"Selamat pagi."Arawinda yang tengah terdiam di taman rumah kaca menatap susu botolan rasa strawberry yang tersimpan di meja. Sebelum mendongak menemui wajah manis sawo matang milik seorang laki-laki tinggi yang memakai kacamata di hadapannya. Siapa sekarang?"Saya Atharya, salam kenal."Arawinda tak peduli, tangan kurus gadis itu membuang susu yang diberikan oleh Atharya dengan tidak sopan.Dan melihat reaksi tersebut, Atharya tidak sakit hati sama sekali, sembari tersenyum, lelaki itu membungkuk dan memungut susu yang Arawinda tolak. Menusuk kertas alumunium di atasnya dengan sedotan dan menyesap minuman tersebut sembari duduk di samping Arawinda."Pergi.""Kamu suka bunga? Bunga rose?"Arawinda memberikan tatapan sinis. Ia tidak ingin diganggu dan mau bersantai sebentar saja, apakah sesulit itu?"Saya membawakan biji benih bunga rose." Atharnya mengeluarkan satu bungkus benih dari dalam tasnya. "Saya tahu kalau bijih ini akan tumbuh dengan baik, berwarna merah tua yang indah."Ara
Arawinda berpaling dari Angga secepat yang ia bisa. Ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman meski sudah hampir satu tahun berlalu semenjak Arawinda dicampakkan oleh Angga. Masalalu menyakitkan yang membuat Arawinda sedikit besar takut pada hubungan percintaan. Takut hanya jadi papan permainan sesaat, hal yang tidak berarti bagi seseorang. Jari-jari tangan Arawinda terkepal, gadis itu melangkah jauh dan sebisa mungkin mengontrol geriknya. "Mari kita ke belakang."Arawinda sedikit tersentak mendengar suara itu, belum lagi tangannya juga digenggam lembut secara tiba-tiba.Kaivan.Entah kenapa, tapi bagi Arawinda, saat ini, ajakan Kaivan sangat amat membantu karena nampaknya Angga tetap ada di posisi yang sama sejak tadi."Kolam renang belakang sudah berubah setahun terakhir. Saya banyak mendengarkan keluh kesah bahwa kolam renang di belakang terlalu kecil jika kamar tengah penuh, jadi saya memperluasnya sampai ke tepi barat."Arawinda tak mendengarkan sama sekali penjelasan Kaivan. Ia t
Setelah dua hari memutuskan untuk bisa pindah ke kamar Arawinda, sebenarnya Kaivan tak sama sekali mendapatkan kesempatan untuk bisa masuk dan tidur dengan nyaman. Meski ya sebenarnya keputusan untuk tidur bersama tidak terlalu perlu, karena nampak kini pun, Arawinda baik-baik saja. Entah hanya topeng semata atau bagaimana. Tapi Gio memberikan saran bahwa, kekhawatiran di dalam hati Kaivan tak boleh memudar dengan mudah. Jadi setelah mengantar keluarga kecilnya untuk pulang kembali ke Jogja sampai bandara, Kaivan pun kembali ke rumah dan segera membersihkan diri di kamarnya sebelum memasuki kamar Arawinda.Semoga kali ini, ia tidak terkena lempar botol atau apapun itu."Apa?" tanya Arawinda.Bahkan Kaivan baru memunculkan kepala dari sebalik pintu. Tapi wanita itu sudah amat sangat peka akan kehadirannya."Malam ini kita tidur. Satu kamar, satu kasur dan satu ruangan."Arawinda mengulum bibir dalam bagian bawah sembari menyugar rambut. "Saya sudah bilang berulang kali kan Kaivan? Ki
Kaivan baru saja melangkah di anak tangga menuju kamar Arawinda sore itu. Tubuhnya lelah karena banyak hal yang harus ia kerjakan. Dari rapat ke rapat, dari dokumen ke dokumen dari pembahasan ke pembahasan. Banyak sekali urusan yang ada di tangannya sebagai pemimpin saat ini. Apalagi pemilik asli hotel, Rajendra sudah tutup usia. Sekarang semua beban seolah tersimpan di pundaknya.Sesaat kala tangan besar Kaivan menekan daun pintu dan mendorong barang tersebut, Arawinda ternyata sudah menyambutnya.Kening Kaivan sedikit mengernyit mendapati baju yang dikenakan Arawinda saat itu.Gaun hitam malam yang cukup terbuka. Memamerkan tubuh atas dan paha Arawinda.Ada apa lagi sekarang?Entah kenapa yang jelas, perasaan Kaivan hari itu sungguh tidak nyaman."Apa yang mau kamu lakukan Arawinda?"Mendengar pertanyaan tersebut, Arawinda pun tersenyum mengejek. "Situasinya terbalik, Kaivan. Seharusnya saya yang bertanya, apa yang sebenarnya mau kamu lakukan? Apa yang kamu mau dari dalam diri saya?
