Malam itu sepi senyap, keadaan kamar masih gelap, hanya ada sinar dari luar yang menusuk-nusuk melalui jendela. Memberikan sedikit cahaya lembut yang terjatuh di lantai. Kaivan menatap Arawinda yang lelap dalam tidur. Kedua tangan gadis itu melilitnya erat, erat sekali, hingga tak ada sedikitpun jarak di antara mereka. Kaivan bisa merasakan dada Arawinda yang bergerak naik turun saat bernapas. Ia bisa merasakan langsung panas tubuh gadis itu yang kini masih demam.Bukannya ingin melepaskan diri, Kaivan malah merasa terikat dalam rasa nyaman. Ada yang berkecamuk di dadanya. Saat Arawinda meminta jarak kemarin, ia seolah kehilangan sesuatu. Namun tadi, saat Arawinda meminta Kaivan untuk tidak pergi dan meninggalkannya, dunia seakan berubah. Tidak sekelam sebelumnya.Jadi, apa benar apa yang dikatakan orang-orang kepadanya?Apa Kaivan terlalu naif dan bodoh karena berusaha membodohi dirinya sendiri akan perasaan yang sebenarnya sudah bersarang?Perasaan yang jika memang benar, Kaivan aka
Arawinda tengah melihat jam yang sebelumnya sudah ia dan Kaivan pilih untuk souvernir di pesta. Ia tersenyum kecil kala mendapati ternyata ini memang sesuai seleranya. Indah, elegan dan sederhana."Saya lihat di banding dengan series yang lain, jam ini stocknya lebih banyak ya? Bisa seratus lima belas untuk jam tangan pria dan seratus lima belas untuk jam tangan wanita?""Seratus lima belas ya Bu.""Iya betul sekali.""Karena undangan mereka sebar ke seratus tiga orang, beserta pasangan. Yang lain untuk berjaga-jaga jika ada situasi yang tidak diinginkan.""Baik kami akan siapkan barang tersebut.""Saya boleh melihat-lihat sebentar?" "Silahkan."Arawinda bergerak menatap jam tangan yang nampak indah dan ekslusif di toko kenamaan ini. Matanya bergerilya ke sana ke mari sebelum kemudian, tertahan oleh satu buah jam tangan yang entah kenapa, menurutnya akan sangat cocok jika dipakai oleh Kaivan.Lagi pula kalau diingat-ingat, selama ini Kaivan hanya mengenakan satu jam yang sama. Itu da
Saat terbangun sore itu di halaman belakang rumah, Arawinda sadar bahwa ada selimut kotak-kotak yang menutupi tubuhnya, belum lagi, ada bantal nyaman yang empuk di belakang kepala. Saat menggulirkan bola mata, ia menemui Kaivan yang tengah memegang gelas tengah menatap ke arahnya sembari tersenyum."Sudah lebih baik? Saya khawatir dengan keadaan kamu seharian ini."Arawinda menganggukan kepala. "Kondisi saya sudah lebih baik kok.""Urusannya bagaimana? Berjalan lancar?""Begitulah." Dengan agak susah payah karena lemas, Arawinda mencoba membangunkan tubuhnya. "Saya enggak menyangka kalau kamu akan pulang sore begini.""Saya menyelesaikan pekerjaan lebih cepat." Kaivan melewatkan makan siang dan tam beristirahat sedetikpun tadi. Sampai Gio kewalahan sendiri dengan jadwal kerjanya yang tidak berhenti dan seperti robot yang tak kenal lelah."Pantas saja.""Saya sendiri sudah di sini sekitar lima belas menit." "Kenapa tidak membangunkan saya?" tanya Arawinda sembari mengambil gelas air p
Kaivan masuk ke dalam kamar Arawinda malam itu, pekerjaanya masih terbuka di laptop yang masih tersimpan di ruang kerja."Jadi, kamu mau apa ngikutin saya ke sini?" tanya Arawinda. "Kamar kita sudah pisah kan?""Saya enggak mau pisah."Arawinda mengerutkan kening mendengar pernyataan itu keluar dari mulut Kaivan. "Enggak mau pisah gimana?""Saya mau ada terus di dekat kamu. Saya enggak mau kita punya jarak, saya mau menyentuh kamu.""Kaivan?" "Kita suami istri." Kaivan melangkah mendekat pada Arawinda. Dan dengan panik, gadis itu mundur menjauh darinya. "Kita suami-istri Arawinda? Kenapa harus mempunyai jarak? Kenapa harus pisah kamar?""Stop!" Arawinda menahan dada sang suami dengan tangannya, kini ia sudah terpojok di dekat pembaringan. "Kamu kenapa?""Saya gak apa-apa, saya mau menegaskan hal ini. Lagi pula untuk apa jarak? Untuk apa larangan ini dan itu. Pada akhirnya, baik saya atau pun kamu selalu melanggar hal tersebut. Kita tetap tidur sekamar, saling memeluk dan saling menye
