"Aku bilang juga apa? Pakai baju dulu, Mas," ujar Guzel menyesal.Salahnya, tadi ia mendoakan agar handuk yang melilit di pinggang Serkan terlepas. Akan tetapi giliran sudah terlepas, ia justru menutup matanya erat. Walaupun demikian, ia sudah terlanjur melihat si perkasa. Ya, meskipun hanya sekitar satu kedipan mata."Hah?" Serkan terkejut merasa handuk menimpa kakinya. Apalagi mendengar suara Guzel yang terdengar seperti sudah melihat sesuatu. Sontak, ia lekas menunduk dan mengumpat, "Sial!"Pria itu lekas meraih handuk dan melilitkan kembali ke pinggang. Ia menatap Guzel sekilas sebelum akhirnya beranjak pergi ke ruang ganti dengan langkah terburu.Merasa Serkan sudah tidak ada di sana setelah mendengar suara pintu ditutup, perlahan Guzel membuka mata sambil membuang nafas."Astaga, Serkan, Serkan," lirih Guzel tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.Daripada ia tetap berada di sana dan bertemu Serkan dengan situasi canggung. Lebih baik ia turun ke bawah dan membantu asisten ruma
"A-ada apa?" tanya Serkan terbata. Jantungnya berdegup kencang dengan pikiran yang melayang jauh."Apa kemarin aku tidak bermimpi dan kau memang menciumku?" tanya Guzel memastikan.Melihat kejadian ini, Guzel menjadi curiga. Pasalnya, ia merasa bibirnya kebas dan terasa sangat nyata. Jadi ia pikir, Serkan memang menciumnya ketika sedang tidur. Itulah alasan mengapa ia berpura-pura pingsan."Mmm ... A-anu." Serkan menghempaskan tubuhnya kembali ke tempat tidur. Bola matanya bergerak ke sana kemari memikirkan jawaban."Jadi, memang benar dan aku tidak bermimpi?" tanya Guzel lagi.Melihat reaksi Serkan saat ini membuat Guzel yakin kalau kejadian malam kemarin bukan hanya mimpi."Ma-maaf," lirih Serkan tidak tahu harus berkata apa selain kata maaf.Bukankah Guzel pingsan tadi? Lalu, kenapa tiba-tiba wanita itu bangun di saat Serkan sedang menikmati bibirnya? Bukankah seharusnya tidak bisa merasakan apa pun? Bodohnya, ia sama sekali tidak tahu kalau Guzel hanya berpura-pura saja."Tidak pe
Semakin malam, pergulatan mereka berdua semakin panas. Apalagi lampu yang temaram membuat keduanya semakin liar. Suasana kamar yang semula sepi, kini menjadi sedikit berisik. Suara cecapan demi cecapan saling beradu.Perlahan, suara cecapan itu berganti dengan suara lenguhan nikmat. Awal-awal memang sedikit ditahan, tetapi lama-kelamaan mereka melepas suara desahan yang membuat satu sama lain semakin bersemangat. Serkan semakin bersemangat mendengar lenguhan Guzel, begitu pula sebaliknya. Terlebih dengan cengkeraman yang Guzel layangkan di rambutnya. Hal itu menandakan bahwa sang istri benar-benar puas dan hal itu mampu membuat Serkan bangga atas kerja kerasnya."Tidurlah! Aku akan membangunkanmu nanti di sesi ke tiga," ujar Serkan mengecup kening dengan tangan yang bergerak mengusap bahu istrinya."Hah! Masih mau lagi?" tanya Guzel terkejut.Membuat anak tidak harus dilakukan sehari tiga kali seperti mengonsumsi obat. Justru yang paling bagus itu satu Minggu tiga kali, jika memang s
"Ada apa? Kenapa kau senyum-senyum sendiri?" tanya Guzel curiga.Tanpa menjawab, Serkan langsung beranjak turun dan mengangkat tubuh Guzel. Ia ingin mewujudkan fantasi liarnya yang baru saja muncul di pikirannya."Kau mau apa, Mas? Cepat turunkan aku! Sudah siang dan aku harus segera mandi," tanya Guzel bingung melihat sikap suaminya.Guzel meminta agar diturunkan, tetapi Serkan mengabaikannya. Pria itu justru melangkah cepat ke arah kamar mandi. Setelah di dalam, ia mendudukkan istrinya tepat di samping wastafel."Tunggu sebentar ya, Sayang. Aku isi air di bathtub dulu sebentar," ujar Serkan lembut dengan seulas senyuman."Tidak perlu, Mas, aku bisa melakukannya sendiri." Guzel melompat turun dan mengejar suaminya.Sontak, Serkan berbalik dan merengkuh pinggang istrinya. Lalu, menariknya hingga tubuh mereka menyatu. Dahinya diadu dan kepalanya bergerak ke samping. Dalam satu kali kedipan mata, bibirnya menyambar bibir Guzel yang sejak pertama kali membuatnya candu.Tangan kirinya ber
