Arawinda menatap Kaivan yang berjalan di lantai dasar rumah mereka sembari berbincang dengan seorang wanita muda yang baru kali ini ada di pandangannya. Entah siapa sosok itu, hanya saja, nampak Kaivan sangat nyaman berada di dekatnya dan mengobrol begitu leluasa.
Tarikan napas dalam terlihat dari Arawinda. Dadanya untuk beberapa saat membusung naik sebelum Arawinda memutuskan untuk masuk ke tempat yang menurutnya aman dari jajahan Kaivan.Sebuah ruangan di lantai tiga rumah yang jarang dikunjungi oleh orang-orang. Ada sebuah kamar berisi banyak sekali bercak-bercak cat, kanvas yang sudah tercoret gambar-gambar dan kanvas-kanvas kosong lain yang nampak menumpuk sebagai persediaan.Arawinda mengambil palet dan menuangkan warna-warni yang dikehendaki di atasnya. Kali ini, Arawinda akan menggunakan teknik goresan ekspresif saat melukis. Dengan begitu, ia bisa bebas mengekspresikan diri, menggunakan apapun untuk menggores indahnya perpaduan warna menggunakan jari, kuas dan benda yang amat sangat menarik di matanya.Selama setahun terakhir, inilah yang Arawinda geluti untuk membunuh waktu."Permisi."Gerak tangan Arawinda berhenti."Saya tidak mengijinkan siapapun masuk ke dalam ruangan ini.""Terimakasih."Sesaat kemudian, pintu terbuka. Menampilkan seorang wanita berkacamata bingkai tipis. Mengenakan kemeja rapi dan celana panjang hitam. Terlihat rambutnya yang terkucir ke arah belakang sedikit berantakan.Sosok yang tadi sempat mengobrol dengan Kaivan.Alis mata Arawinda naik."Halo, Arawinda. Saya Zia.""Saya sudah bilang sebelumnya, tak boleh seorang pun masuk ke dalam ruangan ini!"Zia menganggukan kepala. Tapi ia tak mengindahkan perkataan Arawinda sama sekali. Dengan berani Zia menutup pintu ruangan tersebut dan mulai melihat-lihat sekeliling."Lukisan kamu banyak dan bagus sekali yaaa." Zia meringis setelah pujiannya melayang. Bagaimana tidak, banyak sekali kanvas dengan gambar mengerikan di sana.Mungkin hal itu yang menggambarkan jiwa Arawinda saat ini. Sepotong wajah dan sepotong tengkorak. Mata yang nampak bercucuran cairan merah darah. Tubuh yang bagian dadanya menganga. Sebatang mawar yang menusuk tangan dan hal-hal lain yang tak bisa Zia jelaskan dengan gamblang."Saya akan menjadi teman kamu mulai hari ini.""Saya tidak membutuhkan teman." Untuk apa Kaivan mengirim wanita ini? Bukannya sebentar lagi ia akan mati? Jadi karena itu Arawinda rasa, ia memang tidak membutuhkan teman."Saya yang membutuhkan teman." Zia mendekati Arawinda. Melihat lukisan yang ada di kanvas milik gadis yang tubuhnya kurus sekali itu. Kulitnya juga berwarna putih pucat. Sekilas, Arawinda akan nampak menakutkan. Untung saja, meski begitu, paras cantik Arawinda tidak pupus sama sekali.Kesal, Arawinda akhirnya berdiri dengan sangat cepat, membuat cat dan barang-barang yang ada di pangkuannya terjatuh.Tak menunggu waktu lama, Arawinda pergi meninggalkan Zia sendirian.Melihat perlakuan itu, Zia pun menggelengkan kepala dan mengambil selembar kertas dari dalam tas-nya, mulai mengisi data-data yang ia peroleh setelah menemui Arawinda secara langsung.