Kaivan mengembuskan napas kala menyadari teleponnya berdering keras. Sembari meraba-raba nakas dan mengambil barang elektronik tersebut, Kaivan pun mendudukan diri, menggeser tombol hijau tanpa tahu siapa yang menghubunginya kini.
"Halo?" tanya Kaivan dengan suara serak khas bangun tidurnya."Halo Tuan Kaivan."Suara Gio, tangan kanan Rajendra. Mata Kaivan yang sesaat lalu masih sangat mengantuk langsung terbuka lebar. "Halo, Tuan Gio."Pukul menunjukan tepat pada angka dua dini hari. Gio meneleponnya pasti karena ada hal yang cukup penting."Saya membawa kabar duka."Mendengar beberapa kata yang terucap dari mulut Gio barusan, hati Kaivan langsung gusar dan merasa tidak enak. Sudah pasti kan?"Pak Rajendra tiba-tiba drop kurang lebih tengah malam tadi. Dan baru mengembuskan napas terakhirnya sekitar sepuluh menit yang lalu."Bagaimana dengan Arawinda? Apa gadis itu sanggup mendengar kabar duka yang kini harus ia terima?Keluarga satu-satunya yang ia miliki sudah tiada.Kaivan tanpa sadar mendesah dan menarik-narik rambut bagian depan."Tolong sampaikan pada Nyonya Arawinda dan tolong urus beliau." Gio menyampaikan. "Pemakaman akan digelar sekitar pukul tujuh pagi ini.""Baik Tuan Gio." Kaivan menyingkirkan selimut dari atas tubuhnya dan turun dari ranjang. "Saya akan mengurus Arawinda di sini.""Kaivan." Gio menjeda cukup lama. "Hanya kamu satu-satunya lelaki yang dipercaya oleh Tuan Rajendra."Kaivan tahu kalau kini Gio tengah berbicara sebagai seorang teman dan sahabat dekat, bahkan Kaivan sudah menganggap lelaki itu sebagai kakak kandung sendiri. Selama ini, Gio-lah yang mengajarinya banyak hal tentang dunia kerja."Jadi tolong jaga Arawinda apapun yang terjadi. Dan jalankan tugas kamu, keinginan kamu. Sebelum meninggal beberapa hari lalu, kami sempat membahas itu. Perusahaan kita sedang berjaya dan ada di atas sekarang. Jadi tentang perjanjian kamu dan Tuan Rajendra, silahkan dimulai sebebas mungkin.""Baik, terimakasih.""Saya tutup telepon kita sekarang."Lalu, di sisi sana, Gio benar-benar mengakhiri panggilan telepon mereka.Kaivan lagi-lagi mendesah, seolah ada beban berat yang kini bertumpu dan bergelayut di dada. Sesaat sebelum keluar dari dalam kamar, Kaivan mengambil selembar jubah tidur untuk menutupi tubuh bagian atasnya dan kemudian bergerak untuk menemui Arawinda. Rumah saat itu sudah nampak sangat sepi sehingga langkah demi langkah Kaivan terdengar jelas.Ketika tangan besar Kaivan menarik daun pintu dan mendorong penghalang tersebut, ia bisa menemui Arawinda yang kini terduduk di atas pembaringan. Melamun sembari memeluk lututnya."Arawinda," panggil Kaivan sembari mendekati gadis itu."Ada keperluan apa?" tanya Arawinda dengan intonasi dinginnya. Selama ini, Kaivan tak pernah sekalipun datang ke kamarnya malam-malam begini.Mata Kaivan terpaku menatap Arawinda lamat-lamat sebelum sesaat kemudian kembali melangkahkan kaki, berdiri tepat di depan gadis itu."Papi meninggal dunia."Arawinda tak bergeming, tak bersuara dan nampak terperangkap dalam hening.Jadi untuk menyadarkan gadis itu, Kaivan pun berkata untuk yang kedua kalinya. "Papi ... baru saja meninggal dunia, Arawinda."Tapi nihil, masih tak ada reaksi apa-apa dari Arawinda. Gadis itu tak menggerakan tubuh atau pun merespon dengan ucapan.Kaivan mendekat dan memegang kedua sisi bahu Arawinda. "Arawinda!""Saya tahu, saya dengar, Kaivan." Dengan kasar Arawinda menyingkirkan tangan Kaivan dari bahunya. "Terimakasih atas informasi yang amat sangat berarti ini. Silahkan keluar dari kamar saya.""Besok pagi, sebelum pukul enam, kamu harus sudah siap berganti pakaian. Kita pergi ke pemakaman." Kaivan berjalan meninggalkan Arawinda dalam gelapnya kamar. Ketika tubuhnya sudah mencapai tepat di depan pintu, langkah Kaivan terhenti. Lelaki itu menatap Arawinda selama beberapa detik sebelum benar-benar pergi tanpa menutup pintu.