Saat menjelajahi taman kaca di area belakang rumahnya yang sangat luas, Kaivan menemui Arawinda yang tengah duduk memeluk lutut. Mata cokelat tua gadis itu telaten menatap kupu-kupu yang hinggap di salah satu mawar merah darah yang merekah indah.
Mawar adalah bunga kesukaan Arawinda. Saat musimnya, rumah kaca dan halaman di depan akan dipenuhi oleh bunga-bunga mawar berwarna-warni dan cerah. Hari ke hari kelopaknya berjatuhan dan Arawinda, nampak menyukai hal tersebut.Kaivan berjalan lebih dekat, sebelah tangannya dimasukan ke dalam saku celana.Hari masih terlalu pagi untuk berada di rumah kaca. "Bagaimana?"Mata dengan tatap lembut Arawinda berubah membara panas kala mendengar suara Kaivan."Apa yang kamu inginkan Arawinda?"Gadis inikah yang harus ia sembuhkan? Gadis lemah, cengeng dan egois? Gadis yang sudah tak memiliki gairah hidup. Sejak dulu. Hanya lebih terlihat dan nampak padam kala dia ada dalam kungkungan hubungan pernikahan bersama Kaivan.Arawinda diam membisu."Saya akan menuruti apapun. Tapi tidak dengan keluar dan minum-minum." Tubuh Arawinda bisa semakin rusak jika terus digunakan untuk minum-minum."Tak ada yang lebih saya inginkan dari dua hal tersebut. Jadi kalau tidak bisa, tidak perlu."Menemui tangan Arawinda yang nampak terperban, Kaivan pun bertanya, "Tidak bisakah kamu mengelola emosi?""Untuk apa?""Untuk kebaikan kamu sendiri." Meski sebenarnya akan sangat merepotkan, tapi Kaivan akan tetap menyampaikan keputusannya. "Mulai minggu depan, di hari Senin, bersiaplah, kamu akan mendampingi saya menyiapkan pesta untuk para kolega."Arawinda membeku. Kaivan ... bukannya ingin merebut Maheswara Hotel setelah Papi meninggal nanti dan akan membuangnya? Dan akan menghancurkannya? Jadi untuk apa laki-laki itu repot membawa ia untuk mengunjungi hotel?"Saya tidak akan dan tidak ingin mendengar penolakan. Kamu harus pergi, Senin depan.""Kurunglah saya sesukamu, Kaivan." Dingin suara Arawinda keluar. "Saya hidup untuk mati. Dan saya ada di sini untuk itu. Sejak semalam, saya sudah berpikir panjang, panjang dan jauh sekali, bahwa saya ... sudah siap mati ditanganmu."Untuk itu, Arawinda tak lagi memimpikan tentang kehidupan indah dan bahagia serta penuh tawa. Ia sudah terlalu muak dengan semua hal yang terjadi selama ini. Arawinda sudah lelah dengan harapan dan segala kesedihan yang memeluk batinnya. Jadi, lebih baik ia pasrah dan menunggu mati di tangan Kaivan.Punggung kecil dan rapuh itu Kaivan tatap tajam. "Maka tunggulah hari kematian itu."Toh Arawinda sudah mendengar semuanya. Percakapan Kaivan dengan seseorang. Bahwa lelaki itu ... akan menyingkirkan semua orang setelah bisnis hotel benar-benar ada di tangannya. Termasuk Arawinda sendiri kan? "Saya menunggu dengan sangat tenang di sini Kaivan Yudhistira."Untuk sesaat hening memeluk mereka. Baik Kaivan maupun Arawinda tak lagi mengeluarkan suara. Mereka berdua sama-sama terdiam seribu bahasa.Sebelum sesaat kemudian, derap langkah terdengar menjauh tepat di telinga Arawinda. Kaivan sekarang sudah pergi. Dan ia kembali sendiri.Ya, sendiri.Seperti satu tahun terakhir. Ia terus begini. Tak mempunyai teman, tak mempunyai akses untuk bersosialisasi. Ia ... di jaman yang maju dan modern ini bahkan sudah tidak memiliki ponsel. Jadi kesendirian itu, sudah menjadi tempat nyaman bagi Arawinda.Kembali, Arawinda memeluk lututnya. Gadis itu mendesah menghilangkan pekat di dada setelah membicarakan hal-hal berat bersama Kaivan barusan.