"LEPAS!"
"LEPAS!""Jangan keras kepala, Arawinda! Saya tidak mengijinkan kamu pergi kemana pun!"Mata bulat Arawinda menatap sinis pada sosok tinggi di hadapannya. Seolah mengobarkan api merah panas, Arawinda, untuk kali ini, mencoba memberanikan diri melawan Kaivan. Suaminya. "Kamu tidak berhak sama sekali mengatur-atur saya!"Arawinda sudah terlalu muak dengan Kaivan. Semenjak menikah, lelaki itu tak membiarkannya keluar satu langkah pun dari rumah. Arawinda diperlakukan seperti seorang tahanan gila yang harus tetap diam di dalam kamar."Ingat? Pernikahan kita terjadi karena kamu menginginkan harta Maheswara Group kan? Jadi cukup jalankan misi kamu dan pergi dari sini," titah Arawinda.Cengkraman jari-jari panjang milik Kaivan semakin erat mengitari pergelangan tangan Arawinda.Ya, Arawinda adalah anak dari Presdir Meheswara Group. Rajendra Maheswara."Laki-laki murahan dan gila harta seperti kamu, saya betul-betul jijik melihatnya."Dan tanpa aba, Kaivan langsung menarik tangan Arawinda. Menggusur tubuh kurus gadis itu ke arah kamar."Lepas!"Kaivan seolah tuli, ia tak mendengarkan ocehan Arawinda sama sekali. Lelaki itu terus melangkah sampai ke kamar Arawinda dan melempar tubuh istrinya kasar ke atas pembaringan. "Diam dan menuruti perintah saya adalah tugas kamu, Arawinda."Setelah berkata dengan nada dingin, Kaivan yang masih mengenakan jas abu-abu di tubuh kekar berototnya itu melangkahkan tungkai untuk keluar dari kamar sang istri sembari berpesan pada penjaga di depan untuk tidak melepaskan atau membiarkan Arawinda keluar dari dalam sana.Melihat hal tersebut, Arawinda pun menangis. Ia sudah sangat frustasi menghadapi Kaivan. Ia sudah sangat frustasi dengan pernikahan ini.Kenapa Papi tega menikahkan ia dengan sosok laki-laki yang begitu dingin dan jahat seperti Kaivan?Sungguh, karena Kaivan, hidupnya bertambah hancur.Padahal ia telah kehilangan Mami sejak umur tujuh tahun, lalu ia tak pernah diperhatikan oleh Papi selama 25 tahun sejak lahir ke dunia, dan tiba-tiba saja ia juga harus menikahi sosok sekeji Kaivan Yudhistira.Apa yang sebenarnya Papi pikirkan? Kenapa paruh baya itu melempar Arawinda ke dalam pernikahan seperti neraka ini?"Nyonya Arawinda."Sosok yang memakai baju khas pekerja di rumah datang menghampiri Arawinda dengan tubuh gemetaran takut.Menghadapi Arawinda yang tengah menangis gila dan habis bertengkar dengan Kaivan sama dengan menyerahkan diri ke kandang macan."Nyonya Arawinda membutuhkan sesuatu?"Mata merah basah Arawinda menatap sosok di depannya, penuh dengan kemurkaan sampai-sampai kepala pelayan tersebut mundur dengan bulu kuduk yang sudah berdiri."Bawakan saya alkohol!"Alkohol?Jelas-jelas Kaivan melarang Arawinda untuk minum bahkan laki-laki itu menyingkirkan semua alkohol yang ada di rumah ini."Tapi, Tuan Kaivan sudah—"Dan jeritan keras Arawinda terdengar, gadis itu dengan asal menjatuhkan barang-barang di meja riasnya ke lantai sampai terdengar suara-suara pecahan kaca dari sana.Kenapa ia harus menikahi laki-laki yang tak ia cintai? Kenapa ia harus menikahi laki-laki yang tak menghargainya?Demi apapun, Arawinda membenci Kaivan sampai ke tulang, Arawinda ingin Kaivan mati secepat mungkin!"Keluar dari kamar saya!" teriak Arawinda pada kepala pelayan. Gadis itu menunjuk pada pintu keluar kamar. "Keluar sekarang juga!"Kepala pelayan langsung menganggukan kepala dan kemudian bergerak keluar dari kamar Nyonya-nya. Meninggalkan Arawinda sendirian dalam tangis pedih yang bergema menyelimuti ruangan tersebut.Gadis itu tak ingin hidup sekarang.Gadis itu tak ingin lagi melangkah dalam pedihnya siksaan Kaivan.