^^^^^^^^^Pagi dipemakaman, Arawinda memakai pakaian serba hitam di tubuhnya. Tak lupa, gadis itu juga menyelipkan kacamata hitam untuk menutupi mata.Takut orang-orang bertanya. Mengapa putri satu-satunya, putri semata wayang yang dimiliki oleh Rajendra tidak menangis sama sekali di hari pemakaman sang ayah.Sedari tadi, ia terus berdiri di samping Kaivan yang menjawab semua ucapan bela sungkawa yang terarah kepadanya. Arawinda terlalu malas berbasi-basi dan membahas hal-hal yang menurutnya tidak penting sama sekali.Tidak penting ya?Sama seperti hidupnya."Arawinda."Kaivan yang bersikap lebih lembut dari biasanya memanggil Arawinda. "Pemakaman sudah selesai, kita pulang sekarang."Seperti biasa, Kaivan tak pernah menunggu jawabannya. Dia langsung bergerak pergi sementara bagaikan ekor, Arawinda terus mengikuti dari belakang."Akan ada meeting besar dan panjang besok tentang perusahaan." Keduanya sudah duduk di dalam mobil yang kini melaju."Untuk sementara waktu, saya akan menjalankan perusahaan."Sementara waktu itu sampai kapan?Arawinda mencemooh di dalam hati. Ia sungguh kesal pada lelaki munafik sok baik yang kini berada di sampingnya.Kenapa harus ragu-ragu begitu? Kalau memang benar dia ingin menguasai perusahan, silahkan saja."Saya akan menandatangani surat pemindahan kekuasaan. Setelah ini, saya akan pergi dan tidak akan mengusik apapun." Arawinda memutuskan."Apa yang sebenarnya ada di dalam pikiran kamu selama ini tentang saya, Arawinda?""Tak lebih dari seorang lelaki rendahan yang tengah melaksanakan misi licik untuk merebut sebuah perusahaan besar." Arawinda berkedip, tangannya saling bertaut, bermain-main. "Saya ... benci setengah mati pada kamu, Kaivan."Kaivan mengembuskan napas dan membenahi posisi duduk. "Ayo kita bicarakan beberapa hal setelah memiliki waktu luang nanti."Senyum miring penuh ejekan Arawinda terpampang. Ia tak lagi menjawab ocehan Kaivan sampai keduanya kembali ke rumah.Tak menunggu lama, Arawinda bergegas untuk masuk ke dalam kamarnya sendiri.Papi ... kini sudah pergi. Menyusul Mami. Meninggalkan Arawinda sendiri di dunia keji. Dunia yang membuat Arawinda lemah dan bertekuk lutut. Jadi Arawinda pikir, hidupnya juga sudah tidak berarti.Pelan, tangan Arawinda bergerak untuk mengambil kain dari dalam lemari baju. Sebuah syal panjang yang susah payah ia gantungkan di langit-langit kamar. Erat mengait di besi penyangga lampu.Tanpa ragu Arawinda mengikat ujung kain itu pada lehernya erat-erat.Sebelum kaki Arawinda menendang kursi, gadis itu menutup mata, mengingat semua kenangan yang pernah ia lalui di dunia ini. Kenangan buruk yang tak akan pernah ia lupakan. Kenangan buruk yang akan terus terpatri perih di dadanya. Dan kenangan yang mendorongnya pada titik ini, titik kematian yang ia pilih.Arawinda benar-benar menjatuhkan kursi dari kakinya. Leher gadis itu mulai tertarik oleh ujung kain. Perih, sakit dan panas. Mata Arawinda memerah dan kini berkaca-kaca. Udara mulai tidak bisa memasuki jalur pernapasannya. Sakit sekali, amat sangat sakit.Tapi lebih sakit lagi kalau ia terus melanjutkan hidup. Ada banyak hal yang akan membunuhnya perlahan dengan cara yang tak akan pernah ia sangka-sangka jadi lebih baik ia menyerah lebih awal. Melewati semuanya pun tak akan berarti.Arawinda ... benar-benar memilih untuk mati."Arawinda mana?""Nyonya Arawinda langsung naik ke kamar, Tuan Kaivan."Kaivan mengangguk dan berlalu untuk melihat kondisi Arawinda. Sejak tadi, gadis itu hanya terdiam lama dan tidak banyak bereaksi pada kepergian Papi-nya.Seperti biasa, tanpa mengetuk, Kaivan langsung membuka pintu dan masuk ke dalam ruang kamar sang istri.Dan melihat pemandangan yang ada di depan sana, untuk dua detik, Kaivan membeku sebelum