Arawinda makan dengan lahap makanan yang kini terhidang di hadapannya. Kaivan pun mengusap bibirnya sebelum berbicara, "Menikmati malam ini?""Iya." Arawinda menganggukan kepala tanpa ragu. "Makasih.""Tidak perlu berterimakasih, kebahagiaan kamu, kebahagiaan saya."Mendengar perkataan itu, Arawinda pun langsung terbatuk tanpa bisa ditahan-tahan. "Minum-minum."Tangan mungil Arawinda menerima gelas dari Kaivan dan meneguk isinya dengan rakus. "Udah lebih lega? Makannya pelan-pelan, saya enggak akan minta. Punya piring dan menu sendiri.""Bukan begitu." Arawinda mendengus. Padahal ia kaget mendengar perkataan Kaivan yang sedikit menggetarkan dinding perasannya.Kebahagiaannya menjadi alasan kebahagiaan bagi orang lain. Arawinda ... merasa terusik. usik yang menyenangkan sekaligus menggelisahkan."Makan lagi, abisin yang ada di piring. Ingat kan Arawinda, kalau kamu—""Harus menambah berat badan biar ideal." Arawinda menyambung perkataan Kaivan dengan mendelik. "Saya ingat itu dengan
Arawinda sudah berganti baju dengan pakaian yang lebih sopan, mereka datang ke salah satu rumah tamu di waktu sarapan pagi. Di jadwal yang sudah ditentukan. Karena rumah ini termasuk yang paling dekat keberadaanya. Rambut panjang Arawinda yang bergelombang hanya disisir, dengan bantuan Kaivan. Lalu, sebuah bando terpasang di bagian depan. Menahan agar tidak berantakan.Riasan tipis sebisanya sudah Arawinda tempelkan di wajah. Meski begitu, Arawinda masih tetap cantik paripurna. Saat turun dari mobil, Arawinda melihat dua paruh baya yang nampak menyambut kedatangan ia dan Kaivan di teras.Keduanya berjalan penuh senyum dan langsung bersalaman."Arawinda, sudah lama sekali saya tidak melihat kamu, apa kabar Nak?" tanya laki-laki yang nampak seumuran Papi perhatian."Saya baik Om Dhana." Arawinda masih ingat dengan jelas sosok ini. "Saya turut berduka cita atas kepergian Papi-mu pasti sangat berat untuk kamu lalui. Bahkan saat melayatpun, saya enggak bisa ngelihat kamu. Kata Gio, kamu
"Kenapa muka kamu tiba-tiba pucat begitu, Arawinda?" bisik Kaivan sembari memperhatikan Arawinda. Kini mereka tengah makan siang bersama tiga orang lain yang harus mereka undang, karena jaraknya berdekatan, jadi mereka memutuskan untuk bertemu di salah satu restoran privat. Arawinda menggelengkan kepala, sebelah tangannya memegangi perut. "Enggak tahu.""Kamu capek? Sakit?" tanya Kaivan sembari sigap mengambil air putih.Arawinda merasa kesakitan. Amat sangat sakit di bagian perut. Entah apa ia datang bulan atau bagaimana hanya saja, rasanya tidak nyaman."Dimunum dulu." Kaivan perhatian, membantu Arawinda untuk minum dengan pelan."Kenapa Arawinda?"Salah seorang paruh baya yang hadir menanyakan. Arawinda mencoba terlihat baik-baik saja. "Saya enggak kenapa-kenapa kok. Cuma haus, makanya suami bantu saya untuk minum."Kaivan menganggukan kepala. Setelah menyimpan segelas air di meja, diam-diam ia memegang tangan Arawinda. Khawatir. "Kalau begitu, kami sangat berterimakasih atas un
Pemberhentian terakhir mereka adalah di daerah Bandung, atas keputusannya karena tak ingin Arawinda terlalu lelah akhirnya Kaivan meminta ke lima tamu undangan yang ada di kota yang sama untuk menyempatkan diri makan malam bersama. Seperti tadi siang. Akan lebih efisien dan tidak memakan waktu.Hingga akhirnya, kini Kaivan berakhir di kamar hotel yang sama. Tadinya, mereka akan membooking dua kamar hanya saja mengingat mereka adalah sepasang suami-isteri yang pastinya akan disoroti oleh banyak orang, Kaivan pun mengurungkan hal tersebut.Arawinda menatap perutnya yang terasa penuh, ia makan sangat banyak hari ini. Tak bisa dihindari karena semua teman-teman Papi sangat perhatian dan nampak menyayanginya dengan tulus. Mereka berulang kali menanyakan keadaan Arawinda dan selalu membanggakan karena Arawinda kuat bertahan padahal sudah melawati banyak hal yang menyakitkan."Kenapa?" tanya Kaivan sembari berdiri di depan Arawinda."Kenyang banget tahu.""Yaudah, istirahat sebentar, bersih-
