Pagi-pagi itu, Kaivan duduk di sisi pembaringan Arawinda. Kamarnya sudah berantakan tak terhingga, pecahan kaca ada di mana-mana sehingga Kaivan harus berhati-hati untuk melangkah.
Nampak di atas pembaringan sana, tubuh Arawinda yang sangat kurus masih terbaring lelap. Dokter keluarga yang biasanya datang setiap sebulan sekali selalu mengeluhkan tentang berat badan sang istri.Semenjak menikah dengannya, meski makan bersama sesekali di akhir pekan, Arawinda hanya mengambil sedikit dan sepotong buah. Tak jarang bahkan kepala pelayan juga memberikan laporan bahwa Arawinda tak makan sama sekali selama seharian.Kaivan kemudian melihat Arawinda mulai tersadar dari alam mimpi. Kala mata kelamnya dan mata cokelat tua Arawinda saling menatap, gadis itu langsung terbangun dan meloncat jauh dari kasur.Semalam Arawinda sudah melemparnya dengan vas sampai-sampai kepala Kaivan bocor dan harus segera diobati. Jadi mereka tak sempat membicarakan apa-apa."Apa-apaan? Siapa yang memberikan kamu ijin untuk masuk ke dalam kamar saya?"Selalu seperti ini, pembicaraannya dengan Arawinda akan dipenuhi dengan emosi."Kita perlu bicara." Arawinda kini berdiri di depan jendela kamar. Kulit putih pucatnya yang jarang terkena sinar matahari menjadi perhatian Kaivan."Saya sedang tidak ingin berbicara.""Papi akan datang untuk makan siang di rumah."Arawinda menaikan alis mata. Kaivan pikir ia akan mempedulikan hal tersebut? Tentu tidak. Tidak akan sama sekali. Bukan urusannya. Tak ada keuntungan bagi Arawinda untuk makan siang bersama Papi nanti."Saya harap kamu bisa bersiap-siap dan makan bersama kami.""Untuk apa? Makan siang untuk apa?""Papi yang ingin bertemu.""Saya tak peduli Papi ingin bertemu atau tidak sekalipun.""Kesehatan Papi semakin menurun setiap harinya. Jadi, saat ada waktu begini, temuilah beliau."Tangan Arawinda terkepal. Buku-buku jarinya memutih. Mendengar hal tersebut, pendiriannya untuk tidak bertemu dengan Rajendra sedikit goyah.Tapi kalau diingat-ingat, haruskah ia sepeduli itu? Dulu ... saat Arawinda sedang sakit, Papi meninggalkannya sendirian. Papi tak menjenguk atau mengurusnya sama sekali jadi, untuk apa mereka bertemu dan untuk apa Arawinda mempedulikan orang yang tidak peduli juga terhadapnya."Saya tidak akan bertemu. Saya tidak peduli tentang apapun yang menyangkut Papi, meski ... dia mati sekalipun."Mendengar penuturan itu, tatapan Kaivan pada Arawinda berubah menjadi sorot dingin dan marah. "Saya tak ingin banyak berbicara."Arawinda benci nada suara penuh penakanan dan tegas itu. Arawinda benci dengan tatapan Kaivan yang selalu merendahkannya. Seolah-olah ia hanya parasit di rumah ini."Apapun yang kamu mau, Arawinda. Apapun. Akan saya wujudkan, hanya saja, kamu harus bersiap untuk makan siang nanti. Saya tidak ingin mendengar penolakan. Kalau saja saya mendengar dari kepala pelayan kamu tetap kukuh dan keras kepala untuk tidak menemui Papi, saya akan memberikan kamu hukuman."Arawinda mengigit bibir dalamnya penuh Amarah."Hanya dua pilihan kamu sekarang, menemui Papi dan mendapatkan apapun yang kamu mau. Tidak menemui Papi dan kamu mendapatkan hukuman. Tempat sempit yang kamu takuti