"Kenapa kau diam saja? Cepat jalan bodoh atau kau--"
Tanpa menjawab, Guzel melangkah maju membuat ucapan Serkan terhenti."Tunggu!" cegah Serkan."Apalagi, sih?" keluh Guzel kesal. Ia tidak tahu dengan apa yang sebenarnya pria itu inginkan."Air mata. Hapus air matamu dan berhenti menangis. Tunjukkan senyum terbaikmu agar tidak ada satu orang pun yang curiga," sahut Serkan menjelaskan.Bagaimana bisa wajah Guzel bersimbah air mata ketika mereka hendak menuju pelaminan? Apa kata tamu undangan nanti kalau mereka melihatnya?"Bagaimana bisa aku tersenyum kalau--""Aku tidak mau tahu. Kalau kau merusak acara ini dan membuat keluargaku malu. Akan kuhabisi putrimu," potong Serkan mengancam.Semua ini terjadi karena Dilara. Jadi, Serkan sengaja mengancam agar Guzel menurut dan tidak membuat masalah."Ti-tidak, jangan. Ak-aku ... aku akan berhenti menangis dan tersenyum," ujar Guzel ketakutan sambil menghapus air mata di wajahnya."Bagus. Ingat putrimu kalau kau mau berbuat macam-macam," kata Serkan mengingatkan.Ia terpaksa harus mengancam karena Guzel sangat menjengkelkan. Kalau saja wanita itu menuruti perintahnya dan bersikap baik. Mungkin ia tidak akan sampai mengancam."Ayo, jalan!" ajak Serkan.Sepersekian detik kemudian, mereka berdua berjalan secara perlahan menyusuri karpet merah menuju pelaminan. Mereka mengembangkan senyuman seolah mereka benar-benar bahagia dengan pernikahan itu.Sampai di tengah, semua tamu undangan menoleh ke arah calon mempelai. Begitu pula dengan Arash dan kedua orang tua Serkan. Manik mata pria tua itu membola dengan mulut yang terbuka lebar."Bagaimana bisa? Kenapa Guzel dan bukan Lara?" Arash bertanya-tanya sambil meremas dada bagian kirinya. Jantung yang selama ini baik-baik saja tiba-tiba berdenyut nyeri.Merasa aura dingin menyelimuti tubuh, Serkan menoleh di mana sang kakek berada. Kemudian, menganggukkan kepalanya memberi sebuah tanda.***Beberapa jam kemudian, semua orang sudah berkumpul di ruang tamu kediaman mewah keluarga Aslan. Semua mata anggota keluarga tertuju pada Serkan dan Guzel."Bisa jelaskan kenapa Guzel dan bukan Dilara?" tanya Arash dingin. Tatapan matanya tajam bagai anak panah yang siap diluncurkan."Ma-maaf, Tuan. Lara kabur dan Serkan memaksa saya untuk menggantikan posisi Lara," jawab Guzel dengan kepala tertunduk. Suaranya terdengar bergetar menahan tangis.Air matanya mengalir begitu saja dengan perasaan yang campur aduk. Ia merasa kacau dengan kenyataan hidupnya saat ini. Selain itu, ia merasa sangat bersalah karena kelalaiannya Dilara kabur. Harusnya ia mencegah agar hal itu tidak sampai terjadi."Kabur? Bagaimana bisa?" tanya Arash sambil mengepalkan tangannya kuat-kuat.Tidak hanya pria itu saja, ayah dan ibu Serkan juga tidak kalah terkejut. Mereka ingin membuka suara, tetapi takut Arash akan marah karena telah menyela."Tidak apa-apa, Kek, tidak perlu dibahas lagi. Lagi pula, tidak ada bedanya meski Serkan menikah dengan Guzel dan bukan Lara," kata Serkan menimpali.Pria itu terlihat enggan membahas masalah Dilara. Bagaimana tidak? Dilara begitu merendahkannya dengan cara kabur di hari pernikahannya."Tidak ada bedanya bagaimana? Dia seorang janda dengan satu anak. Usianya juga lebih tua darimu," kata Lunara, ibu Serkan menimpali."Ya, benar kata ibumu," kata