Dengan sebelah tangan yang menjinjing barang bawaan, Kaivan mengikuti langkah pelan Arawinda yang katanya tidak ingin dekat-dekat. "Mana supirnya?" Arawinda menatap halaman rumah sakit, ia baru keluar rumah setelah setahun terkurung dan rasanya, dunia ini begitu berbeda. Ada banyak hal yang bisa ia lihat sekarang."Kita enggak pakai supir, ikutin saya."Arawinda mendengus dan melangkah untuk mengikuti kemana Kaivan pergi. "Pelan-pelan bisa?""Cepetan sedikit bisa?" tanya Kaivan balik. Hal tersebut sukses membuat Arawinda memincingkan mata dan menatap kesal pada laki-laki yang hari ini memakai kemeja hitam di depannya. "Ayo jalan."Meski begitu, Kaivan memperkecil langkah agar Arawinda mudah untuk menyeimbanginya. Sesaat mereka sampai di mobil, Arawinda duduk di kursi penumpang belakang dan Kaivan menyetir dengan tenang. "Saya ingin menanyakan hal ini sejak beberapa hari lalu," buka Kaivan.Arawinda menatap tubuh belakang Kaivan yang baru saja berbicara."Kenapa?" Kaivan menjeda, menc
"Selamat pagi."Arawinda yang tengah terdiam di taman rumah kaca menatap susu botolan rasa strawberry yang tersimpan di meja. Sebelum mendongak menemui wajah manis sawo matang milik seorang laki-laki tinggi yang memakai kacamata di hadapannya. Siapa sekarang?"Saya Atharya, salam kenal."Arawinda tak peduli, tangan kurus gadis itu membuang susu yang diberikan oleh Atharya dengan tidak sopan.Dan melihat reaksi tersebut, Atharya tidak sakit hati sama sekali, sembari tersenyum, lelaki itu membungkuk dan memungut susu yang Arawinda tolak. Menusuk kertas alumunium di atasnya dengan sedotan dan menyesap minuman tersebut sembari duduk di samping Arawinda."Pergi.""Kamu suka bunga? Bunga rose?"Arawinda memberikan tatapan sinis. Ia tidak ingin diganggu dan mau bersantai sebentar saja, apakah sesulit itu?"Saya membawakan biji benih bunga rose." Atharnya mengeluarkan satu bungkus benih dari dalam tasnya. "Saya tahu kalau bijih ini akan tumbuh dengan baik, berwarna merah tua yang indah."Ara
Arawinda berpaling dari Angga secepat yang ia bisa. Ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman meski sudah hampir satu tahun berlalu semenjak Arawinda dicampakkan oleh Angga. Masalalu menyakitkan yang membuat Arawinda sedikit besar takut pada hubungan percintaan. Takut hanya jadi papan permainan sesaat, hal yang tidak berarti bagi seseorang. Jari-jari tangan Arawinda terkepal, gadis itu melangkah jauh dan sebisa mungkin mengontrol geriknya. "Mari kita ke belakang."Arawinda sedikit tersentak mendengar suara itu, belum lagi tangannya juga digenggam lembut secara tiba-tiba.Kaivan.Entah kenapa, tapi bagi Arawinda, saat ini, ajakan Kaivan sangat amat membantu karena nampaknya Angga tetap ada di posisi yang sama sejak tadi."Kolam renang belakang sudah berubah setahun terakhir. Saya banyak mendengarkan keluh kesah bahwa kolam renang di belakang terlalu kecil jika kamar tengah penuh, jadi saya memperluasnya sampai ke tepi barat."Arawinda tak mendengarkan sama sekali penjelasan Kaivan. Ia t
