"Menjauh, menjauh dariku!" Dilara menggerak-gerakkan kepalanya tidak sudi."Diam atau kau akan menyesal, Lara!" ancam Gregory.Sontak, Dilara langsung terdiam. Sementara itu, Gregory merapikan rambutnya yang berantakan. Pada kesempatan ini, Dilara menyentuh dada bidang Gregory dan mendorongnya. Tidak bisa dibayangkan kalau sampai pria itu berbuat nekat. Bahkan ia sendiri tidak berani membayangkannya."Aku memang bilang begitu, tapi kau tidak mau menurut. Jadi, jangan salahkan aku." Gregory mendekatkan wajahnya setelah tersenyum menyeringai. Ia tidak bisa menahan lagi untuk tidak mengecup bibir merah Dilara."Oke-oke, aku mengaku salah. Sekarang berbaringlah dan aku akan menemanimu tidur dengan tenang," ujar Dilara menyerah.Selain mengalah, tidak ada yang bisa Dilara lakukan. Posisinya tidak ada yang menguntungkan dan justru ia akan menyesal jika salah bertindak."Tidak. Aku tidak bisa mempercayaimu begitu saja," tolak Gregory tanpa bergerak sedikit pun."Astaga, Om Greg. Berbaringlah
Satu minggu kemudian.Waktu menunjukkan pukul delapan malam dan saat ini si kembar sedang berbaring mengapit ibunya di kamar tamu, tempat Dilara menghabiskan malam selama tinggal di rumah Gregory."Mommy, Shine rindu Daddy," rengek Shine."Shane juga, Mommy," kata Shane menimpali."Iya, Sayang, mommy tahu." Dilara menatap kedua putranya sendu secara bergantian.Ia tahu betul bagaimana perasaan Shine dan Shane. Setiap saat mereka akan mempertanyakan perihal ayahnya. Tidak berhenti menatap ponsel dengan gelisah hanya menunggu ayah mereka menelepon atau melakukan panggilan video. Tidak fokus dalam bermain dan terlihat lesu. Tidak nafsu makan, bahkan lebih sering melamun."Bukankah sudah waktunya Daddy pulang? Tapi kenapa sudah semalam ini belum juga sampai?" Shine mengangkat kepala menatap sang ibu.Sejak pertama kali Gregory pergi, pria mungil itu sibuk menghitung hari. Rasanya tidak sabar ingin berkumpul bersama sang ayah dan bermanja-manja."Iya, benar. Seharusnya Daddy pulang sejak p
"Pagi, Sayang," sapa Gregory dengan suara renyah.Semalam setelah mengetahui Satya mengatakan tentang kondisinya pada Dilara, Gregory tidak bisa tenang. Sekedar untuk menutup mata dan tidur saja kesulitan. Pikirannya kacau takut membuat anak-anaknya khawatir. Jadi tepat pukul tiga pagi, ia meminta Satya agar mengantarnya pulang. Kini, di sanalah pria dua anak itu berada. Berdiri di depan pintu ruang meja makan menatap tiga orang tercintanya.Sontak, semua orang yang ada di meja makan menoleh ke asal suara. Manik mata si kembar terlihat berbinar-binar. Mereka beranjak berdiri dan mendorong kursi ke belakang."Daddy!" teriak si kembar bersamaan sambil berlari mendekat.Melihat betapa antusias kedua putranya, muncul guratan khawatir di wajah Dilara. Ia ingat betul luka yang Gregory alami ada di dada kiri. Kemudian, lekas beranjak mengejar Shine dan Shane berusaha melindungi Gregory dengan cara berdiri membentangkan kedua tangan tepat di depan tubuh pria itu."Mommy, Shine mau peluk Daddy