Kini, satu-satunya orang yang tersisa dari semua tamu adalah, Pak Ridwan yang tinggal di pedalaman kota Jogja. Sosok pemilik pabrik kaca terbesar di Indonesia dengan kualitas terbaik dan sudah tersohor itu kini tinggal sederhana dan nyaman menikmati hari tau di pedalaman asli kita Jogja. Dan sesungguhnya, Arawinda sudah amat sangat lelah, empat hari tanpa henti terus berkunjung, dari satu tempat ke tempat lainnya. Dari satu orang ke orang lainnya. Ia lelah namun tak bisa berhenti begitu saja. Bagaimana pun, ia harus menyelesaikan urusannya. Ini yang terakhir, besok ia bisa kembali ke ruang kamarnya yang nyaman dan beristirahat sepuasnya, seharian."Makanan?" Arawinda menggelengkan kepala, menolak apa yang Kaivan tawarkan. Ia bahkan tak selera untuk sekedar makan sekarang. Sungguh. "Saya mau istirahat.""Sebentar lagi kita sampai.""Kenapa beliau harus tinggal di pedalaman, dengan jalan rusak dan penuh bebatuan begini? Apa hidup di perkotaan kurang nyaman untuk menikmati hari tua? Pad
Kaivan buru-buru menyalimi dengan hormat sang nenek yang kini berjalan ke arahnya. Melihat itu, Arawinda pun mencoba melakukan hal yang sama. Ia tetap bersopan santun pada orang tua di depannya. Dimana tanah dipijak di situ langit dijunjung. Arawinda diajari untuk bersopan santun pada orang yang lebih tua. Apalagi ini neneknya Kaivan. Meski perkataan dan kesan pertama mereka kurang baik."Selamat datang di rumah kami yang sederhana.""Terimakasih." Arawinda menganggukan kepala. Ini kedua kali ia bertemu dengan sosok yang seringkali disebut Mbah Putri itu."Saya kira kamu akan menolak dan enggak akan mau berkunjung ke tempat seperti ini mengingat satu tahun terakhir saja, kamu tak pernah memunculkan diri di sini.""Mbah Putri sehat?" tanya Kaivan tiba-tiba, mencoba mengalihkan pembicaraan."Mbah lagi ngobrol sama istri kamu Kaivan.""Ya ampun! Maaf banget Ibu baru tahu kamu mau datang, tadi lagi di belakang." Gendhis menyambut suka cita. Dibanding Kaivan, Gendhis malah langsung memeluk
Arawinda asik mencabuti wortel dari dalam tanah. Gadis itu nampak kesenangan sendiri bisa bermain di kebun. Tangannya kotor, di wajah gadis itu ada seoles tanah, keringat mengucur di pelipisnya. Wajah gadis itu semakin matang dari waktu ke waktu."Udah ayo pulang!""Bentar lagi!""Udah toh, biarin aja dia main kayak gitu. Jarang juga kan Arawinda main di kebun. Lagi anteng itu."Kaivan melirik sang Ibu yang malah membela Arawinda yang asik sendiri seperti anak kecil. Jiwa-jiwa marah Kaivan hampir saja keluar melihat tingkah sang istri. "Tapi dia cabutin wortel sama ambilin sayuran yang lain Bu!""Lah kan itu bagus, bantu-bantu para pekerja sini." "Ya ampun, Kaivan aja kadang enggak Ibu ijinin buat acak-acakin kebun. Ini Arawinda malah dibiarin semena-mena.""Gak apa-apa, kan dari kecil dia enggak bisa kayak gini. Kalau kamu dari kecil udah nakal tahu.""Enggak Bu. Kalau enggak dibawa ke rumah, nanti dia makin menjadi-jadi main di kebunnya.""Ih ada jamuuuur!""BERACUN!" kata Kaivan
"Saya enggak yakin kamu bisa tidur di kamar saya yang begitu."Arawinda yang saat itu tengah menggigil karena suhu pedesaan ternyata sangat sejuk pun menoleh pada sang suami. Malam sudah menjemput, bulan tengah menggantikan posisi matahari di langit. Memantulkan cahaya indah yang bisa dilihat dengan nyaman dengan mata kepala. Mengantarkan ketenangan dan kemanjaan bagi setiap insan yang melihatnya."Kenapa memangnya?""Tidak seperti di rumah atau di hotel, tidak ada AC, tidak memakai bed cover yang halus dan dingin, kasurnya pun tidak terlalu empuk."Arawinda mendengus. "Begini ya, di udara malam yang dingin memang siapa yang butuh AC? Dan masalah kenyamanan, saya tidak masalah sama sekali, sedari tadi, saya sudah beristirahat di kamar kamu dan aman-aman saja.""Ini rumah peninggalan buyut saya. Saat kami dulu merintis dan akhirnya mempunyai uang lebih, kami sempat membeli rumah baru. Tapi ya begitu, setelah semuanya hilang, hanya ini tempat kami kembali.""Kalau begitu, rumah ini suda