar lagi Dilara akan dipanggil menuju altar. Hanya saja, ia sudah tidak bisa menahannya lagi. Perutnya sudah terasa sangat sakit jika ditahan lebih lama lagi."Iya, Ma," sahut Dilara singkat.Tidak ada raut mencurigakan apa pun dari gadis cantik itu sehingga Guzel tidak menaruh rasa curiga. Ia pergi begitu saja tanpa tahu rencana besar putrinya untuk kabur."Ke toilet yang lama saja, Ma. Nanti setelah kembali, Lara sudah tidak ada lagi di sini," bisik Dilara dalam hati. Ia tersenyum licik sambil menatap punggung ibunya yang perlahan mulai menjauh dan menghilang.Sesaat kemudian, Dilara beranjak bagun. Melepas sepatu dan mematahkan haknya. Lalu, ia berusaha merobek gaunnya sebatas lutut. Sayangnya, tangannya tidak sekuat itu."Sial!" umpatnya kesal. Sepertinya ia tidak akan berlari dengan mudah dengan gaun sepanjang itu.Ditarik penutup kepala dan dilempar ke sembarang arah. Membuat posisi kuda-kuda dan berbisik, "Selamat tinggal, Mama." Sepersekian detik kemudian, ia melangkah keluar.Gadis itu berjalan mengendap-endap dengan manik mata yang bergerak ke sana kemari. Ketika ada orang yang melintas, ia bersikap biasa agar tidak ketahuan."Maaf. Bukankah Nona calon mempelai?"Dengan jantung yang berdegup kencang, Dilara menghentikan langkahnya. "Bukan. Saya salah satu tamu undangan hadir," sahut Dilara berbohong.Setelah menjawab, ia bergegas melanjutkan langkahnya dengan terburu-buru. Masuk ke dalam lift dan menghilang dalam sekejap mata.Sementara itu, Guzel kembali setelah dari toilet. Ia membuka pintu perlahan dan tidak mendapati putrinya di kursi. Melangkah masuk ke dalam dan mengedar pandangan. Namun sayangnya, Dilara tetap tidak ada di sana."Apa Lara sudah dibawa ke pelaminan? Tapi, kenapa tidak menungguku?" batin Guzel bertanya-tanya.Berhubung pikiran Guzel putrinya sudah dibawa ke pelaminan. Jadi, ia bergegas melangkah keluar. "A-aww!" pekik Guzel terkejut.Wanita itu hampir terjatuh karena menginjak sesuatu. Ia lekas membungkukkan tubuhnya dan meraih benda berwarna putih."Apa ini? Bukankah ini mirip seperti ... hak tinggi. Yah, hak tinggi." Ia lekas meraih hak tinggi di kakinya untuk memastikan, "Bagaimana bisa ini ada di sini?" tanyanya samb
"Kenapa kau diam saja? Cepat jalan bodoh atau kau--"Tanpa menjawab, Guzel melangkah maju membuat ucapan Serkan terhenti. "Tunggu!" cegah Serkan."Apalagi, sih?" keluh Guzel kesal. Ia tidak tahu dengan apa yang sebenarnya pria itu inginkan."Air mata. Hapus air matamu dan berhenti menangis. Tunjukkan senyum terbaikmu agar tidak ada satu orang pun yang curiga," sahut Serkan menjelaskan.Bagaimana bisa wajah Guzel bersimbah air mata ketika mereka hendak menuju pelaminan? Apa kata tamu undangan nanti kalau mereka melihatnya?"Bagaimana bisa aku tersenyum kalau--""Aku tidak mau tahu. Kalau kau merusak acara ini dan membuat keluargaku malu. Akan kuhabisi putrimu," potong Serkan mengancam.Semua ini terjadi karena Dilara. Jadi, Serkan sengaja mengancam agar Guzel menurut dan tidak membuat masalah."Ti-tidak, jangan. Ak-aku ... aku akan berhenti menangis dan tersenyum," ujar Guzel ketakutan sambil menghapus air mata di wajahnya."Bagus. Ingat putrimu kalau kau mau berbuat macam-macam," kat
Manik mata Serkan bergerak dari atas ke bawah. Meneliti setiap jengkal bagian tubuh Guzel. Seketika, pria itu menelan ludahnya dengan kasar. Meski ia sudah menelannya berkali-kali, lehernya tetap terasa kering."Ehem!" Pria itu berdehem berusaha menetralkan pikirannya yang hampir berkelana entah ke mana. "Sial! Kenapa dia harus memakai kemeja itu, sih?"Guzel sama sekali tidak tahu bagaimana reaksi Serkan. Yang ia pikirkan saat ini hanya meletakkan pakaian kotor dan pergi tidur. "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau bolak-balik tidak jelas seperti itu? Mengganggu saja," tanya Serkan kesal."Maaf. Aku akan berhenti dan pergi tidur," balas Guzel bergegas membaringkan tubuhnya di sofa.Wanita itu berbaring dengan posisi terlentang melipat kedua tangannya di perut dan memejamkan mata. Lama-kelamaan, ia merasa kurang nyaman karena lampu kamar masih menyala dan menyilaukan mata. Jadi, ia memutuskan untuk membalikkan tubuhnya dengan posisi miring.Mendengar suatu pergerakan, Serkan menoleh dan