Asker, ayah Serkan membenarkan ucapan istrinya.Mendengar sepasang suami istri itu berbicara, kepala Guzel semakin tertunduk dalam. Tidak tahu kesalahan besar apa yang telah ia perbuat di masa lalu. Kenapa hidupnya berubah menjadi seperti ini?"Tidak masalah meski Guzel seorang janda dengan anak satu. Bukankah yang paling penting saat ini Serkan sudah menikah sesuai keinginan Kakek?" sanggah Serkan menggebu.Sejak awal, ia sudah berusaha menolak dan menjelaskan alasan mengapa sampai saat ini belum menjalin hubungan dengan wanita manapun. Namun, sang kakek bersikeras menikahkannya karena berpikir Serkan menyukai lawan jenis."Ya sudah, terserah kau saja. Kakek tidak akan mempermasalahkannya lagi."Tapi, Pa," kata Lunara memprotes keputusan ayahnya."Tidak ada kata tapi. Papa menerima Guzel sebagai menantu keluarga ini. Jadi, kau dan Asker juga harus menerimanya," sanggah Arash memutuskan.Jika bukan karena keinginannya menikahkan Dilara dengan Serkan. Seandainya ia tidak terlalu memaksa. Mungkin kejadian seperti ini tidak akan pernah terjadi. Namun, melihat cucu semata wayangnya yang hanya dekat dengan pria dan tidak pernah dekat dengan seorang wanita membuatnya berbuat nekat. Apalagi kerajaan bisnisnya membutuhkan penerus. Jadi mau tidak mau, ia melakukan hal itu."Iya, Pa," sahut Lunara dan Asker lesu. Mereka tahu keputusan sang ayah tidak bisa diganggu gugat."Untuk kau dan Guzel, istirahatlah di kamar kalian," kata Arash menatap cucu dan cucu menantunya bergantian."Baik, Kek."Serkan beranjak bangun, sedangkan Guzel terlihat kebingungan. Ia tetap menunduk dan hanya memainkan jemarinya. Jujur, ia tidak tahu harus melakukan apa."Kenapa kau diam saja? Cepat bangun!" geram Serkan."Apa boleh?" tanya Guzel takut-takut."Kenapa tidak boleh? Kau itu 'kan istrinya," kata Lunara menimpali.Meskipun beberapa detik yang lalu keberatan, tetapi setelah sang ayah memutuskan, Lunara juga ikut memutuskan untuk menerima Guzel menjadi menantunya. Karena setiap keputusan Arash selalu berakhir baik. Jadi apa pun itu, semua anggota keluarga akan menerima keputusannya."Baik, Nyonya." Guzel menganggukkan kepalanya dan lekas beranjak berdiri."Bukan nyonya, tapi mama. Panggil mama, Papa, dan Kakek. Sekarang kau menantu di keluarga ini," ujar Lunara mengoreksi."Terimakasih. Kalau begitu, saya pamit ke kamar dulu," pamit Guzel dengan perasaan lega.Melihat kejadian itu, Serkan menghela nafas dan bergegas melangkah pergi. Sementara Guzel, ia berjalan mengikuti suaminya dari belakang. Setelah sampai di kamar, Serkan langsung pergi ke kamar mandi untuk membersihkan diri."Kenapa kau bengong saja di situ? Kau itu patung atau manusia?" tanya Serkan dingin.Sudah hampir tiga puluh menit berlalu, semenjak Serkan membersihkan diri dan mengganti baju ke ruang ganti. Guzel masih tetap berdiri di depan pintu kamar dengan raut bingung."A-aku ...""Cepat mandi karena aku paling tidak suka orang jorok!" ujar Serkan tidak peduli dengan ucapan Guzel selanjutnya."Ba-baik," sahut Guzel terbata.Dengan langkah cepat, ia melangkah ke arah kamar mandi. Masuk ke dalam dan meneliti setiap sudut. Ia meraih handuk di tempat penyimpanan. Lalu, bergegas membersihkan diri."Rasanya sangat nyaman," lirih Guzel sambil membaringkan tubuhnya di bathtub dengan