^^^^^^^^^^^"Sangat susah didekati dan tidak komunikatif sama sekali. Di mata saya ... dia malah seperti mayat hidup. Tolong awasi Arawinda dengan baik, takutnya dia mengambil tindakan nekat yang mengancam nyawa."Kaivan menganggukan kepala. Kini ia dan Zia duduk berhadapan di ruang meeting rumah."Apa dia sulit tidur? Tidak berselera makan?""Selama ini, Arawinda memang makan sedikit. Bobot tubuhnya setahun terakhir berkurang sebanyak 20 kilo.""Jadi sekarang beratnya berapa?""Tiga puluh lima kilo dan mungkin bisa sudah turun."Pantas saja. "Saya tadi sempat memperhatikan tangannya. Kecil, rapuh dan kurus sekali. Saya akan meresepkan suplemen nafsu makan. Lalu pola tidurnya?""Dia kadang berkeluyuran malam ke lantai tiga. Atau duduk sendirian di rumah kaca. Kemungkinan besarnya, gadis itu mengalami insomnia.""Baik kalau begitu. Saya sempat mendengar sebelumnya kalau dia phobia pada ruang kecil dan gelap. Phobia itu mempunyai pemicu. Apa Pak Kaivan tahu pemicu phobia pada nyonya Arawinda apa?"Kaivan menatap bibir gelasnya lamat-lamat. Sebelum menggelengkan kepala. "Maaf tapi, saya tidak mengetahui hal ini. Arawinda tidak pernah bercerita apapun tentang hidupnya kepada saya. Dan kami tidak mempunyai hubungan yang cukup dekat untuk membicarakan hal-hal seperti itu. Tentang masalalu yang pernah masing-masing dari kami alami dan lewati. Tapi saya akan mencoba mencari tahunya melalui Pak Rajendra nanti.""Baik, saya akan kembali besok ke sini. Tak perlu pendampingan Pak Kaivan lagi. Oh iya, sesekali, saya akan bergantian dengan teman saya untuk mengunjungi Arawinda. Saya harap metode tersebut bisa membuat Arawinda lebih nyaman untuk kembali menjalin hubungan sosial dengan orang-orang di dunia luar.""Terimakasih, dokter Zia.""Sudah tugas saya." Zia berdiri. "Saya akan pamit sekarang.""Silahkan." Kaivan berdiri dan mengantar kepergian wanita itu dari rumahnya yang besar dan megah.Namun semegah-megahnya rumah yang ia miliki saat ini, rasanya ... entah kenapa, semua hampa, semua kosong dan tidak menyenangkan sama sekali. Kadang Kaivan ingin meninggalkan semua yang sudah ada di dalam gengam tangannya kalau tak ingat tujuan besar yang selalu ia bicarakan pada Rajendra. Tujuan besar untuk mengubah hidupnya. Tujuan besar ini membawa Niko pada satu titik dimana ia harus menikahi putri presdir perusahaannya sendiri, Arawinda.Setelah cukup lama memandangi kepergian mobil Zia, Kaivan pun membalikan tubuh untuk masuk ke dalam rumah. Di balkon lantai dua, ia menemui Arawinda yang berdiri dan menatapnya dengan sangat tajam.Pasti gadis itu bertanya-tanya tentang sebenarnya siapakah sosok Zia yang ia kirim barusan kan?^^^^^^^"Bagaimana keadaannya sekarang?" tanya Kaivan saat menemui kepala pelayan."Nyonya Arawinda langsung tertidur."Tidur?Atau hanya pura-pura saja?"Saya akan ke kamar atas untuk melihat secara langsung keadaan Arawinda.""Tidak perlu. Bukannya saya lancang tapi, biarkan Nyonya beristirahat sebentar."Kaivan membeku di tempat selama beberapa saat. "Bisa saya menanyakan beberapa hal tentang Arawinda?"Setahunya, kepala pelayan sudah bekerja di kediaman Maheswara sejak Arawinda