segera tersadar dan menghampiri tubuh Arawinda.Tanpa banyak kata karena panik, Kaivan bergerak cepat naik ke atas kursi dan memangku tubuh lemas menggantung yang tidak sadarkan diri itu.Tidak kan? Arawinda masih hidupkan?Arawinda harus hidup apapun yang terjadi!Tanpa pikir panjang, karena tahu kalau Arawinda tengah kekurangan oksigen, Kaivan pun langsung memberikan pertolongan pertama. Menekan dada Arawinda dan memberikan gadis itu napas buatan. Saat jalan napas Arawinda sudah normal, dengan tergesa, Kaivan mengangkat tubuhnya dan membawa sang istri ke rumah sakit.^^^^^^
Arawinda menatap Kaivan nyalang."Mau minum sendiri atau harus saya paksa minum lagi?"Cepat-cepat Arawinda mengambil gelas dari tangan besar Kaivan dan minum dengan rakus. Ia tak menyangka, benar-benar tak menyangka!Kenapa ciuman pertamanya malah diambil oleh si brengsek Kaivan!Kenapa harus laki-laki itu!"Bagus, saya keluar."Andai saja Arawinda bisa berteriak, mungkin sekarang ia sudah memaki laki-laki itu. Mungkin saja ia sudah mencakar wajah Kaivan.Menyimpan gelas dengan keras di atas nakas, Arawinda pun mendesah dan membaringkan diri asal di atas brankar. Sebelum mengusap-usap kasar bibirnya jijik.Ia dan Kaivan sudah ciuman! Tidak, bukan ciuman. Seperti yang tadi Arawinda putuskan, semua yang Kaivan lakukan padanya adalah pelecehan. Iya, pelecehan dan Arawinda bisa sekali untuk melaporkan laki-laki itu ke polisi kan?Sedang di sisi lain, Kaivan kini duduk di kursi besi panjang yang tersimpan di sisi tembok lorong rumah sakit.Ia terlalu jauh kan barusan sampai harus menciu
Arawinda mendapati Rama yang kini duduk di kursi bersama Ibu. Ia tak sadar kapan keluarga Kaivan datang ke sini karena tadi, Arawinda tidur pulas sekali. Mungkin efek obat yang barus saja diminumnya."Kamu sudah sadar Nduk?" Gendis, ibunya Kaivan bertanya dengan wajah khawatir. "Maaf Rama sama Ibu baru mampir ke sini ya Nduk." Kini Shankara menyambungi. Dengan wajahnya yang masih pucat, Arawinda pun menggelengkan kepala. Ia tak terlalu dekat dan akrab dengan kedua orang tua Kaivan setelah mereka menikah. Pun karena orang tua Kaivan juga tinggal di Jogja dan sepertinya, mereka mengerti bagaimana hubungan antara ia dan anaknya. "Enggak apa-apa Rama.""Kemarin Mbah Putri mau ikut, tapi ya sakit ternyata. Jadi kami ndak bisa ninggalin si Mbah, takut makin parah. Hari ini denger kamu masuk rumah sakit, Ibu sama Rawa yo was-was makanya langsung berangkat ke Jakarta." Gendis menjelaskan karena kemarin mereka tidak bisa datang ke pemakaman dari besannya. Pun hal tersebut juga atas larangan
Dengan sebelah tangan yang menjinjing barang bawaan, Kaivan mengikuti langkah pelan Arawinda yang katanya tidak ingin dekat-dekat. "Mana supirnya?" Arawinda menatap halaman rumah sakit, ia baru keluar rumah setelah setahun terkurung dan rasanya, dunia ini begitu berbeda. Ada banyak hal yang bisa ia lihat sekarang."Kita enggak pakai supir, ikutin saya."Arawinda mendengus dan melangkah untuk mengikuti kemana Kaivan pergi. "Pelan-pelan bisa?""Cepetan sedikit bisa?" tanya Kaivan balik. Hal tersebut sukses membuat Arawinda memincingkan mata dan menatap kesal pada laki-laki yang hari ini memakai kemeja hitam di depannya. "Ayo jalan."Meski begitu, Kaivan memperkecil langkah agar Arawinda mudah untuk menyeimbanginya. Sesaat mereka sampai di mobil, Arawinda duduk di kursi penumpang belakang dan Kaivan menyetir dengan tenang. "Saya ingin menanyakan hal ini sejak beberapa hari lalu," buka Kaivan.Arawinda menatap tubuh belakang Kaivan yang baru saja berbicara."Kenapa?" Kaivan menjeda, menc