manik mata terpejam.Seharian ini, ia mendapat perlakuan dingin dari Serkan. Wajahnya terasa kaku karena dipaksa untuk selalu tersenyum. Menunjukkan kebahagiaan di hari pernikahan, padahal seharusnya ia menangis karena terpaksa akan keadaan."Maafin aku, Mas. Sepertinya memang sudah saatnya aku melupakanmu," batin Guzel. Dadanya bergerak naik-turun dan air matanya tiba-tiba menetes.Meskipun sudah ditinggal selama lebih dari lima tahun, tetapi belum ada yang bisa menggantikan nama sang suami di hatinya. Padahal, banyak sekali pria yang berusaha mendekatinya."Kau ke mana, Lara? Apa kau sedang ada di rumah? Kenapa tidak mengangkat telepon atau membalas pesan mama?"Mengingat putri semata wayangnya membuat Guzel semakin pusing. Acara pernikahan sudah selesai, tetapi kenapa putrinya masih berusaha menghindar?"Aku lelah. Aku harus istirahat dan besok aku akan mencari Lara."Wanita itu bergerak bangun. Mengeringkan tubuhnya dengan handuk dan memakai pakaian sebelumnya. Lalu, ia bergegas keluar dan kembali dilanda kebingungan. Menatap Serkan yang sedang berbaring di atas tempat tidur sambil membaca buku."Jangan menatapku seperti itu!" seru Serkan dingin."Ti-tidak. Aku tidak menatapmu," sangkal Guzel sambil menggerak-gerakkan bola matanya.Serkan beranjak bangun dan duduk. Lalu, ia menoleh ke samping menatap istri yang baru dinikahinya. Kemudian, ia dikejutkan dengan pakaian Guzel yang masih sama seperti sebelumnya."Kau masih memakai pakaian itu?" tanya Serkan terbelalak.Pakaian yang Guzel kenakan adalah gaun berwarna putih yang ia kenakan sebelum mengganti baju dengan gaun pengantin. Berhubung ia tidak memiliki pakaian di rumah itu, jadi mau tidak mau ia memakainya lagi. Tidak mungkin bukan kalau ia hanya memakai handuk mandi saja?"Aku tidak memiliki pakaian lain," sahut Guzel lirih."Pergi ke ruang ganti dan kau boleh memakai salah satu pakaianku," ujar Serkan malas. Kemudian, ia menghempaskan tubuhnya dan kembali membaca buku."Iya."Guzel bergegas pergi ke ruang ganti. Mencari-cari pakaian yang bisa ia pakai. Ia sibuk memeriksa setiap lemari dan menemukan deretan kemeja putih."Aku pakai ini sajalah," kata wanita itu sambil meraih salah satu kemeja putih.Guzel lekas mengganti baju. Kemudian, ia bergegas keluar dan berencana untuk meletakkan pakaiannya di tempat cucian kotor.Mendengar suara pintu terbuka dan langkah yang kian mendekat, sontak Serkan memeriksa. Namun, ia dikejutkan dengan penampilan Guzel yang menggoda. Rambut panjang dan basah yang tergerai. Leher jenjang yang dijatuhi buliran air. Terlebih paha mutih mulus dan kaki jenjang terus melangkah.Manik mata Serkan bergerak dari atas ke bawah. Meneliti setiap jengkal bagian tubuh Guzel. Seketika, pria itu menelan ludahnya dengan kasar. Meski ia sudah menelannya berkali-kali, lehernya tetap terasa kering."Ehem!" Pria itu berdehem berusaha menetralkan pikirannya yang hampir berkelana entah ke mana. "Sial! Kenapa dia harus memakai kemeja itu, sih?"Guzel sama sekali tidak tahu bagaimana reaksi Serkan. Yang ia pikirkan saat ini hanya meletakkan pakaian kotor dan pergi tidur. "Apa yang kau lakukan? Kenapa kau bolak-balik tidak jelas seperti itu? Mengganggu saja," tanya Serkan kesal."Maaf. Aku akan berhenti dan pergi tidur," balas Guzel bergegas membaringkan tubuhnya di sofa.Wanita itu berbaring dengan posisi terlentang melipat kedua tangannya di perut dan memejamkan mata. Lama-kelamaan, ia merasa kurang nyaman karena lampu kamar masih menyala dan menyilaukan mata. Jadi, ia memutuskan untuk membalikkan tubuhnya dengan posisi miring.Mendengar suatu pergerakan, Serkan menoleh dan