^^^^^^^^^Rajendra menatap halaman rumahnya dari kursi roda. Di samping, pada meja kayu bundar putih, ada teh herbal yang masih menerbangkan asap tipis.Mata paruh baya tersebut nampak semakin sayu.Hari tua yang menyedihkan.Tak ada yang bisa ia ajak berbicara.Dan sejujurnya saja, jika sudah begini, Rajendra merasakan sesal yang amat sangat dalam.Seharusnya dulu, ia bisa sedikit meluangkan waktu untuk bisa menikmati hidupnya. Sekedar berbincang santai dengan Arawinda kecil, bermain dengan sang anak sesekali juga mengobrolkan hal-hal ringan penuh candaan dengan sang istri.Sekarang semuanya sudah berlarut dalam pedih.Hidupnya, hidup istrinya dan hidup anaknya sama-sama hancur karena kesuksesan yang Rajendra kejar. Karena kejayaan yang ingin ia gapai."Saya ingin menyerahkan laporan perusahaan kepada Anda."Rajendra menganggukkan kepala, menerima sebuah dokumen di tangannya."Maheswara group sekarang sedang ada di puncak tertingginya untuk pertama kali, pendapatan perkapita perusahaan juga sangat baik. Investor mulai berdatangan dan menginvestasikan uang secara besar-besaran. Sekarang Kaivan tengah melebarkan Maheswara Group untuk membangun sebuah perumahan kawasan elit di daerah tanah strategis yang tengah diperebutkan oleh banyak perusahaan lain juga. Tapi sepertinya, tanah itu akan berada di tangan Kaivan sesegera mungkin.""Saya tahu kemampuan anak itu." Rajendra membaca dengan seksama kertas yang kini masih dipegangnya. "Kaivan ... sudah saatnya menjalankan misi yang seharusnya. Perjanjian kami berdua, mungkin sudah mulai bisa berjalan dari sekarang.""Baik, Kaivan memang sudah memulai langkah pertamanya.""Dan Arawinda, bagaimana dia?""Masih seperti itu. Hanya saja, seperti yang Anda lihat kemarin, Nyonya Arawinda menjadi lebih tempramental. Apa menurut Bapak keputusan Kaivan untuk mengurungnya seperti itu sudah tepat?""Saya ... tidak tahu." Karena Rajendra bukan seorang ayah yang baik. Tidak pernah pula mengurus Arawinda. Yang ia tahu, selama ini, ia memberikan Arawinda semuanya. Tentang materi. Berapapun yang Arawinda pinta, barang apapun yang Arawinda inginkan, semuanya akan ada untuk menutupi kebawelan anak itu. "Kami tidak pernah dekat satu sama lain. Dan seumur hidupnya, Arawinda belum pernah saya urus."Ada jeda hening selama beberapa saat."Tapi saya sudah meminta Kaivan untuk bergerak. Agar Arawinda bisa mulai belajar menjadi pengusaha. Sudah setahun lebih mereka menikah. Memang masih banyak hal yang membuat Kaivan kewalahan dalam mengurusi Arawinda tapi saya juga tak bisa menunggu lebih lama.""Kenapa?""Karena bisa jadi umur saya habis di waktu-waktu dekat ini."Sekertaris Rajendra hanya terdiam seribu bahasa. Topik ini adalah hal yang paling dan sangat ia hindari."Dan tolong awasi, orang-orang yang mendekati Arawinda. Siapapun itu, kita tidak tahu musuh menyelundup di sisi mana. Saya tidak mau Arawinda terluka lagi seperti dulu. Bukan hanya bagi saya, kejadian itu ... juga pasti sangat mengguncang kesehatan mental Arawinda.""Betul sekali, mental Nyonya masih hancur saat ini, Nyonya Arawinda takut tempat gelap, sempit dan pengap. Kelemahan yang selalu menghantui beliau."Rajendra sudah menduganya. Kenangan buruk di masalalu benar-benar membuat Rajendra sebagai seorang ayah saja sangat terluka.Sebagai seorang pengusaha, ada banyak orang yang tidak menyukai dan memusuhinya di luar sana. Jadi, mereka mencoba menyerang berbagai sisi, mencari apa kelemahan yang Rajendra miliki."Hubungan Kaivan dan Arawinda selama ini, tidak pernahkah mereka mempunyai sisi romantis atau apapun itu?"Gio menggelengkan kepala. "Selama pengamatan saya, dari satu tahun terakhir, tak pernah menemui satu kalipun mereka berinteraksi dengan hangat dan baik. Selalu ada emosi dan perpecahan di antara keduanya.""Saya harap, mereka bisa menjadi lebih dekat. Dan saya harap, Kaivan mau benar-benar menerima Arawinda di dalam kehidupan yang akan ia jalani kelak. Karena di dunia ini, dia adalah satu-satunya lelaki yang saya percayai untuk menjadi pendamping Arawinda."Arawinda menatap Kaivan yang berjalan di lantai dasar rumah mereka sembari berbincang dengan seorang wanita muda yang baru kali ini ada di pandangannya. Entah siapa sosok itu, hanya saja, nampak Kaivan sangat nyaman berada di dekatnya dan mengobrol