"Terimakasih, Mas," ujar Guzel setelah berada di depan rumahnya."Tunggu!" cegah Serkan ketika sang istri hendak turun."Ada apa?" tanya Guzel sambil mengerutkan keningnya.Setengah perjalanan, mereka hanya diam. Tidak ada gerak-gerik mencurigakan dari keduanya. Namun tiba-tiba, Serkan menghentikan Guzel Ketika bersiap untuk turun. Apa ia perlu membayar jasa antar?"Apa perlu aku temani?" Serkan terlihat salah tingkah. "Maksud aku, apa kau tidak memintaku untuk mampir sebentar?"Semalam, ia meminta sekretarisnya untuk mencari informasi pribadi Guzel. Namun sampai keesokan harinya, ia belum juga mendapatkan informasi apa pun. Berhubung ia sangat penasaran dengan sosok Dilara. Jadi, ia berencana untuk mampir sebentar. Hal itu ia lakukan karena ingin tahu seperti apa sosok gadis itu, sampai-sampai pergi meninggalkannya di tengah pelaminan."Sebenarnya aku ingin, tapi kau ada rapat penting sebentar lagi," balas Guzel ragu."Tidak masalah. Aku bisa menundanya sekitar tiga puluh menit. Itu,
"Ada apa? Kenapa kau datang ke sini?" tanya Serkan terkejut. Baru saja menyelesaikan rapat dan hendak kembali ke ruangannya. Tiba-tiba, ia dikejutkan dengan keberadaan Guzel di depan pintu lift, tepat di depan matanya."Aku membawakan ini sebagai ucapan terimakasihku," sahut Guzel sambil mengangkat rantang di tangan kanannya.Pandangan mata Serkan bergerak menatap rantang itu. Kemudian, ia melangkah keluar melewati istrinya."Seharusnya kau tidak perlu repot-repot. Aku melakukan itu hanya demi kemanusiaan saja," balas Serkan datar.Ucapannya terdengar seperti pria itu akan melakukan hal yang sama, jika itu terjadi pada orang lain. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Ia melakukan itu hanya untuk Guzel dan untuk yang pertama kalinya seumur hidup. Meskipun demikian, Guzel tidak merasa kecewa sama sekali. Mungkin karena wanita itu belum ada perasaan apa pun pada Serkan."Tidak apa-apa. Memasak adalah hobiku dan ini sama sekali tidak merepotkan." Guzel berbalik dan mengikuti Serkan ma
Manik mata Serkan terbelalak sambil menahan nafas. Seumur-umur, ia belum pernah yang namanya berciuman. Bahkan sekedar berpacaran saja belum pernah. Tidakkah kalian penasaran dengan apa yang Serkan rasakan saat ini?Entah sudah berapa lama mereka berdua berada dalam posisi itu. Jarum panjang jam dinding terus bergerak memutar. Dan tiba-tiba, Guzel menggeliat melepaskan tangannya dan meringkuk."Ini tidak enak," lirihnya dengan manik mata yang masih terpejam sempurna.Mendengar hal itu, manik mata Serkan membola karena terkejut. "Apa kau bilang?" geram pria itu.Bagaimana bisa Guzel berkata seperti itu setelah merenggut ciuman pertama Serkan? Hal itu membuat sang empu tidak terima dan marah. Lihat saja, wajah yang memerah, gigi yang saling dieratkan, dan tangan yang terkepal kuat."Sial!" umpat Serkan kesal. Ia beranjak berdiri dan menyugar rambutnya ke belakang.Andai saat ini Guzel tidak sedang tidur. Mungkin Serkan sudah membuat pembalasan telak. Entah itu dengan sebuah kecupan men
Dengan nafas yang terengah-engah, Serkan menjauhkan kepalanya. Manik mata berkabutnya menatap bibir Guzel yang membengkak. Rasanya, masih sangat kurang untuk berhenti. Rasanya ingin lagi dan lagi sampai merasa puas."Sial! Aku harus apa sekarang?" umpat Serkan kesal.Ia kebingungan harus berbuat apa sementara sisi liarnya sudah bangkit dari keabadian. Padahal seharusnya, ia menahan diri dan tidak melakukan banyak kecupan. Cukup hanya sekali kecupan dan bukannya masalah sampai ke tiga kecupan. Sekarang, ia sendiri yang terkena batunya karena tidak bisa menahan diri lagi."Sekali lagi. Yah, sekali lagi. Aku janji hanya akan melakukan satu kali lagi. Setelah ini, aku akan pergi tidur," kata Serkan setelah nafasnya teratur.Ia pikir, ia bisa tidur setelah sisi liarnya bangun. Padahal, semakin ia melakukannya lagi. Mak, sisi liarnya akan meminta lebih untuk memuaskan diri. Namun sayangnya, pria itu terlalu bodoh untuk memahami dirinya sendiri."Satu, dua, tiga." Dalam hitungan detik, ia k
Pertanyaan yang Guzel ajukan membuat Serkan menyesali keputusannya untuk memaksa sang istri berbicara. Kalau tahu akan menimbulkan pertanyaan sesulit itu, ia akan memilih untuk diam."A-aku ...." Serkan terlihat kebingungan harus menjawab apa. Untuk sesaat, ia terdiam memikirkan jawaban apa yang masuk akal dan tidak membuat Guzel curiga, "I-itu ... anu."Itu, anu apa?" tanya Guzel mengerutkan keningnya.Bagaimana bisa pria sedingin Serkan bisa salah tingkah dan gelagapan seperti itu?"Aku mengambil selimut untuk menyelimuti tubuhmu dan kau malah menendang-nendang. Jadi aku berencana untuk menyelimutimu lagi, tapi keburu kau bangun," imbuhnya menjelaskan. Bukan menjelaskan, tetapi lebih tepatnya berbohong."Benarkah?" Guzel nampak kurang percaya."Iya, seperti itu," balas Serkan tersenyum canggung.Dalam hati, ia berharap bahwa Guzel akan mempercayai ucapannya dan berhenti mencurigainya. Serkan juga ingin malam itu cepat berlalu agar Guzel tidak menanyakan hal lainnya lagi."Baiklah. S