Dilara seolah menerima perlakuan Gregory, padahal ia berusaha menahan. Awalnya ia ingin mendorong tubuh pria itu menjauh, tetapi takut tekanan yang dibuat akan membuat ayah kedua anaknya kesakitan.Meskipun demikian, lama-kelamaan ia mulai terlena. Tanpa sadar meresapi dan membuka mulutnya secara perlahan memberi akses Gregory untuk menjelajahi setiap rongga mulutnya.Ketika napas keduanya memburu, keringat gairah menyelimuti, Gregory menjauhkan kepalanya. Bola mata berkabutnya menatap netra cantik Dilara yang sama berkabutnya dengannya."Bisakah kita melakukannya?" tanya Gregory dengan suara serak."Hah? Apa?" Dilara tersentak kaget mendengar pertanyaan Gregory. Ia sampai melangkah mundur dengan tidak seimbang."Tidak, tidak ada." Gregory menggeleng sambil tersenyum.Bisa lebih banyak interaksi dan sampai berciuman saja sudah membuat Gregory sangat bahagia. Jadi meski ingin, ia tidak boleh terlalu terburu-buru. Sedikit menahannya tidaklah sulit, sementara selama ini ia bisa menunggu
"Apa?!" Dilara terkejut dengan mulut dan mata yang terbuka lebar. Nyaris saja bola mata gadis itu melompat keluar."Iya, Sayang. Mama tidak ada pilihan lain selain menerima perjodohan ini," ujar Guzel berharap putrinya akan mengerti.Andai ia bisa menolak, mungkin kabar perjodohan itu tidak akan sampai pada putrinya."Tapi, Ma. Lara masih terlalu muda untuk dinikahkan. Lagi pula, Lara masih sekolah dan Lara masih kelas tiga yang seharusnya fokus menghadapi ujian," tolak Dilara menggebu dengan kedua tangan yang mencengkram selimut kuat-kuat.Bagaimana bisa Dilara menerima perjodohan itu, sementara ia harus fokus pada ujian yang akan tiba beberapa bulan lagi? Meskipun harus menikah, ia harus menikah dengan pria yang ia cintai. Bukannya malah dijodohkan seperti ini dengan pria yang usianya berbeda empat belas tahun darinya."Ayolah, Sayang. Mama mohon! Kau tahu? Pria yang dijodohkan denganmu itu keturunan tunggal dari keluarga terhormat dan kaya raya. Bukankah cita-citamu menikah dengan
"Saya permisi sebentar, Tuan," pamit Guzel beranjak berdiri sambil menarik tangan putrinya."Apaan, sih, Ma. Lara mau di sini saja. Bukankah Mama mau menjodohkan Lara dengan cucu dari Kakek ini? Lalu, kenapa Mama menarik tangan Lara?" protes Dilara tidak suka. Padahal dalam hatinya sedang menertawakan sang ibu."Ikut mama sebentar," geram Guzel sambil menggertakkan giginya."Ya sudah, iya," sungut Dilara ketus.Apa pun yang terjadi, ia harus membawa putrinya ke kamar dan memperbaiki riasan wajah juga pakaiannya. Jujur, ia tidak berpikir sama sekali bahwa putrinya akan melakukan hal konyol seperti itu."Tunggu sebentar!" cegah Arash."Iya, Tuan. Apa ada yang Anda butuhkan?" tanya Guzel."Biarkan saja penampilan Dilara seperti ini. Sebenarnya, kedatanganku ke sini karena ingin memberitahukan bahwa pernikahan Dilara dan cucuku akan digelar tiga hari dari sekarang," jelas Arash membuat bola mata Dilara nyaris melompat keluar."A-apa?" Dilara begitu terkejut.Harus menikah dengan pria yang
Dengan jantung yang berdegup kencang, Dilara menghentikan langkahnya. "Bukan. Saya salah satu tamu undangan hadir," sahut Dilara berbohong.Setelah menjawab, ia bergegas melanjutkan langkahnya dengan terburu-buru. Masuk ke dalam lift dan menghilang dalam sekejap mata.Sementara itu, Guzel kembali setelah dari toilet. Ia membuka pintu perlahan dan tidak mendapati putrinya di kursi. Melangkah masuk ke dalam dan mengedar pandangan. Namun sayangnya, Dilara tetap tidak ada di sana."Apa Lara sudah dibawa ke pelaminan? Tapi, kenapa tidak menungguku?" batin Guzel bertanya-tanya.Berhubung pikiran Guzel putrinya sudah dibawa ke pelaminan. Jadi, ia bergegas melangkah keluar. "A-aww!" pekik Guzel terkejut.Wanita itu hampir terjatuh karena menginjak sesuatu. Ia lekas membungkukkan tubuhnya dan meraih benda berwarna putih."Apa ini? Bukankah ini mirip seperti ... hak tinggi. Yah, hak tinggi." Ia lekas meraih hak tinggi di kakinya untuk memastikan, "Bagaimana bisa ini ada di sini?" tanyanya samb