begitu leluasa.Tarikan napas dalam terlihat dari Arawinda. Dadanya untuk beberapa saat membusung naik sebelum Arawinda memutuskan untuk masuk ke tempat yang menurutnya aman dari jajahan Kaivan.Sebuah ruangan di lantai tiga rumah yang jarang dikunjungi oleh orang-orang. Ada sebuah kamar berisi banyak sekali bercak-bercak cat, kanvas yang sudah tercoret gambar-gambar dan kanvas-kanvas kosong lain yang nampak menumpuk sebagai persediaan.Arawinda mengambil palet dan menuangkan warna-warni yang dikehendaki di atasnya. Kali ini, Arawinda akan menggunakan teknik goresan ekspresif saat melukis. Dengan begitu, ia bisa bebas mengekspresikan diri, menggunakan apapun untuk menggores indahnya perpaduan warna menggunakan jari, kuas dan benda yang amat
Kaivan mengembuskan napas kala menyadari teleponnya berdering keras. Sembari meraba-raba nakas dan mengambil barang elektronik tersebut, Kaivan pun mendudukan diri, menggeser tombol hijau tanpa tahu siapa yang menghubunginya kini. "Halo?" tanya Kaivan dengan suara serak khas bangun tidurnya. "Halo Tuan Kaivan." Suara Gio, tangan kanan Rajendra. Mata Kaivan yang sesaat lalu masih sangat mengantuk langsung terbuka lebar. "Halo, Tuan Gio." Pukul menunjukan tepat pada angka dua dini hari. Gio meneleponnya pasti karena ada hal yang cukup penting. "Saya membawa kabar duka." Mendengar beberapa kata yang terucap dari mulut Gio barusan, hati Kaivan langsung gusar dan merasa tidak enak. Sudah pasti kan? "Pak Rajendra tiba-tiba drop kurang lebih tengah malam tadi. Dan baru mengembuskan napas terakhirnya sekitar sepuluh menit yang lalu." Bagaimana dengan Arawinda? Apa gadis itu sanggup mendengar kabar duka yang kini harus ia terima? Keluarga satu-satunya yang ia miliki sudah tiada. Kaiva
"Arawinda mana?""Nyonya Arawinda langsung naik ke kamar, Tuan Kaivan."Kaivan mengangguk dan berlalu untuk melihat kondisi Arawinda. Sejak tadi, gadis itu hanya terdiam lama dan tidak banyak bereaksi pada kepergian Papi-nya.Seperti biasa, tanpa mengetuk, Kaivan langsung membuka pintu dan masuk ke dalam ruang kamar sang istri.Dan melihat pemandangan yang ada di depan sana, untuk dua detik, Kaivan membeku sebelum segera tersadar dan menghampiri tubuh Arawinda.Tanpa banyak kata karena panik, Kaivan bergerak cepat naik ke atas kursi dan memangku tubuh lemas menggantung yang tidak sadarkan diri itu.Tidak kan? Arawinda masih hidupkan?Arawinda harus hidup apapun yang terjadi!Tanpa pikir panjang, karena tahu kalau Arawinda tengah kekurangan oksigen, Kaivan pun langsung memberikan pertolongan pertama. Menekan dada Arawinda dan memberikan gadis itu napas buatan. Saat jalan napas Arawinda sudah normal, dengan tergesa, Kaivan mengangkat tubuhnya dan membawa sang istri ke rumah sakit.^^^^^^
Arawinda menatap Kaivan nyalang."Mau minum sendiri atau harus saya paksa minum lagi?"Cepat-cepat Arawinda mengambil gelas dari tangan besar Kaivan dan minum dengan rakus. Ia tak menyangka, benar-benar tak menyangka!Kenapa ciuman pertamanya malah diambil oleh si brengsek Kaivan!Kenapa harus laki-laki itu!"Bagus, saya keluar."Andai saja Arawinda bisa berteriak, mungkin sekarang ia sudah memaki laki-laki itu. Mungkin saja ia sudah mencakar wajah Kaivan.Menyimpan gelas dengan keras di atas nakas, Arawinda pun mendesah dan membaringkan diri asal di atas brankar. Sebelum mengusap-usap kasar bibirnya jijik.Ia dan Kaivan sudah ciuman! Tidak, bukan ciuman. Seperti yang tadi Arawinda putuskan, semua yang Kaivan lakukan padanya adalah pelecehan. Iya, pelecehan dan Arawinda bisa sekali untuk melaporkan laki-laki itu ke polisi kan?Sedang di sisi lain, Kaivan kini duduk di kursi besi panjang yang tersimpan di sisi tembok lorong rumah sakit.Ia terlalu jauh kan barusan sampai harus menciu