"Terimakasih, Mas," ujar Guzel setelah berada di depan rumahnya."Tunggu!" cegah Serkan ketika sang istri hendak turun."Ada apa?" tanya Guzel sambil mengerutkan keningnya.Setengah perjalanan, mereka hanya diam. Tidak ada gerak-gerik mencurigakan dari keduanya. Namun tiba-tiba, Serkan menghentikan Guzel Ketika bersiap untuk turun. Apa ia perlu membayar jasa antar?"Apa perlu aku temani?" Serkan terlihat salah tingkah. "Maksud aku, apa kau tidak memintaku untuk mampir sebentar?"Semalam, ia meminta sekretarisnya untuk mencari informasi pribadi Guzel. Namun sampai keesokan harinya, ia belum juga mendapatkan informasi apa pun. Berhubung ia sangat penasaran dengan sosok Dilara. Jadi, ia berencana untuk mampir sebentar. Hal itu ia lakukan karena ingin tahu seperti apa sosok gadis itu, sampai-sampai pergi meninggalkannya di tengah pelaminan."Sebenarnya aku ingin, tapi kau ada rapat penting sebentar lagi," balas Guzel ragu."Tidak masalah. Aku bisa menundanya sekitar tiga puluh menit. Itu,
"Ada apa? Kenapa kau datang ke sini?" tanya Serkan terkejut. Baru saja menyelesaikan rapat dan hendak kembali ke ruangannya. Tiba-tiba, ia dikejutkan dengan keberadaan Guzel di depan pintu lift, tepat di depan matanya."Aku membawakan ini sebagai ucapan terimakasihku," sahut Guzel sambil mengangkat rantang di tangan kanannya.Pandangan mata Serkan bergerak menatap rantang itu. Kemudian, ia melangkah keluar melewati istrinya."Seharusnya kau tidak perlu repot-repot. Aku melakukan itu hanya demi kemanusiaan saja," balas Serkan datar.Ucapannya terdengar seperti pria itu akan melakukan hal yang sama, jika itu terjadi pada orang lain. Padahal kenyataannya tidak seperti itu. Ia melakukan itu hanya untuk Guzel dan untuk yang pertama kalinya seumur hidup. Meskipun demikian, Guzel tidak merasa kecewa sama sekali. Mungkin karena wanita itu belum ada perasaan apa pun pada Serkan."Tidak apa-apa. Memasak adalah hobiku dan ini sama sekali tidak merepotkan." Guzel berbalik dan mengikuti Serkan ma
Manik mata Serkan terbelalak sambil menahan nafas. Seumur-umur, ia belum pernah yang namanya berciuman. Bahkan sekedar berpacaran saja belum pernah. Tidakkah kalian penasaran dengan apa yang Serkan rasakan saat ini?Entah sudah berapa lama mereka berdua berada dalam posisi itu. Jarum panjang jam dinding terus bergerak memutar. Dan tiba-tiba, Guzel menggeliat melepaskan tangannya dan meringkuk."Ini tidak enak," lirihnya dengan manik mata yang masih terpejam sempurna.Mendengar hal itu, manik mata Serkan membola karena terkejut. "Apa kau bilang?" geram pria itu.Bagaimana bisa Guzel berkata seperti itu setelah merenggut ciuman pertama Serkan? Hal itu membuat sang empu tidak terima dan marah. Lihat saja, wajah yang memerah, gigi yang saling dieratkan, dan tangan yang terkepal kuat."Sial!" umpat Serkan kesal. Ia beranjak berdiri dan menyugar rambutnya ke belakang.Andai saat ini Guzel tidak sedang tidur. Mungkin Serkan sudah membuat pembalasan telak. Entah itu dengan sebuah kecupan men
