Beranda / Romansa / Menikahi Calon Mertua / 4. Kenapa Guzel dan Bukan Lara?

Share

4. Kenapa Guzel dan Bukan Lara?

"Kenapa kau diam saja? Cepat jalan bodoh atau kau--"

Tanpa menjawab, Guzel melangkah maju membuat ucapan Serkan terhenti.

"Tunggu!" cegah Serkan.

"Apalagi, sih?" keluh Guzel kesal. Ia tidak tahu dengan apa yang sebenarnya pria itu inginkan.

"Air mata. Hapus air matamu dan berhenti menangis. Tunjukkan senyum terbaikmu agar tidak ada satu orang pun yang curiga," sahut Serkan menjelaskan.

Bagaimana bisa wajah Guzel bersimbah air mata ketika mereka hendak menuju pelaminan? Apa kata tamu undangan nanti kalau mereka melihatnya?

"Bagaimana bisa aku tersenyum kalau--"

"Aku tidak mau tahu. Kalau kau merusak acara ini dan membuat keluargaku malu. Akan kuhabisi putrimu," potong Serkan mengancam.

Semua ini terjadi karena Dilara. Jadi, Serkan sengaja mengancam agar Guzel menurut dan tidak membuat masalah.

"Ti-tidak, jangan. Ak-aku ... aku akan berhenti menangis dan tersenyum," ujar Guzel ketakutan sambil menghapus air mata di wajahnya.

"Bagus. Ingat putrimu kalau kau mau berbuat macam-macam," kata Serkan mengingatkan.

Ia terpaksa harus mengancam karena Guzel sangat menjengkelkan. Kalau saja wanita itu menuruti perintahnya dan bersikap baik. Mungkin ia tidak akan sampai mengancam.

"Ayo, jalan!" ajak Serkan.

Sepersekian detik kemudian, mereka berdua berjalan secara perlahan menyusuri karpet merah menuju pelaminan. Mereka mengembangkan senyuman seolah mereka benar-benar bahagia dengan pernikahan itu.

Sampai di tengah, semua tamu undangan menoleh ke arah calon mempelai. Begitu pula dengan Arash dan kedua orang tua Serkan. Manik mata pria tua itu membola dengan mulut yang terbuka lebar.

"Bagaimana bisa? Kenapa Guzel dan bukan Lara?" Arash bertanya-tanya sambil meremas dada bagian kirinya. Jantung yang selama ini baik-baik saja tiba-tiba berdenyut nyeri.

Merasa aura dingin menyelimuti tubuh, Serkan menoleh di mana sang kakek berada. Kemudian, menganggukkan kepalanya memberi sebuah tanda.

***

Beberapa jam kemudian, semua orang sudah berkumpul di ruang tamu kediaman mewah keluarga Aslan. Semua mata anggota keluarga tertuju pada Serkan dan Guzel.

"Bisa jelaskan kenapa Guzel dan bukan Dilara?" tanya Arash dingin. Tatapan matanya tajam bagai anak panah yang siap diluncurkan.

"Ma-maaf, Tuan. Lara kabur dan Serkan memaksa saya untuk menggantikan posisi Lara," jawab Guzel dengan kepala tertunduk. Suaranya terdengar bergetar menahan tangis.

Air matanya mengalir begitu saja dengan perasaan yang campur aduk. Ia merasa kacau dengan kenyataan hidupnya saat ini. Selain itu, ia merasa sangat bersalah karena kelalaiannya Dilara kabur. Harusnya ia mencegah agar hal itu tidak sampai terjadi.

"Kabur? Bagaimana bisa?" tanya Arash sambil mengepalkan tangannya kuat-kuat.

Tidak hanya pria itu saja, ayah dan ibu Serkan juga tidak kalah terkejut. Mereka ingin membuka suara, tetapi takut Arash akan marah karena telah menyela.

"Tidak apa-apa, Kek, tidak perlu dibahas lagi. Lagi pula, tidak ada bedanya meski Serkan menikah dengan Guzel dan bukan Lara," kata Serkan menimpali.