^^^^^^^"Apa yang dia lakukan sekarang?""Tadi Nyonya minta alkohol, tapi—""Alkoholnya sudah saya buang semua." Kaivan menelan ludah. "Apapun yang terjadi, jangan sampai dia minum-minum lagi.""Baik, Tuan. Saya permisi keluar sekarang."Kaivan mengangguk dan membiarkan kepala pelayan berlalu dari dalam ruang kerjanya.Desah napas lelaki itu terdengar. Kaivan menutup tirai mata. Lelah sekali harus mengurusi Arawinda yang keras kepala. Setelah menikah satu tahun, hari ini, kedua kalinya Arawinda mencoba memberontak untuk pergi keluar dari dalam rumah.Gadis itu ... pantas saja jika Pak Rajendra—Papi-nya—pusing tujuh keliling. Susah diatur, arogan dan keras kepala. Kaivan kembali mendesah dan berdiri. Melangkah ke jendela besar di ruang kerja, ia pun melepaskan jas dan menyisakan kemeja putih yang menutupi tubuh tegapnya. Kulit yang tidak terlalu putih nampak kala Kaivan menggulung lengan kemeja tersebut.Banyak hal yang harus ia kerjakan hari ini di hotel.Ya, ia yang kini mengelola Maheswara Group. Sang presidir, atau ayah mertuanya menyerahkan kewenangan tersebut tepat setelah ia menikahi Arawinda.Maheswara Group merupakan perusahaan yang membentuk Maheswara Hotel, business lounge untuk VVIP yang digadang-gadang sebagai juara untuk memberikan pelayanan bagi pengusaha kaya raya.Tangan besar Kaivan sesaat kemudian masuk ke dalam saku celananya, mengambil ponsel yang berdering memecah hening. Panggilan dari Rajendra datang. Padahal ia baru saja memikirkan paruh baya itu."Kaivan.""Ya, Pak Rajendra," jawab Kaivan lugas."Saya meminta kamu dan Arawinda untuk makan siang besok. Kamu punya waktu untuk membawa Arawinda ke hadapan saya?""Baik, akan saya usahakan." Kaivan tak akan pernah menolak apapun permintaan Rajendra."Bagaimana keadaanya sekarang? Semua baik-baik saja?"Kaivan mengerti bahwa kini Rajendra tengah menanyakan tentang putri semata wayangnya. Putri yang terlalu ia manjakan dengan uang selama ini sehingga menjadi sosok egois. "Baik, Arawinda sangat baik."Tentu saja Kaivan berbohong. Ia tahu kalau kini Arawinda masih menangis liar di kamar sana."Syukur kalau begitu, kamu juga, tolong jaga diri sebaik mungkin, Kaivan.""Saya akan selalu menjaga diri sesuai perintah Anda.""Lalu hotel? Apa ada masalah dengan perombakan ruangan SUPER VVIP yang sedang kamu jalani?""Tidak ada masalah sama sekali. Saya sudah mengontrol semuanya sebaik mungkin Pak Rajendra.""Saya tidak salah mempercayakan hotel ke tangan kamu, Kaivan."Kaivan tak menjawab pujian tersebut. Lelaki itu malah menatap langit malam yang nampak pekat diselimuti kegelapan. Baik bintang dan baik bulan tidak menerangi bumi hari ini."Saya juga mempunyai pembicaraan lain, ini tentang pesta pertemuan kolega yang akan terlaksa di hotel bulan nanti.""Baik, saya mengerti Pak Rajendra. Besok akan saya siapkan tempat untuk makan siang dan jemputan bagi Bapak.""Tidak usah jauh-jauh, kita makan siang di rumah kalian saja. Agar Arawinda tidak perlu pergi keluar. Saya tutup teleponnya sekarang."Mendengar hal tersebut, Kaivan pun membasahi bibir bawah, lelaki itu menjauhkan ponsel yang sebelumnya menempel di telinga.Apa yang harus ia lakukan pada Arawinda agar anak itu mau untuk turun makan siang besok bersama Rajendra?Tangan Kaivan mengerat memegang ponsel. Kepalanya hampir pecah hari ini.Berbalik, Kaivan pun pergi ke kamar Arawinda secepat yang ia bisa. Dan saat membuka pintu kamar tersebut, tiba-tiba sebuah vas melayang dan menghantam keras kepalanya sebelum jatuh dan pecah di lantai.Arawinda benar-benar gila!Pagi-pagi itu, Kaivan duduk di sisi pembaringan Arawinda. Kamarnya sudah berantakan tak terhingga, pecahan kaca ada di mana-mana sehingga Kaivan harus berhati-hati untuk melangkah. Nampak di atas pembaringan sana, tubuh Arawinda yang sangat kurus masih terbaring lelap. Dokter keluarga yang biasanya datang setiap sebulan sekali selalu mengeluhkan tentang berat badan sang istri.Semenjak menikah dengannya, meski makan bersama