itu."Mendengar kata-kata terakhir yang terucap dari bibir Kaivan membuat Arawinda seketika merinding.Claustrophobia.Arawinda memiliki kelemahan, claustrophobia, ia merasa takut pada tempat sempit, gelap dan tertutup.Dan parahnya, Kaivan memanfaatkan kelemahannya dengan sangat maksimal.Tak menjawab apa-apa, Arawinda memandangi punggung Kaivan yang kini berlalu, menghilang di balik pintu kamar sesaat kemudian.Arawinda menjatuhkan tubuh terduduk di atas lantai kamar. Kenapa ia selalu begini? Kenapa ia lemah dan tak bisa melawan Kaivan? Kenapa hidupnya benar-benar tidak berdaya?^^^^^^^^Sebuah mobil mewah berhenti di pekarangan rumah. Sesaat kemudian, seorang laki-laki tua keluar dari dalam sana. Tubuhnya sudah nampak bungkuk, cara berjalannya sudah lumayan mengkhawatirkan, dibantu oleh tongkat kayu. Rambut di kepala lelaki itu juga memutih secara keseluruhan.Kaivan buru-buru turun dari teras dan menyambutnya. Membungkuk pada sosok tersebut sebagai salam. "Selamat datang, Pak Rajendra."Sosok di depan Kaivan ini memang mertuanya, tapi Kaivan selalu menghormati Rajendra sebagai seorang presdir perusahaan."Kenapa kamu tidak menunggu saya di dalam saja?"Kaivan tersenyum tipis. "Mana mungkin saya seperti itu.""Bagaimanapun, saya sudah menjadi mertua kamu sekarang. Dari satu tahun yang lalu."Keduanya masuk ke dalam rumah, langkah mereka sama-sama terhenti kala menemui Arawinda yang kini berdiri di ruang tamu. Memakai gaun soft pink yang nampak elegan untuk menyambut Rajendra.Tak berekspresi, Arawinda pun menyilangkan tangan angkuh untuk menyambut Rajendra."Saya sudah siapkan hidangan. Mari kita semua langsung menuju ke meja makan." Kaivan buru-buru mengintrupsi.Mereka kemudian berjalan ke arah meja makan.Arawinda mengikuti dari belakang sembari mendengarkan Papi yang mulai membicarakan bisnis.Lihat kan? Keberadaan Arawinda tak lebih dari bayangan yang tak dianggap. Ia harus puas diam dan ikut duduk di meja yang sama lalu diabaikan."Arawinda."Untuk pertama kalinya, setelah hampir lima belas menit, Rajendra akhirnya menyadari keberadaan Arawinda.Iya, sejauh itulah hubungan antara Arawinda dan Rajendra. Mereka bahkan sanggup tak bertegur sapa saat ada di ruang yang sama.Rajendra mengembuskan napas. Umur anaknya sudah tepat dua puluh lima sekarang. "Sesekali datanglah ke kantor dan belajar dunia bisnis dari suamimu."Sosoknya yang selama setahun terakhir selalu terperangkap di dalam kamar yang tertutup. Sosoknya yang kesepian dan tak lagi punya semangat hidup diminta untuk mengurusi bisnis sekarang?"Untuk apa? Papi sudah memberikan semuanya kan pada Kaivan."Meski umur Kaivan terpaut cukup jauh dengannya, sekitar enam tahun tapi Arawinda tak sudi untuk memberikan panggilan hormat pada lelaki itu."Bagaimana pun kamu istrinya."Istri?Dibandingkan menjadi seorang istri, selama ini, Arawinda malah diperlakukan seperti tahanan yang tidak boleh keluar dari dalam rumah.Lagi dan lagi, kehidupan dan kebebasan Arawinda terenggut setelah menikah dengan Kaivan.Dan Papi ... mana tahu mengenai hal tersebut.Arawinda menyimpan alat makannya di atas piring. Ia sudah tidak berselera sekarang. "Terserah Papi, biasanya juga