Dengan nafas yang terengah-engah, Serkan menjauhkan kepalanya. Manik mata berkabutnya menatap bibir Guzel yang membengkak. Rasanya, masih sangat kurang untuk berhenti. Rasanya ingin lagi dan lagi sampai merasa puas."Sial! Aku harus apa sekarang?" umpat Serkan kesal.Ia kebingungan harus berbuat apa sementara sisi liarnya sudah bangkit dari keabadian. Padahal seharusnya, ia menahan diri dan tidak melakukan banyak kecupan. Cukup hanya sekali kecupan dan bukannya masalah sampai ke tiga kecupan. Sekarang, ia sendiri yang terkena batunya karena tidak bisa menahan diri lagi."Sekali lagi. Yah, sekali lagi. Aku janji hanya akan melakukan satu kali lagi. Setelah ini, aku akan pergi tidur," kata Serkan setelah nafasnya teratur.Ia pikir, ia bisa tidur setelah sisi liarnya bangun. Padahal, semakin ia melakukannya lagi. Mak, sisi liarnya akan meminta lebih untuk memuaskan diri. Namun sayangnya, pria itu terlalu bodoh untuk memahami dirinya sendiri."Satu, dua, tiga." Dalam hitungan detik, ia k
Pertanyaan yang Guzel ajukan membuat Serkan menyesali keputusannya untuk memaksa sang istri berbicara. Kalau tahu akan menimbulkan pertanyaan sesulit itu, ia akan memilih untuk diam."A-aku ...." Serkan terlihat kebingungan harus menjawab apa. Untuk sesaat, ia terdiam memikirkan jawaban apa yang masuk akal dan tidak membuat Guzel curiga, "I-itu ... anu."Itu, anu apa?" tanya Guzel mengerutkan keningnya.Bagaimana bisa pria sedingin Serkan bisa salah tingkah dan gelagapan seperti itu?"Aku mengambil selimut untuk menyelimuti tubuhmu dan kau malah menendang-nendang. Jadi aku berencana untuk menyelimutimu lagi, tapi keburu kau bangun," imbuhnya menjelaskan. Bukan menjelaskan, tetapi lebih tepatnya berbohong."Benarkah?" Guzel nampak kurang percaya."Iya, seperti itu," balas Serkan tersenyum canggung.Dalam hati, ia berharap bahwa Guzel akan mempercayai ucapannya dan berhenti mencurigainya. Serkan juga ingin malam itu cepat berlalu agar Guzel tidak menanyakan hal lainnya lagi."Baiklah. S
Serkan langsung membalikkan tubuhnya melihat Guzel sedang membersihkan diri. Beruntung, kaca itu buram dan ia tidak bisa melihat dengan jelas bagian tubuh Guzel."Kenapa, sih, Guzel hobi sekali membuatku kesal?" keluhnya sambil mengeratkan gigi. Sebenarnya bukan membuat Serkan kesal, tetapi membuat sisi liarnya menegang.Seharusnya, kalau masuk ke dalam kamar mandi, entah hanya sekedar mencuci tangan atau menggosok gigi, baiknya mengunci pintu terlebih dahulu. Jangan asal masuk saja dan membuat orang lain kesulitan. Sama seperti apa yang Serkan rasakan saat ini."Sepertinya aku harus buru-buru keluar sebelum ketahuan." Serkan mengangkat kaki kanannya hendak melangkah.Bertepatan dengan Serkan yang hendak melangkah keluar, Guzel berteriak, "Hei, yang ada di sana!"Sontak, Serkan menghentikan langkahnya dan membeku. Raut wajahnya terlihat sangat tidak enak karena terpergok. Kemudian, ia membalikkan tubuhnya secara perlahan."Yang ada di sini. Semua ikut bernyanyi," lanjut Guzel.Ternyat