"Kenapa kau diam saja? Cepat jalan bodoh atau kau--"Tanpa menjawab, Guzel melangkah maju membuat ucapan Serkan terhenti. "Tunggu!" cegah Serkan."Apalagi, sih?" keluh Guzel kesal. Ia tidak tahu dengan apa yang sebenarnya pria itu inginkan."Air mata. Hapus air matamu dan berhenti menangis. Tunjukkan senyum terbaikmu agar tidak ada satu orang pun yang curiga," sahut Serkan menjelaskan.Bagaimana bisa wajah Guzel bersimbah air mata ketika mereka hendak menuju pelaminan? Apa kata tamu undangan nanti kalau mereka melihatnya?"Bagaimana bisa aku tersenyum kalau--""Aku tidak mau tahu. Kalau kau merusak acara ini dan membuat keluargaku malu. Akan kuhabisi putrimu," potong Serkan mengancam.Semua ini terjadi karena Dilara. Jadi, Serkan sengaja mengancam agar Guzel menurut dan tidak membuat masalah."Ti-tidak, jangan. Ak-aku ... aku akan berhenti menangis dan tersenyum," ujar Guzel ketakutan sambil menghapus air mata di wajahnya."Bagus. Ingat putrimu kalau kau mau berbuat macam-macam," kat
Dilara seolah menerima perlakuan Gregory, padahal ia berusaha menahan. Awalnya ia ingin mendorong tubuh pria itu menjauh, tetapi takut tekanan yang dibuat akan membuat ayah kedua anaknya kesakitan.Meskipun demikian, lama-kelamaan ia mulai terlena. Tanpa sadar meresapi dan membuka mulutnya secara perlahan memberi akses Gregory untuk menjelajahi setiap rongga mulutnya.Ketika napas keduanya memburu, keringat gairah menyelimuti, Gregory menjauhkan kepalanya. Bola mata berkabutnya menatap netra cantik Dilara yang sama berkabutnya dengannya."Bisakah kita melakukannya?" tanya Gregory dengan suara serak."Hah? Apa?" Dilara tersentak kaget mendengar pertanyaan Gregory. Ia sampai melangkah mundur dengan tidak seimbang."Tidak, tidak ada." Gregory menggeleng sambil tersenyum.Bisa lebih banyak interaksi dan sampai berciuman saja sudah membuat Gregory sangat bahagia. Jadi meski ingin, ia tidak boleh terlalu terburu-buru. Sedikit menahannya tidaklah sulit, sementara selama ini ia bisa menunggu
"Pagi, Sayang," sapa Gregory dengan suara renyah.Semalam setelah mengetahui Satya mengatakan tentang kondisinya pada Dilara, Gregory tidak bisa tenang. Sekedar untuk menutup mata dan tidur saja kesulitan. Pikirannya kacau takut membuat anak-anaknya khawatir. Jadi tepat pukul tiga pagi, ia meminta Satya agar mengantarnya pulang. Kini, di sanalah pria dua anak itu berada. Berdiri di depan pintu ruang meja makan menatap tiga orang tercintanya.Sontak, semua orang yang ada di meja makan menoleh ke asal suara. Manik mata si kembar terlihat berbinar-binar. Mereka beranjak berdiri dan mendorong kursi ke belakang."Daddy!" teriak si kembar bersamaan sambil berlari mendekat.Melihat betapa antusias kedua putranya, muncul guratan khawatir di wajah Dilara. Ia ingat betul luka yang Gregory alami ada di dada kiri. Kemudian, lekas beranjak mengejar Shine dan Shane berusaha melindungi Gregory dengan cara berdiri membentangkan kedua tangan tepat di depan tubuh pria itu."Mommy, Shine mau peluk Daddy