begini kan? Semua orang menyetir arah hidup Arawinda. Semua orang merenggut kebebasan Arawinda sebagai manusia. Di mata kalian, Arawinda tak lebih dari binatang yang harus menurut dan selalu dikurung kan?""Arawinda!" Rajendra memanggil tegas.Tak peduli, Arawinda pun berdiri sampai kursi yang ia duduki terjungkal. "Arawinda ... muak dengan semua ini."Lalu, gadis itu memutuskan untuk meninggalkan meja makan dengan penuh rasa sesak. Ia membenci Papi, ia membenci semua orang, ia membenci hidupnya. Sungguh demi apapun, Arawinda ingin mati sekarang."Maafkan Arawinda." Kaivan mewakili."Dia memang sudah seperti itu sejak dulu. Tak sopan dan keras kepala. Tapi semua ada sebabnya, semua karena luka yang dia tanggung selama ini. Dan saya ... yang tahu mengenai luka-luka itu, malah terus menambah rasa sakitnya." Rajendra menyuapkan makanan ke dalam mulut dengan tenang seolah tidak terjadi apa-apa. "Tapi mau bagaimana lagi? Kami berdua sama-sama memiliki luka. Kalau bisa, tolong kamu bantu sembuhkan Arawinda. Hilangkan sedih dari hidup Arawinda."Kaivan untuk kali ini tak bisa menjawab secara tegas permintaan Rajendra.Karena seperti yang paruh baya itu tahu bahwa, ia juga memiliki luka. Bagaimana ia bisa menyembuhkan luka orang lain di saat, lukanya sendiri masih menganga dan berdarah-darah.Sesaat sebelum Kaivan menyuapkan makanan ke dalam mulut, tiba-tiba suara pecahan kaca kembali terdengar.Sudah pasti, Tuan Putri di kamar sana tengah mengamuk dan memecahkan semua barang-barang.Saat menjelajahi taman kaca di area belakang rumahnya yang sangat luas, Kaivan menemui Arawinda yang tengah duduk memeluk lutut. Mata cokelat tua gadis itu telaten menatap kupu-kupu yang hinggap di salah satu mawar merah darah yang merekah indah. Mawar adalah bunga kesukaan Arawinda. Saat musimnya, rumah kaca dan halaman di depan akan dipenuhi oleh bunga-bunga mawar berwarna-warni dan cerah. Hari ke hari kelopaknya berjatuhan dan Arawinda, nampak menyukai hal tersebut. Kaivan berjalan lebih dekat, sebelah tangannya dimasukan ke dalam saku celana. Hari masih terlalu pagi untuk berada di rumah kaca. "Bagaimana?" Mata dengan tatap lembut Arawinda berubah membara panas kala mendengar suara Kaivan. "Apa yang kamu inginkan Arawinda?" Gadis inikah yang harus ia sembuhkan? Gadis lemah, cengeng dan egois? Gadis yang sudah tak memiliki gairah hidup. Sejak dulu. Hanya lebih terlihat dan nampak padam kala dia ada dalam kungkungan hubungan pernikahan bersama Kaivan. Arawinda diam membisu. "
Arawinda menatap Kaivan yang berjalan di lantai dasar rumah mereka sembari berbincang dengan seorang wanita muda yang baru kali ini ada di pandangannya. Entah siapa sosok itu, hanya saja, nampak Kaivan sangat nyaman berada di dekatnya dan mengobrol begitu leluasa.Tarikan napas dalam terlihat dari Arawinda. Dadanya untuk beberapa saat membusung naik sebelum Arawinda memutuskan untuk masuk ke tempat yang menurutnya aman dari jajahan Kaivan.Sebuah ruangan di lantai tiga rumah yang jarang dikunjungi oleh orang-orang. Ada sebuah kamar berisi banyak sekali bercak-bercak cat, kanvas yang sudah tercoret gambar-gambar dan kanvas-kanvas kosong lain yang nampak menumpuk sebagai persediaan.Arawinda mengambil palet dan menuangkan warna-warni yang dikehendaki di atasnya. Kali ini, Arawinda akan menggunakan teknik goresan ekspresif saat melukis. Dengan begitu, ia bisa bebas mengekspresikan diri, menggunakan apapun untuk menggores indahnya perpaduan warna menggunakan jari, kuas dan benda yang amat