sesekali di akhir pekan, Arawinda hanya mengambil sedikit dan sepotong buah. Tak jarang bahkan kepala pelayan juga memberikan laporan bahwa Arawinda tak makan sama sekali selama seharian.Kaivan kemudian melihat Arawinda mulai tersadar dari alam mimpi. Kala mata kelamnya dan mata cokelat tua Arawinda saling menatap, gadis itu langsung terbangun dan meloncat jauh dari kasur.Semalam Arawinda sudah melemparnya dengan vas sampai-sampai kepala Kaivan bocor dan harus segera diobati. Jadi mereka tak sempat membicarakan apa-apa."Apa-apaan? Siapa yang memberikan kamu iji
Saat menjelajahi taman kaca di area belakang rumahnya yang sangat luas, Kaivan menemui Arawinda yang tengah duduk memeluk lutut. Mata cokelat tua gadis itu telaten menatap kupu-kupu yang hinggap di salah satu mawar merah darah yang merekah indah. Mawar adalah bunga kesukaan Arawinda. Saat musimnya, rumah kaca dan halaman di depan akan dipenuhi oleh bunga-bunga mawar berwarna-warni dan cerah. Hari ke hari kelopaknya berjatuhan dan Arawinda, nampak menyukai hal tersebut. Kaivan berjalan lebih dekat, sebelah tangannya dimasukan ke dalam saku celana. Hari masih terlalu pagi untuk berada di rumah kaca. "Bagaimana?" Mata dengan tatap lembut Arawinda berubah membara panas kala mendengar suara Kaivan. "Apa yang kamu inginkan Arawinda?" Gadis inikah yang harus ia sembuhkan? Gadis lemah, cengeng dan egois? Gadis yang sudah tak memiliki gairah hidup. Sejak dulu. Hanya lebih terlihat dan nampak padam kala dia ada dalam kungkungan hubungan pernikahan bersama Kaivan. Arawinda diam membisu. "
Arawinda menatap Kaivan yang berjalan di lantai dasar rumah mereka sembari berbincang dengan seorang wanita muda yang baru kali ini ada di pandangannya. Entah siapa sosok itu, hanya saja, nampak Kaivan sangat nyaman berada di dekatnya dan mengobrol begitu leluasa.Tarikan napas dalam terlihat dari Arawinda. Dadanya untuk beberapa saat membusung naik sebelum Arawinda memutuskan untuk masuk ke tempat yang menurutnya aman dari jajahan Kaivan.Sebuah ruangan di lantai tiga rumah yang jarang dikunjungi oleh orang-orang. Ada sebuah kamar berisi banyak sekali bercak-bercak cat, kanvas yang sudah tercoret gambar-gambar dan kanvas-kanvas kosong lain yang nampak menumpuk sebagai persediaan.Arawinda mengambil palet dan menuangkan warna-warni yang dikehendaki di atasnya. Kali ini, Arawinda akan menggunakan teknik goresan ekspresif saat melukis. Dengan begitu, ia bisa bebas mengekspresikan diri, menggunakan apapun untuk menggores indahnya perpaduan warna menggunakan jari, kuas dan benda yang amat
Kaivan mengembuskan napas kala menyadari teleponnya berdering keras. Sembari meraba-raba nakas dan mengambil barang elektronik tersebut, Kaivan pun mendudukan diri, menggeser tombol hijau tanpa tahu siapa yang menghubunginya kini. "Halo?" tanya Kaivan dengan suara serak khas bangun tidurnya. "Halo Tuan Kaivan." Suara Gio, tangan kanan Rajendra. Mata Kaivan yang sesaat lalu masih sangat mengantuk langsung terbuka lebar. "Halo, Tuan Gio." Pukul menunjukan tepat pada angka dua dini hari. Gio meneleponnya pasti karena ada hal yang cukup penting. "Saya membawa kabar duka." Mendengar beberapa kata yang terucap dari mulut Gio barusan, hati Kaivan langsung gusar dan merasa tidak enak. Sudah pasti kan? "Pak Rajendra tiba-tiba drop kurang lebih tengah malam tadi. Dan baru mengembuskan napas terakhirnya sekitar sepuluh menit yang lalu." Bagaimana dengan Arawinda? Apa gadis itu sanggup mendengar kabar duka yang kini harus ia terima? Keluarga satu-satunya yang ia miliki sudah tiada. Kaiva
