"Nduk kok udah bangun jam segini?" tanya Gendhis pada Kaivan yang tiba-tiba saja ada di sampingnya. Merangkul manja dan menyandarkan kepala dan nampak masih terkantuk-kantuk. "Berisik ya? Ibu lagi mau masak.""Enggak kok Bu, Kaivan emang sengaja bangun jam segini. Pengen bantu dan berduaan sama Ibu. Dari kemarin Kaivan kan enggak punya waktu. Pun karena lagi ada di rumah, jarang banget Kaivan begini.""Yo wes kalau begitu." Gendhis tersenyum. "Istrimu tidur nyenyak?""Nyenyak banget dia Bu. Sampai mangap-mangap."Mau tak mau membayangkan Arawinda yang selalu cantik dan anggun tidur dengan mulut yang terbuka membuat Gendhis tertawa. "Syukur deh kalau begitu, kamu tidur seranjang sama dia?"Kaivan melirik sang ibu yang tiba-tiba bertanya hal demikian dengan aneh. "Menurut Ibu gimana?""Seranjang?"Agak malu sebenarnya mengakui hal ini, tapi Kaivan pun menganggukan kepala."La wajar kan, namanya juga suami-istri." Gendhis terkekeh. "Tapi aneh ya? Sekarang Arawinda lebih ceria, lebih lepa
"Ya ampun Mbak, gimana? Ada yang sakit? Aduh maaf banget aku ngetawian abisnya Mbak lucu mana kelihatan polos banget lagi." Bahkan kini, Diajeng masih belum bisa berhenti tertawa melihat bagaimana keadaan Arawinda yang mengenaskan namun tetap saja, lucu sekali. "Kenapa bisa jatuh begini sih?""Kekencengan tadi ngayuh sepedanya. Jadi enggak sengaja." Arawinda mencebik, hampir menangis. Andai saja ia tidak malu pada Diajeng, mungkin memang sekarang ia sudah menangis. "Ayo pulang, saya enggak mau dilihatin sama orang-orang.""Yaudah ayo pulang, sepedanya kita tuntun aja, kita lahir ya Mbak."Arawinda menganggukan kepala dan mengikuti arahan Diajeng, keduanya segera berlari di jalanan. Lumpur-lumpur berbekas dari tapak kaki dan gerakan tubuh Arawinda. Ia tak mengerti, tapi pengamalan ini adalah yang terburuk baginya. Terburuk, unik dan sedikit menyenangkan.Kapan lagi ia bisa tercebur di pesawahan yang sangat kotor dan penuh dengan tanah becek seperti tadi?"Enggak capek kan Mbak?""Engg
Sampai di Jakarta menjelang sore hari, Kaivan langsung mengarahkan mobil ke hotel. Karena sore ini, ia akan langsung pergi ke lapangan. Melihat pembangunan untuk kawasan elit yang sudah ia rencanakan sejak lama. Sesaat, kala turun dari mobil, ia mendapat sambutan secara langsung dari Gio dan manager hotel yang sudah tak ia temui lima hari terakhir."Selamat datang kembali Tuan Kaivan dan Nyonya Arawinda.""Terimakasih." Kaivan mengangguk penuh wibawa. "Apa kabar kalian berdua?""Kami baik di sini.""Saya akan membantu Arawinda untuk beristirahat di kamar. Sebelum kita berbicara di ruang rapat."Gio langsung tersenyum kecut, ia pikir Kaivan juga akan ikut beristirahat, ternyata ia salah besar. Lelaki itu malah akan langsung bekerja dan akan meminta laporan beberapa hari terakhir pasti."Baik, akan kami siapkan ruang rapatnya." Manager Umum menjawab sopan.Arawinda berjalan lemas di sisi Kaivan menuju ke arah lift. "Kamu mau langsung bekerja.""Saya tidak bisa membuang waktu lebih banya
"Ini terdengar sebagai kabar yang sangat baik dan sangat bagus. Kita bisa bertemu dengan pihak-pihak itu. Tapi, saya akan melakukan penyelidikan mendalam tentang semua ini. Jadi, saya akan memberitahukan jadwal pertemuan. setelah semuanya di pastikan. Kita tahu, bahwa kita tidak bisa sembarangan mempercayai orang-orang. Saya takut ada yang mengecoh dan yang lebih menakutkan adalah, bagaimana jika saya yang terkecoh nanti?" Kaivan melirik Gio sembari menganggukan kepala. "Tolong beri saya data tentang siapa saja orang-orang itu, saya ingin membahas dan membawanya lebih jauh. Pembahasan selanjutnya apa?""Kami akan mengosongkan gedung sayap kanan lantai sepuluh untuk perombakan karena ada beberapa hal yang membuat pengunjung tidak nyaman.""Berapa hari?""Dua hari.""Saya akan cek langsung hari ini selepas pulang dari proyek pembangunan." Kaivan mencatat di buku kecilnya. "Lalu selanjutnya?""Untuk penggantian chandelier di master room, Anda menghubungi pengerajin terkenal untuk membuat