Setelah dua hari memutuskan untuk bisa pindah ke kamar Arawinda, sebenarnya Kaivan tak sama sekali mendapatkan kesempatan untuk bisa masuk dan tidur dengan nyaman. Meski ya sebenarnya keputusan untuk tidur bersama tidak terlalu perlu, karena nampak kini pun, Arawinda baik-baik saja. Entah hanya topeng semata atau bagaimana. Tapi Gio memberikan saran bahwa, kekhawatiran di dalam hati Kaivan tak boleh memudar dengan mudah. Jadi setelah mengantar keluarga kecilnya untuk pulang kembali ke Jogja sampai bandara, Kaivan pun kembali ke rumah dan segera membersihkan diri di kamarnya sebelum memasuki kamar Arawinda.Semoga kali ini, ia tidak terkena lempar botol atau apapun itu."Apa?" tanya Arawinda.Bahkan Kaivan baru memunculkan kepala dari sebalik pintu. Tapi wanita itu sudah amat sangat peka akan kehadirannya."Malam ini kita tidur. Satu kamar, satu kasur dan satu ruangan."Arawinda mengulum bibir dalam bagian bawah sembari menyugar rambut. "Saya sudah bilang berulang kali kan Kaivan? Ki
Kaivan baru saja melangkah di anak tangga menuju kamar Arawinda sore itu. Tubuhnya lelah karena banyak hal yang harus ia kerjakan. Dari rapat ke rapat, dari dokumen ke dokumen dari pembahasan ke pembahasan. Banyak sekali urusan yang ada di tangannya sebagai pemimpin saat ini. Apalagi pemilik asli hotel, Rajendra sudah tutup usia. Sekarang semua beban seolah tersimpan di pundaknya.Sesaat kala tangan besar Kaivan menekan daun pintu dan mendorong barang tersebut, Arawinda ternyata sudah menyambutnya.Kening Kaivan sedikit mengernyit mendapati baju yang dikenakan Arawinda saat itu.Gaun hitam malam yang cukup terbuka. Memamerkan tubuh atas dan paha Arawinda.Ada apa lagi sekarang?Entah kenapa yang jelas, perasaan Kaivan hari itu sungguh tidak nyaman."Apa yang mau kamu lakukan Arawinda?"Mendengar pertanyaan tersebut, Arawinda pun tersenyum mengejek. "Situasinya terbalik, Kaivan. Seharusnya saya yang bertanya, apa yang sebenarnya mau kamu lakukan? Apa yang kamu mau dari dalam diri saya?
Gio mendatangi rumah kaca, Arawinda sudah menunggunya di sana.Tadi pagi, tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja Arawinda meminta agar ia datang karena ingin membicarakan sesuatu. Entah apa, yang jelas setelah berbicara dengan Kaivan di rumah sakit kemarin, Arawinda jadi gusar dan nampak mempunyai banyak beban pikiran.Sesaat, Gio menarik napas dalam kala menemui bahwa halaman belakang hampir di penuhi oleh mawar merah yang kini bermekaran. "Arawinda?"Akhirnya, setelah satu tahun lebih, Arawinda mau berbicara dengannya lagi.Yang jelas, saat itu, nampaknya Gio membuat kesalahan karena ia sudah mendukung keputusan Rajendra untuk melaksanakan pernikahan antara Arawinda dan Kaivan. "Silahkan duduk, saya sudah menyiapkan teh untuk Om Gio."Om Gio?Kalau sudah begitu, pembicaraan mereka kali ini termasuk dalam suasana informal kan? Gio tidak perlu terlalu memberikan penghormatan tertinggi pada Arawinda.Gio menarik kursi kayu cokelat tua yang akhirnya ia duduki."Ada apa Arawin
"Susu lagi?""Semoga kamu bisa lebih tinggi setelah minum banyak susu, Arawinda."Arawinda berdecak, rambutnya yang bergelombang ia kibaskan sebelum kemudian duduk di kursi pagi itu dengan Atharya. "Sebenarnya kamu itu siapa?""Saya? Saya Atharya.""Bukan begitu maksud saya."Atharya terkekeh, merasa senang bisa lebih dekat dengan Arawinda. Tidak kaku atau pun terhalang emosi gadis itu untuk sekedar mengobrol bersama."Saya dokter kejiwaan.""Sama wanita berkacamata itu?""Iya."Kenapa Kaivan mengiriminya dokter kejiwaan sih? Apa Kaivan sudah menganggap bahwa Arawinda adalah sosok gila yang harus diobati?"Bukan, saya datang bukan karena kamu gila."Mata Arawinda bergerak cepat menatap Atharya. Orang ini bisa membaca pikiran ya?"Tapi kamu punya luka batin yang disembunyikan dan saya akan membantu kamu untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan konseling, dengan obat serta menjadi teman."Arawinda sesaat berkedip. "Teman ya?"Dulu sekali, ada dua orang yang Arawinda anggap sebagai te
