Arawinda mendapati Rama yang kini duduk di kursi bersama Ibu. Ia tak sadar kapan keluarga Kaivan datang ke sini karena tadi, Arawinda tidur pulas sekali. Mungkin efek obat yang barus saja diminumnya."Kamu sudah sadar Nduk?" Gendis, ibunya Kaivan bertanya dengan wajah khawatir. "Maaf Rama sama Ibu baru mampir ke sini ya Nduk." Kini Shankara menyambungi. Dengan wajahnya yang masih pucat, Arawinda pun menggelengkan kepala. Ia tak terlalu dekat dan akrab dengan kedua orang tua Kaivan setelah mereka menikah. Pun karena orang tua Kaivan juga tinggal di Jogja dan sepertinya, mereka mengerti bagaimana hubungan antara ia dan anaknya. "Enggak apa-apa Rama.""Kemarin Mbah Putri mau ikut, tapi ya sakit ternyata. Jadi kami ndak bisa ninggalin si Mbah, takut makin parah. Hari ini denger kamu masuk rumah sakit, Ibu sama Rawa yo was-was makanya langsung berangkat ke Jakarta." Gendis menjelaskan karena kemarin mereka tidak bisa datang ke pemakaman dari besannya. Pun hal tersebut juga atas larangan
Dengan sebelah tangan yang menjinjing barang bawaan, Kaivan mengikuti langkah pelan Arawinda yang katanya tidak ingin dekat-dekat. "Mana supirnya?" Arawinda menatap halaman rumah sakit, ia baru keluar rumah setelah setahun terkurung dan rasanya, dunia ini begitu berbeda. Ada banyak hal yang bisa ia lihat sekarang."Kita enggak pakai supir, ikutin saya."Arawinda mendengus dan melangkah untuk mengikuti kemana Kaivan pergi. "Pelan-pelan bisa?""Cepetan sedikit bisa?" tanya Kaivan balik. Hal tersebut sukses membuat Arawinda memincingkan mata dan menatap kesal pada laki-laki yang hari ini memakai kemeja hitam di depannya. "Ayo jalan."Meski begitu, Kaivan memperkecil langkah agar Arawinda mudah untuk menyeimbanginya. Sesaat mereka sampai di mobil, Arawinda duduk di kursi penumpang belakang dan Kaivan menyetir dengan tenang. "Saya ingin menanyakan hal ini sejak beberapa hari lalu," buka Kaivan.Arawinda menatap tubuh belakang Kaivan yang baru saja berbicara."Kenapa?" Kaivan menjeda, menc
"Selamat pagi."Arawinda yang tengah terdiam di taman rumah kaca menatap susu botolan rasa strawberry yang tersimpan di meja. Sebelum mendongak menemui wajah manis sawo matang milik seorang laki-laki tinggi yang memakai kacamata di hadapannya. Siapa sekarang?"Saya Atharya, salam kenal."Arawinda tak peduli, tangan kurus gadis itu membuang susu yang diberikan oleh Atharya dengan tidak sopan.Dan melihat reaksi tersebut, Atharya tidak sakit hati sama sekali, sembari tersenyum, lelaki itu membungkuk dan memungut susu yang Arawinda tolak. Menusuk kertas alumunium di atasnya dengan sedotan dan menyesap minuman tersebut sembari duduk di samping Arawinda."Pergi.""Kamu suka bunga? Bunga rose?"Arawinda memberikan tatapan sinis. Ia tidak ingin diganggu dan mau bersantai sebentar saja, apakah sesulit itu?"Saya membawakan biji benih bunga rose." Atharnya mengeluarkan satu bungkus benih dari dalam tasnya. "Saya tahu kalau bijih ini akan tumbuh dengan baik, berwarna merah tua yang indah."Ara
Arawinda berpaling dari Angga secepat yang ia bisa. Ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman meski sudah hampir satu tahun berlalu semenjak Arawinda dicampakkan oleh Angga. Masalalu menyakitkan yang membuat Arawinda sedikit besar takut pada hubungan percintaan. Takut hanya jadi papan permainan sesaat, hal yang tidak berarti bagi seseorang. Jari-jari tangan Arawinda terkepal, gadis itu melangkah jauh dan sebisa mungkin mengontrol geriknya. "Mari kita ke belakang."Arawinda sedikit tersentak mendengar suara itu, belum lagi tangannya juga digenggam lembut secara tiba-tiba.Kaivan.Entah kenapa, tapi bagi Arawinda, saat ini, ajakan Kaivan sangat amat membantu karena nampaknya Angga tetap ada di posisi yang sama sejak tadi."Kolam renang belakang sudah berubah setahun terakhir. Saya banyak mendengarkan keluh kesah bahwa kolam renang di belakang terlalu kecil jika kamar tengah penuh, jadi saya memperluasnya sampai ke tepi barat."Arawinda tak mendengarkan sama sekali penjelasan Kaivan. Ia t