Satu minggu kemudian.Waktu menunjukkan pukul delapan malam dan saat ini si kembar sedang berbaring mengapit ibunya di kamar tamu, tempat Dilara menghabiskan malam selama tinggal di rumah Gregory."Mommy, Shine rindu Daddy," rengek Shine."Shane juga, Mommy," kata Shane menimpali."Iya, Sayang, mommy tahu." Dilara menatap kedua putranya sendu secara bergantian.Ia tahu betul bagaimana perasaan Shine dan Shane. Setiap saat mereka akan mempertanyakan perihal ayahnya. Tidak berhenti menatap ponsel dengan gelisah hanya menunggu ayah mereka menelepon atau melakukan panggilan video. Tidak fokus dalam bermain dan terlihat lesu. Tidak nafsu makan, bahkan lebih sering melamun."Bukankah sudah waktunya Daddy pulang? Tapi kenapa sudah semalam ini belum juga sampai?" Shine mengangkat kepala menatap sang ibu.Sejak pertama kali Gregory pergi, pria mungil itu sibuk menghitung hari. Rasanya tidak sabar ingin berkumpul bersama sang ayah dan bermanja-manja."Iya, benar. Seharusnya Daddy pulang sejak p
"Menjauh, menjauh dariku!" Dilara menggerak-gerakkan kepalanya tidak sudi."Diam atau kau akan menyesal, Lara!" ancam Gregory.Sontak, Dilara langsung terdiam. Sementara itu, Gregory merapikan rambutnya yang berantakan. Pada kesempatan ini, Dilara menyentuh dada bidang Gregory dan mendorongnya. Tidak bisa dibayangkan kalau sampai pria itu berbuat nekat. Bahkan ia sendiri tidak berani membayangkannya."Aku memang bilang begitu, tapi kau tidak mau menurut. Jadi, jangan salahkan aku." Gregory mendekatkan wajahnya setelah tersenyum menyeringai. Ia tidak bisa menahan lagi untuk tidak mengecup bibir merah Dilara."Oke-oke, aku mengaku salah. Sekarang berbaringlah dan aku akan menemanimu tidur dengan tenang," ujar Dilara menyerah.Selain mengalah, tidak ada yang bisa Dilara lakukan. Posisinya tidak ada yang menguntungkan dan justru ia akan menyesal jika salah bertindak."Tidak. Aku tidak bisa mempercayaimu begitu saja," tolak Gregory tanpa bergerak sedikit pun."Astaga, Om Greg. Berbaringlah
"Lepas, turunkan aku! Turunkan aku, Om Greg!" teriak Dilara histeris. Tangannya bergerak memukuli Gregory dan kakinya diayun kuat-kuat.Tanpa menghiraukan pergerakan Dilara, Gregory masuk ke dalam kamar mandi. Meletakkan wanita itu di wastafel dan tersenyum lembut."Sebentar ya, mommy-nya anak-anak. Daddy-nya anak-anak akan menyiapkan air hangat agar kau bisa berendam dengan nyaman."Dengan napas yang memburu, Dilara merapikan pakaian dan rambutnya yang berantakan. Mengingat pikiran kotornya membuat pipinya memerah. Padahal Gregory tidak melakukan apa pun selain membawanya ke kamar mandi."Tidak perlu. Aku tidak ingin berendam. Lebih baik kau keluar sekarang," sanggah Dilara ketus."Ya sudah, terserah kau saja. Kalau begitu, aku keluar dulu," pamit Gregory.Pria itu langsung keluar dengan jantung yang berdegup kencang. Ingin sekali melakukan hal liar dengan Dilara di kamar mandi, tetapi belum berani. Jadi, ia hanya bisa membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil membayangkan ma
"Apa yang kau lakukan, Om Greg?! bentak Dilara panik. Ia bergegas duduk dan menjauh sedangkan Gregory tetap berbaring.Raut wajahnya menunjukkan rasa takut yang teramat. Bagaimana tidak? Pria itu memintanya untuk menemani tidur. Pria dan wanita dewasa di dalam kamar di malam hari, kalau bukan untuk melakukan hal itu lalu apa lagi?"Astaga, Lara! Sikapmu ini seolah aku memintamu untuk melayaniku," ujar Gregory menggeleng tidak habis pikir."Lalu, apa lagi? Bukankah itu yang ada di isi kepalamu?" tanya Dilara nyalang."Astaga." Gregory mendesah keras sambil mencengkeram rambutnya frustasi.Kalau boleh, memang ia ingin melakukannya. Namun, tidak sekarang melainkan nanti setelah Dilara benar-benar mau menerima dan menikah dengannya."Kemarilah!" Gregory menepuk-nepuk kasur sebelahnya."Tidak!" tolak Dilara tegas. Duduk bersandar kepala ranjang sambil memeluk lututnya."Mau ke mari atau aku paksa?" ancam Gregory.Dilara menggeleng cepat. Napasnya bergerak cepat dengan tubuh bergetar yang s