Arawinda dan Kaivan berjalan bersisian keluar dari dalam lift. Kini mereka tengah berada di puncak tertinggi dari gedung hotel. Ada kolam renang, ada restoran dan tempat bersantai yang sangat nyaman namun entah kenapa sekeliling terlihat begitu sepi.Tidak ada orang satu pun di area tersebut. Arawinda baru ingin bertanya kala Kaivan tiba-tiba berkata, "Saya sengaja mengosongkan area ini untuk satu jam kedepan."Anggukan nampak dari kepala Arawinda. Gadis itu terus melangkah, sedikit penasaran karena sudah lama ia tak menginjak lantai teratas dari Maheswara Hotel.Saat Arawinda tengah asik melihat-lihat sepenjuru, ia dikejutkan oleh buket bunga mawar merah yang terpampang cantik disodorkan oleh seseorang.Dan Kaivan akhirnya berkata, "Untuk Arawinda si Gadis Mawar Merah."Arawinda agak ragu dan aneh dengan suasana yang tengah merebak, hingga ia sedikit besarnya bingung harus membiarkan buket itu tetap berada di tangan Kaivan atau ia ambil?"Ambil atau saya buang?"Buang? Buket secanti
Sembari mengigit kuku dan berdiri di depan jendela kamar hotel, Arawinda pun menempelkan ponsel di salah satu telinga. Ia tengah mencoba menelepon Diajeng namun berulang kali, panggilan itu tidak terangkat karenanya, Arawinda pikir, Kaivan harus segera mengetahui kondisi Ibu.Ketika sambungan telepon terakhir Arawinda diabaikan, Arawinda berbalik dan memutuskan untuk mencari Kaivan di luar. Malam sudah menjemput tapi sang suami belum juga kembali. Entah kemana dia sekarang.Saat baru membuka pintu, Arawinda menemui Kaivan yang tengah berjalan ke arah kamarnya."Kenapa?" tanya Kaivan saat mendapati wajah cemas Arawinda. "Kamu lebih baik pulang aja, saya dilarang ngasih tahu ini sama Diajeng, tapi Ibu lagi di rumah sakit sekarang. Katanya, Ibu kena komplikasi dan saya khawatir karena Diajeng enggak angkat telepon-telepon saya."Wajah cerah Kaivan sebelumnya menjadi keruh saat mengetahui hal tersebut."Saya bakalan di sini, ngurusin hotel semampu saya dan mungkin atas arahan Om Gio dan
Arawinda mengikuti langkah cepat Kaivan untuk pergi ke ruang rapat menemui Manager Umum yang kini sudah menunggu mereka di sana. Saat datang, Kaivan langsung duduk di salah satu kursi sedang Arawinda mengisi kursi lain di sampingnya."Dokumen yang saya minta sudah Anda siapkan?""Sudah Tuan Kaivan. Ini laporan kerja operasional hotel, proposal acara tahunan, di tahun-tahun sebelumnya juga di tahun ini. Rating dan peringkat hotel dari berbagai asosiasi terkenal yang menjadi kiblat perbisnisan. Serta data pelanggan tahunan."Kaivan menganggukan kepala puas. Sedang Arawinda hanya bisa menganga melihat apa yang ada di depannya. Berbagai macam dokumen yang nampak tebal sudah ada dan meminta Arawinda baca."Begini." Arawinda mengintrupsi. "Saya gak harus baca semua buku ini kan?""Kamu harus baca semua, Arawinda." Kaivan menaikan bahu. "Ini dasar kamu, agar bisa mengerti dan menjalankan bisnis hotel secara perlahan. Saya dulu juga saat masuk harus membaca semua dokumen ini berhari-hari.""B