Gio mendatangi rumah kaca, Arawinda sudah menunggunya di sana.Tadi pagi, tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja Arawinda meminta agar ia datang karena ingin membicarakan sesuatu. Entah apa, yang jelas setelah berbicara dengan Kaivan di rumah sakit kemarin, Arawinda jadi gusar dan nampak mempunyai banyak beban pikiran.Sesaat, Gio menarik napas dalam kala menemui bahwa halaman belakang hampir di penuhi oleh mawar merah yang kini bermekaran. "Arawinda?"Akhirnya, setelah satu tahun lebih, Arawinda mau berbicara dengannya lagi.Yang jelas, saat itu, nampaknya Gio membuat kesalahan karena ia sudah mendukung keputusan Rajendra untuk melaksanakan pernikahan antara Arawinda dan Kaivan. "Silahkan duduk, saya sudah menyiapkan teh untuk Om Gio."Om Gio?Kalau sudah begitu, pembicaraan mereka kali ini termasuk dalam suasana informal kan? Gio tidak perlu terlalu memberikan penghormatan tertinggi pada Arawinda.Gio menarik kursi kayu cokelat tua yang akhirnya ia duduki."Ada apa Arawin
"Susu lagi?""Semoga kamu bisa lebih tinggi setelah minum banyak susu, Arawinda."Arawinda berdecak, rambutnya yang bergelombang ia kibaskan sebelum kemudian duduk di kursi pagi itu dengan Atharya. "Sebenarnya kamu itu siapa?""Saya? Saya Atharya.""Bukan begitu maksud saya."Atharya terkekeh, merasa senang bisa lebih dekat dengan Arawinda. Tidak kaku atau pun terhalang emosi gadis itu untuk sekedar mengobrol bersama."Saya dokter kejiwaan.""Sama wanita berkacamata itu?""Iya."Kenapa Kaivan mengiriminya dokter kejiwaan sih? Apa Kaivan sudah menganggap bahwa Arawinda adalah sosok gila yang harus diobati?"Bukan, saya datang bukan karena kamu gila."Mata Arawinda bergerak cepat menatap Atharya. Orang ini bisa membaca pikiran ya?"Tapi kamu punya luka batin yang disembunyikan dan saya akan membantu kamu untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan konseling, dengan obat serta menjadi teman."Arawinda sesaat berkedip. "Teman ya?"Dulu sekali, ada dua orang yang Arawinda anggap sebagai te
Arawinda dan Kaivan berjalan bersisian keluar dari dalam lift. Kini mereka tengah berada di puncak tertinggi dari gedung hotel. Ada kolam renang, ada restoran dan tempat bersantai yang sangat nyaman namun entah kenapa sekeliling terlihat begitu sepi.Tidak ada orang satu pun di area tersebut. Arawinda baru ingin bertanya kala Kaivan tiba-tiba berkata, "Saya sengaja mengosongkan area ini untuk satu jam kedepan."Anggukan nampak dari kepala Arawinda. Gadis itu terus melangkah, sedikit penasaran karena sudah lama ia tak menginjak lantai teratas dari Maheswara Hotel.Saat Arawinda tengah asik melihat-lihat sepenjuru, ia dikejutkan oleh buket bunga mawar merah yang terpampang cantik disodorkan oleh seseorang.Dan Kaivan akhirnya berkata, "Untuk Arawinda si Gadis Mawar Merah."Arawinda agak ragu dan aneh dengan suasana yang tengah merebak, hingga ia sedikit besarnya bingung harus membiarkan buket itu tetap berada di tangan Kaivan atau ia ambil?"Ambil atau saya buang?"Buang? Buket secanti
Kaivan membawa tubuh basah Arawinda ke kamar hotel yang memang dikhususkan untuk gadis itu. Dari Pak Rajendra. Ada dua kamar khusus di bangunan hotel ini. Pertama, ruangan khusus untuk Rajendra dan sang istri yang kini, mau tak mau karena sudah tidak ada yang menempati, Kaivan sewakan untuk para tamu. Sedang satu kamar lain milik Arawinda masih dijaga dengan sangat baik.Setelah membuka pintu, Kaivan menurunkan Arawinda. "Sebaiknya kamu berganti baju dulu."Agak kaget, Arawinda berkedip kala mendapati Kaivan berjongkok di kakinya. Melepas sepatu yang ia kenakan. "Saya bisa sendiri." Arawinda melepas kasar sebelah sepatu lain yang masih ada di kakinya. Lagi-lagi, ia tak pernah terbiasa diperlakukan begini oleh Kaivan."Saya rasa ada baju kamu di lemari."Arawinda mengangguk, ia memang menyimpan beberapa helai baju di sini. "Saya keluar sebentar. Hati-hati kaki kamu."Untuk sesaat, Arawinda menelan ludah kala mendapati punggung lebar Kaivan yang kini menjauh darinya dan menghilang d