"Kau? Apa kalian sudah mencoba membuat cicit untuk kakek?" tanya Arash berbinar.Mendengar ucapan cucunya membuatnya sangat bersemangat. Apalagi, akhir-akhir ini kondisi kesehatannya sering sekali menurun. Jadi, ia ingin mendengar kabar baik secepatnya agar bisa dijadikan sebagai penyemangat."Sudah dong, Kek. Sejak semalam sampai sesiang ini, Serkan dan Guzel sudah berusaha keras membuat cicit untuk Kakek." Serkan menyekungkan telapak tangannya di pipi, "Sudah lima kali percobaan. Mudah-mudahan bisa cepat jadi," imbuhnya berbisik sambil mengulas senyum.Ternyata di balik sikap dingin dan mulut pedas yang selalu ditunjukkan, Serkan memiliki sifat ceplas-ceplos. Akan tetapi, ia hanya menunjukkan sisi ini pada orang-orang tertentu saja yang ia anggap keluarga atau seseorang yang ia anggap dekat."Astaga, Mas!" Guzel terkejut sampai memukul lengan suaminya, "Maaf-maaf," imbuhnya sambil beberapa kali menundukkan kepalanya."Tidak apa-apa, Guzel. Kau tidak perlu malu. Terkadang, Serkan mem
"Ma!" teriak Dilara sambil mengangkat tangannya.Sontak, Guzel menoleh dan melangkah mendekat. Begitu pula dengan Dilara yang berlari."Ya ampun, Sayang. Mama sangat merindukanmu. Bagaimana kabarmu, hum?" ujarnya sambil menarik putrinya ke dalam pelukan."Lara juga rindu, Mama. Lara baik, kok," Dilara balas memeluk ibu tidak kalah erat.Sepasang ibu dan anak itu saling menumpahkan kerinduan mereka. Satu bulan tidak bertemu rasanya seperti berbulan-bulan. Itu yang Guzel rasakan dan berlaku juga bagi Dilara meskipun ia sendiri yang dengan sengaja menghindar."Ngomong-ngomong, kenapa Mama ajak Lara bertemu di sini? Apa sekarang Mama bekerja perusahaan ini?" tanya Dilara mengedar pandangan menatap setiap sudut lobby perusahaan."Tidak, Sayang. Mama ke sini karena sengaja ingin membawakan bekal makan siang untuk Papa barumu," jelas Guzel datar.Tidak ada keraguan sedikitpun untuk mengatakan hal itu pada putrinya. Cepat atau lambat, Guzel harus mengatakannya."Apa?! Papa baru?" teriak Dilar
Dengan kedua sudut yang naik sempurna dan manik mata yang berbinar, Dilara melangkah maju. Alih-alih merasa tidak nyaman karena sikap dan tatapan dingin yang Serkan tunjukkan, gadis itu justru merasa senang."Ini, sih, bukan pria tua. Tampan, tinggi, kaya, dan sedingin es. Dia tipe pria idamanku sekali." Dilara membatin memuji kelebihan Serkan, "Kalau tahu begini, aku tidak akan kabur waktu itu. Harusnya aku yang jadi istrinya dan bukan Mama," imbuhnya menyesal."Kenapa malah bengong? Ayo kita masuk!" kata Guzel melihat putrinya kembali terdiam.Serkan dan Guzel melangkah masuk diikuti Dilara di belakangnya. Sepasang pengantin baru duduk di sofa panjang dan Dilara duduk di kursi single. Guzel tidak berencana untuk mengenalkan mereka karena sudah saling kenal meski baru pertama kali bertemu. Wanita itu hanya fokus menata semua makanan di meja. Tidak seperti Serkan dan Dilara yang saling tatap."Aku yakin, dia suka sama aku," batin Dilara percaya diri.Kepercayaan dirinya muncul karena
Serkan yang sedang menyiapkan suapan selanjutnya langsung berhenti. Ia terdiam untuk beberapa saat dan menghela napas kemudian."Iya, boleh," sahut Serkan dengan amat sangat terpaksa.Tidak mungkin bukan kalau ia menolak? Ia menikahi ibunya, tentu saja harus menerima anaknya. Ya, meskipun ia tahu anaknya memiliki niat jahat."Yes-yes-yes! Mama memang yang terbaik, tapi sayangnya Mama salah memasukkan Lara ke rumah itu," batin Dilara tersenyum senang.Gadis cantik itu merasa, meski Serkan terlihat sangat sulit didekati. Namun dengan usaha kerasnya nanti, dengan seiring berjalannya waktu ia membujuk, maka akan menjadi mudah."Terimakasih banyak, Mas." Guzel langsung memeluk suaminya dan berbisik, "Nanti malam, aku kasih yang spesial," imbuhnya dengan nafas hangat yang menyembur di telinga Serkan."Kenapa harus nanti malam? Kenapa tidak sekarang saja dan di sini?" tanya Serkan balas berbisik."Sekarang?" Guzel cukup terkejut mendengar permintaan suaminya.Meski di sana ada ruang pribadi,