Sesampainya di rumah sakit, Diajeng langsung melakukan prosedur agar Ibu bisa ditindak oleh dokter.Dan dengan cemas Diajeng menunggu tak jauh dari Ibu yang tengah diperiksa. Ah, ia harus memberitahukan Rama. Tapi masalahnya, Rama seringkali tidak membawa ponsel ketika pergi ke kebun.Sembari menarik dan mengembuskan napas panjang, Diajeng mencoba untuk tenang. Ia tak boleh berpikiran negatif. Benar, Ibu hanya sakit biasa. Karena terlalu lelah di kebun dan kurang beristirahat, beliau jadi begitu. Sesaat kemudian, Diajeng pun menganggukkan kepala. Hingga kemudian, dokter akhirnya keluar memberitahukan hal yang cukup membuat Diajeng sedih.Ibu hipertensi yang sudah tidak terkontrol. Hingga ada kemungkinan Ibu gagal ginjal dan stroke ringan sekarang. Bahkan kalau dibiarkan secara terus menerus Ibu bisa saja mengalami serangan jantung.Dan rasanya saat itu dunia Diajeng runtuh. Sebagai anak, ia merasa benar-benar gagal karena tak bisa mengurus Ibu dengan baik. Mengurus seorang wanita yang
Arawinda mengigit kuku sembari duduk di tengah pembaringan dengan lutut yang tertekuk. Matanya menatap tembok dan tak lepas dari sana sejak tadi. Mengingat semua kejadian semalam yang sudah ia lewati dengan Kaivan membuat ia tak mempercayai dirinya sendiri lagi. Bagaimana, Arawinda bisa mengeluarkan suara-suara erotis atas setiap sentuhan Kaivan. Bagaimana Arawinda yang seperti orang cabul yang ingin lagi dan lagi memangut bibir sang suami. Menelusuri dan menjambak tubuh Kaivan dengan ekspresi yang memancar menjijikan begitu.Arawinda berteriak tertahan sembari mengacak-acak rambut kepalanya. Ia terlalu malu, sangat amat malu dengan apa yang sudah terjadi.Kaivan sudah melihat tubuhnya. Hampir keseluruhan. Semuanya.Meski ya ... katanya sih, ia dan Kaivan sebelumnya sudah melakukan hal itu. Tapi beda! Kali ini Arawinda mengingat kegilaannya. Tak seperti malam saat ia mabuk dengan Atharya. Ia mengingat sampai tidak sadarkan diri di tempat. Lalu blank setelahnya.Daun pintu kamar nampak
"Eh." Arawinda keheranan kala mendapatkan buket bunga mawar putih dari manajer umum."Hadiah kecil dari saya atas kerja keras Nyonya Arawinda.""Kenapa harus sebegini?" Arawinda penuh senyum. Tiada yang lebih membahagiakan selain karena, apa yang telah ia kerjakan beberapa waktu terakhir banyak dipuji dan diapresiasi oleh orang lain. Apalagi sampai diberikan bunga begini."Bahkan saya rasa, belum cukup memberikan apresiasi untuk semua kerja keras Nyonya. Acara kemarin sukses dan gemerlap karena kerja keras Nyonya Arawinda.""Terima kasih banyak.""Sama-sama. Anda akan pergi kemana?""Saya turun untuk sarapan.""Tuan Kaivan?""Sudah langsung bertemu dengan Om Gio.""Ah iya, saya harus menyusul mereka berdua jadi, saya permisi.""Silahkan," dengan hati dan mood yang lebih baik, Arawinda pun berjalan ke arah restoran hotel. Sesaat dia duduk dan tanpa diminta, semua pegawai langsung siap siaga menghampirinya. Arawinda bertanya menu yang tersedia saat itu sebelum memilih beberapa. Teh hang
Kaivan mengembuskan napas saat Arawinda menjambak kembali rambut kepalanya entah untuk yang keberapa kali sembari menyerocos tak jelas."Pokoknya aku tuuuu benci banget banget sama Kaivan.""Iya, iyaaaa.""Dia nyuruh ini-itu ini-itu kayak bos aja. Padahal siaaaapa?" Arawinda sedikit mengeraskan tekanan suaranya di akhir kalimat. "Siapa pemilik dari hotel ini?!"Gio dan Kaivan secara bersamaan melihat Arawinda yang menepuk dadanya sendiri. "Akuuuuu!"Dan entah kenapa melihat tingkah itu, dua laki-laki itu malah tertawa.Di sisi lain Arawinda yang sudah hampir tak sadarkan diri mendorong kepala Kaivan sekenanya. "Aduh capek banget.""Kalau gitu kamu tidur dan istirahat aja sekarang," perintah Gio."Tapi yaaa!" Arawinda belum selesai berbicara ternyata. Kedua tangan kecilnya hinggap di rahang tegas Kaivan. "Untung dia ganteng banget. Jadi setidaknya walaupun nyebelin seenggaknya dia ganteng. Dan setidaknya, my first kiss—dskskskahdg."Kata yang selanjutnya keluar dari mulut Arawinda terde