"Aku bilang juga apa? Pakai baju dulu, Mas," ujar Guzel menyesal.Salahnya, tadi ia mendoakan agar handuk yang melilit di pinggang Serkan terlepas. Akan tetapi giliran sudah terlepas, ia justru menutup matanya erat. Walaupun demikian, ia sudah terlanjur melihat si perkasa. Ya, meskipun hanya sekitar satu kedipan mata."Hah?" Serkan terkejut merasa handuk menimpa kakinya. Apalagi mendengar suara Guzel yang terdengar seperti sudah melihat sesuatu. Sontak, ia lekas menunduk dan mengumpat, "Sial!"Pria itu lekas meraih handuk dan melilitkan kembali ke pinggang. Ia menatap Guzel sekilas sebelum akhirnya beranjak pergi ke ruang ganti dengan langkah terburu.Merasa Serkan sudah tidak ada di sana setelah mendengar suara pintu ditutup, perlahan Guzel membuka mata sambil membuang nafas."Astaga, Serkan, Serkan," lirih Guzel tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.Daripada ia tetap berada di sana dan bertemu Serkan dengan situasi canggung. Lebih baik ia turun ke bawah dan membantu asisten ruma
Dilara seolah menerima perlakuan Gregory, padahal ia berusaha menahan. Awalnya ia ingin mendorong tubuh pria itu menjauh, tetapi takut tekanan yang dibuat akan membuat ayah kedua anaknya kesakitan.Meskipun demikian, lama-kelamaan ia mulai terlena. Tanpa sadar meresapi dan membuka mulutnya secara perlahan memberi akses Gregory untuk menjelajahi setiap rongga mulutnya.Ketika napas keduanya memburu, keringat gairah menyelimuti, Gregory menjauhkan kepalanya. Bola mata berkabutnya menatap netra cantik Dilara yang sama berkabutnya dengannya."Bisakah kita melakukannya?" tanya Gregory dengan suara serak."Hah? Apa?" Dilara tersentak kaget mendengar pertanyaan Gregory. Ia sampai melangkah mundur dengan tidak seimbang."Tidak, tidak ada." Gregory menggeleng sambil tersenyum.Bisa lebih banyak interaksi dan sampai berciuman saja sudah membuat Gregory sangat bahagia. Jadi meski ingin, ia tidak boleh terlalu terburu-buru. Sedikit menahannya tidaklah sulit, sementara selama ini ia bisa menunggu
"Pagi, Sayang," sapa Gregory dengan suara renyah.Semalam setelah mengetahui Satya mengatakan tentang kondisinya pada Dilara, Gregory tidak bisa tenang. Sekedar untuk menutup mata dan tidur saja kesulitan. Pikirannya kacau takut membuat anak-anaknya khawatir. Jadi tepat pukul tiga pagi, ia meminta Satya agar mengantarnya pulang. Kini, di sanalah pria dua anak itu berada. Berdiri di depan pintu ruang meja makan menatap tiga orang tercintanya.Sontak, semua orang yang ada di meja makan menoleh ke asal suara. Manik mata si kembar terlihat berbinar-binar. Mereka beranjak berdiri dan mendorong kursi ke belakang."Daddy!" teriak si kembar bersamaan sambil berlari mendekat.Melihat betapa antusias kedua putranya, muncul guratan khawatir di wajah Dilara. Ia ingat betul luka yang Gregory alami ada di dada kiri. Kemudian, lekas beranjak mengejar Shine dan Shane berusaha melindungi Gregory dengan cara berdiri membentangkan kedua tangan tepat di depan tubuh pria itu."Mommy, Shine mau peluk Daddy