Pria itu terlihat enggan membahas masalah Dilara. Bagaimana tidak? Dilara begitu merendahkannya dengan cara kabur di hari pernikahannya.

"Tidak ada bedanya bagaimana? Dia seorang janda dengan satu anak. Usianya juga lebih tua darimu," kata Lunara, ibu Serkan menimpali.

"Ya, benar kata ibumu," kata Asker, ayah Serkan membenarkan ucapan istrinya.

Mendengar sepasang suami istri itu berbicara, kepala Guzel semakin tertunduk dalam. Tidak tahu kesalahan besar apa yang telah ia perbuat di masa lalu. Kenapa hidupnya berubah menjadi seperti ini?

"Tidak masalah meski Guzel seorang janda dengan anak satu. Bukankah yang paling penting saat ini Serkan sudah menikah sesuai keinginan Kakek?" sanggah Serkan menggebu.

Sejak awal, ia sudah berusaha menolak dan menjelaskan alasan mengapa sampai saat ini belum menjalin hubungan dengan wanita manapun. Namun, sang kakek bersikeras menikahkannya karena berpikir Serkan menyukai lawan jenis.

"Ya sudah, terserah kau saja. Kakek tidak akan mempermasalahkannya lagi.

"Tapi, Pa," kata Lunara memprotes keputusan ayahnya.

"Tidak ada kata tapi. Papa menerima Guzel sebagai menantu keluarga ini. Jadi, kau dan Asker juga harus menerimanya," sanggah Arash memutuskan.

Jika bukan karena keinginannya menikahkan Dilara dengan Serkan. Seandainya ia tidak terlalu memaksa. Mungkin kejadian seperti ini tidak akan pernah terjadi. Namun, melihat cucu semata wayangnya yang hanya dekat dengan pria dan tidak pernah dekat dengan seorang wanita membuatnya berbuat nekat. Apalagi kerajaan bisnisnya membutuhkan penerus. Jadi mau tidak mau, ia melakukan hal itu.

"Iya, Pa," sahut Lunara dan Asker lesu. Mereka tahu keputusan sang ayah tidak bisa diganggu gugat.

"Untuk kau dan Guzel, istirahatlah di kamar kalian," kata Arash menatap cucu dan cucu menantunya bergantian.

"Baik, Kek."

Serkan beranjak bangun, sedangkan Guzel terlihat kebingungan. Ia tetap menunduk dan hanya memainkan jemarinya. Jujur, ia tidak tahu harus melakukan apa.

"Kenapa kau diam saja? Cepat bangun!" geram Serkan.

"Apa boleh?" tanya Guzel takut-takut.

"Kenapa tidak boleh? Kau itu 'kan istrinya," kata Lunara menimpali.

Meskipun beberapa detik yang lalu keberatan, tetapi setelah sang ayah memutuskan, Lunara juga ikut memutuskan untuk menerima Guzel menjadi menantunya. Karena setiap keputusan Arash selalu berakhir baik. Jadi apa pun itu, semua anggota keluarga akan menerima keputusannya.

"Baik, Nyonya." Guzel menganggukkan kepalanya dan lekas beranjak berdiri.

"Bukan nyonya, tapi mama. Panggil mama, Papa, dan Kakek. Sekarang kau menantu di keluarga ini," ujar Lunara mengoreksi.

"Terimakasih. Kalau begitu, saya pamit ke kamar dulu," pamit Guzel dengan perasaan lega.

Melihat kejadian itu, Serkan menghela nafas dan bergegas melangkah pergi. Sementara Guzel, ia berjalan mengikuti suaminya dari belakang. Setelah sampai di kamar, Serkan langsung pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

"Kenapa kau bengong saja di situ? Kau itu patung atau manusia?" tanya Serkan dingin.