masih kecil."Silahkan.""Saya ... ingin mengetahui sedikit masa kecil Arawinda. Bagaimana sosoknya dan apakah dia memang sudah seperti ini sejak dulu?"Untuk pertama kalinya semenjak satu tahun menikahi Arawinda, Kaivan menanyakan hal-hal ini. "Nyonya Arawinda, saat ibunya masih ada, mempunyai kepribadian yang sangat cerah, ceria dan menyenangkan. Semua orang menyukai sosoknya yang hangat. Sosoknya yang banyak bicara dan sering tertawa lucu.""Sebenarnya, apa yang membuat ibunya Arawinda meninggal dunia? Dan apa yang membuat Arawinda menjadi sosok yang begitu dingin dan pemarah seperti sekarang?"Kepala pelayan itu mengembuskan napas. "Ada baiknya, Tuan Kaivan sendiri mendengar semua cerita tersebut dari Nyonya Arawinda. Soal kejadian masalalu itu, siapapun tak ada yang benar-benar mengetahui. Kecuali Nyonya Arawinda sendiri yang sampai sekarang, belum terbuka dan mau bercerita kepada siapa-siapa."Meski merasa amat sangat langcang kerena telah mengungkapkan hal demikian tapi, Kepala Pelayan tetap mengutarakan."Sebenarnya, sampai saat ini, ada sisi yang belum Tuan Kaivan lihat dari Nyonya Arawinda. Sisi manis, manja dan bergantungnya. Sisi ... yang kalau Tuan Kaivan tahu, maka pandangan Anda terhadap Nyonya Arawinda akan berubah total jadi, saya harap kalian bisa akur dan baik pada satu sama lain."Kaivan mengembuskan napas kala menyadari teleponnya berdering keras. Sembari meraba-raba nakas dan mengambil barang elektronik tersebut, Kaivan pun mendudukan diri, menggeser tombol hijau tanpa tahu siapa yang menghubunginya kini. "Halo?" tanya Kaivan dengan suara serak khas bangun tidurnya. "Halo Tuan Kaivan." Suara Gio, tangan kanan Rajendra. Mata Kaivan yang sesaat lalu masih sangat mengantuk langsung terbuka lebar. "Halo, Tuan Gio." Pukul menunjukan tepat pada angka dua dini hari. Gio meneleponnya pasti karena ada hal yang cukup penting. "Saya membawa kabar duka." Mendengar beberapa kata yang terucap dari mulut Gio barusan, hati Kaivan langsung gusar dan merasa tidak enak. Sudah pasti kan? "Pak Rajendra tiba-tiba drop kurang lebih tengah malam tadi. Dan baru mengembuskan napas terakhirnya sekitar sepuluh menit yang lalu." Bagaimana dengan Arawinda? Apa gadis itu sanggup mendengar kabar duka yang kini harus ia terima? Keluarga satu-satunya yang ia miliki sudah tiada. Kaiva
"Arawinda mana?""Nyonya Arawinda langsung naik ke kamar, Tuan Kaivan."Kaivan mengangguk dan berlalu untuk melihat kondisi Arawinda. Sejak tadi, gadis itu hanya terdiam lama dan tidak banyak bereaksi pada kepergian Papi-nya.Seperti biasa, tanpa mengetuk, Kaivan langsung membuka pintu dan masuk ke dalam ruang kamar sang istri.Dan melihat pemandangan yang ada di depan sana, untuk dua detik, Kaivan membeku sebelum segera tersadar dan menghampiri tubuh Arawinda.Tanpa banyak kata karena panik, Kaivan bergerak cepat naik ke atas kursi dan memangku tubuh lemas menggantung yang tidak sadarkan diri itu.Tidak kan? Arawinda masih hidupkan?Arawinda harus hidup apapun yang terjadi!Tanpa pikir panjang, karena tahu kalau Arawinda tengah kekurangan oksigen, Kaivan pun langsung memberikan pertolongan pertama. Menekan dada Arawinda dan memberikan gadis itu napas buatan. Saat jalan napas Arawinda sudah normal, dengan tergesa, Kaivan mengangkat tubuhnya dan membawa sang istri ke rumah sakit.^^^^^^