"Arawinda mana?""Nyonya Arawinda langsung naik ke kamar, Tuan Kaivan."Kaivan mengangguk dan berlalu untuk melihat kondisi Arawinda. Sejak tadi, gadis itu hanya terdiam lama dan tidak banyak bereaksi pada kepergian Papi-nya.Seperti biasa, tanpa mengetuk, Kaivan langsung membuka pintu dan masuk ke dalam ruang kamar sang istri.Dan melihat pemandangan yang ada di depan sana, untuk dua detik, Kaivan membeku sebelum segera tersadar dan menghampiri tubuh Arawinda.Tanpa banyak kata karena panik, Kaivan bergerak cepat naik ke atas kursi dan memangku tubuh lemas menggantung yang tidak sadarkan diri itu.Tidak kan? Arawinda masih hidupkan?Arawinda harus hidup apapun yang terjadi!Tanpa pikir panjang, karena tahu kalau Arawinda tengah kekurangan oksigen, Kaivan pun langsung memberikan pertolongan pertama. Menekan dada Arawinda dan memberikan gadis itu napas buatan. Saat jalan napas Arawinda sudah normal, dengan tergesa, Kaivan mengangkat tubuhnya dan membawa sang istri ke rumah sakit.^^^^^^
Arawinda menatap Kaivan nyalang."Mau minum sendiri atau harus saya paksa minum lagi?"Cepat-cepat Arawinda mengambil gelas dari tangan besar Kaivan dan minum dengan rakus. Ia tak menyangka, benar-benar tak menyangka!Kenapa ciuman pertamanya malah diambil oleh si brengsek Kaivan!Kenapa harus laki-laki itu!"Bagus, saya keluar."Andai saja Arawinda bisa berteriak, mungkin sekarang ia sudah memaki laki-laki itu. Mungkin saja ia sudah mencakar wajah Kaivan.Menyimpan gelas dengan keras di atas nakas, Arawinda pun mendesah dan membaringkan diri asal di atas brankar. Sebelum mengusap-usap kasar bibirnya jijik.Ia dan Kaivan sudah ciuman! Tidak, bukan ciuman. Seperti yang tadi Arawinda putuskan, semua yang Kaivan lakukan padanya adalah pelecehan. Iya, pelecehan dan Arawinda bisa sekali untuk melaporkan laki-laki itu ke polisi kan?Sedang di sisi lain, Kaivan kini duduk di kursi besi panjang yang tersimpan di sisi tembok lorong rumah sakit.Ia terlalu jauh kan barusan sampai harus menciu
Arawinda mendapati Rama yang kini duduk di kursi bersama Ibu. Ia tak sadar kapan keluarga Kaivan datang ke sini karena tadi, Arawinda tidur pulas sekali. Mungkin efek obat yang barus saja diminumnya."Kamu sudah sadar Nduk?" Gendis, ibunya Kaivan bertanya dengan wajah khawatir. "Maaf Rama sama Ibu baru mampir ke sini ya Nduk." Kini Shankara menyambungi. Dengan wajahnya yang masih pucat, Arawinda pun menggelengkan kepala. Ia tak terlalu dekat dan akrab dengan kedua orang tua Kaivan setelah mereka menikah. Pun karena orang tua Kaivan juga tinggal di Jogja dan sepertinya, mereka mengerti bagaimana hubungan antara ia dan anaknya. "Enggak apa-apa Rama.""Kemarin Mbah Putri mau ikut, tapi ya sakit ternyata. Jadi kami ndak bisa ninggalin si Mbah, takut makin parah. Hari ini denger kamu masuk rumah sakit, Ibu sama Rawa yo was-was makanya langsung berangkat ke Jakarta." Gendis menjelaskan karena kemarin mereka tidak bisa datang ke pemakaman dari besannya. Pun hal tersebut juga atas larangan
Dengan sebelah tangan yang menjinjing barang bawaan, Kaivan mengikuti langkah pelan Arawinda yang katanya tidak ingin dekat-dekat. "Mana supirnya?" Arawinda menatap halaman rumah sakit, ia baru keluar rumah setelah setahun terkurung dan rasanya, dunia ini begitu berbeda. Ada banyak hal yang bisa ia lihat sekarang."Kita enggak pakai supir, ikutin saya."Arawinda mendengus dan melangkah untuk mengikuti kemana Kaivan pergi. "Pelan-pelan bisa?""Cepetan sedikit bisa?" tanya Kaivan balik. Hal tersebut sukses membuat Arawinda memincingkan mata dan menatap kesal pada laki-laki yang hari ini memakai kemeja hitam di depannya. "Ayo jalan."Meski begitu, Kaivan memperkecil langkah agar Arawinda mudah untuk menyeimbanginya. Sesaat mereka sampai di mobil, Arawinda duduk di kursi penumpang belakang dan Kaivan menyetir dengan tenang. "Saya ingin menanyakan hal ini sejak beberapa hari lalu," buka Kaivan.Arawinda menatap tubuh belakang Kaivan yang baru saja berbicara."Kenapa?" Kaivan menjeda, menc