Tidak ingin membiarkan Gregory berbuat lebih dan mempermalukannya, Dilara menyentuh dada bidang pria itu dan mendorongnya menjauh. Menatap si kembar bergantian sebelum memusatkan atensinya pada pria tidak tahu malu itu. Dengan napas yang tersengal dan dada yang bergerak naik turun, bola matanya memerah juga membola. "Apa yang Om Greg lakukan?" tanya Dilara berbisik sambil menggertakkan gigi menahan amarah."Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya melakukan sesuatu yang memang ingin aku lakukan," sahut Gregory malas.Ia berkata tidak melakukan apa-apa, tetapi mengatakan sesuatu yang memang ingin sekali dilakukan."Lakukan apa pun sesuka hatimu dan jangan lakukan itu padaku," ujar Dilara geram. Wanita itu mengusap bibirnya kasar berusaha menghapus jejak bibir lembab ayah kedua anaknya. Ia benar-benar tidak menyangka Gregory akan berbuat tidak tahu malu seperti itu padanya."Tidak bisa. Aku tipe pria setia dan tidak bisa menyentuh wanita lain yang tidak aku cintai," tolak Gregory tegas."Cu
["Jangan gila, Om Greg!""Ya sudah, aku bangunkan anak-anak dan langsung menjemputmu."["Tidak, jangan."Tidak mungkin ia membiarkan Gregory membangunkan Shine dan Shane yang sedang tidur. Apalagi sekarang waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Akan tetapi, ia juga tidak bisa membiarkan dirinya menginap di rumah pria itu. Kalau tidak menginap, anak-anak akan marah karena tidak ada ibunya di sana setelah bangun nanti."Jadi, aku harus bagaimana sekarang?" tanya Gregory berpura-pura bingung.["Oke. Kau suruh supir saja untuk menjemputku.""Lalu? Kau akan menginap di sini atau mau diantar pulang?" Gregory berusaha menekan kuat-kuat kebahagiaannya dengan bersikap datar. Pasalnya ia sudah tahu pilihan apa yang akan Dilara ambil. Jika bukan memilih menginap, lalu apa lagi?["Aku akan menginap, tapi kau tidak boleh macam-macam.""Tidak akan. Ya sudah, akan kukirim supir untukmu."Sepersekian detik, Dilara mengakhiri panggilan. Saat ini, Gregory berusaha menekan rasa bahagianya. Melip
["Hari ini aku tidak bisa pulang tepat waktu karena rekan kerja lawan shift-ku tidak masuk. Jadi, bisakah kau mengurus anak-anak untuk malam ini saja?""Tidak masalah. Bukankah sebelumnya aku sudah bilang kalau--."["Aku tahu. Untuk masalah ini, kita bicarakan nanti malam saja setelah pekerjaanku selesai."Awalnya, Dilara memang ingin membicarakan tentang hal itu. Namun, kejadian yang tak disangka-sangka justru terjadi dan ia terpaksa harus meminta tolong pada Gregory sebelum membahasnya."Baiklah. Jadi, apa aku perlu membawa anak-anak pulang sekarang atau nanti?"Gregory pikir, apa bedanya sekarang dan nanti pukul lima. Lagi pula, si kembar akan tetap ikut bersamanya pulang ke rumah selama beberapa jam.["Terserah kau saja, tapi menurutku sekarang lebih baik karena anak-anak terlihat sangat kelelahan.""Oke. Kalau begitu, aku dan anak-anak pulang dulu. Kau kabari saja satu jam sebelum pulang agar aku tidak terlambat menjemput."["Ya. Titip salam buat anak-anak. Aku tidak bisa ke depa