Arawinda menatap Kaivan nyalang."Mau minum sendiri atau harus saya paksa minum lagi?"Cepat-cepat Arawinda mengambil gelas dari tangan besar Kaivan dan minum dengan rakus. Ia tak menyangka, benar-benar tak menyangka!Kenapa ciuman pertamanya malah diambil oleh si brengsek Kaivan!Kenapa harus laki-laki itu!"Bagus, saya keluar."Andai saja Arawinda bisa berteriak, mungkin sekarang ia sudah memaki laki-laki itu. Mungkin saja ia sudah mencakar wajah Kaivan.Menyimpan gelas dengan keras di atas nakas, Arawinda pun mendesah dan membaringkan diri asal di atas brankar. Sebelum mengusap-usap kasar bibirnya jijik.Ia dan Kaivan sudah ciuman! Tidak, bukan ciuman. Seperti yang tadi Arawinda putuskan, semua yang Kaivan lakukan padanya adalah pelecehan. Iya, pelecehan dan Arawinda bisa sekali untuk melaporkan laki-laki itu ke polisi kan?Sedang di sisi lain, Kaivan kini duduk di kursi besi panjang yang tersimpan di sisi tembok lorong rumah sakit.Ia terlalu jauh kan barusan sampai harus menciu
Arawinda mendapati Rama yang kini duduk di kursi bersama Ibu. Ia tak sadar kapan keluarga Kaivan datang ke sini karena tadi, Arawinda tidur pulas sekali. Mungkin efek obat yang barus saja diminumnya."Kamu sudah sadar Nduk?" Gendis, ibunya Kaivan bertanya dengan wajah khawatir. "Maaf Rama sama Ibu baru mampir ke sini ya Nduk." Kini Shankara menyambungi. Dengan wajahnya yang masih pucat, Arawinda pun menggelengkan kepala. Ia tak terlalu dekat dan akrab dengan kedua orang tua Kaivan setelah mereka menikah. Pun karena orang tua Kaivan juga tinggal di Jogja dan sepertinya, mereka mengerti bagaimana hubungan antara ia dan anaknya. "Enggak apa-apa Rama.""Kemarin Mbah Putri mau ikut, tapi ya sakit ternyata. Jadi kami ndak bisa ninggalin si Mbah, takut makin parah. Hari ini denger kamu masuk rumah sakit, Ibu sama Rawa yo was-was makanya langsung berangkat ke Jakarta." Gendis menjelaskan karena kemarin mereka tidak bisa datang ke pemakaman dari besannya. Pun hal tersebut juga atas larangan
Dengan sebelah tangan yang menjinjing barang bawaan, Kaivan mengikuti langkah pelan Arawinda yang katanya tidak ingin dekat-dekat. "Mana supirnya?" Arawinda menatap halaman rumah sakit, ia baru keluar rumah setelah setahun terkurung dan rasanya, dunia ini begitu berbeda. Ada banyak hal yang bisa ia lihat sekarang."Kita enggak pakai supir, ikutin saya."Arawinda mendengus dan melangkah untuk mengikuti kemana Kaivan pergi. "Pelan-pelan bisa?""Cepetan sedikit bisa?" tanya Kaivan balik. Hal tersebut sukses membuat Arawinda memincingkan mata dan menatap kesal pada laki-laki yang hari ini memakai kemeja hitam di depannya. "Ayo jalan."Meski begitu, Kaivan memperkecil langkah agar Arawinda mudah untuk menyeimbanginya. Sesaat mereka sampai di mobil, Arawinda duduk di kursi penumpang belakang dan Kaivan menyetir dengan tenang. "Saya ingin menanyakan hal ini sejak beberapa hari lalu," buka Kaivan.Arawinda menatap tubuh belakang Kaivan yang baru saja berbicara."Kenapa?" Kaivan menjeda, menc