Setelah dua hari memutuskan untuk bisa pindah ke kamar Arawinda, sebenarnya Kaivan tak sama sekali mendapatkan kesempatan untuk bisa masuk dan tidur dengan nyaman. Meski ya sebenarnya keputusan untuk tidur bersama tidak terlalu perlu, karena nampak kini pun, Arawinda baik-baik saja. Entah hanya topeng semata atau bagaimana. Tapi Gio memberikan saran bahwa, kekhawatiran di dalam hati Kaivan tak boleh memudar dengan mudah. Jadi setelah mengantar keluarga kecilnya untuk pulang kembali ke Jogja sampai bandara, Kaivan pun kembali ke rumah dan segera membersihkan diri di kamarnya sebelum memasuki kamar Arawinda.Semoga kali ini, ia tidak terkena lempar botol atau apapun itu."Apa?" tanya Arawinda.Bahkan Kaivan baru memunculkan kepala dari sebalik pintu. Tapi wanita itu sudah amat sangat peka akan kehadirannya."Malam ini kita tidur. Satu kamar, satu kasur dan satu ruangan."Arawinda mengulum bibir dalam bagian bawah sembari menyugar rambut. "Saya sudah bilang berulang kali kan Kaivan? Ki
Kaivan baru saja melangkah di anak tangga menuju kamar Arawinda sore itu. Tubuhnya lelah karena banyak hal yang harus ia kerjakan. Dari rapat ke rapat, dari dokumen ke dokumen dari pembahasan ke pembahasan. Banyak sekali urusan yang ada di tangannya sebagai pemimpin saat ini. Apalagi pemilik asli hotel, Rajendra sudah tutup usia. Sekarang semua beban seolah tersimpan di pundaknya.Sesaat kala tangan besar Kaivan menekan daun pintu dan mendorong barang tersebut, Arawinda ternyata sudah menyambutnya.Kening Kaivan sedikit mengernyit mendapati baju yang dikenakan Arawinda saat itu.Gaun hitam malam yang cukup terbuka. Memamerkan tubuh atas dan paha Arawinda.Ada apa lagi sekarang?Entah kenapa yang jelas, perasaan Kaivan hari itu sungguh tidak nyaman."Apa yang mau kamu lakukan Arawinda?"Mendengar pertanyaan tersebut, Arawinda pun tersenyum mengejek. "Situasinya terbalik, Kaivan. Seharusnya saya yang bertanya, apa yang sebenarnya mau kamu lakukan? Apa yang kamu mau dari dalam diri saya?
Gio mendatangi rumah kaca, Arawinda sudah menunggunya di sana.Tadi pagi, tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja Arawinda meminta agar ia datang karena ingin membicarakan sesuatu. Entah apa, yang jelas setelah berbicara dengan Kaivan di rumah sakit kemarin, Arawinda jadi gusar dan nampak mempunyai banyak beban pikiran.Sesaat, Gio menarik napas dalam kala menemui bahwa halaman belakang hampir di penuhi oleh mawar merah yang kini bermekaran. "Arawinda?"Akhirnya, setelah satu tahun lebih, Arawinda mau berbicara dengannya lagi.Yang jelas, saat itu, nampaknya Gio membuat kesalahan karena ia sudah mendukung keputusan Rajendra untuk melaksanakan pernikahan antara Arawinda dan Kaivan. "Silahkan duduk, saya sudah menyiapkan teh untuk Om Gio."Om Gio?Kalau sudah begitu, pembicaraan mereka kali ini termasuk dalam suasana informal kan? Gio tidak perlu terlalu memberikan penghormatan tertinggi pada Arawinda.Gio menarik kursi kayu cokelat tua yang akhirnya ia duduki."Ada apa Arawin
"Susu lagi?""Semoga kamu bisa lebih tinggi setelah minum banyak susu, Arawinda."Arawinda berdecak, rambutnya yang bergelombang ia kibaskan sebelum kemudian duduk di kursi pagi itu dengan Atharya. "Sebenarnya kamu itu siapa?""Saya? Saya Atharya.""Bukan begitu maksud saya."Atharya terkekeh, merasa senang bisa lebih dekat dengan Arawinda. Tidak kaku atau pun terhalang emosi gadis itu untuk sekedar mengobrol bersama."Saya dokter kejiwaan.""Sama wanita berkacamata itu?""Iya."Kenapa Kaivan mengiriminya dokter kejiwaan sih? Apa Kaivan sudah menganggap bahwa Arawinda adalah sosok gila yang harus diobati?"Bukan, saya datang bukan karena kamu gila."Mata Arawinda bergerak cepat menatap Atharya. Orang ini bisa membaca pikiran ya?"Tapi kamu punya luka batin yang disembunyikan dan saya akan membantu kamu untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan konseling, dengan obat serta menjadi teman."Arawinda sesaat berkedip. "Teman ya?"Dulu sekali, ada dua orang yang Arawinda anggap sebagai te