"Kau? Apa kalian sudah mencoba membuat cicit untuk kakek?" tanya Arash berbinar.Mendengar ucapan cucunya membuatnya sangat bersemangat. Apalagi, akhir-akhir ini kondisi kesehatannya sering sekali menurun. Jadi, ia ingin mendengar kabar baik secepatnya agar bisa dijadikan sebagai penyemangat."Sudah dong, Kek. Sejak semalam sampai sesiang ini, Serkan dan Guzel sudah berusaha keras membuat cicit untuk Kakek." Serkan menyekungkan telapak tangannya di pipi, "Sudah lima kali percobaan. Mudah-mudahan bisa cepat jadi," imbuhnya berbisik sambil mengulas senyum.Ternyata di balik sikap dingin dan mulut pedas yang selalu ditunjukkan, Serkan memiliki sifat ceplas-ceplos. Akan tetapi, ia hanya menunjukkan sisi ini pada orang-orang tertentu saja yang ia anggap keluarga atau seseorang yang ia anggap dekat."Astaga, Mas!" Guzel terkejut sampai memukul lengan suaminya, "Maaf-maaf," imbuhnya sambil beberapa kali menundukkan kepalanya."Tidak apa-apa, Guzel. Kau tidak perlu malu. Terkadang, Serkan mem
"Ma!" teriak Dilara sambil mengangkat tangannya.Sontak, Guzel menoleh dan melangkah mendekat. Begitu pula dengan Dilara yang berlari."Ya ampun, Sayang. Mama sangat merindukanmu. Bagaimana kabarmu, hum?" ujarnya sambil menarik putrinya ke dalam pelukan."Lara juga rindu, Mama. Lara baik, kok," Dilara balas memeluk ibu tidak kalah erat.Sepasang ibu dan anak itu saling menumpahkan kerinduan mereka. Satu bulan tidak bertemu rasanya seperti berbulan-bulan. Itu yang Guzel rasakan dan berlaku juga bagi Dilara meskipun ia sendiri yang dengan sengaja menghindar."Ngomong-ngomong, kenapa Mama ajak Lara bertemu di sini? Apa sekarang Mama bekerja perusahaan ini?" tanya Dilara mengedar pandangan menatap setiap sudut lobby perusahaan."Tidak, Sayang. Mama ke sini karena sengaja ingin membawakan bekal makan siang untuk Papa barumu," jelas Guzel datar.Tidak ada keraguan sedikitpun untuk mengatakan hal itu pada putrinya. Cepat atau lambat, Guzel harus mengatakannya."Apa?! Papa baru?" teriak Dilar
Dengan kedua sudut yang naik sempurna dan manik mata yang berbinar, Dilara melangkah maju. Alih-alih merasa tidak nyaman karena sikap dan tatapan dingin yang Serkan tunjukkan, gadis itu justru merasa senang."Ini, sih, bukan pria tua. Tampan, tinggi, kaya, dan sedingin es. Dia tipe pria idamanku sekali." Dilara membatin memuji kelebihan Serkan, "Kalau tahu begini, aku tidak akan kabur waktu itu. Harusnya aku yang jadi istrinya dan bukan Mama," imbuhnya menyesal."Kenapa malah bengong? Ayo kita masuk!" kata Guzel melihat putrinya kembali terdiam.Serkan dan Guzel melangkah masuk diikuti Dilara di belakangnya. Sepasang pengantin baru duduk di sofa panjang dan Dilara duduk di kursi single. Guzel tidak berencana untuk mengenalkan mereka karena sudah saling kenal meski baru pertama kali bertemu. Wanita itu hanya fokus menata semua makanan di meja. Tidak seperti Serkan dan Dilara yang saling tatap."Aku yakin, dia suka sama aku," batin Dilara percaya diri.Kepercayaan dirinya muncul karena
Serkan yang sedang menyiapkan suapan selanjutnya langsung berhenti. Ia terdiam untuk beberapa saat dan menghela napas kemudian."Iya, boleh," sahut Serkan dengan amat sangat terpaksa.Tidak mungkin bukan kalau ia menolak? Ia menikahi ibunya, tentu saja harus menerima anaknya. Ya, meskipun ia tahu anaknya memiliki niat jahat."Yes-yes-yes! Mama memang yang terbaik, tapi sayangnya Mama salah memasukkan Lara ke rumah itu," batin Dilara tersenyum senang.Gadis cantik itu merasa, meski Serkan terlihat sangat sulit didekati. Namun dengan usaha kerasnya nanti, dengan seiring berjalannya waktu ia membujuk, maka akan menjadi mudah."Terimakasih banyak, Mas." Guzel langsung memeluk suaminya dan berbisik, "Nanti malam, aku kasih yang spesial," imbuhnya dengan nafas hangat yang menyembur di telinga Serkan."Kenapa harus nanti malam? Kenapa tidak sekarang saja dan di sini?" tanya Serkan balas berbisik."Sekarang?" Guzel cukup terkejut mendengar permintaan suaminya.Meski di sana ada ruang pribadi,