Kaivan mengembuskan napas kala menyadari teleponnya berdering keras. Sembari meraba-raba nakas dan mengambil barang elektronik tersebut, Kaivan pun mendudukan diri, menggeser tombol hijau tanpa tahu siapa yang menghubunginya kini. "Halo?" tanya Kaivan dengan suara serak khas bangun tidurnya. "Halo Tuan Kaivan." Suara Gio, tangan kanan Rajendra. Mata Kaivan yang sesaat lalu masih sangat mengantuk langsung terbuka lebar. "Halo, Tuan Gio." Pukul menunjukan tepat pada angka dua dini hari. Gio meneleponnya pasti karena ada hal yang cukup penting. "Saya membawa kabar duka." Mendengar beberapa kata yang terucap dari mulut Gio barusan, hati Kaivan langsung gusar dan merasa tidak enak. Sudah pasti kan? "Pak Rajendra tiba-tiba drop kurang lebih tengah malam tadi. Dan baru mengembuskan napas terakhirnya sekitar sepuluh menit yang lalu." Bagaimana dengan Arawinda? Apa gadis itu sanggup mendengar kabar duka yang kini harus ia terima? Keluarga satu-satunya yang ia miliki sudah tiada. Kaiva
"Arawinda mana?""Nyonya Arawinda langsung naik ke kamar, Tuan Kaivan."Kaivan mengangguk dan berlalu untuk melihat kondisi Arawinda. Sejak tadi, gadis itu hanya terdiam lama dan tidak banyak bereaksi pada kepergian Papi-nya.Seperti biasa, tanpa mengetuk, Kaivan langsung membuka pintu dan masuk ke dalam ruang kamar sang istri.Dan melihat pemandangan yang ada di depan sana, untuk dua detik, Kaivan membeku sebelum segera tersadar dan menghampiri tubuh Arawinda.Tanpa banyak kata karena panik, Kaivan bergerak cepat naik ke atas kursi dan memangku tubuh lemas menggantung yang tidak sadarkan diri itu.Tidak kan? Arawinda masih hidupkan?Arawinda harus hidup apapun yang terjadi!Tanpa pikir panjang, karena tahu kalau Arawinda tengah kekurangan oksigen, Kaivan pun langsung memberikan pertolongan pertama. Menekan dada Arawinda dan memberikan gadis itu napas buatan. Saat jalan napas Arawinda sudah normal, dengan tergesa, Kaivan mengangkat tubuhnya dan membawa sang istri ke rumah sakit.^^^^^^
Arawinda menatap Kaivan nyalang."Mau minum sendiri atau harus saya paksa minum lagi?"Cepat-cepat Arawinda mengambil gelas dari tangan besar Kaivan dan minum dengan rakus. Ia tak menyangka, benar-benar tak menyangka!Kenapa ciuman pertamanya malah diambil oleh si brengsek Kaivan!Kenapa harus laki-laki itu!"Bagus, saya keluar."Andai saja Arawinda bisa berteriak, mungkin sekarang ia sudah memaki laki-laki itu. Mungkin saja ia sudah mencakar wajah Kaivan.Menyimpan gelas dengan keras di atas nakas, Arawinda pun mendesah dan membaringkan diri asal di atas brankar. Sebelum mengusap-usap kasar bibirnya jijik.Ia dan Kaivan sudah ciuman! Tidak, bukan ciuman. Seperti yang tadi Arawinda putuskan, semua yang Kaivan lakukan padanya adalah pelecehan. Iya, pelecehan dan Arawinda bisa sekali untuk melaporkan laki-laki itu ke polisi kan?Sedang di sisi lain, Kaivan kini duduk di kursi besi panjang yang tersimpan di sisi tembok lorong rumah sakit.Ia terlalu jauh kan barusan sampai harus menciu