Satu minggu kemudian.Waktu menunjukkan pukul delapan malam dan saat ini si kembar sedang berbaring mengapit ibunya di kamar tamu, tempat Dilara menghabiskan malam selama tinggal di rumah Gregory."Mommy, Shine rindu Daddy," rengek Shine."Shane juga, Mommy," kata Shane menimpali."Iya, Sayang, mommy tahu." Dilara menatap kedua putranya sendu secara bergantian.Ia tahu betul bagaimana perasaan Shine dan Shane. Setiap saat mereka akan mempertanyakan perihal ayahnya. Tidak berhenti menatap ponsel dengan gelisah hanya menunggu ayah mereka menelepon atau melakukan panggilan video. Tidak fokus dalam bermain dan terlihat lesu. Tidak nafsu makan, bahkan lebih sering melamun."Bukankah sudah waktunya Daddy pulang? Tapi kenapa sudah semalam ini belum juga sampai?" Shine mengangkat kepala menatap sang ibu.Sejak pertama kali Gregory pergi, pria mungil itu sibuk menghitung hari. Rasanya tidak sabar ingin berkumpul bersama sang ayah dan bermanja-manja."Iya, benar. Seharusnya Daddy pulang sejak p
"Menjauh, menjauh dariku!" Dilara menggerak-gerakkan kepalanya tidak sudi."Diam atau kau akan menyesal, Lara!" ancam Gregory.Sontak, Dilara langsung terdiam. Sementara itu, Gregory merapikan rambutnya yang berantakan. Pada kesempatan ini, Dilara menyentuh dada bidang Gregory dan mendorongnya. Tidak bisa dibayangkan kalau sampai pria itu berbuat nekat. Bahkan ia sendiri tidak berani membayangkannya."Aku memang bilang begitu, tapi kau tidak mau menurut. Jadi, jangan salahkan aku." Gregory mendekatkan wajahnya setelah tersenyum menyeringai. Ia tidak bisa menahan lagi untuk tidak mengecup bibir merah Dilara."Oke-oke, aku mengaku salah. Sekarang berbaringlah dan aku akan menemanimu tidur dengan tenang," ujar Dilara menyerah.Selain mengalah, tidak ada yang bisa Dilara lakukan. Posisinya tidak ada yang menguntungkan dan justru ia akan menyesal jika salah bertindak."Tidak. Aku tidak bisa mempercayaimu begitu saja," tolak Gregory tanpa bergerak sedikit pun."Astaga, Om Greg. Berbaringlah
"Lepas, turunkan aku! Turunkan aku, Om Greg!" teriak Dilara histeris. Tangannya bergerak memukuli Gregory dan kakinya diayun kuat-kuat.Tanpa menghiraukan pergerakan Dilara, Gregory masuk ke dalam kamar mandi. Meletakkan wanita itu di wastafel dan tersenyum lembut."Sebentar ya, mommy-nya anak-anak. Daddy-nya anak-anak akan menyiapkan air hangat agar kau bisa berendam dengan nyaman."Dengan napas yang memburu, Dilara merapikan pakaian dan rambutnya yang berantakan. Mengingat pikiran kotornya membuat pipinya memerah. Padahal Gregory tidak melakukan apa pun selain membawanya ke kamar mandi."Tidak perlu. Aku tidak ingin berendam. Lebih baik kau keluar sekarang," sanggah Dilara ketus."Ya sudah, terserah kau saja. Kalau begitu, aku keluar dulu," pamit Gregory.Pria itu langsung keluar dengan jantung yang berdegup kencang. Ingin sekali melakukan hal liar dengan Dilara di kamar mandi, tetapi belum berani. Jadi, ia hanya bisa membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur sambil membayangkan ma
"Apa yang kau lakukan, Om Greg?! bentak Dilara panik. Ia bergegas duduk dan menjauh sedangkan Gregory tetap berbaring.Raut wajahnya menunjukkan rasa takut yang teramat. Bagaimana tidak? Pria itu memintanya untuk menemani tidur. Pria dan wanita dewasa di dalam kamar di malam hari, kalau bukan untuk melakukan hal itu lalu apa lagi?"Astaga, Lara! Sikapmu ini seolah aku memintamu untuk melayaniku," ujar Gregory menggeleng tidak habis pikir."Lalu, apa lagi? Bukankah itu yang ada di isi kepalamu?" tanya Dilara nyalang."Astaga." Gregory mendesah keras sambil mencengkeram rambutnya frustasi.Kalau boleh, memang ia ingin melakukannya. Namun, tidak sekarang melainkan nanti setelah Dilara benar-benar mau menerima dan menikah dengannya."Kemarilah!" Gregory menepuk-nepuk kasur sebelahnya."Tidak!" tolak Dilara tegas. Duduk bersandar kepala ranjang sambil memeluk lututnya."Mau ke mari atau aku paksa?" ancam Gregory.Dilara menggeleng cepat. Napasnya bergerak cepat dengan tubuh bergetar yang s