Malam itu sepi senyap, keadaan kamar masih gelap, hanya ada sinar dari luar yang menusuk-nusuk melalui jendela. Memberikan sedikit cahaya lembut yang terjatuh di lantai. Kaivan menatap Arawinda yang lelap dalam tidur. Kedua tangan gadis itu melilitnya erat, erat sekali, hingga tak ada sedikitpun jarak di antara mereka. Kaivan bisa merasakan dada Arawinda yang bergerak naik turun saat bernapas. Ia bisa merasakan langsung panas tubuh gadis itu yang kini masih demam.Bukannya ingin melepaskan diri, Kaivan malah merasa terikat dalam rasa nyaman. Ada yang berkecamuk di dadanya. Saat Arawinda meminta jarak kemarin, ia seolah kehilangan sesuatu. Namun tadi, saat Arawinda meminta Kaivan untuk tidak pergi dan meninggalkannya, dunia seakan berubah. Tidak sekelam sebelumnya.Jadi, apa benar apa yang dikatakan orang-orang kepadanya?Apa Kaivan terlalu naif dan bodoh karena berusaha membodohi dirinya sendiri akan perasaan yang sebenarnya sudah bersarang?Perasaan yang jika memang benar, Kaivan aka
Arawinda tengah melihat jam yang sebelumnya sudah ia dan Kaivan pilih untuk souvernir di pesta. Ia tersenyum kecil kala mendapati ternyata ini memang sesuai seleranya. Indah, elegan dan sederhana."Saya lihat di banding dengan series yang lain, jam ini stocknya lebih banyak ya? Bisa seratus lima belas untuk jam tangan pria dan seratus lima belas untuk jam tangan wanita?""Seratus lima belas ya Bu.""Iya betul sekali.""Karena undangan mereka sebar ke seratus tiga orang, beserta pasangan. Yang lain untuk berjaga-jaga jika ada situasi yang tidak diinginkan.""Baik kami akan siapkan barang tersebut.""Saya boleh melihat-lihat sebentar?" "Silahkan."Arawinda bergerak menatap jam tangan yang nampak indah dan ekslusif di toko kenamaan ini. Matanya bergerilya ke sana ke mari sebelum kemudian, tertahan oleh satu buah jam tangan yang entah kenapa, menurutnya akan sangat cocok jika dipakai oleh Kaivan.Lagi pula kalau diingat-ingat, selama ini Kaivan hanya mengenakan satu jam yang sama. Itu da
Saat terbangun sore itu di halaman belakang rumah, Arawinda sadar bahwa ada selimut kotak-kotak yang menutupi tubuhnya, belum lagi, ada bantal nyaman yang empuk di belakang kepala. Saat menggulirkan bola mata, ia menemui Kaivan yang tengah memegang gelas tengah menatap ke arahnya sembari tersenyum."Sudah lebih baik? Saya khawatir dengan keadaan kamu seharian ini."Arawinda menganggukan kepala. "Kondisi saya sudah lebih baik kok.""Urusannya bagaimana? Berjalan lancar?""Begitulah." Dengan agak susah payah karena lemas, Arawinda mencoba membangunkan tubuhnya. "Saya enggak menyangka kalau kamu akan pulang sore begini.""Saya menyelesaikan pekerjaan lebih cepat." Kaivan melewatkan makan siang dan tam beristirahat sedetikpun tadi. Sampai Gio kewalahan sendiri dengan jadwal kerjanya yang tidak berhenti dan seperti robot yang tak kenal lelah."Pantas saja.""Saya sendiri sudah di sini sekitar lima belas menit." "Kenapa tidak membangunkan saya?" tanya Arawinda sembari mengambil gelas air p
Kaivan masuk ke dalam kamar Arawinda malam itu, pekerjaanya masih terbuka di laptop yang masih tersimpan di ruang kerja."Jadi, kamu mau apa ngikutin saya ke sini?" tanya Arawinda. "Kamar kita sudah pisah kan?""Saya enggak mau pisah."Arawinda mengerutkan kening mendengar pernyataan itu keluar dari mulut Kaivan. "Enggak mau pisah gimana?""Saya mau ada terus di dekat kamu. Saya enggak mau kita punya jarak, saya mau menyentuh kamu.""Kaivan?" "Kita suami istri." Kaivan melangkah mendekat pada Arawinda. Dan dengan panik, gadis itu mundur menjauh darinya. "Kita suami-istri Arawinda? Kenapa harus mempunyai jarak? Kenapa harus pisah kamar?""Stop!" Arawinda menahan dada sang suami dengan tangannya, kini ia sudah terpojok di dekat pembaringan. "Kamu kenapa?""Saya gak apa-apa, saya mau menegaskan hal ini. Lagi pula untuk apa jarak? Untuk apa larangan ini dan itu. Pada akhirnya, baik saya atau pun kamu selalu melanggar hal tersebut. Kita tetap tidur sekamar, saling memeluk dan saling menye