"Selamat pagi."Arawinda yang tengah terdiam di taman rumah kaca menatap susu botolan rasa strawberry yang tersimpan di meja. Sebelum mendongak menemui wajah manis sawo matang milik seorang laki-laki tinggi yang memakai kacamata di hadapannya. Siapa sekarang?"Saya Atharya, salam kenal."Arawinda tak peduli, tangan kurus gadis itu membuang susu yang diberikan oleh Atharya dengan tidak sopan.Dan melihat reaksi tersebut, Atharya tidak sakit hati sama sekali, sembari tersenyum, lelaki itu membungkuk dan memungut susu yang Arawinda tolak. Menusuk kertas alumunium di atasnya dengan sedotan dan menyesap minuman tersebut sembari duduk di samping Arawinda."Pergi.""Kamu suka bunga? Bunga rose?"Arawinda memberikan tatapan sinis. Ia tidak ingin diganggu dan mau bersantai sebentar saja, apakah sesulit itu?"Saya membawakan biji benih bunga rose." Atharnya mengeluarkan satu bungkus benih dari dalam tasnya. "Saya tahu kalau bijih ini akan tumbuh dengan baik, berwarna merah tua yang indah."Ara
Arawinda berpaling dari Angga secepat yang ia bisa. Ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman meski sudah hampir satu tahun berlalu semenjak Arawinda dicampakkan oleh Angga. Masalalu menyakitkan yang membuat Arawinda sedikit besar takut pada hubungan percintaan. Takut hanya jadi papan permainan sesaat, hal yang tidak berarti bagi seseorang. Jari-jari tangan Arawinda terkepal, gadis itu melangkah jauh dan sebisa mungkin mengontrol geriknya. "Mari kita ke belakang."Arawinda sedikit tersentak mendengar suara itu, belum lagi tangannya juga digenggam lembut secara tiba-tiba.Kaivan.Entah kenapa, tapi bagi Arawinda, saat ini, ajakan Kaivan sangat amat membantu karena nampaknya Angga tetap ada di posisi yang sama sejak tadi."Kolam renang belakang sudah berubah setahun terakhir. Saya banyak mendengarkan keluh kesah bahwa kolam renang di belakang terlalu kecil jika kamar tengah penuh, jadi saya memperluasnya sampai ke tepi barat."Arawinda tak mendengarkan sama sekali penjelasan Kaivan. Ia t
Setelah dua hari memutuskan untuk bisa pindah ke kamar Arawinda, sebenarnya Kaivan tak sama sekali mendapatkan kesempatan untuk bisa masuk dan tidur dengan nyaman. Meski ya sebenarnya keputusan untuk tidur bersama tidak terlalu perlu, karena nampak kini pun, Arawinda baik-baik saja. Entah hanya topeng semata atau bagaimana. Tapi Gio memberikan saran bahwa, kekhawatiran di dalam hati Kaivan tak boleh memudar dengan mudah. Jadi setelah mengantar keluarga kecilnya untuk pulang kembali ke Jogja sampai bandara, Kaivan pun kembali ke rumah dan segera membersihkan diri di kamarnya sebelum memasuki kamar Arawinda.Semoga kali ini, ia tidak terkena lempar botol atau apapun itu."Apa?" tanya Arawinda.Bahkan Kaivan baru memunculkan kepala dari sebalik pintu. Tapi wanita itu sudah amat sangat peka akan kehadirannya."Malam ini kita tidur. Satu kamar, satu kasur dan satu ruangan."Arawinda mengulum bibir dalam bagian bawah sembari menyugar rambut. "Saya sudah bilang berulang kali kan Kaivan? Ki