Kaivan mengembuskan napas saat Arawinda menjambak kembali rambut kepalanya entah untuk yang keberapa kali sembari menyerocos tak jelas."Pokoknya aku tuuuu benci banget banget sama Kaivan.""Iya, iyaaaa.""Dia nyuruh ini-itu ini-itu kayak bos aja. Padahal siaaaapa?" Arawinda sedikit mengeraskan tekanan suaranya di akhir kalimat. "Siapa pemilik dari hotel ini?!"Gio dan Kaivan secara bersamaan melihat Arawinda yang menepuk dadanya sendiri. "Akuuuuu!"Dan entah kenapa melihat tingkah itu, dua laki-laki itu malah tertawa.Di sisi lain Arawinda yang sudah hampir tak sadarkan diri mendorong kepala Kaivan sekenanya. "Aduh capek banget.""Kalau gitu kamu tidur dan istirahat aja sekarang," perintah Gio."Tapi yaaa!" Arawinda belum selesai berbicara ternyata. Kedua tangan kecilnya hinggap di rahang tegas Kaivan. "Untung dia ganteng banget. Jadi setidaknya walaupun nyebelin seenggaknya dia ganteng. Dan setidaknya, my first kiss—dskskskahdg."Kata yang selanjutnya keluar dari mulut Arawinda terde
"Eh." Arawinda keheranan kala mendapatkan buket bunga mawar putih dari manajer umum."Hadiah kecil dari saya atas kerja keras Nyonya Arawinda.""Kenapa harus sebegini?" Arawinda penuh senyum. Tiada yang lebih membahagiakan selain karena, apa yang telah ia kerjakan beberapa waktu terakhir banyak dipuji dan diapresiasi oleh orang lain. Apalagi sampai diberikan bunga begini."Bahkan saya rasa, belum cukup memberikan apresiasi untuk semua kerja keras Nyonya. Acara kemarin sukses dan gemerlap karena kerja keras Nyonya Arawinda.""Terima kasih banyak.""Sama-sama. Anda akan pergi kemana?""Saya turun untuk sarapan.""Tuan Kaivan?""Sudah langsung bertemu dengan Om Gio.""Ah iya, saya harus menyusul mereka berdua jadi, saya permisi.""Silahkan," dengan hati dan mood yang lebih baik, Arawinda pun berjalan ke arah restoran hotel. Sesaat dia duduk dan tanpa diminta, semua pegawai langsung siap siaga menghampirinya. Arawinda bertanya menu yang tersedia saat itu sebelum memilih beberapa. Teh hang
Arawinda mengigit kuku sembari duduk di tengah pembaringan dengan lutut yang tertekuk. Matanya menatap tembok dan tak lepas dari sana sejak tadi. Mengingat semua kejadian semalam yang sudah ia lewati dengan Kaivan membuat ia tak mempercayai dirinya sendiri lagi. Bagaimana, Arawinda bisa mengeluarkan suara-suara erotis atas setiap sentuhan Kaivan. Bagaimana Arawinda yang seperti orang cabul yang ingin lagi dan lagi memangut bibir sang suami. Menelusuri dan menjambak tubuh Kaivan dengan ekspresi yang memancar menjijikan begitu.Arawinda berteriak tertahan sembari mengacak-acak rambut kepalanya. Ia terlalu malu, sangat amat malu dengan apa yang sudah terjadi.Kaivan sudah melihat tubuhnya. Hampir keseluruhan. Semuanya.Meski ya ... katanya sih, ia dan Kaivan sebelumnya sudah melakukan hal itu. Tapi beda! Kali ini Arawinda mengingat kegilaannya. Tak seperti malam saat ia mabuk dengan Atharya. Ia mengingat sampai tidak sadarkan diri di tempat. Lalu blank setelahnya.Daun pintu kamar nampak
Sesampainya di rumah sakit, Diajeng langsung melakukan prosedur agar Ibu bisa ditindak oleh dokter.Dan dengan cemas Diajeng menunggu tak jauh dari Ibu yang tengah diperiksa. Ah, ia harus memberitahukan Rama. Tapi masalahnya, Rama seringkali tidak membawa ponsel ketika pergi ke kebun.Sembari menarik dan mengembuskan napas panjang, Diajeng mencoba untuk tenang. Ia tak boleh berpikiran negatif. Benar, Ibu hanya sakit biasa. Karena terlalu lelah di kebun dan kurang beristirahat, beliau jadi begitu. Sesaat kemudian, Diajeng pun menganggukkan kepala. Hingga kemudian, dokter akhirnya keluar memberitahukan hal yang cukup membuat Diajeng sedih.Ibu hipertensi yang sudah tidak terkontrol. Hingga ada kemungkinan Ibu gagal ginjal dan stroke ringan sekarang. Bahkan kalau dibiarkan secara terus menerus Ibu bisa saja mengalami serangan jantung.Dan rasanya saat itu dunia Diajeng runtuh. Sebagai anak, ia merasa benar-benar gagal karena tak bisa mengurus Ibu dengan baik. Mengurus seorang wanita yang