Arawinda mendapati Rama yang kini duduk di kursi bersama Ibu. Ia tak sadar kapan keluarga Kaivan datang ke sini karena tadi, Arawinda tidur pulas sekali. Mungkin efek obat yang barus saja diminumnya."Kamu sudah sadar Nduk?" Gendis, ibunya Kaivan bertanya dengan wajah khawatir. "Maaf Rama sama Ibu baru mampir ke sini ya Nduk." Kini Shankara menyambungi. Dengan wajahnya yang masih pucat, Arawinda pun menggelengkan kepala. Ia tak terlalu dekat dan akrab dengan kedua orang tua Kaivan setelah mereka menikah. Pun karena orang tua Kaivan juga tinggal di Jogja dan sepertinya, mereka mengerti bagaimana hubungan antara ia dan anaknya. "Enggak apa-apa Rama.""Kemarin Mbah Putri mau ikut, tapi ya sakit ternyata. Jadi kami ndak bisa ninggalin si Mbah, takut makin parah. Hari ini denger kamu masuk rumah sakit, Ibu sama Rawa yo was-was makanya langsung berangkat ke Jakarta." Gendis menjelaskan karena kemarin mereka tidak bisa datang ke pemakaman dari besannya. Pun hal tersebut juga atas larangan
Dengan sebelah tangan yang menjinjing barang bawaan, Kaivan mengikuti langkah pelan Arawinda yang katanya tidak ingin dekat-dekat. "Mana supirnya?" Arawinda menatap halaman rumah sakit, ia baru keluar rumah setelah setahun terkurung dan rasanya, dunia ini begitu berbeda. Ada banyak hal yang bisa ia lihat sekarang."Kita enggak pakai supir, ikutin saya."Arawinda mendengus dan melangkah untuk mengikuti kemana Kaivan pergi. "Pelan-pelan bisa?""Cepetan sedikit bisa?" tanya Kaivan balik. Hal tersebut sukses membuat Arawinda memincingkan mata dan menatap kesal pada laki-laki yang hari ini memakai kemeja hitam di depannya. "Ayo jalan."Meski begitu, Kaivan memperkecil langkah agar Arawinda mudah untuk menyeimbanginya. Sesaat mereka sampai di mobil, Arawinda duduk di kursi penumpang belakang dan Kaivan menyetir dengan tenang. "Saya ingin menanyakan hal ini sejak beberapa hari lalu," buka Kaivan.Arawinda menatap tubuh belakang Kaivan yang baru saja berbicara."Kenapa?" Kaivan menjeda, menc
"Selamat pagi."Arawinda yang tengah terdiam di taman rumah kaca menatap susu botolan rasa strawberry yang tersimpan di meja. Sebelum mendongak menemui wajah manis sawo matang milik seorang laki-laki tinggi yang memakai kacamata di hadapannya. Siapa sekarang?"Saya Atharya, salam kenal."Arawinda tak peduli, tangan kurus gadis itu membuang susu yang diberikan oleh Atharya dengan tidak sopan.Dan melihat reaksi tersebut, Atharya tidak sakit hati sama sekali, sembari tersenyum, lelaki itu membungkuk dan memungut susu yang Arawinda tolak. Menusuk kertas alumunium di atasnya dengan sedotan dan menyesap minuman tersebut sembari duduk di samping Arawinda."Pergi.""Kamu suka bunga? Bunga rose?"Arawinda memberikan tatapan sinis. Ia tidak ingin diganggu dan mau bersantai sebentar saja, apakah sesulit itu?"Saya membawakan biji benih bunga rose." Atharnya mengeluarkan satu bungkus benih dari dalam tasnya. "Saya tahu kalau bijih ini akan tumbuh dengan baik, berwarna merah tua yang indah."Ara
Arawinda berpaling dari Angga secepat yang ia bisa. Ada sesuatu yang membuatnya tak nyaman meski sudah hampir satu tahun berlalu semenjak Arawinda dicampakkan oleh Angga. Masalalu menyakitkan yang membuat Arawinda sedikit besar takut pada hubungan percintaan. Takut hanya jadi papan permainan sesaat, hal yang tidak berarti bagi seseorang. Jari-jari tangan Arawinda terkepal, gadis itu melangkah jauh dan sebisa mungkin mengontrol geriknya. "Mari kita ke belakang."Arawinda sedikit tersentak mendengar suara itu, belum lagi tangannya juga digenggam lembut secara tiba-tiba.Kaivan.Entah kenapa, tapi bagi Arawinda, saat ini, ajakan Kaivan sangat amat membantu karena nampaknya Angga tetap ada di posisi yang sama sejak tadi."Kolam renang belakang sudah berubah setahun terakhir. Saya banyak mendengarkan keluh kesah bahwa kolam renang di belakang terlalu kecil jika kamar tengah penuh, jadi saya memperluasnya sampai ke tepi barat."Arawinda tak mendengarkan sama sekali penjelasan Kaivan. Ia t