"Selamat pagi."Arawinda yang tengah terdiam di taman rumah kaca menatap susu botolan rasa strawberry yang tersimpan di meja. Sebelum mendongak menemui wajah manis sawo matang milik seorang laki-laki tinggi yang memakai kacamata di hadapannya. Siapa sekarang?"Saya Atharya, salam kenal."Arawinda tak peduli, tangan kurus gadis itu membuang susu yang diberikan oleh Atharya dengan tidak sopan.Dan melihat reaksi tersebut, Atharya tidak sakit hati sama sekali, sembari tersenyum, lelaki itu membungkuk dan memungut susu yang Arawinda tolak. Menusuk kertas alumunium di atasnya dengan sedotan dan menyesap minuman tersebut sembari duduk di samping Arawinda."Pergi.""Kamu suka bunga? Bunga rose?"Arawinda memberikan tatapan sinis. Ia tidak ingin diganggu dan mau bersantai sebentar saja, apakah sesulit itu?"Saya membawakan biji benih bunga rose." Atharnya mengeluarkan satu bungkus benih dari dalam tasnya. "Saya tahu kalau bijih ini akan tumbuh dengan baik, berwarna merah tua yang indah."Ara
Arawinda berpaling dari Angga secepat yang ia bisa. Ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman meski sudah hampir satu tahun berlalu semenjak Arawinda dicampakkan oleh Angga. Masalalu menyakitkan yang membuat Arawinda sedikit besar takut pada hubungan percintaan. Takut hanya jadi papan permainan sesaat, hal yang tidak berarti bagi seseorang. Jari-jari tangan Arawinda terkepal, gadis itu melangkah jauh dan sebisa mungkin mengontrol geriknya. "Mari kita ke belakang."Arawinda sedikit tersentak mendengar suara itu, belum lagi tangannya juga digenggam lembut secara tiba-tiba.Kaivan.Entah kenapa, tapi bagi Arawinda, saat ini, ajakan Kaivan sangat amat membantu karena nampaknya Angga tetap ada di posisi yang sama sejak tadi."Kolam renang belakang sudah berubah setahun terakhir. Saya banyak mendengarkan keluh kesah bahwa kolam renang di belakang terlalu kecil jika kamar tengah penuh, jadi saya memperluasnya sampai ke tepi barat."Arawinda tak mendengarkan sama sekali penjelasan Kaivan. Ia t
Setelah dua hari memutuskan untuk bisa pindah ke kamar Arawinda, sebenarnya Kaivan tak sama sekali mendapatkan kesempatan untuk bisa masuk dan tidur dengan nyaman. Meski ya sebenarnya keputusan untuk tidur bersama tidak terlalu perlu, karena nampak kini pun, Arawinda baik-baik saja. Entah hanya topeng semata atau bagaimana. Tapi Gio memberikan saran bahwa, kekhawatiran di dalam hati Kaivan tak boleh memudar dengan mudah. Jadi setelah mengantar keluarga kecilnya untuk pulang kembali ke Jogja sampai bandara, Kaivan pun kembali ke rumah dan segera membersihkan diri di kamarnya sebelum memasuki kamar Arawinda.Semoga kali ini, ia tidak terkena lempar botol atau apapun itu."Apa?" tanya Arawinda.Bahkan Kaivan baru memunculkan kepala dari sebalik pintu. Tapi wanita itu sudah amat sangat peka akan kehadirannya."Malam ini kita tidur. Satu kamar, satu kasur dan satu ruangan."Arawinda mengulum bibir dalam bagian bawah sembari menyugar rambut. "Saya sudah bilang berulang kali kan Kaivan? Ki
Kaivan baru saja melangkah di anak tangga menuju kamar Arawinda sore itu. Tubuhnya lelah karena banyak hal yang harus ia kerjakan. Dari rapat ke rapat, dari dokumen ke dokumen dari pembahasan ke pembahasan. Banyak sekali urusan yang ada di tangannya sebagai pemimpin saat ini. Apalagi pemilik asli hotel, Rajendra sudah tutup usia. Sekarang semua beban seolah tersimpan di pundaknya.Sesaat kala tangan besar Kaivan menekan daun pintu dan mendorong barang tersebut, Arawinda ternyata sudah menyambutnya.Kening Kaivan sedikit mengernyit mendapati baju yang dikenakan Arawinda saat itu.Gaun hitam malam yang cukup terbuka. Memamerkan tubuh atas dan paha Arawinda.Ada apa lagi sekarang?Entah kenapa yang jelas, perasaan Kaivan hari itu sungguh tidak nyaman."Apa yang mau kamu lakukan Arawinda?"Mendengar pertanyaan tersebut, Arawinda pun tersenyum mengejek. "Situasinya terbalik, Kaivan. Seharusnya saya yang bertanya, apa yang sebenarnya mau kamu lakukan? Apa yang kamu mau dari dalam diri saya?