Mendengar dari Zia bahwa kini Arawinda tengah menghadapi sosok Agra Atmadeva yang tengah mengamuk di depannya, Kaivan langsung berlari menghampiri sang istri sekuat tenaga."Gadis bodoh, tidak berpendidikan, penyakitan! Lihat saja, banyak kolega yang tidak akan mau bergabung dengan Maheswara lagi.""Ya sudah, tinggal dilihat kalau begitu." Arawinda kembali menyuapkan sesuatu ke dalam mulutnya."Jangan hina istri saya." Kaivan datang dengan suara dinginnya. "Silahkan Anda pergi dari sini. Kita bicarakan baik-baik nanti.""Bicara baik-baik? Saya bahkan tidak sudi."Kaivan tahu bahwa setelah ini, hubungannya dengan Agra Atmadeva akan memasuki babak yang sangat memanas. Tapi, demi apapun, Kaivan tidak merasa gentar. Karena kini ia mempunyai penopang yang kuat. Perusahaan dengan citra baik, orang-orang berkuasa dan cerdas serta sang istri."Lalu apa yang Anda inginkan dengan membuat keributan begini?" tanya Kaivan. "Sikap Anda yang baru saja menghina istri saya dengan tidak senonoh akan te
Arawinda menatap Kaivan yang kini berdiri di atas panggung mempresentasikan gelaran proyek besar yang akan dilakukan oleh Maheswari Group ke depannya. Beberapa orang yang sudah ikut bergabung dalam proyek tersebut disebutkan secara gamblang oleh Kaivan, berterimakasih karena sudah banyak membantu mewujudkan rencana dan keinginan dari perkembangan bisnis Maheswara. Tak hanya itu, sepertinya, setelah mendengar apa yang bisa mereka dapat dari ikut pada proyek ini, banyak kolega-kolega yang akhirnya tertarik. Untuk berinvestasi atau malah membeli apa yang Kaivan tawarkan."Pantas saja Pak Rajendra menjadikan Kaivan taring terdepan bagi Maheswara Group. Cara memimpinnya sangat luar biasa. Dia juga mencoba mengembangkan perusahaan ke ranah lain yang lebih besar."Dengan jelas Arawinda bisa mendengar pembicaraan sosok yang duduk tidak jauh di sampingnya.Gio yang kemudian menjawab. "Dia memang anak yang hebat, anak yang sangat cerdas. Dan sebagai seorang pembisnis sejati, Pak Rajendra tahu d
"Gak bisa tidur ya?"Arawinda merasakan elusan lembut di kepalanya. "Iya.""Mau saya pijet?""Kenapa?""Biar kamu bisa tenang dan tidur. Besok acara besar. Kamu harus banyak beristirahat," ujar Kaivan. Kini mereka berdua tengah berada di kamar hotel. Hari berganti malam, Arawinda nampaknya gelisah. Meski sudah dipersiapkan sematang mungkin, tetap ada peluang tentang apa saja yang bisa terjadi besok hari. Kaivan tahu hal tersebut. Terlebih beberapa pihak yang akhirnya tidak diundang dalam pesta rutin tahunan ini mulai menunjukkan sikap menyebalkan mereka. Apalagi Atmadeva Group. Mereka mulai menyebarkan fitnah-fitnah dan ucapan-ucapan tidak benar pada beberapa rekan bisnis.Dunia perhotelan sebenarnya memiliki lingkup yang kecil. Mereka akan memiliki rekan yang itu lagi dan lagi. Saling kenal satu sama lain.Dan untung saja, karena reputasi Maheswara Group selalu baik sejak dulu. Alih-alih ikut membenci dan menyalahkan, justru orang-orang yang mencoba dihasut oleh Atmadeva Group malah