Gio menyipitkan mata sembari menatap kelakuan Kaivan yang kini tengah dekat-dekat dengan Arawinda. Laki-laki itu entah kenapa, lebih sering tertawa dan sesekali, jahil kecil pada Arawinda. Ah, bukan hanya Kaivan, tapi Arawinda juga nampak aneh sekali. Lebih ceria, lebih cerah sekaligus malu-malu saat berdekatan dengan Kaivan.Dan kedua orang itu langsung kaget kala Gio menggebrak meja dengan sekenanya."Ada apa?" tanya Kaivan kaget."Kalian berdua kenapa? Dari tadi asik sendiri, sedang saya di sini dianggurin aja. Kalian anggap saya kursi? Pohon? Atau bunga tiruan?" Arawinda membenahi posisi duduknya. "Maaf Om Gio. Kaivan memang tidak bisa serius.""Iya! Kaivan yang memang salah! Kenapa sejak tadi dia terus ngusik kamu. Enggak biarin kamu jauh-jauh, kamu ngilang dikit aja dicariin. Kalian ini kayak suami-istri yang baru nikah kemarin lagi romantis-romantisnya tahu!""Tidak ada sama sekali maksud saya tidak profesional di lingkungan kerja, saya memang memiliki kepentingan dengan Araw
"Dimana?"Arawinda menatap pesan yang baru muncul di ponselnya."Pulang sama-sama. Saya samperin kamu.""Saya sedang di bawah, kamu bisa susul.""Makan malam?""Minum dengan Atharya." Setelah membalas pesan itu, Kaivan tak lagi membalas pesannya. Lelaki itu pasti akan tiba di depannya dalam beberapa menit ke depan. Apalagi setelah tahu bahwa ia tengah berada dengan Atharya."Sepertinya saya harus pulang sebentar lagi." Arawinda mulai memberesi barangnya, toh ia juga sudah cukup lama mengobrol dan duduk dengan Atharya, minuman di gelasnya hanya tertinggal sedikit lagi."Kalau begitu, saya antarkan kamu. Pasti pulang sendiri kan?"Arawinda menggelengkan kepala. Saat ia hampir saja membuka mulut, ia melihat Kaivan yang datang ke arahnya dengan gerak tenang. Sesaat, senyum menghampiri bibir si gadis. "Saya pulang dengan Kaivan."Mendengar nama itu disebut-sebut, Atharya pun langsung berbalik dan berdiri. Dengan hormat ia membungkukan badannya pada Kaivan. "Selamat sore menjelang malam.""
Jari-jari tangan Arawinda menyusuri rambut hitam Kaivan yang terasa lembut dan nampak legam. Kini rambut itu sudah selesai ia keringkan dan ia sisir. Di beberapa sisi nampak jatuh menutupi sebagian wajah sang suami."Terimakasih." Kaivan menatap penuh binar pada Arawinda dari pantulan cermin. "Sekarang kamu.""Aku apa?" tanya Arawinda saat Kaivan mengarahkannya untuk duduk di kursi meja rias. "Obatin lebam ini." Disingkapnya lengan baju sang istri. Lebamnya semakin gelap, berwarna ungu. Pasti sangat sakit kalau tertekan sedikit saja. Kaivan meringis. "Saya sedang mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa ini murni hanya sebuah kecelakaan atau justru ada hal-hal di luar itu."Diperhatikannya Kaivan yang mengambil salep dari dalam kotak P3K yang memang tersimpan di kamarnya. Lelaki itu selalu siap siaga. Dan sengaja menyimpan semua obat di kamarnya."Kenapa harus kayak gitu, saya yakin kok kalau kecelakaanya memang tidak sengaja. Karena ada pemotor yang menyalip secara dadakan lalu
Ibu kembali sakit hari ini. Dan Diajeng juga bingung harus bagaimana. Di sisi lain, ia harus pergi bekerja pukul delapan nanti. Tapi ia juga tak ingin meninggalkan Ibu sendirian di rumah."Enggak apa-apa, kamu kerja aja, ada Rama ada Mbah Putri ini yang bisa jagain Ibu kamu.""Nanti siang beneran kan Ibu mau dibawa ke rumah sakit? Mas Kaivan loh yang selalu bilang. Bujuk Ibu ya Rama, Diajeng enggak mau kalau sakitnya Ibu makin parah. Diajeng takut.""Iya, Rama bakalan bujuk Ibu buat pergi periksa ke rumah sakit, kamu jangan khawatir lagi ya."Gadis itu menganggukkan kepala. Kini, satu mangkuk bubur yang sudah ia beli sebelumnya ada di genggaman tangannya. "Diajeng ngasih Ibu makan dulu. Rama juga jangan lupa makan, Diajeng udah beli lauknya.""Iya, terima kasih."Sesaat Diajeng melangkah mendekat ke arah kamar. Gadis itu pun membuka pintu dan menemui Ibu yang masih terbaring menyamping di sana."Bu, makan dulu. Ibu ini gara-gara telat makan jadi sering kambuh kan."Gendhis menatap san