Home / Romansa / Menikahi Calon Mertua / 3. Menikahi Calon Mertuanya

Share

3. Menikahi Calon Mertuanya

Dengan jantung yang berdegup kencang, Dilara menghentikan langkahnya. "Bukan. Saya salah satu tamu undangan hadir," sahut Dilara berbohong.

Setelah menjawab, ia bergegas melanjutkan langkahnya dengan terburu-buru. Masuk ke dalam lift dan menghilang dalam sekejap mata.

Sementara itu, Guzel kembali setelah dari toilet. Ia membuka pintu perlahan dan tidak mendapati putrinya di kursi. Melangkah masuk ke dalam dan mengedar pandangan. Namun sayangnya, Dilara tetap tidak ada di sana.

"Apa Lara sudah dibawa ke pelaminan? Tapi, kenapa tidak menungguku?" batin Guzel bertanya-tanya.

Berhubung pikiran Guzel putrinya sudah dibawa ke pelaminan. Jadi, ia bergegas melangkah keluar.

"A-aww!" pekik Guzel terkejut.

Wanita itu hampir terjatuh karena menginjak sesuatu. Ia lekas membungkukkan tubuhnya dan meraih benda berwarna putih.

"Apa ini? Bukankah ini mirip seperti ... hak tinggi. Yah, hak tinggi." Ia lekas meraih hak tinggi di kakinya untuk memastikan, "Bagaimana bisa ini ada di sini?" tanyanya sambil menatap benda itu lekat.

Ketika sedang bergelut dengan pikirannya, pintu terbuka lebar diiringi dengan sebuah tanya dari seorang pria dengan suara beratnya.

"Lara mana? Kenapa dipanggil-panggil tidak ke depan juga?"

"Hah? Apa?" Guzel terkejut dan menjatuhkan sepatu hak tinggi yang ada di tangannya.

Ia menoleh dan manik matanya menangkap sosok pria tampan dengan balutan tuxedo hitam. Auranya sangat dingin dan hanya dengan menatapnya sebentar saja membuat seluruh tubuhnya merinding.

"La-lara ... Lara belum ke depan?" imbuhnya bertanya.

"Kalau sudah, kenapa aku datang ke sini?" sanggah pria itu yang diketahui adalah Serkan, calon mempelai pria.

"Kalau Lara belum ke depan, lalu dia di mana? Atau jangan-jangan ..."

Pikiran Guzel melayang jauh di mana putrinya mengancam akan kabur. Kemudian, ia menundukkan kepalanya dan menatap benda yang sepertinya mirip sekali dengan gagang hak tinggi.

"Apa kau benar-benar kabur, Lara?" batin Guzel bertanya-tanya dengan raut terkejut.

Jujur, ia sama sekali tidak berpikir bahwa ancaman yang putrinya lontarkan bukan sekedar ancaman belaka. Kalau tahu kejadiannya akan seperti ini, ia akan menahan dan tidak akan pergi ke toilet meski perutnya sakit.

"Jangan-jangan apa?" tanya Serkan penasaran.

"Sepertinya Lara kabur," lirih Guzel menatap calon menantunya dengan tatapan kosong.

"Apa? Kabur? Bagaimana bisa?" tanya Serkan terbelalak.

Pria tampan dan mapan itu tidak percaya kalau Dilara kabur di acara pernikahannya. Seharusnya ia yang kabur dan bukan Dilara. Memangnya gadis itu siapa? Sekaya dan secantik apa sampai-sampai berani meninggalkannya?

"Sejak kemarin, Lara mengancam akan pergi kalau dipaksa menikah. Dan ternyata--"

"Cepat ganti bajumu dan kita akan ke altar," potong Serkan dingin sambil menunjuk ke arah gaun yang terpajang di dalam ruangan.

"A-apa?" Guzel mengangkat kepalanya dan menatap Serkan dengan manik mata membola.

Sepertinya ia sudah salah dengar. Bagaimana bisa Serkan memintanya ganti baju dan pergi ke pelaminan bersamanya?

"Ganti bajumu dengan gaun itu dan gantikan putrimu menikah denganku," sanggah Serkan tegas.

Jangan sampai acara pernikahan gagal dan membuat malu seluruh keluarga. Apalagi tamu undangan yang datang merupakan tamu penting. Bahkan beberapa media pun ikut datang untuk meliput, meski secara sembunyi-sembunyi.

"Aku? Tidak, aku tidak bisa." Guzel menggelengkan kepalanya kuat-kuat menolak perintah calon menantunya, "A-ku akan menghubungi Lara dulu. Mungkin dia hanya berkeliling area ini saja."