Sudah hampir tiga puluh menit berlalu, semenjak Serkan membersihkan diri dan mengganti baju ke ruang ganti. Guzel masih tetap berdiri di depan pintu kamar dengan raut bingung.

"A-aku ..."

"Cepat mandi karena aku paling tidak suka orang jorok!" ujar Serkan tidak peduli dengan ucapan Guzel selanjutnya.

"Ba-baik," sahut Guzel terbata.

Dengan langkah cepat, ia melangkah ke arah kamar mandi. Masuk ke dalam dan meneliti setiap sudut. Ia meraih handuk di tempat penyimpanan. Lalu, bergegas membersihkan diri.

"Rasanya sangat nyaman," lirih Guzel sambil membaringkan tubuhnya di bathtub dengan manik mata terpejam.

Seharian ini, ia mendapat perlakuan dingin dari Serkan. Wajahnya terasa kaku karena dipaksa untuk selalu tersenyum. Menunjukkan kebahagiaan di hari pernikahan, padahal seharusnya ia menangis karena terpaksa akan keadaan.

"Maafin aku, Mas. Sepertinya memang sudah saatnya aku melupakanmu," batin Guzel. Dadanya bergerak naik-turun dan air matanya tiba-tiba menetes.

Meskipun sudah ditinggal selama lebih dari lima tahun, tetapi belum ada yang bisa menggantikan nama sang suami di hatinya. Padahal, banyak sekali pria yang berusaha mendekatinya.

"Kau ke mana, Lara? Apa kau sedang ada di rumah? Kenapa tidak mengangkat telepon atau membalas pesan mama?"

Mengingat putri semata wayangnya membuat Guzel semakin pusing. Acara pernikahan sudah selesai, tetapi kenapa putrinya masih berusaha menghindar?

"Aku lelah. Aku harus istirahat dan besok aku akan mencari Lara."

Wanita itu bergerak bangun. Mengeringkan tubuhnya dengan handuk dan memakai pakaian sebelumnya. Lalu, ia bergegas keluar dan kembali dilanda kebingungan. Menatap Serkan yang sedang berbaring di atas tempat tidur sambil membaca buku.

"Jangan menatapku seperti itu!" seru Serkan dingin.

"Ti-tidak. Aku tidak menatapmu," sangkal Guzel sambil menggerak-gerakkan bola matanya.

Serkan beranjak bangun dan duduk. Lalu, ia menoleh ke samping menatap istri yang baru dinikahinya. Kemudian, ia dikejutkan dengan pakaian Guzel yang masih sama seperti sebelumnya.

"Kau masih memakai pakaian itu?" tanya Serkan terbelalak.

Pakaian yang Guzel kenakan adalah gaun berwarna putih yang ia kenakan sebelum mengganti baju dengan gaun pengantin. Berhubung ia tidak memiliki pakaian di rumah itu, jadi mau tidak mau ia memakainya lagi. Tidak mungkin bukan kalau ia hanya memakai handuk mandi saja?

"Aku tidak memiliki pakaian lain," sahut Guzel lirih.

"Pergi ke ruang ganti dan kau boleh memakai salah satu pakaianku," ujar Serkan malas. Kemudian, ia menghempaskan tubuhnya dan kembali membaca buku.

"Iya."

Guzel bergegas pergi ke ruang ganti. Mencari-cari pakaian yang bisa ia pakai. Ia sibuk memeriksa setiap lemari dan menemukan deretan kemeja putih.

"Aku pakai ini sajalah," kata wanita itu sambil meraih salah satu kemeja putih.

Guzel lekas mengganti baju. Kemudian, ia bergegas keluar dan berencana untuk meletakkan pakaiannya di tempat cucian kotor.

Mendengar suara pintu terbuka dan langkah yang kian mendekat, sontak Serkan memeriksa. Namun, ia dikejutkan dengan penampilan Guzel yang menggoda. Rambut panjang dan basah yang tergerai. Leher jenjang yang dijatuhi buliran air. Terlebih paha mutih mulus dan kaki jenjang terus melangkah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status