Arawinda mendapati Rama yang kini duduk di kursi bersama Ibu. Ia tak sadar kapan keluarga Kaivan datang ke sini karena tadi, Arawinda tidur pulas sekali. Mungkin efek obat yang barus saja diminumnya."Kamu sudah sadar Nduk?" Gendis, ibunya Kaivan bertanya dengan wajah khawatir. "Maaf Rama sama Ibu baru mampir ke sini ya Nduk." Kini Shankara menyambungi. Dengan wajahnya yang masih pucat, Arawinda pun menggelengkan kepala. Ia tak terlalu dekat dan akrab dengan kedua orang tua Kaivan setelah mereka menikah. Pun karena orang tua Kaivan juga tinggal di Jogja dan sepertinya, mereka mengerti bagaimana hubungan antara ia dan anaknya. "Enggak apa-apa Rama.""Kemarin Mbah Putri mau ikut, tapi ya sakit ternyata. Jadi kami ndak bisa ninggalin si Mbah, takut makin parah. Hari ini denger kamu masuk rumah sakit, Ibu sama Rawa yo was-was makanya langsung berangkat ke Jakarta." Gendis menjelaskan karena kemarin mereka tidak bisa datang ke pemakaman dari besannya. Pun hal tersebut juga atas larangan
Dengan sebelah tangan yang menjinjing barang bawaan, Kaivan mengikuti langkah pelan Arawinda yang katanya tidak ingin dekat-dekat. "Mana supirnya?" Arawinda menatap halaman rumah sakit, ia baru keluar rumah setelah setahun terkurung dan rasanya, dunia ini begitu berbeda. Ada banyak hal yang bisa ia lihat sekarang."Kita enggak pakai supir, ikutin saya."Arawinda mendengus dan melangkah untuk mengikuti kemana Kaivan pergi. "Pelan-pelan bisa?""Cepetan sedikit bisa?" tanya Kaivan balik. Hal tersebut sukses membuat Arawinda memincingkan mata dan menatap kesal pada laki-laki yang hari ini memakai kemeja hitam di depannya. "Ayo jalan."Meski begitu, Kaivan memperkecil langkah agar Arawinda mudah untuk menyeimbanginya. Sesaat mereka sampai di mobil, Arawinda duduk di kursi penumpang belakang dan Kaivan menyetir dengan tenang. "Saya ingin menanyakan hal ini sejak beberapa hari lalu," buka Kaivan.Arawinda menatap tubuh belakang Kaivan yang baru saja berbicara."Kenapa?" Kaivan menjeda, menc
"Selamat pagi."Arawinda yang tengah terdiam di taman rumah kaca menatap susu botolan rasa strawberry yang tersimpan di meja. Sebelum mendongak menemui wajah manis sawo matang milik seorang laki-laki tinggi yang memakai kacamata di hadapannya. Siapa sekarang?"Saya Atharya, salam kenal."Arawinda tak peduli, tangan kurus gadis itu membuang susu yang diberikan oleh Atharya dengan tidak sopan.Dan melihat reaksi tersebut, Atharya tidak sakit hati sama sekali, sembari tersenyum, lelaki itu membungkuk dan memungut susu yang Arawinda tolak. Menusuk kertas alumunium di atasnya dengan sedotan dan menyesap minuman tersebut sembari duduk di samping Arawinda."Pergi.""Kamu suka bunga? Bunga rose?"Arawinda memberikan tatapan sinis. Ia tidak ingin diganggu dan mau bersantai sebentar saja, apakah sesulit itu?"Saya membawakan biji benih bunga rose." Atharnya mengeluarkan satu bungkus benih dari dalam tasnya. "Saya tahu kalau bijih ini akan tumbuh dengan baik, berwarna merah tua yang indah."Ara