Wanita itu berjalan ke arah kursi dengan langkah pincang. Kaki kanan masih memakai sepatu hak tinggi dan kaki kirinya tidak. Ia lekas meraih tas dan merogoh ponsel di dalamnya.

"Tidak ada waktu. Lebih baik kau ganti baju sekarang," ujar Serkan dingin. Ia menatap kesal Guzel yang tidak bisa membaca situasi.

Guzel menatap Serkan dan membujuk, "Sebentar. Beri aku waktu tiga menit. Ah tidak, satu menit saja."

Sementara Guzel sibuk menghubungi putrinya, Serkan melangkah masuk. Langkahnya terlihat besar dan pasti. Wajahnya memerah karena menahan amarah.

"Angkat, Lara, angkat. Mama mohon jangan buat masalah sebesar ini," lirih Guzel.

Tepat di samping Guzel, Serkan menghentikan langkahnya. Ia menyentuh lengan wanita itu dan menariknya dengan keras.

"Aww!" pekik Guzel kesakitan.

"Aku bilang ganti bajumu." Serkan membentak dengan manik mata yang membola, "Atau kau mau aku yang menggantikan gaun itu untukmu?" imbuhnya berbisik dengan gigi yang saling diadu.

Manik mata Guzel terbuka lebar karena terlalu terkejut. Bagaimana bisa Serkan membantunya mengganti baju? Memang pria itu pikir Guzel anak kecil? Terlebih, mereka sepasang pria dan wanita dewasa.

"Baiklah, kalau memang itu maumu."

Serkan semakin mengeratkan pegangan tangannya, bahkan sampai mencengkeram lengan Guzel. Lalu, ia menariknya ke arah gaun di sudut ruangan.

"Ti-tidak. Bi-biar ak-aku mengganti baju sendiri," kata Guzel sambil menatap Serkan panik.

Mendengar ucapan Guzel, sontak Serkan menghentikan langkahnya. Ia menatap calon mertua sekaligus calon istrinya kesal.

"Kenapa tidak sejak tadi? Buang-buang waktu saja." Serkan menghempaskan tangan Guzel hingga terhuyung.

Belum sempat meminta untuk menunggu di luar, Serkan sudah berbalik dan melangkah keluar lebih dulu.

"Apa memang ini yang kau inginkan, Lara? Baiklah, jika memang ini maumu. Mama akan menggantikanmu menikah dengan Serkan," lirih Guzel sambil menatap gaun pengantin.

Wanita itu melangkah maju. Meraih gaun pengantin dan bergegas mengganti baju. Setelah selesai, ia menarik nafas dalam-dalam dan melangkah keluar.

"Apa kau sudah siap?" tanya Serkan dengan suara beratnya.

"Tidak," sahut Guzel.

"Siap tidak siap, kau tetap harus siap." Tatapan mata Serkan bak mata belati. "Kau harus mempertanggungjawabkan perbuatan putrimu. Beraninya dia kabur. Memangnya dia pikir dia siapa?"

Sejak tadi, Serkan berusaha menahan emosinya. Namun, mendengar kata tidak keluar dari mulut Guzel membuatnya ingin meledak.

"Tapi, kenapa tidak orang lain saja? Kenapa harus aku?" tanya Guzel dengan nada mengeluh.

"Kau itu bodoh atau apa? Sudah tidak ada waktu lagi untuk mencari pengganti," sahut Serkan kesal.

Kalau bisa, ia ingin menolak perjodohan itu. Kalau bisa, ia ingin mencari pengganti yang lain. Namun faktanya, ia diburu waktu dan dengan amat sangat terpaksa, ia harus menikahi calon mertuanya.

"Lalu, bagaimana dengan kita? Aku tidak mencintaimu dan kau juga tidak mencintaiku," tanya Guzel frustasi. Akhirnya, ia merasakan apa yang putrinya rasakan.

"Kau pikir, aku mencintai putrimu?" Serkan melotot sambil menggertakkan giginya.

Yah. Serkan tidak mencintai Dilara, bahkan sama sekali tidak kenal. Melihatnya meski hanya sekilas saja belum pernah. Jadi, apa bedanya dengan Guzel?

"Tapi aku tidak bisa," sungut Guzel frustasi.

"Aku tidak peduli. Pokoknya sekarang kita harus pergi ke pelaminan," kata Serkan bersikeras.

Tidak peduli seberapa keras Guzel menolak, Serkan tidak peduli. Ia meraih tangan Guzel dan lekas berjalan. Tepat di depan karpet merah, Serkan memindahkan tangan Guzel ke lengannya.

"Lakukan dengan baik dan jangan membuatku marah atau kau akan menyesal," peringat Serkan merasakan pergerakan Guzel seolah ingin melarikan diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status