Tidak ingin membiarkan Gregory berbuat lebih dan mempermalukannya, Dilara menyentuh dada bidang pria itu dan mendorongnya menjauh. Menatap si kembar bergantian sebelum memusatkan atensinya pada pria tidak tahu malu itu. Dengan napas yang tersengal dan dada yang bergerak naik turun, bola matanya memerah juga membola. "Apa yang Om Greg lakukan?" tanya Dilara berbisik sambil menggertakkan gigi menahan amarah."Aku tidak melakukan apa-apa. Hanya melakukan sesuatu yang memang ingin aku lakukan," sahut Gregory malas.Ia berkata tidak melakukan apa-apa, tetapi mengatakan sesuatu yang memang ingin sekali dilakukan."Lakukan apa pun sesuka hatimu dan jangan lakukan itu padaku," ujar Dilara geram. Wanita itu mengusap bibirnya kasar berusaha menghapus jejak bibir lembab ayah kedua anaknya. Ia benar-benar tidak menyangka Gregory akan berbuat tidak tahu malu seperti itu padanya."Tidak bisa. Aku tipe pria setia dan tidak bisa menyentuh wanita lain yang tidak aku cintai," tolak Gregory tegas."Cu
["Jangan gila, Om Greg!""Ya sudah, aku bangunkan anak-anak dan langsung menjemputmu."["Tidak, jangan."Tidak mungkin ia membiarkan Gregory membangunkan Shine dan Shane yang sedang tidur. Apalagi sekarang waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Akan tetapi, ia juga tidak bisa membiarkan dirinya menginap di rumah pria itu. Kalau tidak menginap, anak-anak akan marah karena tidak ada ibunya di sana setelah bangun nanti."Jadi, aku harus bagaimana sekarang?" tanya Gregory berpura-pura bingung.["Oke. Kau suruh supir saja untuk menjemputku.""Lalu? Kau akan menginap di sini atau mau diantar pulang?" Gregory berusaha menekan kuat-kuat kebahagiaannya dengan bersikap datar. Pasalnya ia sudah tahu pilihan apa yang akan Dilara ambil. Jika bukan memilih menginap, lalu apa lagi?["Aku akan menginap, tapi kau tidak boleh macam-macam.""Tidak akan. Ya sudah, akan kukirim supir untukmu."Sepersekian detik, Dilara mengakhiri panggilan. Saat ini, Gregory berusaha menekan rasa bahagianya. Melip
["Hari ini aku tidak bisa pulang tepat waktu karena rekan kerja lawan shift-ku tidak masuk. Jadi, bisakah kau mengurus anak-anak untuk malam ini saja?""Tidak masalah. Bukankah sebelumnya aku sudah bilang kalau--."["Aku tahu. Untuk masalah ini, kita bicarakan nanti malam saja setelah pekerjaanku selesai."Awalnya, Dilara memang ingin membicarakan tentang hal itu. Namun, kejadian yang tak disangka-sangka justru terjadi dan ia terpaksa harus meminta tolong pada Gregory sebelum membahasnya."Baiklah. Jadi, apa aku perlu membawa anak-anak pulang sekarang atau nanti?"Gregory pikir, apa bedanya sekarang dan nanti pukul lima. Lagi pula, si kembar akan tetap ikut bersamanya pulang ke rumah selama beberapa jam.["Terserah kau saja, tapi menurutku sekarang lebih baik karena anak-anak terlihat sangat kelelahan.""Oke. Kalau begitu, aku dan anak-anak pulang dulu. Kau kabari saja satu jam sebelum pulang agar aku tidak terlambat menjemput."["Ya. Titip salam buat anak-anak. Aku tidak bisa ke depa