Arawinda mengikuti langkah cepat Kaivan untuk pergi ke ruang rapat menemui Manager Umum yang kini sudah menunggu mereka di sana. Saat datang, Kaivan langsung duduk di salah satu kursi sedang Arawinda mengisi kursi lain di sampingnya."Dokumen yang saya minta sudah Anda siapkan?""Sudah Tuan Kaivan. Ini laporan kerja operasional hotel, proposal acara tahunan, di tahun-tahun sebelumnya juga di tahun ini. Rating dan peringkat hotel dari berbagai asosiasi terkenal yang menjadi kiblat perbisnisan. Serta data pelanggan tahunan."Kaivan menganggukan kepala puas. Sedang Arawinda hanya bisa menganga melihat apa yang ada di depannya. Berbagai macam dokumen yang nampak tebal sudah ada dan meminta Arawinda baca."Begini." Arawinda mengintrupsi. "Saya gak harus baca semua buku ini kan?""Kamu harus baca semua, Arawinda." Kaivan menaikan bahu. "Ini dasar kamu, agar bisa mengerti dan menjalankan bisnis hotel secara perlahan. Saya dulu juga saat masuk harus membaca semua dokumen ini berhari-hari.""B
Sembari mengigit kuku dan berdiri di depan jendela kamar hotel, Arawinda pun menempelkan ponsel di salah satu telinga. Ia tengah mencoba menelepon Diajeng namun berulang kali, panggilan itu tidak terangkat karenanya, Arawinda pikir, Kaivan harus segera mengetahui kondisi Ibu.Ketika sambungan telepon terakhir Arawinda diabaikan, Arawinda berbalik dan memutuskan untuk mencari Kaivan di luar. Malam sudah menjemput tapi sang suami belum juga kembali. Entah kemana dia sekarang.Saat baru membuka pintu, Arawinda menemui Kaivan yang tengah berjalan ke arah kamarnya."Kenapa?" tanya Kaivan saat mendapati wajah cemas Arawinda. "Kamu lebih baik pulang aja, saya dilarang ngasih tahu ini sama Diajeng, tapi Ibu lagi di rumah sakit sekarang. Katanya, Ibu kena komplikasi dan saya khawatir karena Diajeng enggak angkat telepon-telepon saya."Wajah cerah Kaivan sebelumnya menjadi keruh saat mengetahui hal tersebut."Saya bakalan di sini, ngurusin hotel semampu saya dan mungkin atas arahan Om Gio dan
"LEPAS!""LEPAS!""Jangan keras kepala, Arawinda! Saya tidak mengijinkan kamu pergi kemana pun!"Mata bulat Arawinda menatap sinis pada sosok tinggi di hadapannya. Seolah mengobarkan api merah panas, Arawinda, untuk kali ini, mencoba memberanikan diri melawan Kaivan. Suaminya. "Kamu tidak berhak sama sekali mengatur-atur saya!"Arawinda sudah terlalu muak dengan Kaivan. Semenjak menikah, lelaki itu tak membiarkannya keluar satu langkah pun dari rumah. Arawinda diperlakukan seperti seorang tahanan gila yang harus tetap diam di dalam kamar."Ingat? Pernikahan kita terjadi karena kamu menginginkan harta Maheswara Group kan? Jadi cukup jalankan misi kamu dan pergi dari sini," titah Arawinda.Cengkraman jari-jari panjang milik Kaivan semakin erat mengitari pergelangan tangan Arawinda. Ya, Arawinda adalah anak dari Presdir Meheswara Group. Rajendra Maheswara. "Laki-laki murahan dan gila harta seperti kamu, saya betul-betul jijik melihatnya."Dan tanpa aba, Kaivan langsung menarik tangan A
Pagi-pagi itu, Kaivan duduk di sisi pembaringan Arawinda. Kamarnya sudah berantakan tak terhingga, pecahan kaca ada di mana-mana sehingga Kaivan harus berhati-hati untuk melangkah. Nampak di atas pembaringan sana, tubuh Arawinda yang sangat kurus masih terbaring lelap. Dokter keluarga yang biasanya datang setiap sebulan sekali selalu mengeluhkan tentang berat badan sang istri.Semenjak menikah dengannya, meski makan bersama sesekali di akhir pekan, Arawinda hanya mengambil sedikit dan sepotong buah. Tak jarang bahkan kepala pelayan juga memberikan laporan bahwa Arawinda tak makan sama sekali selama seharian.Kaivan kemudian melihat Arawinda mulai tersadar dari alam mimpi. Kala mata kelamnya dan mata cokelat tua Arawinda saling menatap, gadis itu langsung terbangun dan meloncat jauh dari kasur.Semalam Arawinda sudah melemparnya dengan vas sampai-sampai kepala Kaivan bocor dan harus segera diobati. Jadi mereka tak sempat membicarakan apa-apa."Apa-apaan? Siapa yang memberikan kamu iji