Mengerti dengan apa yang terjadi di dalam sana, Dilara mengurungkan niatnya untuk membuka pintu. Ia melepaskan tangannya dari kenop pintu dan melangkah mundur. Mungkin sekitar lima sampai tujuh langkah kecil ia berhenti."Ma, Mama di mana?!" teriak Dilara.Entah dapat ide dari mana, gadis itu berencana untuk menghancurkan pertempuran ibunya dengan Serkan. Jangan sampai ada adegan yang akan membuat ibunya hamil dan gagal merebut Serkan."Mama?" panggil Dilara lagi.Sementara di dalam, pasangan yang sedang saling tindih mulai panik. Sebenarnya tidak bagi Serkan dan hanya Guzel. Wanita itu takut Dilara akan memergokinya. Ya, meskipun putrinya sudah besar dan akan mengerti jika dijelaskan. Namun, ia tetap tidak ingin putrinya melihat adegan itu."Kita lanjutkan nanti saja, Mas," ujar Guzel tergesa.Wanita itu melompat turun dan bergegas memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai. Memakai dengan terburu-buru dan beranjak keluar sambil merapikan rambutnya yang berantakan."Dilara," gera
"Aku cantik, aku lebih muda daripada Mama, dan yang pasti aku lebih enerjik," sahut Dilara bangga.Kelebihan yang Dilara miliki saat ini hanya karena usianya yang masih muda. Dulu, ketika Guzel masih muda pun sama. Akan tetapi, apa yang ia katakan tidak benar. Justru di usia ibunya saat ini termasuk usia matang."Kenapa kau sepercaya diri ini?" tanya Serkan sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.Pria itu menyentuh dagunya. Menatap Dilara dari ujung kepala sampai ujung kaki. Memang Dilara cantik, tapi tidak bisa dibandingkan dengan kecantikan Guzel."Karena itulah kenyataannya," jawab Dilara mantap."Baiklah. Dengarkan aku baik-baik ya, anak tiriku yang kurang akan sopan santun dan kelebihan rasa percaya diri. Jujur, aku merasa kau itu bukan anak dari istriku. Kau jauh berbanding terbalik dengan Guzelku."Mendengar ucapan Serkan membuat Dilara mengerang kesal. Tangannya terkepal kuat, gigi yang diadu, dan manik mata yang terbuka lebar. Di luar sana, banyak orang yang benci disamakan, d
"Kau mau, tapi aku tidak." tolak Serkan tegas.Sekeras apa pun usaha Dilara membujuk, ia tidak akan goyah. Sekali ia bilang tidak, maka tetap tidak dan tidak akan pernah bisa diganggu gugat. Apalagi, gadis itu sudah menginjak-injak harga dirinya dan keluarganya."Mas, aku mohon!" Dilara meraih tangan Serkan dengan raut memelas."Sekali tidak, tetap tidak." Serkan menghempaskan tangan Dilara dan meniup-niup tangannya seolah ada debu yang menempel, "Oh iya, panggil aku papa. Jangan sampai istriku mendengar kau memanggilku dengan sebutan, Mas," imbuhnya mengingatkan. Ia takut Guzel akan salah paham.Kenapa sejak awal Dilara tidak bisa memahami sikap dan kata-katanya? Padahal, orang bodoh pun akan dengan sangat cepat mengerti.Sebenarnya bukan tidak mengerti, tetapi gadis itu berpura-pura bodoh. Ia pikir usahanya akan membuahkan hasil dan ternyata salah. Meski ia menyerahkan diri dengan suka rela untuk dijadikan yang kedua, Serkan tetap tidak mau menerimanya. Tentu saja karena pria itu su
Jantung Serkan dan Dilara berdegup kencang. Bagaimana kalau Guzel sampai mendengar pembicaraan mereka? Apa yang akan wanita itu pikirkan tentang keputusan Serkan menjauhkan Dilara darinya."Kenapa kau tiba-tiba ada di sini? Bukankah kau bilang ingin pergi ke kamar mandi?" tanya Serkan sambil melangkah mendekat.Sementara Dilara, gadis itu bergegas membuang muka ke samping dan menghapus air matanya."Aku belum sempat ke kamar mandi, Mas." Guzel memijit pelipisnya, "Baru sampai pertengahan anak tangga, tiba-tiba kepalaku pusing dan perut aku rasanya mual mau muntah," imbuhnya menjelaskan."Selain itu, apa ada yang lain? Wajahmu juga pucat." Serkan lekas merangkul bahu Guzel dengan khawatir, "Tapi tidak panas," imbuhnya sambil menyentuh dahi sang istri."Tidak ada, Mas," sahut Guzel menggeleng lemah. Gejala yang Guzel tunjukkan sama seperti wanita hamil pada umumnya. Hanya saja, wanita itu belum sadar karena dulu ketika hamil Dilara tidak mengalami keluhan apa pun. Tidak mual dan muntah